"Berhenti mengaitkan segala sesuatu dengan Kai."
"Chanyeol selalu menanyakan tentang Kai setiap aku datang ke Black Pearl. Dia mengira Kai bersamamu selama ini."
"Kenapa harus aku?"
"Terakhir kali Chanyeol melihat Kai selalu bersamamu jika berada di Black Pearl."
"Katakan saja pada Chanyeol bahwa aku sudah tidak berurusan lagi dengan Kai."
"Kau akan menjadi tersangka utama jika Kai menghilang atau terbunuh. Kau pernah dekat dengannya, dan kau tahu bahwa Kai dihajar oleh beberapa orang berbadan besar. Ya, aku juga mengetahuinya, tapi yang memerintahkanku untuk memata-matainya adalah kau. Dan kau tidak melakukan apapun untuk menyelamatkannya."
"Yak! Sejak kapan kau menjadi pengarang novel thriller?"
"Sekali lagi, aku hanya memperkirakan kemungkinan terburuk. Who knows?"
"Aish― Hyung, kau membuat selera makanku hilang." Aku beranjak dari tempat duduk ku menuju pintu keluar kaferia.
"Hey, Dyo-ah, kau mau kemana? Kau tidak makan siang?" Aku hanya melambaikan tangan menjawab pertanyaan Baekhyun hyung.
Tidak bisa ku pungkiri, kemungkinan terburuk versi Baekhyun hyung benar-benar meracuniku sekarang. Dasar! Bagaimana bisa Baekhyun hyung memiliki pemikiran menyeramkan seperti itu?
Ya, aku memang mengkhawatirkannya. Kai dengan mulut pedas dan keras kepalanya, orang-orang itu bisa saja menghajarnya sampai babak belur. Jangankan pria-pria berbadan besar seperti gorilla itu, aku saja ‒yang bisa mengontrol emosi dengan baik‒ melayangkan bogem mentahku ke wajahnya saat mendengar kata-katanya.
"Kai-ah..."
Tapi, bagaimanapun, aku belum bisa memaafkanmu.
Dangerous Offer
Created by.
Windzhy Kazuma
Main Pair : KaiSoo (Kim JongIn - Do Kyungsoo)
Warning: Typo(s), Kata-kata Kasar, Plot dan Ide masih dipikir sambil ngetik, Obrolan dewasa, OCC, kata-kata gak jelas dan gak pas bertebaran dimana-mana, DLL. Penulis baru, berantakan, harap maklum.
Disc: EXO belong to EXO-L
Don't Like, Don't Read
.
.
.
Happy Reading ^^
Chapter 8
Dua hari telah berlalu sejak hari itu, dimana aku mendapatkan foto terbaru Kai. Bohong jika aku sama sekali tidak peduli dengan foto yang dikirim oleh orang suruhan Baekhyun hyung. Aku bisa saja bertingkah seolah tidak ambil pusing, tapi kata-kata Baekhyun selalu merusak konsentrasiku. Aku bahkan sangat sering mengecek handphone-ku. Tapi, tidak ada satupun pesan atau panggilan dari Kai.
Jika memang dia dalam keadaan sekarat atau sesuatu yang buruk, dia pasti akan menghubungiku, kan? Hm, bagaimana jika dia juga merasa gengsi untuk menelfonku? Sama sepertiku? Atau, apa aku sebaiknya menelfonnya duluan? Ah, yang benar saja. Dia seharusnya menghubungiku lebih dulu, karena dia membutuhkanku. Lagi pula, dia seharusnya minta maaf atas kata-katanya. Aku belum pernah mendapatkan penghinaan seperti itu dalam hidupku. Orang-orang bahkan berebut untuk mendapatkan perhatianku. Tapi dia? Aish, memikirkannya kembali membuatku kesal saja.
Dering telfon membuyarkan perdebatan didalam kepalaku. Aku sedikit terkejut saat melihat nama yang tertera di layar handphone-ku. Kim Jongin calling...
Aku tidak bisa menahan senyumku. Benar, kan? Aku memang telah memprediksi bahwa ia pasti akan menelfonku. Lihat! Apa kubilang! Aku satu-satunya orang yang akan ia hubungi.
"Ada apa?" Jawabku ketus saat menjawab panggilannya.
"Apa benar ini dengan Do Kyungsoo, CEO EXOPlanet Corp.?" Tunggu― ini bukan suara si keras kepala, Kai.
