"Aku baru saja bertemu dengan Dyo." Sambungku.

"Ah―, benarkah?"

"Hm."

"Lalu, bagaimana?"

"Apa?"

"Dyo. Responnya."

Aku mengangkat bahu dan menatap monitor komputerku, kembali menyelesaikan sisa pekerjaan yang diberikan Baekhyun.

"Aish― benar-benar!" Baekhyun melayangkan kepalan tangannya, seakan ingin memukulku. Setelah beberapa kali mengeluarkan kata umpatan, ia bergegas ke meja kerjanya untuk mengangkat telepon yang berdering tak sabar.

"Ya?― Kenapa?― A-apa?― Kapan?― Baik." Dengan wajah tegang, Baekhyun setengah berlari keluar dari ruangan.


Dangerous Offer

Created by.

Windzhy Kazuma

Main Pair: KaiSoo (Kim JongIn - Do Kyungsoo)

Warning: Typo(s), kata-kata kasar, Plot dan Ide masih dipikir sambil ngetik, obrolan dewasa, OOC, kata-kata gak jelas dan gak pas bertebaran dimana-mana, DLL. Penulis baru, berantakan, harap maklum.

Disc: EXO Belong to EXO-L

Don't Like, Don't Read

Happy Reading


Chapter 12


Baekhyun hyung mengeluarkan beberapa portofolio dari lemari kerja saat kembali ke ruangan. Wajahnya gusar. Ia beberapa kali menarik dasi dari kerah bajunya.

"Kau dari mana hyung?"

"Ruangan Dyo."

"Jadi, yang tadi menelfon itu, Dyo...S-Sajangnim?"

"Irene, Sekretarisnya. Ketua dewan kehormatan perusahaan ―Ayah Dyo― meminta untuk rapat dadakan."

"Hari ini?"

"Ya. Dia dalam perjalanan menuju perusahaan." Baekhyun melemparkan dengan kasar portofolio ke-4 yang berhasil dikeluarkannya dari lemari ke atas meja. "Aish! Orang tua itu! Apa dia benar-benar ingin membunuh Dyo?!"

Aku terdiam mendengar omelan Baekhyun, tidak cukup berani untuk berkomentar. Aku rasa, situasi saat ini bisa dikategorikan sebagai 'Waspada 1'. Aku harus berhati-hati, Baekhyun hyung seperti bom nuklir yang siap untuk meledak.

"Kai-ah, segera ke percetakan perusahaan dan cetak beberapa file ini." Kata Baekhyun sambil menyerahkan sebuah flashdisk.

"Baik." Aku segera melesat menuju ruang percetakan perusahaan. Hampir setengah jam aku berada di ruang percetakan. Setelah semua dokumen dicetak, aku membawanya kembali ke ruangan. Namun yang kudapati hanya ruang kosong.

Baekhyun hyung, kemana lagi dia?

"Ya?" Baekhyun menjawab telfonku setelah dering kedua.

"Kau dimana hyung? Dokumen-dokumen ini sudah ku cetak."

"Ah― bawa saja ke ruangan Dyo. Aku juga sedang menuju ruangan Dyo sekarang."

"Oke."

Aku memperbesar langkahku. Sebenarnya, Dyo dan Irene serta beberapa karyawan lain berada dalam satu ruangan. Hanya saja, untuk sampai di ruangan Dyo, masih ada lorong pembatas yang agak panjang. Irene terlihat duduk dengan gelisah di meja kerja sambil menggigiti kukunya, sesaat setelah aku tiba di depan ruangan.

"Tunggu!" Irene menahanku yang hampir saja menyelonong masuk.

"Ya?"

"Anda ingin ke ruangan Sajangnim?"

"Ya. Aku diminta untuk menyerahkan ini." Aku memperlihatkan tumpukan dokumen yang ada di tanganku.

"Sebaiknya nanti saja anda serahkan. Dewan Kehormatan sedang berada didalam ruangan. Anda tidak keberatan untuk menunggu, kan?"

"Oh― tentu."Jawabku. Irene tersenyum singkat dan mempersilahkanku duduk di sofa yang tak jauh dari mejanya. Setelah beberapa menit, Baekhyun datang tergesa-gesa.

"Kai? Aku menyuruhmu menyerahkan dokumen itu kan? Mengapa kau malah duduk santai disini?" Baekhyun menepuk jidatnya.

"Maaf, Baekhyun-ssi. Aku yang menyuruhnya menunggu. Dewan kehormatan sedang ada di dalam ruangan." Jawab Irene.

