Disclaimer:

BoBoiBoy (c) Monsta

Balada Tjinta di Tanah Djawa (c) Roux Marlet

Penulis tidak mendapatkan keuntungan material apa pun dari cerita ini.

Parodi dari L'elisir d'amore (The Elixir of Love) karya Gaetano Donizetti.

Warning: Alternate Universe, latar waktu Indonesia di zaman penjajahan Belanda, tokoh berusia dewasa.

[main pairing TauYa, slight HaliYa]

.

.

.

.

.

Bab 2: Love is a Battlefield

.

Halilintar mengamati gadis bernama lengkap Ajeng Anindya Candramaya itu berjalan hilir-mudik menyajikan hidangan, sementara ia duduk di kursi tamu. Apakah ia sudah tak sopan? Kalau iya, mengapa si gadis yang dipanggil Yaya itu tak segera merespon apa-apa? Bukankah di sini Yaya tinggal seorang diri? Tak ada tanda-tanda kehadiran siapa pun selain Yaya, Halilintar sudah memeriksa rumahnya dalam rangka inspeksi KNIL untuk VOC dan dengan itu pula sudah mendapatkan nama lengkap serta tanda tangannya. Satu-satunya lukisan di dinding adalah gambar diri Laksamana Tarung dan istrinya, keduanya sudah almarhum.

Sehubungan dengan lukisan itu, Halilintar berpendapat bahwa Yaya mirip sekali dengan ibunya.

"Bagaimana kalau kau menikah denganku?"

Itu yang ditanyakan Halilintar lima menit yang lalu. Yaya belum bersuara apa pun. Halilintar menoleh pada salah satu ajudan yang berdiri di sampingnya, lalu berkata, "Coba periksa seluruh tanah ini sekali lagi."

Bawahannya undur diri dari ruangan setelah memberi hormat.

Yaya sudah selesai menata nampan kayu penuh penganan dan minuman di atas meja, lalu duduk di seberang Halilintar. Hari sudah siang dan menjelang jam istirahat, tapi Yaya merasa ada terlalu banyak petani yang berkeliaran di teras rumahnya.

"Lamaran?"

"Betul, lamaran!"

"Dia tentara, ya?"

"Tuan Tarung dulu juga tentara."

"Berarti, mereka memang jodoh!"

Yaya bisa mendengar semua kasak-kusuk para pekerjanya dan mengabaikannya, lalu menatap Halilintar tepat di mata.

"Letnan Kolonel Halilintar," sebut Yaya, dan yang dipanggil membungkuk sedikit, "berapa umur Anda?"

"Dua puluh tujuh." Suara Halilintar mantap dan dalam, mengingatkan Yaya akan mendiang sang ayah. Usia letnan kolonel ini enam tahun lebih tua dari Yaya. Lalu?

"Sudah sembilan tahun aku menjadi tentara KNIL." Halilintar meneruskan sendiri. "Maaf kalau aku keliru. Kupikir, kau belum menikah."

"Memang belum," jawab Yaya. Sepasang mata Halilintar menyorot dalam-dalam ke arahnya dan Yaya balas mengamatinya. Tentara muda itu berparas elok dengan garis rahang yang tegas, selain itu ternyata dia punya sorot mata yang lembut di bawah sepasang alis yang menukik tajam.

Sebuah suara berisik masuk ke pendengaran Yaya dan sekali lagi ia mencoba mengabaikannya.

"Matilah aku! Oh, Yaya, tidak, tidak!"

Yaya terlalu mengenal suara Taufan di luar terasnya hingga gagal mengabaikan keributan yang satu itu. Dia tidak yakin apakah Halilintar juga mendengarnya, tapi si tentara masih menatapnya lurus-lurus tanpa berkedip. Ini urusan yang sungguh serius. Gadis itu menarik napas dalam sebelum menjawab,

"Aku belum bisa memberi jawaban sekarang. Beri aku waktu untuk memikirkannya."

Halilintar tersenyum tipis. "Aku akan menunggu jawabanmu. Kami ditugaskan di daerah ini sampai sekitar seminggu."

.

.

.

.

.

"Halilintar Saifullah Sulaiman."

Namanya dipanggil dengan lengkap dan Halilintar maju untuk menerima sebuah lambang lain di bagian depan seragamnya.

"Atas jasamu dalam Perang Aceh*, Ratu Wilhelmina berkenan mengangkatmu menjadi Letnan Kolonel."

