"Kau belum tidur?" Tanyaku.

"Ya. Sebentar lagi. Ada yang sedang ku kerjakan."

Aku naik keatas bed dan merayap menindih tubuh Dyo. Aku merebut ipadnya, meletakkannya diatas meja disamping tempat tidur. Dyo menatapku heran.

Aku menarik t-shirt ku keluar.

"Kai-ah, apa yang kau lakukan?" Dyo menahan dadaku yang telanjang dengan kedua telapak tangannya.

"I STAY."


Dangerous Offer

Created By. Windzhy Kazuma

Main Pair: KaiSoo (Kim JongIn - Do Kyungsoo)

Warning: Typo(s), kata-kata kasar, Plot dan Ide masih dipikir sambil ngetik, obrolan dewasa, OOC, Kata-kata ga jelas dan gak pas bertebaran dimana-mana, DLL. Penulis baru, berantakan, harap maklum.

Disc: EXO Belong to EXO-L

Don't Like, Don't Read

Happy Reading


Chapter 17


Rapat saham semakin dekat. Keadaan didalam perusahaan semakin mencekam, bahkan setiap orang perlahan mulai menunjukkan keberpihakannya. Aku beberapa kali berpapasan dengan Jennie di kantor, tapi tidak banyak yang kami bicarakan. Dia juga begitu sibuk, mungkin mempersiapkan timnya untuk rapat saham yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi. Sama halnya dengan Dyo, dia hampir tidak pernah terlihat di koridor kantor ataupun caferia saat makan siang. Irene selalu sigap menyediakan setiap keperluan Dyo, sehingga dia tidak perlu keluar dari ruangannya.

Dan yang paling mengherankan dari semua itu adalah makhluk yang berada di depanku. Baekhyun hyung. Dia tidak pernah bercanda dan berisik lagi. Mendekati rapat saham, wajah semakin hari semakin kaku. Dia bahkan berhenti mengunjungi club.

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Baekhyun tiba-tiba.

"Tidak ada."

"Kau menatapku dari tadi. Kau pikir aku tidak tahu? Aku memiliki banyak mata, Kai-ah." Baekhyun berkata sembari membuka lembaran berikutnya portofolio yang dari tadi dibacanya, tanpa melirikku sedikitpun. Hebat sekali! Apa dia benar-benar punya banyak mata di badannya?

"Well... Aku rasa udara di kantor ini semakin menipis, perang dingin dimana-mana." Jawabku sambil menghela napas.

"Welcome to the real business life, bocah!" Baekhyun melepaskan kacamata bacanya dan menatapku. "Keadaan seperti ini selalu terjadi saat minus 2 minggu sebelum rapat saham dan 2 minggu setelah rapat."

"Wow. Kalau begitu, kita perlu menyalakan Pemanas ekstra selama sebulan. Suasana sudah cukup 'dingin'." Aku mengalihkan pandanganku kembali ke layar komputer dan menyelesaikan beberapa dokumen yang diberikan Baekhyun pagi tadi.

"Bagaimana kuliahmu?" Tanya Baekhyun tiba-tiba. Tumben dia perhatian dengan kegiatanku yang lain selain di kantor ini.

"Fine. Aku akan ujian dalam waktu dekat."

"Baguslah." Baekhyun kembali memasang kacamata baca dan membuka portofolio yang berbeda yang ada di mejanya. "Setelah lulus, kau ingin tetap bekerja disini atau tidak?"

Aku terdiam sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Baekhyun.

"Tergantung. Kau masih membutuhkan peranku atau tidak?"

"Aku membutuhkanmu untuk Dyo." Baekhyun membuka lembaran portofolio berikutnya sambel berdehem. "Ehm. So, bagaimana hubunganmu dengan Dyo saat ini?"

"Baik."

"Maksudku―, bagaimana STATUS hubunganmu dengannya? Apa― apa kau dan dia sudah menjadi sepasang... you know, 'Lover'."

