Summary: Halilintar kehilangan kontak enam adiknya dan Tok Aba di Pulau Rintis yang kini sudah berubah menjadi neraka. Dibantu oleh Kaizo, mereka harus bekerja sama jika ingin terus hidup dan menyelamatkan keluarga mereka. [AU Apocalypse. No pairings/Gen. #BigBroTeamingUp.]

.

.

BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Saya tidak mengambil keuntungan materi apapun dari sini.

.

Chapter I

Kepulangan

.

.

Seseorang berlari terengah-engah di tengah kegelapan malam, pakaiannya serba putih dan berukuran terlalu besar untuk tubuh kurusnya. Kakinya tak memakai alas menapaki jalan berbatu runcing, beberapa jejak bernoda darah tertinggal di belakangnya. Pria paruh baya itu sesekali menoleh ke belakang dengan ketakutan, tak jauh darinya beberapa sorot lampu senter berkelebatan menyinari jalan gelap. Suara seru-seruan kasar terdengar jelas, para pengejarnya terdengar marah dan gusar.

Pria itu tiba-tiba menghentikan laju larinya saat ia menemui jalan di depannya terputus. Jurang yang sangat dalam, di bawahnya tampak ombak laut bergulung-gulung besar mengikis karang. Pria itu tampak frustasi namun ia segera mendapat ide. Dengan hati-hati ia merundukkan tubuhnya, bersiap menuruni jalanan yang licin, sangat terjal dan mematikan, tapi harus ia lalui jika ia ingin keluar dari sini...

"Haaarrgghhh!"

Terlambat.

Para pengejarnya telah tiba dan karena panik luar biasa, sang pria langsung terjun menuju deburan ombak nun jauh di sana—pasrah entah takdir kematian akan menemuinya atau tidak.

.

.

.

.

.

Kota Perak, Malaysia.

Seorang pria muda berumur 19 tahun tengah duduk di kelas kuliah yang telah kosong. Rambut hitam kecokelatannya tampak acak-acakan dengan sejumput rambut putih perak di poninya. Iris merahnya fokus menelaah dengan jeli baris demi baris logika algoritma pada papan tulis putih. Tangannya sibuk memberikan catatan-catatan pada diktat kuliah, otaknya ribut memproses ke dalam memori.

Tak ada siapapun di dalam kelas itu, hanya ada ia sendiri tapi ia lebih senang menyendiri—dua bulan lagi musim ujian dan ia tak mau buang waktu berbual dengan teman-teman sekelasnya yang terlalu sibuk bermain ke klub malam, berbuat hal tak berguna atau asyik pacaran. Prinsipnya, jika tak ada teman yang membawamu pada jalan kebaikan, maka tinggalkan mereka semua.

Halilintar—nama pria muda itu—lalu menaruh pena yang ia pegang dan mengamati kembali hasil catatannya yang sudah memenuhi kertas. Deret rapi tulisannya tampak memuaskan dan cukup detil, ia tak tertinggal informasi manapun. Ia bisa kuliah di fakultas komputer ini berkat beasiswa penuh dari prestasinya di bidang olahraga, jika bukan karena medali emas itu Halilintar takkan mampu kuliah di universitas terbaik Perak ini.

Karenanya Halilintar bertekad untuk kuliah sebaik-baiknya, bukannya buang waktu dan uang dengan bermalas-malasan. Ia rela memikul beratnya kuliah dengan kerja paruh waktu di sebuah kedai minuman-es krim di pusat kota—praktis menyita hampir semua kehidupan sosialnya namun ia tak ambil pusing. Halilintar bukan tipe orang yang senang dengan ramainya percakapan dan temu wajah.

Dengan bunyi "tud" pelan, Halilintar menutup jurnalnya dan ia membereskan semua alat tulis ke dalam tas. Usai rampung, si pria muda itu lalu menatap layar ponselnya. Sudah pukul tiga sore, ia harus segera kembali ke kamar asramanya dan istirahat. Esok ada tugas matematika dan laporan praktikum, ia harus segera selesaikan dengan baik agar nilai GPA-nya tetap bagus dan Halilintar bisa terus disuplai oleh beasiswa.

