Dengan sekaleng moccacino dingin, aku kembali duduk nyaman di sofa. Semenit, dua menit, tiga menit... Karyawan satu persatu keluar dari lift, menyongsong jam pulang kerja dengan gembira. Aku selalu menoleh, kemudian berdiri, kalau-kalau Dyo keluar dari pintu Lift. Dan akhirnya, dari rombongan karyawan-karyawan yang berlalu-lalang, aku melihat seseorang yang kukenal. Tapi, sangat mustahil bertemu dengannya disini!
Dia juga melihatku. Dengan tatapan tidak percaya, dia berlari kecil memamerkan gummy smile-nya yang sangat cantik.
"Kai oppa?! Apa yang kau lakukan disini?" Sapanya bersemangat.
"―Jennie?"
Dangerous Offer
Created By. Windzhy Kazuma
Main Pair: KaiSoo (Kim JongIn - Do Kyungsoo)
Warning: Typo(s), kata-kata kasar, Plot dan Ide masih dipikir sambil ngetik, obrolan dewasa, OOC, Kata-kata ga jelas dan gak pas bertebaran dimana-mana, DLL. Penulis baru, berantakan, harap maklum.
Disc: EXO Belong to EXO-L
Don't Like, Don't Read
Happy Reading
Chapter 15
Jennie menyeruput jus milkshake stroberinya dengan berisik. Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengannya disini, di kantor sebuah perusahaan. Kurang lebih 15 menit berlalu sejak kami duduk di kaferia perusahaan, ―kaferia tutup jam 8 malam. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya, mungkin 5 tahun? Atau lebih? Entahlah. Menjelang tahun terakhirnya sebagai siswa SMA, dia dan kedua orangtuanya pindah ke New Zealand. Dan sekarang, dia kembali ke korea dengan sangat mengejutkan, menjadi seorang Direktur muda sebuah perusahaan. Bloody hell!
"Jadi, Rose Escuro adalah perusahaanmu?"
"―Rosa Oscuro, Oppa." Jawab Jenie mendengus kesal.
"Ya, maksudku itu. Jennie-ah, kau benar-benar Jjang! Bagaimana bisa kau menjadi Direktur? Kau kan masih ingusan." Kataku tertawa.
"Yak! Aku bahkan mengambil beberapa kelas akselerasi agar bisa masuk kuliah dengan cepat. Untungnya, sistem pendidikan di New Zealand tidak begitu kaku. Jadi, kau bisa menyelesaikan pendidikan dengan cepat jika kau mampu. Kau tahu kan Oppa, aku memiliki sexy brain." Jennie menunjuk kepalanya dengan bangga.
"Baiklah, kau juga selesai kuliah dengan singkat. Lalu, bagaimana caramu menjadi seorang Direktur?"
"Ssstt―, Ini untungnya jika memiliki ayah seorang CEO, oppa." Katanya setengah berbisik.
"Wah~ itu nepotisme namanya!" Aku menunjuknya, pura-pura kaget.
"Yak! Aku juga memiliki kualifikasi yang bagus, tahu." Jennie mendorong telunjukku dengan sebal. "Oppa sendiri, sedang apa disini? Kau bekerja disini juga?"
"Hm, yeah. Aku kuli bangunan disini."
"Benarkah? Hahaha." Jennie tertawa renyah. "Oppa, aku serius. Sedang apa kau disini?"
"Aku karyawan disini. Dengan penampilanku seperti ini, aku tidak mungkin seorang Direktur, kan?" Aku tersenyum, meminum moccacino yang tinggal setengah.
"Kalau begitu, mungkin kita akan lebih sering bertemu." Jennie mengalihkan pandangannya keluar kaferia, mendongak dan memperhatikan gedung perusahaan.
Kami diam begitu lama, terlalu asyik memperhatikan satu dua orang yang berjalan keluar dari pintu perusahaan.
"Oppa, aku turut berduka dengan kejadian yang menimpa Ayah dan Ibumu..." Jennie menggenggam sebelah tanganku yang berada diatas meja.
Aku mengangguk dan balas menggenggam tangannya. Matanya memerah dan berair. Walaupun dia telah memakai makeup dan setelan pakaian yang formal, dia benar-benar masih seperti Jennie yang kukenal.
"Maaf, aku baru sempat mengatakannya. Aku sangat kaget saat mendengarnya, sehingga tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku berada di New Zealand, sedangkan kau disini sendiri, dan..."
"―It's ok. Life must go on, right?"