"Ya. Dengan siapa saya berbicara? Bukankah ini nomor Kai?"
"Ah― anda benar-benar teman Kai rupanya. Saya dengan tidak sengaja menemukan kontak anda di daftar panggilan terakhir Kai."
"Dimana Kai?"
"Begini Do Kyung― maksud saya Sajangnim, teman anda yang bernama Kai ini telah membuat sedikit masalah. Kami bahkan telah berbulan-bulan mencari Kai, karena dia selalu berpindah tanpa memberitahu kepada kami posisinya."
"Apa masalah anda dengan Kai? Dimana Kai sekarang?"
"Kai ada disini, dirumahnya bersama kami. Dulu, ia menyewa sebuah apartemen di wilayah Seongdong, dan setelah ia tinggali beberapa bulan, ia kabur seenaknya tanpa membayar angsuran uang sewa. Kami sudah memperingatinya sejak kami menemukannya disini, tetapi tidak ada itikad baik dari Kai untuk menyelesaikan masalah ini. Ya, terpaksa kami memakai cara kekerasan."
Oh, tentu saja. Kai dan masalah utang. Siapa lagi yang bisa dia andalkan selain aku?
"Berapa banyak yang belum dibayar Kai? Kirimkan saja nominal keseluruhannya beserta nomor rekening anda."
"A-anda ingin menggantikan Kai membayar uang sewa?"
"Yeah."
"Wah― Terima kasih banyak, Sajangnim. Saya akan mengirimnya segera. Terima kasih."
"Hm." Aku menutup telfon dan tersenyum kecut. Kai-ah, kau benar-benar cerdas. Menjadikanku alat untuk menyelesaikan masalahmu? Hebat.
Sesaat setelah menerima pesan dari nomor Kai, aku mentransfer sejumlah uang ke rekening yang tertera di layar ponselku. Bukankah aku sangat baik?
*** Windzhy Kazuma ***
"Ada apa Irene?"
"Seseorang memanggil atas nama Hyun Sik dan ingin berbicara dengan anda."
"Hyun Sik?"
"Iya, sajangnim. Dia mengatakan bahwa dia adalah salah satu teman Kim Jongin."
"Ah― sambungkan segera."
"Baik, sajangnim." Irene menghubungkan telfon dengan seseorang. Saat ini aku memakai telfon kantor.
"Halo, sajangnim! Saya adalah pemilik apartemen yang dulunya disewa oleh Kai, yang tadi siang berbicara dengan anda melalui nomor Kai."
"Oh― ada masalah apa lagi? Bukankah kau telah menerima―"
"Ya, sajangnim. Saya ingin berterima kasih sekali lagi kepada anda. Waah, Kai sangat beruntung memiliki teman seperti anda. Saya juga minta maaf karena mengambil kartu nama anda di rumah Kai dan menelfon dengan seenaknya."
"Ya, tidak apa-apa. Masih ada yang ingin anda katakan, Hyun Sik-ssi? Jujur saja, saat ini saya agak sibuk."
"Ah― maaf telah mengganggu waktu anda, sajangnim. Tapi, apa anda sudah mengunjungi Kai?"
"Belum. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Tapi sebaiknya anda mengunjunginya. Saya dan anak buah saya tidak bermaksud untuk membuat Kai seperti itu. Hanya saja, Kai sangat keras kepala dan selalu memberontak ketika saya berbicara secara baik-baik kepadanya tadi siang. Jadi, terpaksa anak buah saya memberikan beberapa pukulan― tapi, tidak begitu parah. Pada awalnya kami melakukannya sebagai peringatan untuk Kai, tetapi berhubung anda telah membayar utang Kai dengan lunas, jadi kedepannya kami tidak akan berurusan lagi dengan Kai."
"Apa?"
"Tenang saja, itu tidak separah yang anda bayangkan―"
"Saya akan melaporkan anda ke pihak kepolisian jika saya mendapati―"
"Untuk itu saya mewakili anak buah saya meminta maaf. Kai dalam keadaan baik-baik saja saat kami meninggalkan rumah. Tapi, mungkin dengan kehadiran seorang teman bisa membantunya. Terima kasih atas kerja sama anda, Sajangnim. Selamat Sore." Orang itu menutup telfon secara sepihak.