Memutuskan sebentar lagi waktu shalat Ashar, Halilintar lalu mematikan layar ponselnya dan memasukkannya ke saku celana. Ia berdiri dan keluar menapaki lorong kelas yang sudah agak sepi, hanya ada beberapa mahasiswa duduk-duduk sambil membuka catatan kuliah. Seorang dari kelompok mahasiswa itu memakai jaket biru tua, warna yang satu corak seperti milik Taufan, adik kembarnya.

Halilintar tiba-tiba menahan rasa nyeri tak berwujud di dadanya. Dengan perasaan membuncah, ia lantas merogoh kembali ponsel di sakunya dan menyalakan layar.

Kosong. Tak ada notifikasi pesan masuk.

Halilintar hanya diam menelan kekecewaan yang sama. Telah sebulan lebih Halilintar tak mendapat kabar apapun dari rumahnya di Pulau Rintis. Keenam adik kembar Halilintar semuanya tinggal di sana dan meneruskan kuliah di Rintis University, hanya Halilintar saja yang ingin berdikari dan pergi merantau. Walau berat keenam adiknya melepas kepergian kakak sulung mereka, tetapi mereka akhirnya merelakan tekad bulat Halilintar. Meski terpisah jauh, mereka selalu mengobrol di grup chat keluarga dan Halilintar menyukai betapa seringnya mereka berinteraksi di sana. Segala kelakuan lucu keenam adiknya itu mengusir kesepian dan kelelahan raganya. Halilintar walau tak terlalu sering menanggapi, tapi ia senantiasa tersenyum kecil ketika membaca atau menonton video keenam adiknya itu.

Sayangnya, sudah sebulan lebih keenam adiknya tiba-tiba saja tak berbicara lagi padanya. Selama kehilangan kontak itu, Halilintar terus berusaha menelepon mereka tetapi selalu gagal. Tak hanya itu, Halilintar juga sudah menelepon Tok Aba, wali mereka di sana namun tetap tak dapat dihubungi. Memang semenjak kematian kedua orang tua mereka dalam kecelakaan pesawat, Halilintar dan keenam adiknya tinggal bersama Tok Aba—dan kini mereka semua sama sekali diam tak memberinya kabar.

Halilintar kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan meneruskan langkahnya yang tertunda dengan hati lebih berat. Beban pelajaran kuliahnya di Perak bisa mengalihkan sedikit kecemasannya, namun di saat seperti ini ia mulai dihantui pikiran buruk. Apa mereka bosan berbicara padanya yang memang irit kalimat? Jika memang benar demikian, Halilintar akan berceloteh lebih banyak dan memakai emote icon serajin Taufan dan Thorn demi mereka semua. Halilintar bertekad akan lebih menanggapi obrolan mereka, asalkan mereka tidak mendiamkannya seperti ini.

Tolong berbicaralah padaku walaupun hanya "hai" saja, bisik Halilintar dalam hati. Langkahnya gontai menyusuri lorong kelas-kelas, punggungnya terasa lebih berat dengan harapan itu. Ia hanya ingin tahu kabar keenam adiknya dan Tok Aba saja. Apa ia harus menemui mereka? Tapi apakah ia akan diterima? Ia dingin sekali pada mereka, sementara mereka begitu hangat padanya. Pasti membosankan bagi mereka menghadapi tabiatnya ini.

Namun jauh di dalam hati kecilnya, Halilintar berontak menolak praduga itu. Jelas sekali ada yang tidak beres keenam adiknya tiba-tiba saja stop bicara tanpa sebab. Walaupun Halilintar itu sama responsifnya dengan balok kayu, tapi semua saudara-saudaranya sudah memaklumi tabiat pendiamnya itu dan sepanjang hidupnya, mereka hampir tak pernah menyoalkan. Kenapa baru sekarang mereka marah?

Selama ini Taufan masih tetap berceloteh tanpa koma, Gempa masih ramah-tamah padanya. Blaze masih suka mengajaknya main game ini-itu dan Thorn masih menanyakan banyak hal padanya. Solar tak pernah menyindir dan Ice masih menyapanya. Ide kalau mereka tiba-tiba saja marah karena kurang respons dari Halilintar itu sangat ganjil, Halilintar bahkan merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba dipengaruhi oleh skrip sinetron kacangan TV3.

