Tanganku bertindak lebih cepat dari pikiranku. Aku menepis tangannya dengan kasar, dan balik mencengkram lengannya begitu keras, yang aku yakin akan meninggalkan bekas. "Seorang CEO seharusnya berhati-hati dalam berbicara. Jennie tidak sama dengan wanita-wanita yang kau ajak bermain di ranjangmu." Aku bisa merasakan suaraku bergetar saking marahnya. "Dan perlu kau ketahui juga― aku BUKAN kau yang dengan mudahnya berganti-ganti pasangan di tempat tidur." Aku mendorong tubuh Dyo, mengambil jacket dan bergegas meninggalkan apartemen. Saat aku akan menutup pintu apartemen, aku memandang Dyo sekali lagi. Aku tahu, sedari tadi matanya mengikuti setiap perpindahanku. "Kau butuh istirahat. Kau benar, kau memang sedang tidak fit. Kau... sakit."


Dangerous Offer

Created By. Windzhy Kazuma

Main Pair: KaiSoo (Kim JongIn - Do Kyungsoo)

Warning: Typo(s), kata-kata kasar, Plot dan Ide masih dipikir sambil ngetik, obrolan dewasa, OOC, Kata-kata ga jelas dan gak pas bertebaran dimana-mana, DLL. Penulis baru, berantakan, harap maklum.

Disc: EXO Belong to EXO-L

Don't Like, Don't Read

Happy Reading


Chapter 16


Aku membuang puntung rokok yang tersisa ke tanah, dan menginjaknya. Ini adalah rokok ketigaku sejak aku tiba di taman dekat apartemen. Suhu udara malam ini sangat dingin. Bukan hal yang mengherankan, mengingat saat ini sudah memasuki musim dingin. Ah, sialan! Aku tadi lupa membawa topi. Angin yang bertiup pelan seakan menusuk-nusuk kepalaku. Aku melihat informasi cuaca di layar ponselku, dan pantas saja! 8 derajat Celcius. Aku cukup waras untuk tidak berlama-lama lagi diluar ruangan.

Dengan segera aku berjalan cepat menuju lobby apartemen. Kehangatan segera menyambutku begitu melewati pintu utama gedung apartemen. Penghangat ruangan sudah mulai bekerja semenjak akhir musim gugur, jadi berlama-lama di Lobby apartemen pada awal musim dingin seperti ini tidak masalah. Beberapa orang sedang bersantai duduk dengan laptop di meja. Beberapa juga sedang membaca, entah itu majalah, novel ataupun lembar-lembar portofolio pekerjaan yang mungkin saja mereka bawa dari kantor masing-masing.

Sudah lewat tengah malam, dan masih banyak saja orang yang betah berdiam diri di lobby. Sejak aku keluar dari apartemen Dyo, aku menghabiskan hampir satu setengah jam di taman yang tak jauh dari gedung apartemen. Ya, aku tidak ke rumah Jennie. Dyo terlihat tidak begitu suka jika aku kesana, dan yeah, aku tidak ingin memancing keributan baru.

Aku bergegas berjalan kembali ke apartemen Dyo. Ruangan sudah gelap begitu aku tiba. Hanya lampu-lampu kecil dan lampu sensor otomatis yang menyala redup begitu mengetahui kehadiranku. Dyo pasti sudah tidur. Aku berjalan terus hingga mencapai pintu kamar, dan membukanya sedikit. Benar, Dyo sedang tidur menyamping dengan posisi meringkuk. Ipad berada diatas tempat tidur, tak jauh dari kepalanya. Aku masuk dengan mengendap-endap, mengambil bed cover dan membentangkannya menutupi tubuh Dyo. Sisi tempat tidur Dyo yang masih banyak tersisa disebelahnya merupakan tempatku. Spring bed yang kami gunakan berukuran Super King Size dan Dyo hanya menggunakan sebagian kecil area tempat tidur, dia pun tidak banyak gerak saat tidur. Aku sudah beberapa kali mendapatinya tidur dengan posisi meringkuk, dan saat aku bangun keesokan harinya, dia masih dalam posisi yang sama.

Well, sisa-sisa kejengkelan atas tuduhan Dyo yang tak beralasan masih mengganggu pikiranku, sehingga aku memutuskan untuk tidak tidur di kamar malam ini. Setelah yakin semua oke, aku keluar dari kamar dan menghempaskan badanku di sofa, siap untuk menyambut mimpi.