Halilintar memberi hormat lalu kembali ke barisan. Di dadanya kini tersemat sebuah pangkat baru, pangkat perwira menengah yang jarang dicapai oleh tentara pribumi. Pangkat baru cemerlang yang diperoleh Halilintar dengan membantai saudara-saudara setanah airnya sendiri di seberang lautan, di hutan-hutan Aceh.

Orang bilang, nama adalah doa. Nama tengah Halilintar bermakna "pedang Allah" dan ibunya memang berkeinginan supaya putra sulungnya itu mendaftar masuk ketentaraan. Ayah Halilintar sudah lama tak bisa bekerja lagi karena sakit kemudian meninggal, sedangkan Halilintar masih punya enam orang adik lelaki dan perempuan yang masih kecil-kecil. Mereka hanya sebuah keluarga miskin di pelosok Pulau Jawa bagian utara. Maka, saat umurnya delapan belas tahun, Halilintar pun mendaftarkan diri menjadi tentara KNIL, berhasil lolos melewati seleksi ketat, dan dengan itu mendapat bayaran tinggi sekaligus kenaikan status sosial di mata para penduduk sekampung. Dia bisa membawa keluarganya pindah ke rumah yang lebih layak dan memberi mereka makan enak, meski nyawanya sendiri jadi taruhan setiap kali harus terjun ke medan perang.

Tapi sesungguhnya, medan perang itu adalah rekaan penjajah semata. Tidak ada perang di sini, hanya pemberontakan dari pribumi yang dijajah. Halilintar dan keluarganya bisa hidup nyaman dengan hasil memberantas usaha saudara sendiri untuk merdeka.

Halilintar tidak akan bilang dia merasa bangga pada pekerjaan maupun pangkatnya. Hanya satu hal yang ia banggakan, yaitu bahwa dia selalu menuruti nasihat ibunya dan bahwa di dunia ini hanya ibunya seorang yang ia muliakan. Bukan Ratu Belanda, bukan pula atasan-atasannya orang kulit putih itu.

Nah, salah satu nasihat ibunda Halilintar adalah, agar dia segera menikah supaya sang ibu bisa menimang cucu sebelum ikut pergi menyusul sang ayah ke rahmatullah.

Letnan Kolonel Halilintar yang selalu serius dan dingin itu nyaris koprol ketika terakhir pulang ke kampung halamannya di Jepara dan ibunya sekali lagi bertanya apakah dia sekalian membawa pulang istrinya.

"Ibu, aku masih belum menikah!"

Sang ibu tampak kecewa, tapi dia mengusap-usap kepala putranya dengan penuh kasih sayang. "Kapan lagi Ibu bisa nimang cucu, Le …."

Kemudian, Halilintar mendengarkan lagi untaian nasihat yang diulang-ulang dari sang ibu. Bukan hanya usia senja yang dihadapi ibu Halilintar. Setiap hari, sang ibu tekun berdoa dengan harapan yang sama, "Ya Allah, jangan biarkan Halilintar mati dulu sebelum memberiku cucu."

Halilintar antara kepengin menangis dan koprol sekali lagi. Perang Aceh yang berkepanjangan sempat membuat nyawanya berada di ujung tanduk dan dia baru bisa pulang ke rumah setelah lima bulan dirawat di rumah sakit. Sewaktu di Aceh itu saja, Halilintar merasa dirinya berada dalam mode autopilot selama beberapa waktu untuk bisa menjadi pembunuh berdarah dingin sampai akhirnya perang itu berakhir. Lupakan sejenak asal-usul dan jati diri demi misi.

Sekejam-kejamnya Halilintar dan sepatuh-patuhnya dia pada penguasa yang mempekerjakannya, sebagai putra sulung yang berbakti dia tak bisa membantah permintaan ibunya yang sudah menjanda.

Maka, ketika bertemu seorang gadis pemilik pertanian yang masih lajang di salah satu lokasi inspeksi KNIL di Delanggu hari itu, Halilintar tak terlalu lama berpikir.

Dirinya adalah seorang tentara yang berpengalaman meski masih muda, seorang pribumi terhormat yang bisa dibilang setara dengan kasta tingkat kedua dari kelas-kelas sosial ciptaan pihak kolonial di mana orang-orang kulit putih adalah yang tertinggi. Dia bukan lagi berada di kasta ketiga yang terbawah, pribumi rakyat jelata yang sebagian besar buruh kasar atau petani. Kecil kemungkinan lamarannya akan ditolak oleh putri konglomerat yang masih lajang, apalagi ayah gadis itu dulunya juga tentara.