Yang jelas, sesuatu yang sangat tak biasa terjadi dan Halilintar tidak tahu itu. Jika komunikasi gagal berulang kali, maka ia harus menemui mereka dan melihat sendiri ada apa. Tak ada manfaatnya bila hanya diam dan berprasangka, ia harus mengentaskan sendiri masalahnya tanpa memosisikan diri menjadi orang pasif yang hanya tahu mengeluh dan berangan-angan.

Halilintar lantas membuka kalender dalam ponselnya, mencari hari libur nasional. Lima hari dari sekarang ada perayaan Tahun Baru Cina yang bergandengan dengan hari Sabtu dan Minggu, mungkin ia harus pulang bersembang lagi dengan semua keluarganya.

Ada rasa lega dan gembira bercampur cemas, namun rasa leganya jauh lebih mendominasi.

.

.

.

"Tak ada lagi feri ke Pulau Rintis," kata petugas itu. "Libur."

Dengan itu si petugas kembali sibuk membongkar muatan kapal bersama beberapa buruh kasar lain, mengabaikan Halilintar. Praktis Halilintar hanya bisa pergi dari sana seraya menggendong ranselnya, alisnya berkerut-kerut tak mengerti. Ada apa gerangan? Apa karena libur tahun baru?

Burung camar berkaok-kaok ribut di atas sana, hembusan angin laut begitu kencang hingga mengibarkan jaket Halilintar. Uap air garam mulai membuat kulit Halilintar agak lengket tapi ia sudah terbiasa. Semenjak kecil mereka hidup di area dekat pantai, asinnya laut pada subuh hari senantiasa tercium samar terbawa angin. Kalau hari libur, mereka bertujuh selalu bermain di pantai hingga kulit dan rambut mereka terasa lengket oleh air garam. Entah berenang, mengail ikan, menciduk cumi-cumi atau menyelam mencari udang—hidup di Pulau Rintis sangat sederhana namun mereka hampir tak pernah mengecap kesedihan. Hanya ada tawa, tawa dan tawa. Halilintar baru menyadari betapa bahagianya ia di Pulau Rintis ketika ia sudah hidup di Perak, seluruh warna rasanya hanya ada di Pulau Rintis bersama Tok Aba dan keenam adiknya.

Halilintar memandang ke laut nun jauh di sana. Pulau Rintis tak tampak dari sini, ia perlu naik feri selama dua jam saja. Halilintar sudah terlanjur tiba di sini, hanya laut saja yang membentang jauh memisahkan dirinya dan keluarganya. Ia hanya perlu mencari tumpangan kapal—jasa penyeberangan yang biasanya beroperasi tiba-tiba saja libur. Aneh bin ajaib, biasanya dekat hari raya besar justru menjadi kesempatan untuk mengeruk keuntungan besar, bukan?

Sambil mencari ide moda alternatif, Halilintar berjalan menyusuri pelabuhan itu. Beratnya tas ransel di punggungnya hampir tak terasa, ia begitu fokus mencari akal. Tak mungkin Halilintar kembali ke Perak setelah pergi sejauh ini, pasti ada jasa sewa feri lain, ia hanya perlu mencarinya baik-baik atau bersedia merogoh saku lebih dalam...

Sayangnya hingga waktu shalat Isya sudah lewat pun Halilintar masih tak menemukan jasa feri ke Pulau Rintis. Satu kapal pun tidak ada yang pergi ke sana—padahal biasanya di hari libur saja feri masih beroperasi beberapa kali sehari dan tak hanya satu kapal saja. Sekarang pelabuhan sudah puas Halilintar susuri dari hulu ke hilir, banyak orang ditanyai, namun hasilnya tetap licin bersih tak ada feri tujuan Pulau Rintis beroperasi. Yang ada hanya kapal-kapal penangkap ikan dan ramainya pasar hewan laut tak jauh dari sana.

Hari sudah gelap sekali di pelabuhan, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan Halilintar masih berdiri di bibir laut dengan perasaan kesal, tak sabar dan hampir putus asa. Ia terduduk di pasir pantai, menyendiri dari hiruk-pikuk aktivitas pelabuhan yang sama sekali tak berhenti bahkan ketika larut malam. Halilintar menangkupkan keningnya, hatinya benar-benar berteriak tak puas. Apa ini artinya ia harus kembali ke Perak, ke kamar asramanya yang kecil lagi sunyi dan melupakan alasan mengapa keluarganya tak bisa dihubungi? Apa usahanya akan kandas di pelabuhan ini, tersandung masalah feri yang entah kapan akan beroperasi lagi?