*** Windzhy Kazuma ***


Cahaya pagi bersinar lembut mengintip disela-sela gorden dinding apartemen. Aku bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan ―roti panggang, omelet, serta secangkir kopi panas― dan kemudian mandi dan bersiap lebih awal.

Aku sudah duduk dengan tenang di ruang makan, dengan pakaian yang rapi. Pukul 06.31 pagi dan belum ada terdengar sedikitpun suara tanda-tanda kesibukan dari kamar Dyo. Baiklah. Aku akan sarapan duluan dan menunggunya di Lobby apartemen.

Pagi yang sibuk sudah terasa saat aku memasuki area Lobby. Beberapa orang bergantian datang dan duduk, kemudian bergegas keluar apartemen saat kendaraannya sudah terparkir menunggu didepan pintu utama. Aku satu-satunya orang yang duduk diam hampir setengah jam lamanya. Dyo belum juga muncul. Apa dia langsung ke parkiran ya? Aku memutuskan untuk berdiri menuju lift dan menekan tombol G1― parkiran.

Ya, lebih aman aku menunggunya disini. Mungkin saja Dyo berpikir aku sudah berangkat dan dia langsung ke lantai parkir untuk mengambil mobil. Berbeda dengan Lobby apartemen yang hangat, parkiran terasa sangat dingin, aku bisa melihat jejak napasku mengepul di udara. Tak begitu lama setelah aku berdiri menunggu disamping mobil, Dyo datang. Dari kejauhan, ia melihatku dengan pandangan bertanya. Aku menunggu kalimat berikut yang akan dia ucapkan, namun tidak ada suara.

"Aku khawatir kau mengira aku sudah berangkat duluan, jadi aku menunggumu disini." Kataku saat Dyo sudah berada kurang lebih 2 meter didepanku. Ia memakai baju putih dengan kerah turtleneck dan coat biru dongker. Ia mengangguk dan berjalan kearah kemudi mobil. Aku segera menahannya dan merebut kunci dari tangannya. "Hey Sajangnim, aku yang akan menyetir." Sambungku.

Dyo tanpa banyak bertanya memberiku kunci, kemudian berjalan kembali ke arah sebaliknya, menuju sisi mobil yang lain. Setelah duduk dikursi kemudi dan memasang seatbelt, aku melirik Dyo yang berada disampingku. Dia memasang seatbeltnya dengan tenang, mengambil ipad dan mulai masuk ke dunianya sendiri.

"Aku tidak kemanapun tadi malam. Aku juga tidak ke tempat Jennie." Kataku melapor. Dapat kurasakan Dyo berhenti dari aktivitasnya, yang tadinya menekan-nekan layar Ipad dengan tidak sabar. Memang, Dyo tidak bertanya sedikitpun tentang ini, tapi aku rasa aku harus mengatakannya agar dia tidak salah paham. "Aku hanya jalan-jalan disekitar apartemen, dan kembali ke Lobby apartemen setelah satu setengah jam karena― yah, suhu awal musim dingin bukanlah waktu yang tepat untuk jalan-jalan ditengah malam sendirian, kan." Aku melihat Dyo melalui kaca spion untuk melihat reaksinya. Dia hanya diam, dengan pandangan masih terpaku pada layar Ipad. Tapi, selang berapa detik kemudian, dia menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman yang tipis.

"Well, thank you for the breakfast this morning." Kata Dyo sambil menolehkan wajahnya ke arahku. Akhirnya kedua mata besar itu melihatku. Ia tersenyum ringan dan kembali menatap layar Ipad-nya. Apa yang dikatakannya sama sekali tidak berhubungan dengan pembahasan yang kubicarakan tadi. Tapi setidaknya aku tahu, dia tidak lagi marah tentang kejadian semalam.