Aku berhenti menekan keyboard komputer dan menatap Baekhyun. "Tidak ada status apapun. Hyung, Dyo bukan seseorang yang percaya dengan hal seperti itu. Dia tidak ingin komitmen dan label tertentu dalam sebuah hubungan. Dia tidak ingin terikat."

"Dan kau?"

"Entahlah. Apapun yang membuatnya nyaman." Jawabku mengangkat bahu.

Baekhyun tidak mengatakan apapun pada menit berikutnya. Aku menyimpulkan bahwa pembahasan ini telah selesai. Hanya suara tekanan pada Keyboard komputerku yang bersahutan memenuhi ruang kantor Baekhyun.

"Aku dengar, kau dan Direktur Kim mempunyai hubungan yang dekat." Baekhyun kembali membuka obrolan. Belum selesai ternyata.

"Aku sudah lama mengenalnya. Direktur Kim dan aku pernah bersama-sama menjadi trainee. Ya, aku rasa kami memang cukup dekat."

"Ah... Begitu ya..."

"Kau tahu hyung, Dyo tidak begitu suka dengannya. Dia ingin aku menghentikan segala bentuk interaksi dengannya. Aku tahu, Jenn―maksudku Direktur Kim memang 'lawan'nya dalam rapat saham. Dan aku, bagaimanapun akan tetap berpihak pada Dyo. Hanya saja, memutuskan ikatan persahabatanku dengannya bukanlah hal yang perlu untuk dilakukan. Sedikit kekanakan menurutku."

"He is jealous." Baekhyun menyeringai dibalik dokumen portofolionya.

"Exactly! But he never admitted it." Aku sangat setuju dengan Baekhyun. Jika bukan cemburu, lalu apa lagi? Aku bukanlah karyawan dengan posisi yang tinggi. Aku sama sekali tidak ada pengaruhnya untuk perang rapat saham.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Moodnya sangat buruk. Lebih aman jika aku menuruti kemauannya."

"Ada baiknya kau memang menghindar dari Direktur Kim untuk sementara waktu. Setidaknya sampai rapat saham selesai. Aku khawatir, hubungan pertemananmu dengannya akan mempengaruhi kinerja Dyo dan mengacaukan fokus utamanya saat ini."

"Baik." jawabku.

Baekhyun kembali melepas kacamata bacanya dan menatapku. Ia menarik napas dalam sebelum berbicara, "Dyo bukan seseorang yang vokal mengenai perasaannya. Semakin nyata apa yang dirasakannya, maka dia akan semakin berhati-hati. Kau ingat pertemuanmu dengan Dyo pertama kali? Dia tidak ragu untuk mengatakan apapun. Lantang, jelas dan berani. Dia jauh dari rasa cemas dan khawatir, tak ada yang membuatnya takut. Mungkin dia berpikir, perasaannya kepadamu hanyalah obsesi dan penasaran yang bisa terselesaikan dalam beberapa pertemuan dan beberapa jam di ranjang. Tapi, kau lihat sendiri... Jika dia semakin irit dalam berbicara, maka bisa ku pastikan― perasaannya berada dalam tahap yang lebih serius, lebih sungguh-sungguh."

"Aku sudah mengatakan bahwa aku menyukainya. Aku juga hampir selalu berada di dekatnya. Selalu didalam jangkauannya. Apa lagi yang harus membuatnya berhati-hati? Berhati-hati dari apa?"

"Kau."

"What the h―"

"Dia berhati-hati dengan apapun yang beresiko merusaknya. Kau menyukainya dan itu membuatnya bahagia. Tapi, itu tidak cukup membuatnya yakin. Belum 100%. Perasaan kecewa pada keadaan keluarga dan tertekan selama bertahun-tahun menjadi patokannya. Kau tahu, perasaannya seringkali menjadi penyebab terburuk. Itu menghancurkannya dari dalam."

'Itu menghancurkannya dari dalam.' Aku terdiam. Perkataan Baekhyun menggema di dalam ruang kerja kami, dan memantul berkali-kali didalam pikiranku. Tak ada yang mengenal Dyo sebaik Baekhyun. Dan, ya. Aku pikir, Baekhyun memang benar. Dyo, dibalik keras kepalanya, dia adalah orang yang rapuh.