"Ah, Benarkah?! Ayah Dyo sudah datang?"

"Ya."

"Bagaimana dengan rapat? Semuanya sudah dipersiapkan?"

"Ya. Hampir seluruh petinggi perusahaan telah hadir dalam ruang rapat."

"Okey―"

Baekhyun hyung menarik napas panjang dan ikut duduk di sebelahku. Ia membuka jasnya dan menarik dasinya. Aku hanya menggelengkan kepala melihat penampilannya yang saat ini seperti karyawan PHK, karyawan yang baru saja di pecat.

PRAANGGG!

Tiba-tiba dari ruangan Dyo terdengar suara benda berbahan dasar glass jatuh terpecah belah. Aku tersentak, sangat kaget. Irene dan Baekhyun hyung saling bertatapan dengan tegang, seperti telah meramalkan bahwa hal seperti ini akan terjadi. Baekhyun berlari masuk kedalam ruangan disusul oleh Irene yang terlebih dahulu memberi isyarat padaku untuk tetap menunggu.

1 menit, 2 menit, 3 menit...

Belum ada seorang pun keluar dari ruangan. Kakiku sudah sangat gatal ingin ikut berlari ke dalam untuk melihat apa yang terjadi.

"Paman, ini hanya masalah waktu saja. Semuanya akan kembali stabil jika―" Baekhyun dan seorang pria paruh baya keluar dari ruangan Dyo. Sambil mengekor di belakang, Baekhyun sibuk menyakinkan pria paruh baya itu, yang aku yakini sebagai ayah Dyo, salah satu Dewan Kehormatan Perusahaan.

"Apa yang kau lakukan selama ini setelah kembali dari London? Kau seharusnya mengawasi kinerja Dyo!"

"Rendahnya respon yang sewaktu-waktu dari pasar global merupakan hal yang wajar, Paman―"

"Kau tidak perlu mengajariku tentang itu Byun Baekhyun. Akhir-akhir ini dia memang tidak becus mengontrol perusahaan. Sebentar lagi akan ada rapat saham. Jika dia tidak cukup kuat untuk memegang posisi sebagai CEO, suruh saja dia berhenti. Posisi itu akan diberikan kepada orang-orang yang lebih layak!"

"Paman―"

Aku masih bisa mendengar suara Baekhyun hyung yang memelas kepada ayah Dyo bahkan setelah mereka diluar ruangan. Wah~ ada apa ini? Di hari pertamaku bekerja, aku sudah dipertontonkan betapa kerasnya dunia bisnis. Aku mengambil langkah menuju ruangan Dyo.

Setelah sampai di depan pintu, aku meraih ganggang pintu dan membukanya dengan hati-hati. Aku masuk perlahan dan berdiri tepat disamping pintu. Sunyi. Hanya ada suara beling kaca yang saling bergesekan saat Irene mengumpulkan setiap kepingan pecahannya.

"Sudahlah, Irene. Nanti saja kau bereskan." Kata Dyo. Kepalanya menunduk, bersandar di balik tangan yang ia katupkan di atas meja. Suaranya yang pelan terdengar jelas karena suasana di dalam ruangan benar-benar sunyi. Dan suram tentunya.

"Anda baik-baik saja, Sajangnim?"

"Ya. Aku minta maaf Irene-ssi, tapi bisakah kau keluar dari ruanganku? Aku tidak bisa berpikir. Aku butuh sendiri."

"Baik, sajangnim. Jika anda membutuhkan sesuatu, silahkan menghubungiku. Permisi."

Irene segera bangkit dan menuju pintu keluar. Ia tampak sedikit terkejut melihatku yang sedang menonton dan berdiam diri di samping pintu. Aku memegang belakang kepalaku dengan canggung, tertangkap basah. Tapi, setelah itu dia tersenyum tipis dan mengangguk.

Irene benar-benar keluar dari ruangan. Yang tersisa tinggal aku dan Dyo. Apa sebaiknya aku ikut keluar saja?

"Irene-ssi, sebelum keluar tolong padamkan lampu utama ruangan. Dan tutup pintuku."

Aku segera menutup pintu dengan rapat dan mencari saklar lampu. Karena Dyo merubah dekorasi ruangannya, aku agak kesulitan mencari posisi saklar. Aku pikir, saklar lampunya juga ikut berpindah.

"Aku tidak menemukan saklarnya." Kataku sambil tetap mencari di setiap dinding ruangan.