*** Windzhy Kazuma ***


Aku masuk kerja hanya setengah hari saja, mengingat perkuliahanku hari ini dimulai jam tiga sore. Dyo mengatakan akan menjemputku begitu selesai kuliah. Sebenarnya, aku tidak begitu suka jika Dyo datang ke kampusku. Mobilnya begitu mencolok, dan dia juga sangat mencolok. Maksudku, dia satu-satunya CEO yang masih sangat muda yang pernah mengajar perkuliahan umum di kampusku. Aku yakin, mahasiswa yang lain masih mengingatnya. Dyo, seorang CEO muda dengan pakaiannya yang super rapi, membawa mobil mewah kedalam area kampus untuk menjemputku― itu sangat menarik perhatian. Beberapa teman wanita di angkatanku sempat bertanya dengan penuh penasaran saat melihat Dyo begitu akrab denganku. Mereka bahkan memintaku mengenalkan mereka kepada Dyo. Gila.

Tapi aku tidak berani menolak keinginan Dyo untuk menjemputku. Moodnya akhir-akhir ini kurang bagus, dan aku masih cinta damai.

Perkuliahan telah selesai 10 menit yang lalu, dan Dyo belum tiba. Aku baru saja membeli kopi instan dari Vending Machine, saat suara yang begitu familiar memanggil namaku.

"Kai Oppa!" Dengan senyum menawan, Jennie menyapaku bersemangat.

"Jennie! Apa yang kau lakukan disini?"

"Tadi aku bertemu dengan teman lama. Yakk! Oppa, Kau tidak datang tadi malam, padahal aku sudah menyiapkan wine mahal untukmu." Jennie melipat tangannya kesal.

"Sorry, Jennie-ah. Tadi malam aku sudah minum dengan teman-teman." Kataku. Jennie masih menatapku galak. Dengan gemas, aku menjitak kepalanya.

"Yak! Oppa!"

"Apa yang kau pikirkan sehingga menelfonku tengah malam seperti itu, Jennie-ah? Kau bahkan menelfonku untuk mengajakku minum! Apa yang akan dipikirkan orang lain?"

"Yak! Kai oppa! Kau pikir aku akan menelfon pria lain dan mengajaknya minum semudah itu? Aku masih waras, oppa." Jennie mengusap-usap kepalanya, masih dengan pandangan galak kepadaku. "Kau satu-satunya pria yang penah kuajak minum dirumahku, tahu! Lagipula... Aku tahu oppa adalah pria yang baik." Jennie menyengir kecil.

"Yak! Tetap saja kau tidak boleh seceroboh itu, bahkan dengan orang yang kau kenal sekalipun! Dasar kau ini..." Aku hanya menggelengkan kepala melihat cengiran Jennie yang semakin lebar.

"Jadi, kau harus mememaniku hari ini, oppa."

"Menemani?"

"Yes. Aku yang traktir."

"Sorry, but―"

"Husss! Don't say sorry. Kau kan sudah berjanji jadi teman minumku."

"Not today. Maybe next time, okay?"

"Hari ini, oppa. Kau kan sudah selesai kuliah. Jam kerja juga sudah berakhir."

"Jennie-ah, aku tidak bisa."

"Why?"

"Well, Aku ada janji―"

"Kau mau kabur lagi dariku?"

"Tidak. Bukan kabur, Jennie-ah... Aku benar-benar sedang ada janji. Minggu depan saja, oke?"

"Wait. Kau... berkencan?" Jennie mundur sedikit dengan tatapan bertanya.

"Tidak." Lebih tepatnya, belum. Aku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengeksekusi perasaanku.

"Lalu, kau akan bertemu dengan siapa, oppa? Apa ada yang lebih penting dariku?"

"Bukannya begitu―"

"Cukup." Jennie mengangkat tangannya, memberi isyarat agar aku berhenti memberi alasan. "Jika pertemuanmu itu tidak begitu penting, kau harus menemaniku. Aku, ayah dan ibu akan makan malam bersama nanti. Kau tahu kan Oppa, hal seperti itu sangat jarang terjadi―"

"Aku khawatir, Kim Jongin tidak bisa menemanimu hari ini, Direktur Kim." Suara yang begitu formal dari arah samping menyela percakapanku dengan Jennie. Aku dan Jennie segera menoleh dan mendapati Dyo berdiri tak jauh dari kami. Aku tidak tahu sejak kapan dia ada disini, menonton percakapan kami.

"Do Kyungsoo Sajangnim." Jennie menyebut nama Dyo dengan dingin dan kaku sembari menundukkan kepalanya, memberi sapaan formal. Dyo juga balas menundukkan kepalanya. "Oppa, yang mau kau temui adalah Do Kyungsoo Sajangnim?" Jennie bertanya kepadaku, berusaha agar suaranya tetap terdengar ceria seperti biasa.