Rapuh dan kesepian.


*Windzhy Kazuma*


Jam kerja telah selesai beberapa menit yang lalu. Aku berada di lobby kantor, menunggu Dyo yang belum keluar dari ruangannya. Para karyawan sedari tadi berhamburan keluar dari lift, berjalan lesu menuju pintu keluar. Minggu yang berat, dan semua sedang bekerja keras.

Lift telah beberapa kali membawa orang-orang yang berbeda keluar. Setelah beberapa saat, lift berikutnya terbuka. Aku melihat Ayah Dyo keluar bersama Baekhyun, diikuti Dyo dan Jennie yang berjalan bersisian satu sama lain. Baekhyun sedang mengobrol ―entah membahas apa― dengan Ayah Dyo. Seperti biasa, dia terlihat bersemangat dan tersenyum lebar. Raut wajah Ayah Dyo juga terlihat rileks dan kadang menanggapi perkataan Baekhyun dengan kekehan dan senyuman. Tapi, itu tidak berlaku dengan Jennie dan Dyo yang berada di belakang mereka. Keduanya diam dan tidak berekspresi.

"Baik, aku akan ingat, Paman!" Baekhyun membuat gerakan hormat sambil terkekeh pelan. Ayah Dyo tersenyum dan menepuk pelan bahu Baekhyun, kemudian pergi kearah pintu keluar. Supir menyambutnya dan langsung membuka pintu mobil. Tidak berselang lama, mobil itu menjauh melesat meninggalkan gedung perusahaan.

Aku baru saja akan mengalihkan pandanganku kembali ke arah Dyo, saat mata Jennie dan mataku bertemu.

"Kai oppa!" Seru Jennie. Baekhyun dan Dyo ikut menoleh ke arahku. Jennie berlari kecil ke arahku, tersenyum lebar begitu mendapatiku bangkit dari sofa dan― memelukku pelan.

Dyo yang melihat kejadian ini segera memalingkan pandangannya. Dapat kulihat dengan jelas raut wajah jengkel dari Baekhyun, berikut tarikan alisnya keatas saat melihat tingkah Jennie. Aku menepuk punggungnya pelan dan berusaha melepaskan diri dari tubuhnya.

"Kau belum pulang?" Tanya Jennie setelah melepaskan pelukannya.

"Y-yeah. Masih ada sedikit urusan dengan atasan." Jawabku dengan tersenyum.

"Jam kerja telah selesai beberapa menit yang lalu, oppa. Kau bisa mengurusnya besok. Ayo, pulang bersamaku! Kebetulan, hari ini temanku membuka Grand Opening untuk restorannya, hm― tidak begitu jauh dari sini―"

"Jennie-ah, sebenarnya masih ada yang harus ku kerjakan. Dan, itu perlu konsultasi dengan― uh― Do Kyungsoo Sajangnim..."kataku terbata.

Baekhyun dan Dyo melangkah semakin dekat. Jennie mengikuti arah pandangku dan segera berbalik, menatap Dyo dengan pandangan dingin.

"Well, Jam kerja telah selesai, Do Kyungsoo Sajangnim." Kata Jennie sambil menatap Dyo. Sebuah pernyataan yang mungkin bertujuan untuk menyinggung Dyo. Baekhyun dan Dyo berhenti sekitar tiga langkah dariku dan Jennie.

"Ya." Jawab Dyo tidak kalah dingin.

"Apapun pekerjaan yang kau bebankan kepada Kim Jongin, aku rasa bisa dikerjakan besok. Beri sedikit ruang untuk karyawanmu bernapas." Suara lantang dan tidak ramah dari Jennie hampir menyita semua pandangan orang -orang yang berjalan disekitar Lobby.