"Ya Allah," keluh Halilintar seraya menghela nafas panjang. Ia lantas melempar pandangan pada area pelabuhan yang terang-benderang dari kejauhan, sorot matanya penuh harapan tak sampai. Mungkin memang ia harus pulang ke Perak dan mencoba lagi setelah hari raya Imlek. Mungkin di hari biasa, feri akan ada dan ia bisa pulang. Mungkin ia harus bersabar menunggu cuti akhir semester yang masih dua bulan lagi...

"Chash!"

Tiba-tiba terdengar suara sesuatu tercebur ke laut. Halilintar menoleh, mencari sumber suara itu. Di pantai ini gelap sekali, hanya ada semak belukar dan deretan pohon kelapa. Tak ada orang lain dalam radius beberapa kilometer, apa itu suara hewan?

Halilintar mengerinyitkan alis. Matanya samar-samar melihat ada sebuah kapal kecil di pantai, setengah badannya sudah mencecah air. Gelap sekali, hanya terlihat siluet saja namun masih dapat tertangkap mata sesosok laki-laki berperawakan tinggi, tengah mendorong kapal itu ke laut.

Halilintar curiga. Mengapa ada kapal nelayan di tempat sepi begini, jauh dari pelabuhan? Orang itu juga sendirian saja tanpa siapapun. Sesuatu yang aneh sedang terjadi dan Halilintar segera bangun dari tempatnya duduk. Kalau benar dugaannya, mungkin ia sedang memergoki seorang penyelundup. Tapi apa iya?

Perlahan, Halilintar berjalan mendekati sosok misterius itu dan kapalnya. Kegelapan menguntungkan Halilintar, ia bisa sembunyi di dalam gelapnya kebun kelapa. Kian dekat ia melangkah, Halilintar semakin jelas melihat sosok itu walau hanya mengandalkan cahaya bulan saja. Kapalnya sudah sepenuhnya berada di air tapi si pria masih terus mendorong, sapuan ombak merendamnya hingga ke lutut. Halilintar rasa ia bisa menggunakan keahlian pencak silatnya melumpuhkan orang ini dan membawanya ke polisi—kalau memang benar ia kurir selundupan. Ia harus memastikan dahulu.

Halilintar berhenti melangkah kira-kira tiga meter dari si pria. Baru saja ia hendak membuka mulut, pria aneh itu tiba-tiba membalikkan badannya seolah tahu ia diawasi Halilintar. Agak terkejut dengan perubahan tindak-tanduk si penyelundup, Halilintar mundur dua langkah ke belakang, tangannya terkepal erat.

"Mau apa kau?" tanyanya dengan suara gusar, wajahnya tak bisa dilihat karena gelap. Halilintar mengerutkan dahi.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu," tukas Halilintar. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Bukan urusanmu!" kata si pria asing. "Pergilah, tak ada waktu melayani bocah."

"Ooh," siul Halilintar seraya menyeringai berbahaya. "Bocah ini juga akan menyeretmu ke polisi."

Pria itu terdiam sebentar, ia tampak mengamati Halilintar—entah bagaimana raut wajahnya dan apa yang ia pikirkan. Halilintar menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya, otot-otot tubuhnya bertaut tegang. Apa orang ini akan menyerangnya?

Tiba-tiba pria misterius itu menghela nafas kecil, ia lantas menggelengkan kepalanya sedikit.

"Pulanglah," katanya dengan nada lebih lunak. "Di sini bukan tempatmu dan aku benar-benar tidak mau menyakitimu."

Gigi Halilintar bergemelatuk. Ia menatap tajam ke arah pria itu.

"Sebenarnya, aku takkan biarkan kau," katanya. "Jika aku lumpuhkan kau di sini, aku bisa mengambil kapalmu."

Dengan begitu, aku bisa ke Pulau Rintis, bisik Halilintar dalam hati.

Pria itu menaruh tangannya pada pinggangnya.

"Hooo, lalu apa tujuanmu menggunakan kapal ini?" tanyanya dengan nada setengah terhibur.

"Aku akan menyeberang ke Rintis," jawab Halilintar. "Dan aku akan merebutnya paksa darimu."