"Halo? Halo? Sial." Aku menutup telfon dan mencoba menghubungi nomor Kai dengan handphone-ku.
Tidak ada jawaban. Kai tidak mengangkat telfonku. Shit!
Jam kerja beberapa menit lagi berakhir. Bagus. Aku bergegas mengambil kunci mobil, dan meluncur menuju rumah Kai. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di kompleks perumahan Kai. Salahkan kemacetan jalan yang membludak, akibat jam kerja telah usai. Sebagian besar jalan dipenuhi oleh mobil-mobil pegawai kantoran.
Aku menelusuri tanjakan kecil menuju rumah Kai. Ugh, untung saja udara dingin sedikit membantuku. Jika tidak, aku akan sampai dengan pakaian penuh keringat di rumah Kai.
"Kai! Kim Jongin! Apa kau ada didalam?" aku memukul pelan gerbang rumahnya. Tapi tak ada jawaban. Aku mencoba sekali lagi menghubungi nomor Kai, tetapi tidak diangkat. "Kai! Kim Jongin! Buka pintumu!" Suaraku kali ini lebih keras dari sebelumnya. Aku mulai berjalan di samping rumahnya, melompat-lompat kecil untuk mengecek keadaan dalam halaman rumah Kai. Tak banyak yang bisa kulihat, hanya lampu halaman rumahnya yang telah menyala. Disaat seperti ini, aku sangat berharap memiliki tubuh setinggi Chanyeol.
"Yakk! KIM JONGIN! BUKA PINTUMU!" Persetan dengan tetangga, aku berteriak dengan keras memanggil nama Kai sambil menggedor gerbangnya. Dan sekali lagi, aku harus menelan kekecewaan saat tidak ada sedikit pun tanda-tanda pergerakan kehidupan dari dalam rumah Kai. Setelah menunggu kurang lebih lima menit, aku membalikkan badanku, bermaksud untuk pulang ke apartemenku. 'Bagaimana ini? Aku pulang begitu saja? Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan bocah itu? Apa sebaiknya aku melapor pada polisi agar mereka datang? Setidaknya untuk mengecek rumah Kai...'
Aku baru saja melangkahkan kakiku dua kali, dan ku dengar derit engsel karatan pintu gerbang dari arah belakangku. Aku segera berbalik dan terdiam di tempat. Seseorang keluar dengan sangat perlahan, menampakkan dirinya dari balik pintu gerbang yang hanya terbuka sedikit.
"K-Kai?" Aku membeo, sedikit shock dengan yang kulihat. Lebam biru di pipi kanan dan goresan luka di rahang kirinya. Terdapat lecet kecil di dahi serta ujung kiri bibirnya. Dan, matanya... Kelopak mata kirinya membengkak, berwarna keunguan yang samar. Aku bertatapan dengannya. Lama. Sesaat kemudian dia berbalik, masuk kembali kedalam halaman rumahnya, dan membiarkan pintu gerbang terbuka setengah. 'Apa itu tadi? Wajahnya benar-benar mengerikan. Aku hampir berpikir dia bukan Kai' Pikirku gila.
"Kau tidak Masuk?" Suara Kai yang sedikit serak terdengar dari balik gerbang.
"Ah― ya." Aku berjalan memasuki gerbang dan segera menutup serta menguncinya. Kai berjalan didepan, memunggungiku. Langkahnya kecil, sangat perlahan dan hati-hati. Ia sedikit menyeret salah satu kakinya. Tangan kirinya memegang perpotongan lengan kanannya. Seperti dugaanku, dia ternyata benar-benar babak belur.
Dalam perjalanan ke rumah Kai tadi, aku telah berencana untuk bersikap kejam padanya. Bagaimanapun, kata-katanya beberapa waktu yang lalu masih meninggalkan dendam membara di pikiranku. Selain itu, dia juga membuatku repot-repot untuk menyelesaikan masalah utangnya. Aku akan mengambil kesempatan ini untuk membalas dendam dan berbuat semena-mena terhadap bocah angkuh ini. Tapi, dengan kondisi Kai saat ini... mana bisa aku melakukannya? Semua siasat yang telah ku susun dalam perjalanan sepertinya tidak akan terlaksana.