*** Windzhy Kazuma ***
Kami sedang mengobrol ringan tentang suasana kota Seoul yang sudah berubah, saat telepon genggam Jennie berdering tidak sabar.
"―Ya." Jennie menjawab teleponnya dengan nada dingin, sama sekali bukan dirinya. "Baik― ya. Segera kesana―, oke." Jennie menutup teleponnya dan menghela napas berat. "Oppa, aku masih harus ke suatu tempat."
"Oh ya― baiklah. Ayo, aku akan mengantarmu kedepan." Aku berdiri bersiap. Jennie mengambil tasnya dan ikut berdiri.
"Aku senang bertemu denganmu."
"Hm, aku juga." Jawabku. Ia membuka tasnya, mengambil ponsel dan menyodorkannya padaku. Aku menaikkan sebelah alisku bingung.
"Aku minta nomor ponselmu."
"Ah―" dengan segera aku mengetik beberapa angka lengkap dengan namaku, kemudian mengembalikannya.
"Kau tidak keberatan kan, jika mungkin besok atau lusa, atau suatu waktu aku meminta teman minum kopi?" Jennie tersenyum sembari memasukkan kembali ponsel ke tasnya.
"Tentu, Jennie-ah. Telfon saja aku. Kapan lagi aku bisa minum kopi bersama seorang Direktur, kan?"
Jennie tertawa kecil dan berbisik, "Lain kali aku akan mentraktirmu."
Sebuah mobil hitam berhenti tepat didepan kami. Seorang supir keluar dari mobil dan membuka pintu untuk Jennie.
"Ingat! Pastikan ponselmu aktif, Oppa. Awas saja kalau aku menelfon, dan kau tidak mengangkatnya!"
"Siap." Aku mengangkat dua jempolku. Jennie bergegas masuk kedalam mobil, dan melambaikan tangannya sebelum supir menutup kembali pintunya.
Aku melihat arlojiku, sangat kaget melihat jam sudah menunjukkan pukul 18:36. Lobby sangat lenggang jika dilihat dari luar. Hanya beberapa orang saja yang terlihat. Dan... Shit! Aku segera berlari masuk kembali kedalam lobby kantor. Aku lupa. Dyo!
Aku bertanya kepada resepsionis, dan ternyata Dyo sudah keluar kantor sedari tadi. Aku kemudian bergegas kearah parkiran mobil sambil menelfon Dyo. Namun, tidak ada jawaban. Ia tidak mengangkat telfonnya.
Aku hampir menelfonnya untuk yang ketiga kali, saat melintasi parkiran VIP. Dan Aku menemukannya. Satu-satunya mobil yang terparkir adalah mobilnya. Dyo berada dibelakang kemudi, bersandar pada kursi sambil memejamkan matanya. Mungkin tertidur.
Aku mengetuk pelan kaca mobil sembari menarik gagang pintu, yang ternyata tidak terkunci. Lagu 'Edge of Desire' karya John Mayer mengalun memenuhi mobil.
"Hey." Kataku menepuk pelan bahunya beberapa kali. "Ayo bertukar tempat, aku yang akan menyetir."
Tanpa banyak bicara, Dyo bangun dan segera menyelinap keluar dari kursi kemudi, melewatiku kemudian berjalan kesisi mobil yang lain. Ia membuka mobil dan duduk kembali sambil memejamkan mata, posisi yang sama saat aku membangunkannya tadi.
"Kau menunggu lama?"
"Tidak juga. Mungkin 20 menit."
"Sorry! Aku bertemu dengan teman lama di kaferia. Dia―"
"―Aku tahu. Aku ke kaferia tadi."
"Benarkah? Aku tidak melihatmu."
"Kau sangat serius mengobrol, jadi kau tidak melihatku. Kau kenal dengannya?"
"Jennie itu teman lamaku. Luar biasa sekali, aku bertemu dengannya disini. Jadi, kau sedang bekerja sama dengan perusahaan miliknya?"
"Sejak kapan kau berteman dengannya?" Tanyanya lagi, mengabaikan pertanyaanku.
"Sudah lama. Dia dan aku dulunya bertemu saat trainee."
"Begitu ya..."
"Ya. Aku jamin, kau tidak akan menyesal bekerja sama dengannya. Mungkin dari luar, dia terlihat angkuh dan dingin. Tapi sebenarnya, dia sangat capable dan easygoing."
"Benarkah? Baguslah kalau begitu."