"Y-yeah..." Aku tersenyum sambil menggaruk dahiku yang tidak gatal. Jennie mengalihkan pandangannya kembali ke arah Dyo.

"Ini sedikit berlebihan, Do Kyungsoo Sajangnim. Anda memang atasan Kai oppa di perusahaan. Tapi, sekarang jam kerja telah berakhir."

"Ya."

"Well, tidak ada salahnya jika aku mengajaknya untuk menemaniku. Dia juga berhak untuk menolak pemberian pekerjaan diluar jam kerja."

"Aku bertemu dengannya bukan untuk memberinya pekerjaan ekstra, Jennie-sshi. Bertemu dengan rekan kerja diluar pekerjaan juga tidak ada salahnya, kan?"Dyo tersenyum dengan keramahan yang dibuat-buat.

"Lalu maksud pertemuanmu dengan Kai oppa tidak membahas tentang pekerjaan? Really? Seorang CEO perusahaan seperti anda?"

"Direktur Kim, anda juga sering bertemu dengan Ketua Dewan Kehormatan Perusahaan diluar jam kerja. Apa itu juga karena membahas pekerjaan?"

"Maaf, tapi di perusahaan manapun itu, pertemuan antara Dewan Kehormatan Perusahaan dan Direktur adalah hal yang wajar, walaupun itu diluar jam kerja. Banyak hal penting yang kadang-kadang harus dibicarakan diluar jam kerja. Anda mestinya tahu dengan sangat jelas hal seperti itu kan, sajangnim?"

"Seberapapun pentingnya hal itu, apakah menghubungi dan bertemu Ketua Dewan di waktu istirahat malam adalah wajar? Dan hal tersebut sering terjadi, berulang kali... Pekerjaan seperti apa yang Anda diskusikan dengan Ketua Dewan? Seorang wanita muda seperti anda? Really?―"

"Sajangnim!" Dengan panik aku memotong perkataan Dyo. Jennie menatap Dyo dengan sorot mata yang sama sekali tidak bisa dikatakan ramah. Tak jauh berbeda dengan raut wajah Dyo. Ada jeda yang cukup lama, saat Jennie memutuskan untuk berbicara.

"Saya tidak mengerti dengan arah pembicaraan Anda, Do Kyungsoo-sshi. Anda berkata seperti itu sebagai seorang CEO perusahaan atau sebagai seorang anak yang kurang mendapatkan kepercayaan dari Ketua Dewan, yang ironisnya adalah Ayah Anda sendiri?―"

"Jennie-ah!" Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Perkataan Jennie bagaikan menyiram bensin keatas bara api. Raut wajah Dyo semakin keras. Ya, aku pernah melihat ini. Ekspresi ini muncul saat Dyo berusaha untuk menyembunyikan amarah. Aku menggeleng ke arah Jennie, memberi isyarat agar Jennie segera menyudahi percakapan ini.

"Baiklah oppa, karena kau ada janji hari ini, aku akan mentraktirmu lain kali. Bye!" Jennie tersenyum dan melambaikan tangannya di depanku. Setelah itu, dia menatap Dyo, menundukkan kepalanya sedikit dan berjalan pergi kearah parkiran mobil yang tak jauh dari gerbang utama kampus.

Dyo masih terdiam dengan tangan terkepal, memperhatikan Jennie yang menghilang ditelan keramaian mahasiswa yang berlalu-lalang. Aku menempelkan sekaleng kopi dingin yang tadi kubeli dari Vending Machine ke pipi Dyo. Dia tersentak kaget menatapku.

"Kopi, Sajangnim?"


*** Windzhy Kazuma ***


Dentuman musik yang memekakkan telinga memicu Dyo untuk terus meneguk vodka yang ada ditangannya. Aku hanya memperhatikannya dalam diam. Malam ini kami berada di Black Pearl Club. Awalnya ingin mencicipi sedikit alkohol untuk menyeimbangi hawa dingin. Tetapi melihat kondisi Dyo, aku rasa sekarang ini dia tidak akan keluar dengan cepat dari club.