"Jennie-ah!" Sergahku dengan panik. Aku mengusap pelipisku. Sigh. Ini akan memicu perdebatan baru. Jennie tidak menghiraukanku sama sekali dan tetap memandangi Dyo dengan tatapan galak. Aku melirik Baekhyun, dan yang kudapatkan hanya pandangan menuduh dengan alis terangkat.

"Tentu." Jawab Dyo tenang. Dyo bahkan menarik sebuah senyuman. Pandangannya kemudian beralih kepadaku. "Kim Jongin-sshi, aku akan menyetir sendiri hari ini. Kau bisa mengantar Direktur Kim. Semua pekerjaan akan dilanjutkan besok. Take your time." Anggukan profesional mengakhiri perkataannya. Dyo kemudian bergegas keluar kantor, diikuti oleh Baekhyun yang masih memandang sinis kearahku.

Disaster.

"Jennie! He is my boss! You can't say something like that!" Aku berusaha untuk tidak terdengar gusar. Dyo dan Baekhyun tidak terlihat lagi. Masih ada beberapa orang yang mencuri pandang ke arah kami dengan penasaran.

"Calm down. Kau harus mengatakan hal seperti itu sekali-kali, oppa. Aku tidak mengerti, dari seluruh karyawannya, why always you? Kau bahkan jadi supirnya? Kemana semua supirnya?! How cruel! Dia selalu seenaknya menggunakan kekuasaannya untuk menyuruh karyawan baru sepertimu d―"

"Jennie, he is not cruel." Aku memotong perkataannya dengan helaan napas panjang. "Yang pertama, kau harus tahu bahwa dia adalah atasanku. Kedua, aku adalah timnya dalam persiapan rapat saham. Jadi, wajar jika aku selalu berada disekitarnya, dan secara kebetulan aku selalu bisa mengerjakan pekerjaan yang diberikan. Dan yang Ketiga, aku tidak ingin berada dalam perang kalian. Let's be professional."

"Stop. Oppa, kita tidak perlu membahas ini lagi. Dia bukan seseorang yang penting untuk ku bahas. Ayo." Jennie berjalan keluar tanpa menunggu tanggapanku.

Aku menyetir dalam diam mengikuti arahan dari GPS Navigasi mobil milik Jennie. Restoran yang kami tuju tidak begitu jauh dari kantor, waktu tempuh yang dibutuhkan kurang lebih 15 menit. Sepanjang perjalanan, Jennie dengan semangat kembali mengenang masa-masa trainee kami. Sesekali aku tertawa saat mendapati kejadian-kejadian lucu yang diceritakan Jennie. Ingatannya benar-benar kuat, aku hampir lupa sebagian besar kejadian yang kami bahas.

Setelah sampai, kami segera disambut oleh pemilik restoran yang merupakan sahabat Jennie. Restoran mewah dengan dua lantai ini dihiasi berbagai macam karangan bunga ucapan selamat yang berjejer disepanjang jalan masuk dan bagian depan restoran. Jennie mengobrol sebentar dengan sahabatnya hingga salah satu staff datang dan mengantarkan kami ke tempat yang telah disediakan.

Ruangan yang kami tempati jauh masuk kedalam gedung, desainnya terlihat lebih mewah dan lebih privat jika dibandingkan dengan ruang makan di area depan.

"Early Dinner. Tidak apa-apa kan kalau kita makan malam lebih awal?" Tanya Jennie tersenyum kepadaku setelah menyerahkan menu pesanan kembali kepada staff restoran.

"Yeah."

30 menit berlalu sejak kedatangan kami di restoran ini. Hidangan super mahal dengan beraneka ragam masakan disediakan di meja, pertanda Jennie adalah salah satu tamu istimewa di Grand Opening restoran ini. Aku sedikit terburu-buru agar makan malam ini selesai dengan cepat. Jennie mendominasi percakapan selama dinner. Dia menanyakan bagaimana perkuliahanku, suasana kerja di kantor dan juga beberapa kali menyinggung tentang kencan kami saat masih remaja. Ugh― kencan. Cinta monyet. Aku tidak begitu antusias saat membahas kencan, dan berusaha mengalihkan obrolan ke topik yang lain.