***Windzhy Kazuma***
Jennie benar-benar sering terlihat di perusahaan. Dia juga sering memintaku untuk menemaninya di kaferia kantor ataupun cafe terdekat setelah jam kerja berakhir. Mengobrol dengan Jennie kadang memakan waktu 1 sampai 2 jam. Seberapa sering pun aku mengobrol dengannya, selalu ada pembahasan baru yang seru dan menarik yang muncul, sehingga waktu berlalu dengan cepat tanpa kusadari.
Seperti hari ini, malam ini tepatnya. Aku baru saja tiba di apartemen Dyo, dan waktu sudah menunjukkan pukul 20:16 malam. Sepasang mata besar segera menyambutku begitu aku memasuki ruangan. Dyo sedang menyalakan televisi, tapi dari pengamatanku dia sama sekali tidak sedang menonton televisi. Ipad ada di tangannya, dan beberapa lembar kertas bertumpuk agak berantakan di atas meja di depannya.
"Hai." Katanya menatapku, kemudian kembali memperhatikan Ipadnya.
"Hai. Malam yang sibuk?" Tanyaku sembari melepaskan sepatu, menggantinya dengan alas kaki yang lebih nyaman, dan berjalan ke tempat Dyo duduk.
"Seperti yang kau lihat." Jawab Dyo mengangkat bahunya. "Kau juga sibuk akhir-akhir ini. Menemani Direktur Kim lagi?" Sambungnya.
"Direktur Kim?"
"Kim Jennie, Rosa Oscuro."
"Ah― ya. Mengobrol dengannya membuatku tidak menyadari waktu. Selalu saja ada hal menarik yang dibahas. Parah! Kau juga mestinya ikut, hitung-hitung kau bisa membuat hubungan yang bagus dengannya. Itu akan lebih menguntungkan perusahaan kan, apalagi akan ada rapat saham. Dia bisa menjadi aliansimu." Jawabku sambil menghempaskan diri di sofa, tepat di sebelah Dyo.
Aku mendengar dengusan dari Dyo, kemudian aku melihatnya meletakkan ipad diatas meja, lalu menatapku dengan sebelah alis yang terangkat. "Hubungan? Aliansi?"
"Ya. Kau tahu, kalau didalam politik disebut 'Koalisi'."
Dyo mendengus lebih keras dan menggelengkan kepalanya. "Kai-ah, kau tidak mengerti sama sekali." Kata Dyo, kali ini sambil tersenyum meremehkan.
"Ya, terserah kau saja. Aku hanya memberikan saran, yang mungkin bisa kau pertimbangkan."
"Baiklah. Akan ku pertimbangkan." Dyo tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala lagi.
"Bagaimana dengan Baekhyun hyung?"
"Baik." Dyo memundurkan badannya ke sandaran sofa. "Dia masih irit berbicara." Sambungnya. Aku tertawa mendengarnya.
"Kalian sama saja." Kali ini aku yang menggelengkan kepala. Aku menatapnya sebentar. Dyo sedang menatap televisi dengan pandangan kosong, pikirannya entah sedang berkelana dimana. "Baiklah." Aku bergegas berdiri dan berjalan kearah kamar Dyo. Sudah setengah perjalanan, dan aku berbalik menatap Dyo yang kebetulan juga sedang memperhatikanku. "Aku ingin mandi." Kataku. Dyo mengangguk, dan... sedikit agak bingung saat aku belum juga beranjak dari tempatku.
"Mungkin... Kau mau menemaniku?"
***Windzhy Kazuma***
"Aku rasa, aku harus meluruskan kesalahpahaman ini." Kata Chanyeol tenang. Aku hampir saja tidak mengenalnya karena wajahnya begitu serius, berbeda dari kepribadiannya sehari-hari.
Sore ini, aku, Dyo, Chanyeol hyung dan Baekhyun hyung duduk mengitari meja yang berada di ruang tengah apartemen Dyo. Perang dingin antara Dyo dan Baekhyun yang tidak kunjung reda membuat Chanyeol harus ikut campur. Well, perang ini 90% karena dia, jadi sudah sepatutnya Chanyeol mengambil inisiatif agar perang dingin ini segera berakhir. Jika tidak, hubungan Dyo dan Baekhyun hyung akan mengalahkan kutub utara ―saking dinginnya.
"Dyo-ah, aku... Ya, saat ini aku memang memiliki hubungan dengan Baekhyun." Chanyeol mencuri pandang ke arah Baekhyun, kemudian menatap Dyo kembali. "Dia kakakmu, dan aku rasa... ya― kau tahu, aku tidak bisa mengatakannya langsung padamu bahwa aku menyukainya." Chanyeol berhenti untuk menghela napas. "Aku khawatir, kau akan salah paham atau menganggapku mengambil kesempatan, karena Dia kakakmu, dan sementara kau― temanku baikku..."