Aku mengikuti Kai dari belakang, tanpa ada keinginan untuk berjalan beriringan di sampingnya. Setelah memasuki rumah, ku lihat Kai berjalan ke arah dapur, membuka lemari es kecilnya, dan mengambil sekotak jus jambu, lalu menuangkannya kedalam dua buah gelas. Dengan seenak jidatku, aku duduk sambil menyelonjorkan kaki dan bersandar di dinding rumah tanpa permisi. Karena rumah Kai berjenis rumah tradisional, jadi tidak ada sofa di rumah ini. Hanya ada bantal untuk duduk dan meja kecil.
Sesaat kemudian, Kai datang dan meletakkan gelas-gelas tersebut di atas meja kecil di depanku. Ia juga ikut duduk disampingku dengan hati-hati, mengambil remote yang ada di bawah meja dan menyalakan Televisi. Dia mengganti-ganti channel Televisi dan setelah itu berhenti pada sebuah tayangan acara musik. Kami menonton dalam diam.
"Mengapa kau tidak mengangkat telfon dariku?" aku bertanya beberapa menit kemudian, memecah keheningan.
"Aku tidak tahu dimana ponselku." Suara Kai terdengar serak.
Kami kembali menonton dalam diam. Sesekali ku dengar ringisan kesakitan dari Kai saat ia menggeser atau menggerakkan salah satu kakinya. Tak ada yang membuka percakapan bahkan hingga acara musik didalam televisi telah mencapai sesi terakhir.
"Tidak ada yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku lagi sambil mengambil jus jambu. Aku minum dengan melirik singkat ke arah Kai. Dan, Kai? Jangan ditanya. Pandangannya lurus memperhatikan layar Televisi. Aku tersenyum walau di didalam hati ku benar-benar kesal. Lucu juga, anak ini masih mati-matian mempertahankan keangkuhannya. Seakan harga dirinya adalah segalanya. Aku meletakkan kembali gelasku di atas meja.
"Terima Kasih." Kata Kai pelan dan serak, tanpa mengalihkan pandangannya dari arah Televisi. Senyumku diam-diam semakin lebar.
"Untuk apa?"
"Tentang kejadian hari ini." Kali ini Kai menatapku. Kelopak matanya yang membengkak keunguan hampir saja membuatku terbahak. "Aku akan berusaha menggantinya secepat mungkin."
"Benarkah? Baiklah. Lalu, apa masih ada yang ingin kau katakan?" Tanyaku sambil melipat tangan di dada, dan kembali menonton. Delapan detik yang lama, aku menunggu suaranya.
"Aku... Minta maaf."
"Untuk apa?" tanyaku kembali.
"Tentang kejadian malam itu."
"Kejadian yang mana?"
"Kau lebih tahu. Aku yakin, sampai hari ini, kau masih mengingatnya dengan sangat jelas. Dan aku meminta maaf untuk itu."
"Mengapa kau baru meminta maaf?"
Aku mendengar helaan nafas panjang dari arah Kai, dia kehilangan kata-kata. Pertanyaan yang seolah menginterogasi dariku mungkin membuat kepalanya pusing. Biarkan saja.
"Kau tahu, kekesalanku sedikit menghilang ketika melihat wajahmu saat ini. Setidaknya, ada orang lain yang mewakiliku untuk menghajarmu." Sambungku saat tak ada jawaban dari Kai atas pertanyaanku sebelumnya.
"Kau sangat ingin menghajarku?"
"Yeah."
"Lakukan saja."
"Kau bisa berakhir di liang kubur."
"Kau tak akan membiarkannya."
Huft. Binggo. Aku menghela napas.
"Shit. Ya, aku memang tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku terlalu baik. Jika kau diposisiku, apa kau akan menghajarku?"
"Aku sudah pernah menghajarmu―" Kai meminum jusnya, kemudian melanjutkan perkataannya. "―di atas ranjang apartemenmu."
Aku hampir saja tersedak air liurku sendiri.
"Tapi, kau tahu, aku juga kewalahan saat pulang dari apartemenmu. Kau mencakar punggungku berkali-kali." Sambungnya.
"Yeah, itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan yang kau lakukan kepadaku. Yang kau lakukan saat itu, bukan seks. Itu kekerasan."
"Kau menyukainya." Kai melirikku, memamerkan senyum mengejeknya.
"Aku bukan masokisme yang menyukai seks kasar."
"Bagaimanapun, kau menikmatinya karena aku yang melakukannya."
"Lalu, kau bangga?"