"Oppa, sepertinya kau sama sekali tidak menikmati makan malam ini. Apa restoran ini tidak begitu nyaman untukmu? Aku sudah berusaha memesan ruangan yang lebih privat agar kita bisa makan malam sambil mengobrol dengan santai. Suara dari luar masih begitu jelas ya? Memang agak mengganggu―"

"No, it's okay Jennie-ah. Makan malam disini benar-benar enak. Tempatnya juga sangat bagus. Aku pikir, aku akan merekomendasikan tempat ini kepada teman-teman di kantor. Aku― Aku hanya sedang banyak pikiran. Persiapan ujian dan pekerjaan di kantor akhir-akhir ini menguasai isi kepalaku."

"Benar. Kau butuh liburan, oppa."

"Yeah, mungkin..." aku tersenyum dan bersiap untuk berdiri meninggalkan restoran.

"Aku punya beberapa rekomendasi tempat yang bagus untuk refreshing. Aku juga bisa pergi― maksudku― kalau Oppa ingin pergi, aku bisa menemanimu..."

Aku tersenyum setengah hati. Tidak ada rasa antusias sedikitpun mendengar saran Jennie.

"Get ready to go home?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Jennie mengangguk.

Jennie mengaitkan lengannya dengan lenganku saat berjalan keluar dari restoran menuju parkiran. Jika Baekhyun melihat ini, alisnya mungkin telah naik sampai diatas kepalanya. Aku membukakan pintu mobil untuk Jennie, setelah itu bergegas ke pintu kemudi.

"AhOppa, aku punya tempat yang bagus untuk minum. Kau pasti akan suka. Lagipula, hari masih terlalu terang untuk pulang, kan?" Jennie menatapku setengah berharap saat aku sedang menyalakan mesin mobil.

"Hm― aku rasa, sebaiknya kita pulang, Jennie-ah. Masih ada beberapa hal yang harus ku kerjakan dirumah. Lain kali saja, oke?"

"Ah― Okay."

Butuh waktu hampir setengah jam untuk tiba di perumahan tempat Jennie tinggal. Rumahnya cukup luas, gedung putih 2 lantai dengan ornamen berwarna cream dan coklat muda, serta halaman rumput hijau membentang yang tertata rapi bersama pijakan kaki berbentuk kotak-kotak dari gerbang menuju pintu utama rumah. Garasi mobil terletak terpisah dibagian kiri gedung rumah.

"Finally, welcome to my house, Oppa."

"Wow, kau tinggal bersama Paman dan Bibi disini?"

"Just me, oppa. Ayah dan Ibu masih mengurus beberapa anak perusahaan di New Zealand."

"Ah― begitu ya. Bagaimanapun ini adalah rumah yang luar biasa. Aku semakin percaya bahwa kau seorang Direktur." Aku memandang sekeliling sembari melepaskan seatbelt. Jennie hanya memutar matanya bosan.

"Kau tidak ingin mampir?" Jennie ikut melepas seatbelt.

"Aku harus pulang, Jennie-ah. Masih ada yang harus kukerjakan. Serius. Aku sudah tahu alamatmu, jadi berikutnya aku akan mudah untuk datang berkunjung sesekali." Aku tersenyum mengangkat bahu. Aku baru saja ingin membuka pintu mobil saat Jennie tiba-tiba menarik lenganku. Aku menoleh dan Jennie memegang pipiku, mendorong wajahnya begitu dekat hingga bibirnya mendarat tepat dipermukaan bibirku.

Aku tidak merasakan apapun. Benar-benar tidak merasakan apa-apa. Aku dapat melihat wajah Jennie dengan jelas. Cantik, tapi tidak cukup untuk membuatku jatuh cinta. Dia sedang menutup matanya. Tangannya beralih dari wajahku turun ke leherku, kemudian menyusupkan jarinya pada helai rambut di bagian belakang kepalaku.

Percuma.

Tidak membuatku bergairah. Jantungku tidak berdebar seperti saat aku melakukannya dengan Dyo.