"Kim JongIn? Sejak kapan kau disini?" tanya Dyo mengangkat kepalanya, setengah terkejut menatapku. Dibandingkan beberapa menit yang lalu, suaranya saat ini jauh lebih hidup.

"Beberapa saat yang lalu, saat Irene-ssi sedang membereskan sisa kekacauan hari ini..." Kataku mengangkat bahu. "Aku tetap tidak menemukan saklarnya." Sambungku.

"Di belakangmu, dibalik bunga itu."

Aku segera berbalik dan mendapati sebuah tanaman hias yang tingginya hampir mencapai langit-langit ruangan dengan pot yang besar.

"Ah― disini ternyata." Aku segera menekan Saklar yang ada di balik pot tanaman. Cahaya di dalam ruangan seketika menjadi temaram. Beberapa lampu kecil di dalam ruangan menyala dengan pencahayaan yang redup.

"Kau mestinya ikut keluar juga saat Irene keluar dari ruanganku."

"Aku pikir kau hanya menyuruh Irene."

"Kau tidak mendengar bahwa aku tidak bisa berpikir jika ada seseorang selain aku di dalam ruanganku?"

"Kalau begitu, anggap saja aku tidak ada."

"Mana bisa begitu―"

"Lagi pula, kau tadi meminta agar pintu ruanganmu di tutup dan lampu ruangan di pandamkan. Aku tidak bisa keluar begitu saja tanpa mengerjakan perintah dari atasan."

Dyo tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Ia memijit keningnya beberapa kali sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menuju lemari pendingin.

"Kau ingin minum apa?"

"Apa saja." Jawabku. Aku menghempaskan tubuhku diatas sofa dengan nyaman.

"Kau tahu, semua karyawan perusahaan yang pernah masuk ke ruanganku tidak pernah sesantai Kau. Ah― kecuali Baekhyun hyung. Kau sangat berani."

"Seperti kau tidak mengenalku saja."

"Kau tidak takut ku pecat?"

"Kau ingin memecatku?" aku menatapnya dengan menyeringai. Dyo membawa dua buah gelas wine, satu botol wine dan satu jus kotak ukuran besar.

"Tidak. Belum. Aku akan memecatmu jika kau melakukan suatu kesalahan yang fatal." Dyo perlahan ikut duduk di sofa dan menuangkan wine di salah satu gelas, serta jus di gelas yang lain.

"Kau tidak berpikir bahwa aku akan meminum ini kan, Do Kyungsoo sajangnim?" aku menunjuk gelas yang berisi jus yang di letakkan di depanku.

"Jadi kau pikir aku yang akan meminumnya? Yang benar saja." Dyo tersenyum sinis dan menenguk wine-nya. "Hanya aku yang boleh mabuk. Jika kau ikut minum, siapa yang akan menyetir?"

"Menyetir? Aku bukan supirmu. Kau dan aku juga tidak bertetangga. Lagi pula kau punya supir pribadi. Jika supirmu tidak datang, kau masih memiliki begitu banyak karyawan di perusahaan ini yang akan bersedia menjadi supirmu untuk sementara."

"Kau juga karyawan perusahaanku."

"Ahum― Ya, ya. Baiklah. Karena hari ini adalah hari pertamaku bekerja, aku akan menuruti permintaanmu. Seharusnya kau yang memberiku traktiran, ucapan selamat datang di perusahaan, atau semacamnya. Tapi kau mengalami hal-hal yang cukup berat hari ini. Jadi, kau perlu dikasihani."

"Sialan!"

Aku tersenyum lebar saat mendengar umpatan dari Dyo. Ini dia! Dyo yang ku kenal adalah seseorang yang tidak tahu malu dengan ambisi berlebihan.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyaku.

"Hal seperti ini sudah sering terjadi. Terima kasih sudah bertanya. Aku merasa Lebih baik."

"Karena aku?"

Pergerakan tangan Dyo yang sementara mengiring gelas menuju bibirnya terhenti tiba-tiba. Dyo menoleh, menatapku lekat dengan pandangan bertanya.

"Kai-ah, tidakkah kau merasa bahwa kau lebih berisik dari biasanya?"

"Kau tidak suka?"

"Come on~ kau tahu bahwa aku tidak pernah tidak suka padamu. Hanya saja, saat ini kau agak aneh."

"Maksudmu?"

"Kau duduk dengan santai dan mengobrol denganku. Kau bahkan bertanya dan menanggapi perkataanku. Sejak kapan kau bisa sesantai ini?"