"Tidak juga." Jawabnya tersenyum tipis. Dan, tunggu― wajahnya berseri? Heol. Dasar bocah.
"Ah― kau pasti sangat bangga. Dimana kau mempelajarinya?"
"Huh? Apa?"
"Seks yang kau lakukan denganku. Dimana kau mempelajarinya? Dari buku? Video? Internet?"
"What?" Kai tidak mengerti. Aku tersenyum, menahan tawaku.
"Kai-ah, aku tahu 'itu' adalah pengalaman pertamamu."
"A-apa? Tuan sok tahu―"
"Hey, tidak perlu mengelak. Itu bukan sesuatu yang memalukan. Kau bahkan memiliki partner yang luar biasa sepertiku saat melakukannya pertama kali." Aku melirik Kai, mengedipkan sebelah mataku.
"Yang benar saja..."
"Kau tetap tidak ingin mengakuinya? Ini adalah sesuatu yang mudah diketahui, Kai-ah. Aku sudah sangat berpengalaman dengan ini." Aku memamerkan senyum kemenangan. Kai membuka bibirnya, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tetapi, hanya berselang 2 detik, ia kembali mengatupkan bibirnya. Dia seakan sangat ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu bahkan ada sedikit kesan tidak percaya diri yang ku temukan didalam matanya.
"One night Stand sudah menjadi hal yang biasa sejak aku di bangku sekolah. Ibaratkan mata pelajaran, 'Seks' benar-benar sesuatu yang telah ku kuasai 'diluar kepala'. Aku pernah beberapa kali memiliki partner One night stand yang suka dengan seks kasar. Mereka sangat liar dan ganas. Kau memang hot, Kai-ah. Tapi, teknikmu― sangat monoton dan datar, hanya menyisakan kesan 'kasar'. Itu saja. Persis seperti yang sering digambarkan di novel-novel dewasa―"
"Hentikan. Aku melakukannya dengan kasar karena aku sedang emosi. Lagipula, aku tidak menyuruhmu mengomentari itu."
"Aku perlu memberitahumu, agar nanti jika kau tidur dengan seseorang, kau tidak lagi melakukan kesalahan yang sama."
"Sudah berapa kali kau melakukannya?"
"Apa?"
"Seks."
"Hhahaha. Bagaimana mungkin aku bisa menghitungnya, Kai-ah? Tidak bermaksud sombong, tapi hampir setiap akhir pekan, aku terbangun dengan seorang wanita. Dan itu berlangsung mulai sejak SMA."
"... Baik, jika kau melakukannya disetiap akhir pekan, aku akan melakukannya setiap dua hari sekali, dengan wanita yang berbeda. Apa kau puas sekarang?"
*** Windzhy Kazuma ***
"Kau yakin, tidak ingin ke rumah sakit?" Tanyaku. Segelas jus telah ku habiskan setelah perdebatan panjang tentang pengalaman seks pertama Kai yang telah dilakukannya denganku. How Lucky me!
"Ya."
"Tapi, wajahmu... Ppfff―" Aku menahan tawaku.
"Aku pikir ini lumayan. Aku terlalu bosan dengan wajah tampanku."
"Oh ya? Tak ada yang akan terpesona dengan wajah barumu."
"Kau tetap menyukaiku."
"Kau sangat percaya diri, Kai-ah."
"Lalu, untuk apa kau berlari ke rumahku? Kau bisa saja membiarkanku mati, kan?"
"Kau tahu, aku tidak sekejam itu. Jika kita bertukar posisi, apa kau akan membiarkanku dalam kondisi seperti itu?"
"Aku... Aku memilih untuk tidak pernah bertemu denganmu sedari awal."
"Ah..." Aku terdiam. "Ah, begitu rupanya..." Damn! Seharusnya, aku tidak pernah menanyakan ini.
"Kau begitu bodoh, mau saja terlibat dalam masalahku."
"Ya... Ya... Aku akan memperingatkan diriku bahwa ini yang terakhir." Aku meregangkan otot-ototku dan bersiap untuk berdiri. Tak terasa hampir 2 jam aku duduk bersama Kai. "Aku akan pulang."
"Kau tidak ingin tinggal?"
"Kau ingin aku tinggal?"
"Tidak. Hanya sekedar ramah-tamah, karena sejauh ini kau telah banyak membantuku." Kai berdiri dengan perlahan. Wajahnya seperti menahan sakit saat ia menggerakkan kakinya.