No tension.

Tasteless.

"Jennie-ah..." Aku menarik wajahku, menjauh dari Jennie. Aku menggeleng pelan, "Jangan lakukan hal seperti ini." Kataku dengan sedih. Jennie dengan pipi yang bersemu merah menarik tangannya dari tubuhku.

"Apa langkah yang aku ambil terlalu cepat? Sorry, aku membuatmu nervous. Aku pikir, kita sudah mengenal satu sama lain― Jadi― Aku ingin hubungan kita berkembang ke arah yang lebih serius. Aku ingin kita kembali berkencan seperti dulu. Aku janji, kali ini aku tidak akan kemanapun. Aku― Aku tidak akan meninggalkanmu seperti terakhir kali―"

"Jennie-ah, I'm sorry." Aku menghela napas. "Aku tidak― bisa―"

Jennie terlihat bingung. "Jika kau ingin melakukannya dengan perlahan, it's okay Oppa. Tidak ada masalah. Oke, aku minta maaf dengan tindakanku tadi. Aku hanya ingin kau tahu, aku masih menyukaimu, Oppa."

Tidak. Tidak. Tidak. Bukan seperti ini.

"Jangan menyukaiku, Jennie-ah."

"Why?"

"Aku bukan lagi Kai yang kau harapkan. Aku bukan orang yang sama seperti beberapa tahun yang lalu."

Jennie menatapku, berusaha mencerna dengan baik apa yang baru saja kukatakan. "Tidak masalah. Kai Oppa, aku sama sekali tidak keberatan dengan dirimu yang sekarang. Aku menyukaimu, dan kita bisa memulai semua dari awal. Beri kesempatan agar aku bisa mengenal―"

"Aku menyukai orang lain." Aku menyela perkataan Jennie dengan cepat. Jennie terdiam, perlahan menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil. Jennie adalah wanita yang cantik, wajahnya hampir sama besar dengan ukuran telapak tanganku. Rambutnya panjang tergerai dengan indah. Dengan wajah dan jabatannya, dia bisa saja mendapatkan pria manapun yang disukainya dengan mudah. Tapi pria itu bukan aku. Dan aku sama sekali tidak ingin menyakitinya.

"Ah― aku benar-benar terlambat ternyata." Jennie menatap lurus kedepan.

Kami duduk dengan diam didalam mobil. Ya, lebih baik seperti ini. Lebih baik Jennie tahu bahwa aku menyukai orang lain, sebelum dia terjebak lebih lama lagi dalam kesalahpahaman. Ini tidak sepenuhnya kesalahan Jennie. Aku memberikan perhatian padanya, tapi aku tidak menyangka jika tindakanku akan memberikan kesan yang berbeda untuknya.

Entah sudah berapa menit berlalu, Jennie tidak mengatakan apapun.

"Aku pulang ya?" Kataku memecah keheningan.

"Ya." Jawab Jennie singkat. Aku menunggu beberapa detik, namun tidak ada lagi yang dikatakan Jennie. Pembicaraan ini sudah mencapai final.

"Oke." Aku tersenyum lega, mengusap puncak kepala Jennie sebelum keluar dari mobil. "Take care."

Aku berjalan menjauh, menyusuri kotak-kotak pijakan menuju gerbang rumah Jennie. Didekat gerbang, terdapat pos keamanan yang didepannya berdiri 3 orang dengan baju seragam. Aku tersenyum sopan, dan kemudian dibalas dengan senyuman ketiganya.

"Oppa!" Jennie setengah berteriak. Aku berbalik mendapati Jennie berdiri di sisi mobilnya. "Kau― kau hubungi saja aku jika ada kemungkinan, kau berubah pikiran. Aku bisa― menunggu."

Jangan menunggu, Jennie-ah. Kau akan lebih sakit hati saat mengetahui siapa sosok yang aku sukai.

"Masuklah! Udara sangat dingin." Aku melambaikan tanganku mengabaikan perkataan Jennie, kemudian berbalik menuju gerbang.