"Stop." Aku menahan tangannya yang ingin mengambil segelas vodka lagi. "Kau sudah mabuk."

"Tidak... Aku sama sekali tidak..." Dyo bergumam dengan tidak jelas sembari berdiri. "Tunggu disini." Dyo menatapku, kemudian berjalan gontai ke arah dance floor, dan tenggelam di lautan manusia.

Entah sudah berapa kali aku membakar rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Dyo belum juga kembali ke meja VIP dan masih bersenang-senang dengan beberapa wanita di dance floor yang penuh sesak. Aku dengan jelas bisa melihatnya dari sini. Jadi begini rupanya saat Dyo duduk dan memperhatikanku di awal pertemuan. Huh. Dia benar-benar berbahaya jika sedang mabuk.

Aku memutuskan untuk ikut menembus lautan manusia di dance floor. Bukan untuk ikut bersenang-senang, melainkan menarik Dyo sebelum ada wanita yang menjebaknya.

"Dyo, ayo pulang!" Kataku setengah berteriak ke telinganya.

"Hm? Ya?!" Jawab Dyo acuh tak acuh, menarik bagian belakang leherku dan mendekatkan tubuhnya. Ia masih menggerakkan badannya sesuai irama musik. Holy Shit! Dia benar-benar mabuk. Aku memegang tangannya dan menariknya keluar dari dance floor.

"Ayo pulang. Kau sangat kacau―" Dyo mengangkat tangannya didepan wajahku, memintaku untuk diam. Tangan kirinya menekan bibirnya kuat-kuat dan berlari ke arah toilet pria. God dammit! Aku berlari menyusulnya.


*** Windzhy Kazuma ***


Dyo tertidur dengan wajah merengut disamping kemudi. Aku berhasil membawanya keluar dari club. Parah! Ia muntah disepanjang lantai toilet. Seluruh makan malamnya keluar dari perutnya. Untung saja besok Sabtu, Dyo tidak perlu masuk kantor.

Aku hanya tersenyum masam ke arah 4 orang resepsionis saat memasuki apartemen. Mereka berdiri serentak, antara ingin membantu dan penasaran. Salah satu diantara mereka berbisik 'Omo! Omo!' saat melihatku menopang tubuh Dyo, berusaha membantunya berjalan, namun tulang-tulangnya seakan menjadi jelly. Ia berjalan sempoyongan, bersandar ke tubuhku dengan mata tertutup rapat.

"Ada yang bisa kami bantu?"

"Tidak, tidak perlu. Aku bisa membawanya. Terima kasih." Aku mengangguk tersenyum dan bergegas menuju lift.

"Wah sajangnim, kau benar-benar merepotkan." Aku menghempaskan tubuhnya keatas bed saat memasuki kamar apartemen. Dapat kurasakan keningku dipenuhi titik-titik air keringat. Luar biasa, di musim dingin seperti ini aku bisa berkeringat. Semua karena sajangnim gila ini. Aku mendekatkan wajahku kearah tubuh Dyo, dan segera mundur menjauh. "Bloody Hell! Kau bau sekali!"

Dengan setengah hati, aku mengambil seloyang air hangat dan handuk, melepaskan seluruh pakaian Dyo yang bau. Mungkin ada sisa-sisa muntahan disana. Bloody Hell! Dyo bergerak tak nyaman saat aku menyeka tubuhnya dengan handuk basah. Aku memakaikannya pajama yang bersih saat aku telah selesai membersihkan badannya.

Aku ikut berbaring disamping Dyo, memperhatikan wajahnya yang telah jatuh terlelap. Hela napasnya yang teratur menjadi pengantar tidurku.

Ada dua orang wanita yang seingatku adalah bagian Resepsionis apartemen datang membawa sepasang high heels merah. Mereka memaksaku memakai sepatu high heels itu sambil menggendong Dyo menuju tangga apartemen yang tidak ada habisnya. Dyo dengan marah-marah menyuruhku berlari melompati tangga-tangga apartemen, sementara napasku sudah tersenggal lelah. Kakiku juga terkilir. Aku hampir berteriak protes saat bunyi dari luar kamar membangunkanku.

"Dyo?" Aku mendapati Dyo sedang berjongkok didepan lemari es. "Apa yang kau lakukan?"