Halilintar lalu berderap maju dengan cepat, seluruh otot dan saraf tubuhnya bertautan dan ia siap melumpuhkan tanpa membunuh. Tangannya terkepal keras, siap menghantam titik tubuh tertentu—dan ketika Halilintar melancarkan serangan ofensif, tanpa diduga pria itu mengelak sangat cepat dan tahu-tahu saja kedua lengannya sudah mempraktekan shime-waza atau cekikan a la Judo pada Halilintar.

Terperanjat, Halilintar berusaha melepaskan diri dengan teknik yang ia pelajari—namun tenaga pria itu terlalu kuat menahan rontaan Halilintar dan tanpa ampun mencekik pembuluh darah serta trakea. Akibat terputusnya pasokan darah dan oksigen ke otak, kian lama tenaga Halilintar kian melemah dan kesadarannya berangsur menghilang—hingga akhirnya ia terjatuh tak sadarkan diri di pasir pantai itu, bibir dan wajahnya pucat membiru.

.

.

.

Kaizo, 29 tahun, tak suka pada perubahan rencana namun ia selalu dapat improvisasi jika ada hal tak terduga.

Dengan setengah menggerutu, Kaizo melempar seutas tali ke geladak utama. Di dekat kakinya ada Halilintar yang pingsan disandarkan pada lambung kapal, ia duduk terendam air dan air laut sudah mencapai lehernya. Kaizo beruntung Halilintar menyerangnya saat lunas kapal belum terendam tinggi, ia jadi lebih bisa mengangkut Halilintar tanpa masalah besar.

Mengakali bagaimana mengangkat beban baru itu, Kaizo membuat simpul dasar pramuka untuk evakuasi korban dan melilitkannya pada sekitar tubuh Halilintar. Setelah itu, Kaizo melemparkan ujung tali ke geladak kapal dan ia menaiki kapal tersebut, meninggalkan Halilintar yang masih terendam di dalam air.

Kaizo mendarat dengan bunyi halus pada geladak itu, setelahnya ia menengok ke bawah. Halilintar masih pingsan namun tidak tenggelam dihantam ombak. Dengan cepat Kaizo menyambar tali itu dan mulai menarik tubuh korbannya ke atas kapal. Perlahan, Halilintar terangkat naik, air laut mengucur deras dari baju dan ranselnya. Sesampainya di bibir kapal, Kaizo langsung mencengkeram tubuh Halilintar dan menjatuhkannya ke geladak tepat di sebelah tutup bak—benjol sedikit tak masalah, sebagai ganti dia sudah menyusahkanku, pikir Kaizo.

Usai itu, Kaizo melenggang pergi meninggalkan Halilintar yang masih pingsan di geladak bak hasil tangkapan laut. Kaizo ada hal penting yang harus ia lakukan, seperti melayarkan kapal ini.

Perlu waktu belasan menit bagi Halilintar untuk sadar dari shime-waza brutal Kaizo, ketika itu kapal sudah berlayar. Halilintar yang baru saja membuka matanya, langsung merasakan sensasi membanjirinya layaknya waduk pecah—kepalanya sakit, badannya kedinginan, lehernya nyeri dan ia bingung luar biasa ia berada di mana.

Limbung, Halilintar berusaha duduk sambil memegangi kepalanya yang serasa hendak pecah bertaburan, bajunya yang basah kuyup terasa menempel di kulit. Ia mengamati sekelilingnya dengan penuh tanya—ia berada di atas kapal penangkap ikan ukuran kecil. Tak ada lampu yang dinyalakan, seolah berlayar dengan bermodalkan bulan serta angin. Langit malam tampak ramai dengan taburan bintang berkedip-kedip.

"Seperti ketombe," komentar Thorn dulu. Halilintar rasa selera humor adiknya kadang merusak keindahan natural.

Agak susah-payah, tangan Halilintar meraba sesuatu dan itu adalah pagar geladak utama. Halilintar segera berdiri bertelekan itu, matanya menyapu habis bagian interior kapal. Di depannya adalah anjungan kapal tapi ia tak melihat siapapun di sana. Kapal ini gelap tanpa lampu, berlayar sendiri dan tak ada kaptennya—seperti kapal hantu. Kenapa ia bisa ada di sini?

"Sadar?" tanya seseorang. Halilintar terkesiap dan melihat Kaizo tiba-tiba muncul dari lajur kecil arah buritan kapal. Halilintar langsung waspada.