Aku mengangkat bahu dan meminum jus yang ada di depanku. Bisa kurasakan pandangan Dyo seakan mengeluarkan sinar x-ray untuk menyelidiki isi kepalaku.

"Mungkin, aku mulai nyaman denganmu?" aku mengambil jeda untuk mengambik nafas dalam. "Aku akan berisik hanya pada orang-orang yang membuatku nyaman."

"Jadi, kau mulai nyaman denganku?"

"Perhaps?..." Aku balas menatapnya. Matanya yang besar dan bulat masih saja menatapku dengan bingung.

"Setelah ku pikir-pikir, kau tidak boleh merasa nyaman denganku." Katanya, mengalihkan kepalanya dariku sambil kembali menyesap wine dari gelasnya.

"Mengapa?"

"Karena... Karena aku atasanmu."

"Huh, Yang benar saja."

"Kau nyaman dengan Baekhyun hyung dan Chanyeol. Aku tidak ingin memiliki hubungan seperti itu denganmu."

"Lalu?"

"Arti nyaman dalam versimu adalah perasaan yang datar dan mungkin― hangat? Sedangkan yang aku inginkan bukanlah hal yang 'datar' dan 'hangat'." Dyo menatapku kembali sembari meneguk kembali wine yang ada di tangannya. "Melainkan 'TIDAK BISA DITEBAK, TIDAK TERKONTROL dan PANAS'" Sambungnya sembari menyeringai. Pantas saja setiap wanita akan datang dengan suka rela untuk tidur dengannya. Saat dia mulai setengah mabuk seperti ini, dia benar-benar Fuckin Hot.

"Kau mulai lagi. Jika kau masih menyukaiku, kau seharusnya tidak memutuskan kontrak. Sekarang, kau tidak punya alasan lagi untuk menyeretku ke kamarmu."

"Yeah, kau benar."

"Jadi, kau kembali meniduri beberapa wanita setelah kontrak kita berakhir?"

"Tidak."

"Wah~ kalau begitu, mungkinkah―" aku berdehem menormalkan tenggorokanku. "Beberapa... pria?" tanyaku berbisik.

"Kau pikir aku se-sinting itu?" Dyo membuka matanya sejenak untuk menatapku dengan pandangan kesal. "Sepertinya kau salah paham, Kai-ah. Dari dulu hingga sekarang aku masih suka wanita."

"Bloody Hell! Jadi kau pikir aku wanita?"

"Satu-satunya pria yang tidur dan melakukan 'itu' denganku hanya kau. Kau merupakan sebuah kasus yang belum terpecahkan untukku." Dyo menatapku tajam. "Apa kau― tidak pernah tertarik denganku sedikitpun?"

Tertarik? Dengan Dyo?

Aku bangkit dari sofa dan balas menatapnya. "Aku rasa pembicaraan kita cukup sampai disini. Aku akan memberitahu sekretarismu bahwa kau sudah setengah mabuk dan perlu supir untuk pulang."

"Kai-ah..."

"Ya?"

"Apa utang keluargamu telah lunas seluruhnya?"

"Itu bukan urusanmu. Mengapa kau menanyakannya?"

"Akhir-akhir ini aku berharap agar kau kembali dikejar-kejar rentenir atau gangster, sehingga kau datang meminta bantuan lagi dariku. Dengan begitu, aku bisa menawarkan kontrak baru untukmu."

"Sialan kau." Umpatku dengan pelan. Dyo menutup matanya, tertawa kecil sembari menyandarkan kepalanya.

Ini benar-benar nyaman. Maksudku, berbicara dengan Dyo. Aku tidak merasa marah saat mendengar harapan konyolnya. Bahkan sudut bibirku berkedut ingin menarik senyum. "Kalau begitu, mengapa kau tidak coba untuk menawariku sebuah kontrak baru? Mungkin saja bisa ku pertimbangkan."

"Aku tidak bodoh, Kai-ah. Dengan gangster yang selalu mengejarmu saja, kau sangat terpaksa menerima kontrak dariku. Apalagi jika kau dalam keadaan yang tidak tertekan? Kau mungkin akan segera menghajarku sebelum aku menjelaskan isi kontraknya."

"Makanya, kau perlu mencoba. Dalam dunia bisnis, ada istilah 'peluang', kan?"

"Peluang? Perhitungan tentang peluang bisa digunakan dalam bisnis. Sedangkan Kau bukan sebuah proyek bisnis, bodoh."