Dyo masih diam ditempatnya. Mendengarkan. Dia bersandar di sofa dengan tangan terlipat di dada, dan satu kaki bertumpu ke kakinya yang lain. Baekhyun hyung duduk tak jauh dari Chanyeol, dengan postur duduk yang hampir sama dengan Dyo.
"Justru karena kau tidak memberitahuku, Chanyeol-ah." Dyo akhirnya bersuara. "Dengan ketidaktahuanku, dan kau tiba-tiba datang untuk bertemu Baekhyun hyung... Itu sedikit aneh dan tidak nyaman. Kau sahabatku tapi hal seperti ini bahkan tidak kau ceritakan kepadaku? Bahkan jika 'dia' adalah orang yang kukenal ―Baekhyun hyung?"
"Dyo-ah, kau menyuruhku menjauhi Chanyeol. Apa kau lupa? Itu berarti penolakan." Baekhyun hyung ikut berbicara.
"Sorry, hyung. Aku adalah orang yang selalu ada di pihakmu. Tapi untuk urusan 'Romantical relationship' aku memang tidak begitu mempercayaimu." Jawab Dyo.
"Yak! Kau benar-benar ingin perang dingin selamanya?" Suara Baekhyun terdengar sedikit jengkel.
"Maka sudah saatnya kau mempercayai Baekhyun dalam hal ini, Dyo-ah." Kata Chanyeol sungguh-sungguh, mengabaikan Baekhyun yang masih agak kesal di sampingnya. "I promise, Hubunganku dengan Baekhyun tidak akan mempengaruhi hubunganku denganmu ataupun hubunganmu dengan Baekhyun."
"Kalian berdua adalah orang yang sangat dekat denganku. Yah― kau tahu, aku tidak memiliki banyak orang yang bisa ku percaya... Aku tidak berharap sesuatu yang buruk terjadi dalam hubungan kalian, tapi... jika salah satu dari kalian menjauhiku, itu akan sedikit... Sulit."
"Tidak akan. Tidak ada yang akan berubah, Dyo-ah." Baekyun dengan segera menanggapi. "Kau terlalu cemas. Kau begitu mencemaskan hal-hal yang sebenarnya simple."
"Baiklah. Well― sebenarnya aku tidak punya hak untuk mengatur hubungan orang lain. Ini hanya―"
"Hanya bentuk perhatianmu terhadap orang terdekatmu." Aku memotong perkataan Dyo, dan dengan segera mendapatkan tatapan dari 3 pasang mata yang berbeda. "Aku rasa semua sudah clear, kan?" Tanyaku balas menatap.
***Windzhy Kazuma***
"Kau tahu hyung, itu benar-benar awkward. Kau selalu masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu." Dyo tertawa mengingat tingkah Baekhyun yang mengetuk pintu ruangan di kantornya dengan sangat formal.
"Aku benar-benar berusaha. Aku kadang hampir menerobos masuk ruanganmu, tapi begitu ingat bahwa kau sedang memulai perang dingin denganku, aku mendadak berhenti di pintu, tepat sebelum memegang pegangan pintu. Aku bahkan bisa menahan diri selama hampir seminggu untuk tidak berbicara banyak. Wah― Daebak! Aku pikir, aku tidak akan tahan jika harus lewat dari seminggu, aku akan meledak." Baekhyun bercerita dengan semangat. Aku dan Chanyeol tertawa mendengar betapa frustasi dan rumitnya pertengkaran Baekhyun dan Dyo. "Seperti ada bagian tubuhmu yang sangat gatal, dan kau ingin menggaruknya, tapi kau tidak tahu persis dimana posisinya, dan kau sangat ingin menggaruknya―"
Chanyeol meledak tertawa. Ia bahkan sampai memukul lengan Baekhyun. "P-Perumpamaan macam apa itu? Itu bahkan tidak ada hubungannya! Hahaha" Dengan tangan kiri di perutnya, Chanyeol berusaha untuk bertanya sejelas mungkin, melawan keinginan untuk tertawa lebih keras. Baekhyun segera dongkol dan mengatakan tidak ada yang aneh dengan perumpamaannya.
Tidak heran jika Chanyeol bisa tertarik dengan Baekhyun. Dia hampir memiliki semua kriteria pasangan idaman Chanyeol. Mood maker, ceria, dan yah cukup enak dipandang. Maksudku, Baekhyun cukup tampan, kan?