Kepala Dyo muncul dibalik pintu lemari es. "Aku lapar. Kenapa kau bangun? Ini masih jam... Jam 3 dini hari. Kau tidur saja kembali, Kai-ah."

"Aku terbangun karena kau berisik."

"Oh ya? Apa terdengar sampai di kamar? Sorry." Dyo menyengir kemudian kembali menghilang dibalik pintu lemari es. "Kai-ah, apa kau punya ramen? Aku mencarinya dari tadi, apa sudah habis ya..."

Aku menghela napas, berjalan menuju bagian sudut dapur dan membuka lemari diatas kompor. Terlihat ramen berjejer rapi dengan berbagai merek. "Dyo, kau yakin sudah mencarinya?" Kataku sambil menyodorkan sebungkus ramen diwajahnya yang masih sibuk membongkar isi kulkas.

"Oh, thank's! Kau tidak mau ikut makan?" Tanya Dyo. Aku menggelengkan kepala. Seriously, Ramen jam 3 pagi?!

Setelah membantu Dyo membuat ramen ―lebih tepatnya 'menonton' Dyo membuat ramen―, kami duduk bersama si ruang tengah sembari menonton televisi. Tidak ada yang menarik dari siaran yang tampil, hanya beberapa tayangan ulang opera sabun, tayangan ulang reality show dan berita olahraga. Aku mengalihkan perhatian dari televisi ke Dyo yang sedang makan dengan lahap. Dia lapar. Tentu saja. Semua makan malamnya kemarin keluar saat mabuk.

"Untuk sementara, harus berhenti minum di club." Kataku.

"Mewngapha?" Jawabnya sambil mengunyah.

"Kau bisa minum bersamaku disini, di apartemen. Akhir-akhir ini kau sedikit tidak terkontrol jika berada di club."

Dyo tertawa kecil, hampir tersedak. Aku menggeser air mineral yang ada di atas meja kepadanya.

"Jadi menurutmu, kau bisa mengontrolku jika minum disini?"

"Yep."

"Tidak bisa, Kai-ah. Aku suka Club. Satu-satunya tempat yang membebaskanku dari pikiranku adalah berada di club. Lagipula, ada Chanyeol. Dan ingat, aku bertemu denganmu di club." Tutupnya sambil mengedipkan mata. Yeah, crazy sajangnim is back. "Ah, aku tahu. Kau keberatan membawaku pulang dari club? Apa merepotkan―"

"Bukan begitu." Aku menghela napas. Tiba-tiba potongan adegan dari mimpiku tadi terlintas di pikiranku dan langsung membuatku bergidik. Dyo menatapku sambil mengangguk.

"Ah―jadi benar-benar merepotkan ya?"

"Tidak. Kau sama sekali tidak merepotkan. Ada hal lain yang kuingat." Dyo kembali mengangguk-angguk dan meneruskan memakan ramennya. "Dua minggu lagi rapat saham kan? Kau harus fokus. Alkohol sama sekali tidak akan membantumu."

"Harus fokus, ya? Baiklah." Dyo perlahan menjauhkan mangkuk ramennya, kemudian menatapku. "Anyway, kau masih sering dihubungi oleh Direktur Kim?" Ia masih menatapku dengan kedua lengan yang terlipat di dadanya. Aku menghela napas panjang. "Jawab saja dengan jujur." Sambungnya.

"Ya."

"Kau menyukainya?"

"What― Dyo-ah, Jennie hanya seorang teman. Bahkan sudah seperti saudara perempuanku."

"Well, hubunganmu dengannya sama sekali tidak terlihat seperti hubungan persaudaraan. Ada yang kau lewatkan dan tidak menceritakannya padaku."

"Kau memata-mataiku lagi?"

"Tidak. Tanpa ku selidiki pun, terlihat jelas bahwa Direktur Kim memiliki hubungan yang spesial denganmu. Itu bukan hubungan kakak-adik. Aku tahu itu!"

"Oke! Jennie dulu kekasihku." Dyo tersenyum sinis, tidak terlihat terkejut. "Kau ingin aku jujur kan? Ya. Dia dulu kekasihku. Tapi itu sudah sangat lama. Kau bisa mengkategorikannya sebagai cinta monyet atau apalah... For God's sake, we were only in our teens. That's not a serious relationship."

"Lalu, bagaimana hubungan kalian bisa berakhir?"