Tidak ada lagi ruang yang tersisa dariku, Jennie-ah. Dia mengambil semuanya.


*Windzhy Kazuma*


Untung saja, aku masih mendapatkan Bus terakhir. Aku baru saja tiba di apartemen Dyo saat waktu sudah menunjukkan pukul 20:06 malam. Saat aku membuka pintu apartemen, ruang tengah masih terang dengan Dyo berbaring santai di sofa, membaca sebuah dokumen. Dyo memandangku dari balik dokumennya saat aku melepaskan sepatu dan menggantinya dengan alas kaki yang lebih nyaman.

"Great dinner?" Tanya Dyo. Aku berjalan kearahnya, mengambil posisi duduk diatas karpet dengan menyelonjorkan kaki, dan punggungku bersandar pada sofa. Dyo tepat di belakangku.

"Not as great as having dinner with you." Jawabku. Aku menoleh dan mengedipkan sebelah mataku pada Dyo. Dia tersenyum mengejek, memutar matanya tidak percaya, kemudian kembali menatap dokumen.

"Well― kau pulang lebih cepat dari yang kuduga." Sambungnya.

"Yeah. Aku ingin pulang lebih cepat agar bisa menemanimu makan malam. Kau sudah makan?"

"Ya. Aku makan malam bersama Baekhyun dan Chanyeol."

"Ah― So, you have a great dinner."

Dyo menghela napas dan menutup dokumennya. "Not as great as having dinner with you." Ia menatapku dengan senyum menawan terukir di wajahnya.

Aku tidak bisa menahan diriku. Pada detik berikutnya, bibirku sudah menyentuh Bibir Dyo. Aku mengecupnya, memagutnya perlahan, menikmati berbagai emosi terbaik yang diciptakan oleh sentuhan bibirnya. Aku melepaskan ciumanku sejenak, menyelipkan jariku disela helai rambutnya yang lembut, kemudian kembali memagut bibirnya dengan lumatan-lumatan lembut.

Walau sudah berkali-kali mengecap bibirnya, debaran jantungku tidak pernah kompromi. Darahku berdesir dan sebagian diriku seakan meledak dan hanyut bersamaan didalam kelembutan sentuhan Dyo. Sempurna. Jauh berbeda dengan Jennie.

Semakin lama, ciumanku semakin panas. Lumatanku menjadi lebih kuat dengan gigitan beberapa kali di bibir bawahnya. Dyo balas meremas rambut belakangku dan melenguh nikmat.

Shit.

Aku segera melepaskan diri. Napas kami saling memburu, menghirup oksigen sebanyak yang kami bisa. Lenguhan Dyo membuat bagian tubuhku yang lain bangun. Sial. Dyo tertawa disela tarikan napasnya, dan menyandarkan kepalanya kembali pada bantal sofa. Wajahnya memerah.

"Mengapa berhenti?" Tanya Dyo saat napasnya telah kembali teratur.

"Kau melenguh dalam ciuman."

"Itu artinya aku menikmatinya."

"Yeah, dan lenguhanmu itu membangkitkan bagian tubuhku yang lain." Jawabku tersenyum masam.

Dyo tertawa ringan, menyisir rambutnya kebelakang dengan tangan kanannya. "Itu bukan masalah besar, aku bisa menanganinya." Kata Dyo dengan senyuman yang tidak lepas dari bibirnya. Aku menggeleng kepala pelan sambil terkekeh.

"Do Kyungsoo, pastikan kau bisa menanganiku. Jika tidak, kau dalam masalah besar." Kataku menyeringai. Aku kembali mengecup bibirnya dan pipinya beberapa kali. "Kita selesaikan dikamar setelah aku mandi." Bisikku menggodanya dengan nada berat sebelum beranjak dari tempat dudukku. Dyo mengangguk setuju. Pandangannya mengikutiku sampai aku menghilang masuk kedalam kamar.

.

.

.

To be continued.


*Windzhy Kazuma*


To get a new chapter, please read and review. Thank you.