Kami berempat mengobrol dan bersenda gurau hampir sampai jam 11 malam. Syukurlah, hubungan Baekhyun dan Dyo kembali seperti semula. Jika melihat interaksinya sekarang, sangat tidak mungkin hubungan mereka pernah sedingin kutub utara.
Aku menutup pintu setelah mengantar Chanyeol dan Baekhyun keluar. Bungkus-bungkus makanan ringan, beberapa botol bir kosong dan kulit kacang berserakan diatas meja. Dyo masih duduk bersandar ditempatnya sambil memegang 1 botol bir yang isinya telah lenyap lebih dari setengahnya. Aku ikut duduk merapat di dekatnya.
"Kau belum mau tidur, Sajangnim?" Aku menyinggung pelan lengannya. Ia hanya menggeleng dan tersenyum tipis. "Apa yang kau pikirkan sekarang?" Tanyaku.
"Tidak ada."
"You are lying."
"Well, seorang CEO kadang-kadang memikirkan satu-dua hal di dalam kepalanya."
"Pekerjaan?"
Dyo menggelengkan kepala lagi. Alisnya merengut. "You don't need to know."
"Just tell me. Maybe I can help," Aku mengambil botol bir dari tangannya, meneguk sisanya dan meletakkan botol kosong itu di meja.
"Time to sleep." Dyo sudah setengah berdiri saat aku menariknya kembali ke sofa, dan menghempaskan badannya hingga terlentang di sofa.
"If you don't let me help you, maybe we can do something else." Aku merayap perlahan keatas tubuhnya. "We can play." Kataku setengah berbisik ke telinganya. Aku tepat berada diatas tubuhnya. Dyo tertawa ringan dan mendorong dadaku.
"Kai-ah, I'm not in the good mood."
"Jangan menolakku. Kau tidak pernah menolakku." Aku memberi kecupan ringan di perpotongan bahu dan lehernya. Kulitnya benar-benar bersih dan lembut, seperti kulit wanita. Aku bangkit dan melepaskan t-shirt putih yang kugunakan, kemudian kembali menindihnya.
"Kai―" Dyo menutup matanya saat aku mencium bibirnya tiba-tiba. Aku bisa merasakan tekstur bibirnya yang lembut bercampur dengan aroma alkohol. Bagaimana mungkin aku pernah berkali-kali menolak mahakarya seperti ini?
Drrtt... drrt... drtt...
Aku merasakan ponselku bergetar di saku celana jeans yang saat ini kugunakan. Berusaha tidak memperdulikannya, aku tetap memagut dengan lembut bibir Dyo yang semakin lama semakin terasa pas untukku. Seakan setiap bagian kecil tubuhnya dan eksistensinya di bumi memang tercipta untukku. Aku menyelipkan tanganku kedalam brown sweater yang sedang dipakainya.
"―Kai-ah, ponselmu." Kata Dyo sesaat setelah menarik bibirnya dariku. Aku hampir kembali membenturkan bibirnya denganku saat ia kembali berkata, "Mungkin itu penting, kau angkat saja. Saat ini juga bukan waktu yang tepat untuk bermain, Kai-ah. Aku kurang fit."
Dengan mendengus jengkel, aku mencuri satu kecupan lagi di bibirnya dan segera bangkit dari tubuhnya. Who the hell is calling me in the middle of the night?! Entah siapa yang menelfonku, aku sudah meneriakkan berbagai sumpah serapah untuknya di dalam kepalaku.
Aku mengambil ponselku dan menjadi benar-benar terkejut saat melihat nama yang tertera di layar.
Jennie.
Untuk apa dia menelfonku malam-malam begini? Apa ada yang tidak beres?
"Halo?"
"Oppa!" Seru Jennie dengan suara yang ringan dan ceria.
"Semua baik-baik saja kan? Kau tidak pernah menelfonku hingga selarut ini"
Aku mendengar Jennie tertawa renyah dibalik telefon. "Sorry oppa, apa kau kaget?"
"Ya―, a little bit? Kau tidak pernah menelfonku selarut ini."
"Sorry! Aku hanya ingin mengajakmu minum. Ada yang membawakanku Wine dari Paris. Jinja oppa, kau pasti akan sangat suka!"
"Er― tapi ini hampir tengah malam, Sajangnim. Apa kau sudah mulai mabuk?"