"Dia pindah ke luar negeri, dan hubungan itu berakhir begitu saja. Sudah ku katakan, itu bukan hubungan yang serius."

"Apa Kau tahu, Direktur Kim adalah kandidat sainganku saat rapat saham nanti?"

"Apa?"

"Dia tidak memberitahumu? Ah― atau mungkin dia belum sempat memberitahumu. Well, sekarang kau tahu."

"Bukankah dia salah satu investor?"

"Dia memang bergabung sebagai investor. Tapi, dia juga dipersiapkan untuk perebutan posisi di Rapat Saham nanti." Dyo meminum air mineral yang tersisa sedikit dari cangkir didepannya. "Semua petinggi perusahaan dan staff sudah mulai mengambil sikap. Begitu juga denganmu, kau sudah harus menegaskan pilihanmu. Kau berada di pihakku, atau Direktur Kim?"

"Wh― What do you mean?"

"Aku harus tahu siapa saja yang berada di pihakku."

"Aku selalu ada dipihakmu. Tapi bukan berarti aku harus merusak hubungan baikku dengan Jennie, kan?"

"Hubungan baikmu itu akan membuatmu ragu. Aku juga tidak ingin mencurigai timku. Dan Aku tidak ingin ada pengkhianat di timku."

"Pengkhianat? Apa aku terlihat seperti orang yang akan berkhianat? Dyo-ah, ap― aku pikir kau benar-benar belum mengenalku. Aku harap ini bukan bentuk kecemburuanmu yang kau campur adukkan dengan alasan lain mengatasnamakan perusahaan dan tim dan entah apa..." Aku berhenti sejenak, berusaha membaca ekspresi wajah Dyo. Dia hanya menatapku kosong. "Asal kau tahu, Aku selalu di pihakmu. Tidak bisa kah kau lihat? Semua yang ku lakukan, bagaimana aku memperlakukanmu, apa kau tidak bisa membacanya?" Aku menghela napas lagi, Dyo orang yang rumit dan aku adalah orang yang payah dalam menjelaskan. "Aku― Aish!" Aku mengusap puncak kepalaku dengan kasar dan kesal. "AKU SELAMA INI MENCINTAIMU, Dyo! Kau ini bodoh atau apa sampai kau tidak tahu?!"

Kali ini Dyo tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Itu adalah pengakuan yang jauh dari kata romantis. Tapi, yah... Aku sama sekali tidak tahu cara membuat pengakuan yang bagus untuk seorang... yah... Pria.

Dyo menatapku beberapa saat, dan kemudian segera tertawa. Tawanya ringan dan tidak begitu keras, tapi tetap membuat wajahnya memerah.

"Kai-ah, itu adalah pengakuan yang... fantastis?" Kata Dyo sambil sesekali tertawa disela kalimatnya.

"Aku serius."

"Kau tahu, perkataanmu itu hampir membuatku terbang saking senangnya. Teruslah mengatakannya setiap hari, itu cukup untuk membuatku... hidup."

"Dyo-ah―"

"Politik dalam perusahaan sangat kotor, Kai-ah. Dan hanya sebagian kecil orang-orang yang bisa dipercaya. Aku akan memilih dengan hati-hati orang yang bisa ku percayai. Seperti katamu, 'aku harus fokus'. Ayahku berusaha untuk menurunkanku dari posisi CEO. Dan Direktur Kim... Ayahku ingin dia yang menggantikan posisiku. Sudah ada beberapa pemilik saham yang sangat kupercayai, bergabung dengan mereka." Dyo memijit pelipisnya. "Kai-ah, kau tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh ayahku. Kau mungkin orang yang selanjutnya akan direkrut oleh mereka."

"Kau tenang saja, mereka tidak akan menawariku. Aku orang baru, amatir dan tidak punya kekuasaan. Tid―"

"Baekhyun sudah ditawari. Tapi dia menolak. Mereka mengejar orang-orang disekitarku. Bukankah lebih mudah menyerang jika orang kepercayaan musuh berada dalam genggaman kita, kan? Ya, seperti itu cara kerjanya."