Yaya meminta waktu untuk memikirkan lamaran Halilintar. Mereka baru bertemu beberapa jam, mungkin gadis berkerudung merah jambu itu menganggap semuanya terlalu cepat.

Tak masalah. Cinta hanya salah satu medan perang lainnya yang harus dijalani Halilintar dan dia sudah terlatih untuk bersabar dalam setiap peperangan yang akhirnya dimenanginya.

.

.

.

.

.

"Iwan, mati aku! Matilah aku! Bagaimana kalau Yaya menjawab 'iya'?"

Taufan sudah ketar-ketir sejak siang itu tersiar kabar bahwa Yaya dilamar seorang tentara. Tadi, dia mencangkuli tanah dengan begitu panik dan kalut hingga tanah lumpur bertebaran ke mana-mana. Teman-temannya akhirnya menyeretnya menyingkir ke pematang sawah daripada nanti Yaya harus mendapat laporan insiden ada cangkul nyasar di salah satu kepala petani.

Langit tampak mendung sedari tadi, tapi tak juga turun hujan. Taufan juga tidak menangis, tapi hatinya penuh kemelut. Tamatlah sudah kisah cintanya yang sejak awal memang tak berbalas ….

"Perempuan tak cuma Yaya, Taufan," hibur Iwan selepas salat Zuhur dan masuk masa istirahat siang.

Taufan hanya menggeleng. Tatapan matanya kosong, terarah ke langit yang semakin mendung tanpa kunjung turun hujan. Iwan jadi teringat salah satu nyanyian orang-orang di desa kalau sedang patah hati.

"Mendung tanpo udan, ketemu lan kelangan … kuwi sing diarani perjalanan …."

Mendung tanpa hujan, bertemu dan kehilangan … itulah yang disebut perjalanan ….

Biasanya Taufan juga suka bernyanyi-nyanyi, tapi kali itu Iwan hanya sendiri. Diajaknya Taufan keluar area pertanian untuk istirahat di luar. Kemudian, saat hujan rintik mulai turun, Taufan betulan menangis sejadi-jadinya di jalan. Dia sudah kalah bahkan sebelum maju perang, kalah pada orang asing yang statusnya lebih tinggi dan lebih dulu meminang gadis impiannya.

Iwan hanya bisa menepuk-nepuk pundak kawannya yang berguncang hebat sebelum kemudian menyeretnya untuk berteduh karena hujan semakin deras. Cukuplah sakit di hati saja, jangan ditambahi sakit demam atau selesma.

"Haiya, kenapa hujan-hujanan begitu, ma?"

Kedai minum yang didatangi Iwan ternyata dikelola putri pemilik toko obat Cina di sebelahnya. Gadis berkacamata dengan rambut diikat ekor kuda itu mengambil dua buah lap kering dan memberikannya pada kedua lelaki itu.

Taufan mengeringkan wajah dan kepalanya sambil masih terisak. Hanya Iwan yang menggumamkan terima kasih sebelum bicara lagi pada si kawan yang baru ketiban tragedi,

"Wes, Fan, sing uwes yo uwes." Yang sudah terjadi, biarlah terjadi.

Si gadis Cina meletakkan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan uap ke meja di depan mereka. "Kopi gratis, biar hangat," ujarnya singkat, lalu kembali memakai celemek di depan gaunnya yang berwarna kuning cerah.

Sesuatu menyentakkan Taufan kembali ke kenyataan, buru-buru dilapnya ingus yang berleleran. Dia berbisik pada Iwan sambil mengedik ke arah si gadis Cina,

"Wes duwe bojo durung, yo?" Sudah punya suami atau belum, ya?

Iwan tepuk jidat dan segera menjewer telinga kawannya itu.

"Incaranmu yang beda kasta terus! Ini malah sekalian beda suku dan agama!"

Taufan meringis dengan mata yang masih sembab. "Duh. Nasibe wong kere …."

Iwan hanya menghela napas, kawannya itu benar. Nasibnya orang miskin, mustahil untuk bersanding dengan putri pengusaha kaya apa pun sukunya. Taufan tiba-tiba bertanya ke arah etalase,

"Mei-mei, di sini ada minuman buat orang patah hati, tak?"

Kepala gadis Cina itu menyembul dari balik meja. "Haiya, siapa yang kau panggil Mei-mei, ha? Nama aku Ying, lah!"

Taufan tampak bingung. "Eh? Itu panggilan untuk anak-anak perempuan, 'kan?"