"Yak, oppa! Aku bahkan belum minum alkohol sedikit pun hari ini. Bukankah malam adalah waktu yang tepat untuk mencicipi Wine baru?" Kata Jennie sembari tertawa.
"Wah, kau bahkan tahu hal seperti itu?" Aku balas tertawa. Aku melirik Dyo yang sedang memandangku.
"No more question. Aku menunggumu. Akan ku kirimkan alamatku. Kau harus datang oppa, jika tidak, aku akan membunuhmu besok pagi. Bye!" Aku masih bisa mendengar suara tawa Jennie sebelum dia mematikan telfon.
Dyo beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. "Yang menelfonmu, Direktur Kim?"
"Hm―, ya." Aku mengambil kembali t-shirt-ku dan memakainya. Selang beberapa detik kemudian, ponselku kembali bergetar dengan pemberitahuan pesan dari Jennie. Rupanya dia telah mengirimkan alamat rumahnya. "Dyo, aku keluar sebentar. Tidak apa kan?"
Dyo sedang menegak air mineralnya, dan berhenti sejenak untuk menatapku. "Menemui Direktur Kim?
"Yeah. Dia ingin memamerkan wine yang didapatnya dari Paris. Dia memang kadang kekanakan―"
"Jika aku melarang, kau akan tetap pergi kan, Kai-ah?"
"Meaning?"
"Hubunganmu tidak terlihat seperti hubungan persahabatan biasa." Dyo berjalan kembali ke tempat duduknya dan duduk sembari menatapku.
Tunggu. Aku pikir aku mengerti sekarang. "Dyo-ah, koreksi aku jika aku salah mengartikan ini, tetapi kau terlihat sedikit cemburu. Kau cemburu dengan Jennie? Bloddy Hell, She is like a sister to me! You don't need to be jealous!" Aku terkekeh.
"I'm not jealous at all." Dyo menghela napas. "Kai-ah― asal kau tahu, setiap wanita yang terlibat dengan ayahku, bukanlah wanita yang baik. Direktur Kim itu, ayahku yang membawanya masuk dalam perusahaan. Kau tidak tahu, kesepakatan seperti apa yang mereka miliki dibalik kedatangannya ke perusahaan."
"Wah... Do Kyungsoo Sajangnim, itu adalah tuduhan yang cukup serius." Aku menatapnya dengan tajam. Dia sama sekali tidak memperlihatkan gurat-gurat penyesalan di wajahnya atas apa yang dia katakan. "Dyo-ah, aku kenal baik dengannya. Jennie bukanlah seorang wanita yang buruk. Kau perlu mengenalnya untuk mengetahui kepribadiannya. Tuduhanmu itu sedikit keterlaluian."
"Kau menyukainya?"
"What― "
"Baiklah. Seorang wanita baik-baik, menelfon seorang pria tengah malam, dan menyuruh pria itu untuk datang ke tempatnya, dan... hanya untuk memamerkan...Wine? Aku pikir, aku cukup tahu wanita seperti apa Direktur Kim itu." Dyo beranjak dari tempat duduknya dan berdiri tepat di depanku. "Oke, jika Jennie-mu itu begitu berharga, kau bisa pergi menemuinya." Dyo mengangkat tangannya, dan meletakkan telapak tangannya dipipi kiriku. Dia mengusap lembut bibirku dan berkata, "Aku tidak bisa bermain denganmu malam ini. Jadi, kau bisa menemui Direktur Kim dan tidur dengannya."
Tanganku bertindak lebih cepat dari pikiranku. Aku menepis tangannya dengan kasar, dan balik mencengkram lengannya begitu keras, yang aku yakin akan meninggalkan bekas. "Seorang CEO seharusnya berhati-hati dalam berbicara. Jennie tidak sama dengan wanita-wanita yang kau ajak bermain di ranjangmu." Aku bisa merasakan suaraku bergetar saking marahnya. "Dan perlu kau ketahui juga― aku BUKAN kau yang dengan mudahnya berganti-ganti pasangan di tempat tidur." Aku mendorong tubuh Dyo, mengambil jacket dan bergegas meninggalkan apartemen. Saat aku akan menutup pintu apartemen, aku memandang Dyo sekali lagi. Aku tahu, sedari tadi matanya mengikuti setiap perpindahanku. "Kau butuh istirahat. Kau benar, kau memang sedang tidak fit. Kau sakit."
.
.
.
To be continued.
*** Windzhy Kazuma ***
Annyeonghaseongg! Ada yang rindu? ^^
Ketik di kolom review jika ingin ff ini lanjut ya!