"Oke. Jika memang Jennie ikut dalam persaingan di rapat saham, Jennie tidak akan berbuat hal konyol dan curang seperti itu. Aku akan berbicara padanya―"

"Kau tidak mengerti, Kai-ah. Direktur Kim, dialah yang datang sendiri kepada ayahku. Dia yang meminta―"

"Tidak mungkin! Darimana kau tahu? Kau mungkin salah paham, Dyo."

"Kau pikir untuk apa dia kembali ke Korea? Perusahaannya sedang krisis dan dia meminta bantuan ayahku. Orang yang ditemuinya pertama kali begitu tiba di Korea adalah, ayahku. Asal kau tahu Kai-ah, ayahku yang menjemput mereka di Bandara. Direktur Kim adalah 'wanita' ayahku―"

"Cukup! Kau tidak mengenal Jennie. Dia bukan orang yang seperti itu, Dyo! Jika kau tidak percaya, aku akan berbicara padanya."

"Tidak. Jika kau tetap ingin menjalin hubungan cinta monyetmu dengannya, oke. Tidak masalah. Kau bisa keluar dari timku. Dia mungkin akan menawarkan posisi yang bagus untukmu. Tapi jika kau memilih berada di pihakku, kau harus berhenti menjalin komunikasi dengannya dalam bentuk apapun. Semua terserah padamu."

"What the..."

"Aku mengorbankan banyak hal untuk sampai pada posisi ini, Kai-ah. Aku hanya berusaha melindungi apa yang sudah aku dapatkan dengan susah payah. So, STAY or LEAVE. Choose one of them." Dyo berdiri mengangkan mangkuk ramennya dari atas meja. "If it's a difficult choice, I'll give you time." Dyo berjalan menuju wastafel, kemudian masuk ke kamar.

Damn.


*** Windzhy Kazuma ***


Itu bukanlah pilihan yang sulit. Aku jelas akan berada di pihak Dyo. Hanya saja, aku tidak bisa melihat Jennie sebagai musuh. Demi Tuhan, dia sudah seperti saudara perempuan untukku. Membayangkan Jennie merayu pria tua seperti ayah Dyo, itu... Adalah hal yang mustahil. Jika memang itu benar, hanya ada 2 hipotesis. Yang pertama, dia bukan Jennie. Yang kedua, dia Jennie yang sudah Gila.

Aku mengambil sekaleng bir dari lemari es dan berjalan kedepan dinding kaca apartemen yang belum tertutup gorden. Dari sini aku bisa melihat arus lalu lintas yang lenggang, hanya ada beberapa mobil yang melintas. Langit masih gelap.

Hampir setengah jam aku duduk melamun ditemani sekaleng bir dingin. Ketika rintik-rintik hujan mulai membasahi dinding kaca, aku bergegas masuk ke kamar, menyusul Dyo.

Dyo sama sekali belum tidur. Dia masih memainkan ipad dengan wajah yang serius. Ia melirikku sebentar dan kembali kedepan layar ipad.

"Kau belum tidur?" Tanyaku.

"Ya. Sebentar lagi. Ada yang sedang ku kerjakan."

Aku naik keatas bed dan merayap menindih tubuh Dyo. Aku merebut ipadnya, meletakkannya diatas meja disamping tempat tidur. Dyo menatapku heran.

Aku menarik t-shirt ku keluar.

"Kai-ah, apa yang kau lakukan?" Dyo menahan dadaku yang telanjang dengan kedua telapak tangannya.

"I STAY."

.

.

.

To Be Continued.


*** Windzhy Kazuma ***


Annyeong haseongg~ Ada yang rindu ga?

Happy new year guys! Doa dan harapat terbaik buat kita semua. Aku juga turut prihatin atas bencana banjir yang dialami teman-teman di beberapa daerah. Semoga keadaan bisa semakin membaik.

Hei! Kamu-kamu yang sering baca ff ini, yang follow aku dan follow/favorite cerita aku tapi ga pernah review, tegaaaaa! T^T

Apa sih susahnya ketik satu kalimat dua kalimat, itupun biasanya hanya 10 atau 20 kata paling banyak. Aku kan pengen baca juga respon kalian, pendapat kalian gimana... Huhuhu Ngerjain ff itu butuh pengorbanan loh hehehe

Tapi makasih banget buat semua yang bersedia membaca dan yang sempat mereview chapter kemaren. Love you guys. Maaf chap kali ini tetep jauh dari sempurna.