Ah― benar juga. Dyo memiliki sisi manis seperti ini ternyata.

"Lagi pula, Aku tidak ingin membatasi hubunganku denganmu dalam sebuah kontrak. Semuanya akan berakhir jika kontrak telah usai dan itu sangat mengerikan. Aku ingin― kau datang kepadaku atas keinginanmu sendiri. Tanpa tekanan. Tanpa ancaman." Sambungnya.

Aku terdiam, tidak mencoba untuk membalas kalimat panjangnya. Dyo masih pada posisi yang sama, bersandar di sofa sambil menutup kembali matanya. Setelah beberapa menit berlalu, Dyo tidak juga bersuara. Hanya helaan napas teratur yang terdengar darinya.

Dia tertidur.

CEO sinting ini, aku harus memastikannya. Apakah dia benar-benar sedang jatuh cinta. Denganku.

Denganku? Jatuh Cinta? Oh, Shit! Kata-kata itu membuatku mual.


* Windzhy Kazuma *


Dengan langkah gontai, aku menelusuri jalan setapak menuju rumahku. What the fuck! Aku hampir tidak bisa merasakan bokongku akibat terlalu lama duduk di depan monitor komputer. Hari ini genap seminggu setelah kejadian di kantor Dyo. Orang-orang masih saja membicarakannya. Entahlah, aku juga sudah seminggu tidak bertemu dengannya.

Hanya beberapa langkah lagi untuk mencapai pagar rumahku. Tapi, langkahku terhenti saat melihat seseorang duduk berjongkok dan meringkuk di depan pintu pagar. Aish, benar-benar...

"Dyo... Yak! Bangun! Dyo!" aku setengah berbisik dan menendang kakinya dengan pelan, berusaha untuk membangunkan. Dyo terbangun dan menengadahkan kepalanya menatapku.

"Kai-ah, apa kau tadi membangunkanku dengan kakimu? Wah~ kau benar-benar tidak menganggapku sebagai seorang CEO perusahaan." Dyo bangkit berdiri, menepuk-nepuk ujung celananya.

"Kau sedang apa disini?" tanyaku mengabaikan perkataannya.

"Aku menunggumu."

"Menungguku?"

"Ya. Mengapa kau lama sekali? Jam kerja berakhir satu setengah jam yang lalu. Aku hampir saja berubah menjadi bongkahan balok es karena menunggu." Kata Dyo kesal.

"Aku naik bus dan singgah di supermarket. Lagi pula untuk apa kau menungguku? Asal kau tahu, aku hanya akan mengerjakan pekerjaan dari Baekhyun hyung." Aku mengambil kunci gerbang dan membuka gemboknya. Dengan seenaknya, Dyo masuk mendahuluiku.

"Aku kesini bukan untuk membicarakan pekerjaan." Dyo terus saja berjalan masuk hingga tiba di depan pintu rumah. Ia berbalik menatapku, menunggu agar aku membuka pintu rumah.

"Jika bukan untuk pekerjaan, lalu?"

Enggan untuk membuka pintu, aku melipat tanganku di depan dada dan menunggu jawaban Dyo.

"Nanti akan ku ceritakan. Apa kau tidak kedinginan?" Dyo menggosokkan telapak tangannya pada kedua lengannya.

"Aku tidak akan membuka pintuku." Jawabku. Aku menatap Dyo dengan angkuh dan tersenyum sinis. Bermain sedikit dengannya, tidak apa-apa, kan?

Dyo hanya terdiam. Matanya yang besar menatapku lama.

"Hey. Jangan tertarik dengan seseorang sepertiku diluar sana. Jika tidak― Kau akan kembali menyesal." Kata Dyo pelan.

"Aku tidak mengerti―"

"Kau tidak ingat? Kau mengatakannya kepadaku beberapa bulan yang lalu, disini. Dengan wajah babak belurmu."

"Ah― Kau masih ingat? Daebak! Aku saja tidak mengingatnya."

Dyo terdiam dan menatapku lama. "Bagaimana ini, Kai-ah? Aku masih saja tertarik denganmu."

Aku tertawa dengan keras. Sebenarnya, siapa yang Cassanova disini?

"Kau ingin tahu pendapatku?" Tanyaku kemudian. Dyo hanya diam saja, mengangguk pun tidak. "Kau benar-benar tolol dan sedikit sinting. Kau sama sekali tidak khawatir? Jika aku mau, aku bisa saja memanfaatkanmu―" Aku tercekat, Dyo menarik kerah bajuku dan menghempaskan tubuhku pada pintu rumah sebelum aku menyelesaikan perkataanku.