"Aish, Brengsek. Tenang saja, aku tidak akan merengek memintamu untuk mengizinkanku tinggal."
"Baguslah. Aku menawarimu karena aku masih memiliki kontrak perjanjian denganmu dan―"
"Hahaha. Kai-ah, jangan terlalu percaya diri. Perjanjian kita sudah berakhir malam itu, kau lupa?" Aku menatapnya.
"Kau yakin? Jangan sampai kau menarik kembali perkataanmu di kemudian hari, dan setelah itu kau selalu mengekoriku." Kai menaikkan alisnya, melirikku dengan senyum sinis. Aku mendengus, membalasnya dengan senyuman.
"Aku sangat yakin. Tenang saja, hal seperti itu tidak akan terjadi. Ah― mengenai kejadian hari ini, kau tidak perlu mengganti uang itu."
"Kau serius?"
"Ya."
"Kau tahu, aku ini kejam. Aku benar-benar akan menganggapnya serius, Do Kyungsoo. Jujur saja, ini sangat menguntungkanku. Aku tidak memiliki uang sama sekali saat ini."
"Ya, aku tahu. Anggap saja sebagai hadiah― perpisahan, mungkin? Setelah ini kau dan aku tidak akan bertemu. Aku yakin kau juga tidak ingin berurusan lagi denganku, kan?"
"... H-Hm."
"Kau pasti sangat senang."
"Menurutmu?"
"Yeah, Kau sangat senang." Aku berjalan ke dekat pintu dan memasang sepatuku. Kai mengikutiku dari belakang. "Setidaknya, kau sudah sedikit lebih bersahabat denganku. Selamat menikmati kebebasan. Aku pergi." Kataku sambil meninju dada bidangnya pelan.
"Hey! Jangan tertarik dengan seseorang sepertiku diluar sana. Jika tidak, kau akan kembali menyesal." Aku hampir mencapai gerbang saat dia berbicara.
"Itu urusanku." Balasku dengan suara agak keras, tanpa membalikkan badan ke arah Kai. "Orang sepertimu ataupun yang jauh lebih baik darimu, Aku bisa mendapatkannya hanya dengan menggunakan telunjukku."
Aku menarik nafas panjang dan kembali berjalan. Aku tidak akan menoleh kebelakang. Pesona Kai sangat kuat, bahkan bisa mengalahkan logikaku. Bermain dengan Kai cukup sampai disini. Jika tidak, aku yang akan dipermainkan.
Aku menutup gerbang.
Berakhir.
.
.
.
Do Kyungsoo POV - END
.
.
.
To Be Continued.
*** Windzhy Kazuma ***
Merindukanku?
Makasih banyak buat semua yang udah setia baca dan review, mulai dari ff ini muncul hingga chapter 8 ini update. Kalo ga ada kalian, aku mungkin udah bener-bener gulung tikar jadi Author. Kalian kekuatanku, kalian yang terbaik. :') :* :) *BigHug*
Makasih buat saran, kritikan, masukan, dan sapaannya di kotak review. :)
Selamat datang juga buat new readers dan new reviewers. Jangan sungkan buat ngasih saran, kritikan yang membangun, dan ide-ide kalian di kotak review yah! Sekedar cuap-cuap ga jelas juga boleh kok :)
Makasih buat temen2 yang udah follow dan atau favorite Story Dangerous Offer serta Author Windzhy Kazuma yang serba ga jelas ini. Gamsahamnida. *Bungkuk90derajat*
Well, sudut pandang (POV) Do Kyungsoo berakhir di chapter ini. Jadi, chapter depan (mudah-mudahan masih bisa lanjut. Wkwkwk) rencananya aku akan nyoba pake Kim Jongin POV. Jadi, yang bercerita sebagai "Aku" mulai chapter depan adalah Kai. Semoga aja kalian masih merindukan ff ini. :D
Aku bakal berusaha selesain urusan dan masalah2 di dunia "real" ku dengan cepat, jadi aku bisa balik ke dunia FFN dengan cepet juga. Doain yah :D
Dan semoga ide-ide segera muncul dikepalaku. Untuk bikin chapter pendek ini aja, aku mesti nyari dan nonton KaiSoo moment berhari-hari. Wkwkwk. #AuthorSableng
Finally, Post your opinion. Review, please. ^^