"Aku umur dua puluh tiga, ma! Enak saja dibilang anak-anak!" Gadis bernama Ying itu melotot tajam.

"Oh, maaf, maaf. Ada minumannya, tak? Buat orang patah hati."

"Di sini adanya Ciu Bekonang**," jawab Ying, hendak mengambil daftar menu, tapi urung karena berpikir tak ada gunanya menyodorkan tulisan pada petani yang buta huruf.

"Berapa harganya?" Taufan bertanya.

Iwan kembali menjewer telinga si bodoh itu. "Istigfar, Taufan! Masa kau mau mabuk karena ini?!"

"Iwan, Iwan. Kau tak tahu rasanya …."

"Ya, jangan pakai Ciu Bekonang juga, kali?! Sekalian saja pakai Vodka!"

Pertanyaannya, siapa yang lebih sesat, Taufan atau Iwan?

Taufan akhirnya memilih menyerah berdebat dengan Iwan, yang bawelnya bisa melebihi ibu-ibu menawar harga sayuran kalau sedang kesal. Digeletakkannya kepala ke atas meja, kopi yang disuguhkan jadi terabaikan. Iwan menyesap kopinya pelan-pelan sambil melihat-lihat interior. Ying sendiri melipir masuk ke dapurnya.

"Ternyata orang Cina jualan jamu juga," komentar Iwan setelah bermenit-menit dirinya dan Taufan sama-sama diam. Lawan bicaranya hanya ber-hmm pelan. Yang dilihat Iwan di meja pajangan adalah berbotol-botol minuman berwarna kuning dalam kaca yang dari baunya kemungkinan adalah jamu kunyit asam. Iwan kenal betul aroma kunyit segar dan asam jawa yang menguar dari arah dapur.

"Ah, toko jamu, ya … apa di sini jual jamu cinta ajaib?" gumam Taufan dengan nada melamun, kepalanya masih di meja. "Yang kemarin diceritakan Yaya itu …."

"Itu cuma legenda, Fan," balas Iwan sambil menandaskan kopinya.

Taufan masih mengkhayal. "Ramuan cinta ajaib dan legendaris … kalau betulan ada, mungkin aku masih punya kesempatan."

Bunyi derit kursi dari pojok kedai membuat Iwan menoleh kaget. Dari tadi dia mengira hanya dirinya dan Taufan pengunjung kedai di siang berhujan itu. Taufan juga mengangkat kepala, karena pengunjung asing itu berbicara,

"Kau mencari ramuan cinta?" Lelaki berpakaian serbaputih itu mendekat, lensa monocle-nya tampak berkilat ketika ada kilat betulan melesat nun jauh di langit. Bunyi guntur yang menyusul sedetik kemudian seolah mendramatisasi suasana. "Kau bertemu orang yang tepat!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Author's Note:

*Perang Aceh dimulai tahun 1873 dan berakhir tahun 1915.

**Ciu Bekonang adalah miras tradisional asal Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo.

Sekali lagi disclaimer untuk lagu [Mendung Tanpo Udan] yang dipopulerkan oleh Ndarboy Genk! XD

Di bab ini banyak bahasa Jawa yang nyempil, tapi Roux berusaha berikan terjemahan yang nggak mengganggu ceritanya. Semoga masih bisa dinikmati!

Hmm, lumayan seru juga mencari-cari nama buat para tokoh di cerita ini. 'Candramaya' artinya cantik seperti bulan purnama, pakai metode cocoklogi dengan kuasa Yaya yang berkaitan dengan gravitasi XD

'Saifullah' rasanya cocok dengan Halilintar yang senjata elementalnya berupa pedang. 'Kan? 'Kan?

Ahem. Di bab kemarin Roux bilang lelah nulis angst melulu. Tapi, Roux nggak bilang bahwa cerita ini akan bebas dari angst (mwahahaha!) Habisnya, mau dibikin gimana pun, adanya tokoh tentara di sini bikin tetap ada bau-bau angst-nya. Tenang, Roux janji nggak ada charas death di cerita ini. Beneran. Genre utamanya bukan angst! Dan sekali ini Halilintar lebih angsty daripada Taufan :")

Oke, lanjut aja untuk bocoran yang selanjutnya.

Next chapter: Bakul Jamu Legendaris!

(Tunggu dulu, yang legendaris itu jamunya atau bakul/penjualnya, ya?)

Kritik dan saran sangat diterima!

22.10.2022