"Kau― sama sekali tidak tertarik kepadaku?"

"Ya." Jawabku santai.

"Sedikitpun?" Dyo menatapku tajam seolah ingin menembus pikiranku. Aku membalas tatapannya tanpa ragu.

"Aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Sedikitpun."

"Benarkah?"

"Ya."

"Baiklah. Jadi, aku yang salah paham ternyata. Kau sangat ramah terhadap semua ora―"

"Aku ramah denganmu, bukan berarti aku tertarik denganmu."

"Tidak sedikitpun?"

"Tidak sedikitpun." Jawabku. Dyo masih menatapku dengan tatapan tak percaya. Aku tersenyum puas dan menunggu reaksi berikutnya dari Dyo. Bukankah ini sedikit menyenangkan?

"Aku mengerti." Di luar dugaanku, Dyo segera melepaskan tangannya dari kerah bajuku dan mundur beberapa langkah. "Maaf. Sepertinya aku melakukan kesalahan." Sambungnya sambil tersenyum canggung. Matanya menunjukkan kekecewaan. "Masuklah. Kau bisa membeku jika berlama-lama diluar. Aku pulang." Dyo memasukkan tangannya kedalam sakunya dan berjalan cepat menuju gerbang rumah.

Tunggu. Bukan. Bukan seperti ini maksudku.

"Hey! Dyo sajangnim! Kau benar-benar ingin pulang?" Kataku setengah berteriak. Dyo berbalik.

"Ya." Jawabnya.

"Hey~ tadi aku hanya bercanda. Apa kau marah? Kau benar-benar seperti wanita jika kau marah."

"Yang benar saja. Aku pulang."

"Kau akan memecatku?"

"Besok, mulailah mengacaukan semua pekerjaan Baekhyun hyung. Buatlah laporan sekacau mungkin, sesalah mungkin, sejelek mungkin. Dengan itu, aku bisa memecatmu. Aku pulang." Dyo setengah berlari hingga keluar dari gerbang.

"Dyo! Aku hanya bercanda Bos! Mengapa kau sensitif sekali sih?" Kataku setengah berteriak. Dyo hanya melambaikan tangan ke belakang dan terdengar mengatakan sesuatu seperti 'segera masuk rumah' dan 'dingin'.

"Yakk! Sajangnim! Aish―" tanpa pikir panjang, aku berlari menyusulnya. Dyo berada sekitar 20 meter dari gerbang. Cepat juga larinya.

"Dyo!" Aku menarik lengannya yang menempel rapat disisi tubuhnya. Dia benar-benar kedinginan?

Dyo segera berbalik, menatapku dengan heran.

"Kai-ah? Apa yang kau lakukan?"

"Kau mau kemana?"

"Ke apartemen. Menurutmu kemana lagi?" Dyo memasukan pergelangan tangannya kedalam saku celananya. "Kau ingin ikut?"

"Aku..."

"Yak! Cepat kembali ke rumahmu. Udara semakin dingin, kau akan kena flu jika―"

Aku tidak percaya ini! Am I lost my mind?!Tiba-tiba saja aku menarik wajahnya dan menempelkan bibirku dengan miliknya.

What the f―, aku pikir... Aku kehilangan akal sehat.

.

.

.

To Be Continued.


* Windzhy Kazuma *


Anyyeonghaseong~ *bungkuk 90 derajat*

Zhyzi bener-bener minta maaf. Gak yakin apa ff ini masih ada peminatnya? Wkwk. Pasti sekarang readernya udah ada yang masuk SMA, Kuliah, atau bahkan udah kerja ya? Hehe. Setelah bertapa sekian lama, saya turun gunung.

Banyak kejadian belakangan ini sehingga saya gak bisa menyelesaikannya dengan tepat waktu. Sebenarnya chap ini udah selesai lama banget, tinggal sedikit tambahan aja waktu itu. Tapi akibat laptop yang disumbangkan untuk seseorang, chapter ini ternyata lenyap dan saya harus membuat ulang dengan mengandalkan daya ingatku yang dibawah standar. Yang ini bukan original huhuhuhu~ Maaf kalau mengecewakan.

Aku juga baru menggunakan aplikasi FFN dan belum begitu mengerti cara mengaturnya. Makanya terlihat (sangat) berantakan.

Bagaimana menurut kalian? Layak untuk dilanjutkan?