"Kenapa aku ada di sini?" tanyanya curiga. "Apa maumu?"

Kaizo mendekat, ia lalu duduk di depan anjungan.

"Kenapa kau ingin ke Pulau Rintis?" tanyanya. Halilintar mengerutkan dahi. Pertanyaan macam apa ini, soal jebakan?

"Memangnya kenapa kau mau tahu?" kata Halilintar defensif.

Kaizo lalu melempar sesuatu dan benda itu jatuh tepat di depan Halilintar. Itu dompetnya!

"Aku melihat foto enam kembaranmu dan seorang kakek di depan pantai Rintis," kata Kaizo. "Artinya kau ingin menjemput keluargamu di sana, benar?"

Halilintar hanya diam, ia meraih dompetnya dan membukanya. Tampak foto yang diambil sebelum keberangkatannya ke Perak, mereka pergi bersama Tok Aba ke tempat wisata yang baru dibangun di Rintis. Halilintar kerap memandang foto mereka ini dan entah mengapa dadanya terasa sakit. Ia rindu sekali pada mereka, ia ingin berada di tengah-tengah canda-tawa hangat mereka lagi. Bodohnya ia merantau ke Perak dan meninggalkan hal paling berharga dalam hidupnya, sekarang ia harus merasai buah dari keputusannya.

Melipat lagi dompetnya dan menelan lagi sisi melankolisnya, Halilintar mendelik tajam ke arah Kaizo yang masih menunggu.

"Bukan urusanmu," gerutu Halilintar. Kaizo mengangkat sebelah alis.

"Kalau begitu, silakan menceburkan diri ke laut sebab kau tak ada urusan," ujar Kaizo ringan.

"Dan kau malah membawaku ke atas kapal, jelas sekali kau ada urusan," balas Halilintar. Kaizo menatapnya dengan raut tak terbaca.

"Aku juga ingin ke Rintis, sama sepertimu," ujarnya. "Aku rasa kita bisa kerjasama. Jangan keras kepala, apa kau mau kulempar saja ke laut?"

Halilintar memicingkan mata dengan curiga.

"Kalau kau pikir aku akan percaya begitu saja, kau salah besar."

Kaizo memandang dingin ke arah Halilintar, jemarinya memutar-mutar sebuah pisau saku Swiss Army. Halilintar baru saja menyadari Kaizo semenjak tadi memegang senjata, lantas ia memandang Kaizo dengan waspada.

"Kalau aku mau, aku bisa saja meninggalkanmu di pantai setelah aku mencekikmu," ujar Kaizo. "Atau membunuhmu saat kau pingsan. Aku punya banyak kesempatan. Tapi saat aku mendengar kau akan ke Rintis, maka aku berubah pikiran. Aku juga hendak ke sana."

Halilintar memandang Kaizo dengan sorot tak percaya. Kaizo lalu menunjuk ke arah pukul 10.

"Sebelah sana adalah arah Pulau Rintis. Kita akan tiba dua jam lagi."

"Dengan GPS?" tanya Halilintar skeptis.

"Mana bisa aku lakukan itu," kata Kaizo tajam. "GPS dan radio hanya akan membuatku ketahuan pengawas laut dan ditangkap. Ini kapal aku dapatkan dengan diam-diam. Kau takkan menemukan kapal apapun menuju Rintis, aku harus membujuk seorang nelayan agar menyewakan kapalnya padaku dan disembunyikan di area terpencil."

Mendengar penuturan itu, Halilintar tiba-tiba teringat pengalaman nahasnya mencari feri seharian namun tak ada yang bersedia pergi. Mengabaikan perasaan curiga demi penasaran, Halilintar lalu bertanya.

"Mengapa tak ada kapal lagi ke Pulau Rintis?"

"Menurut nelayan, sudah tak ada kapal lagi ke sana sejak sebulan lebih," ujar Kaizo. Halilintar agak terkejut—keluarganya pun putus kontak padanya semenjak sebulan lebih!

"Nelayan pun tak tahu pasti apa yang terjadi, tapi sekarang laut di sekitar Pulau Rintis sudah diselubungi kabut tebal—sangat tebal hingga mereka tidak bisa melihat pundak mereka sendiri," tambah Kaizo. "Lalu tiba-tiba saja semua orang berhenti berlayar ke sana, tapi aku tak tahu mengapa. Sesuatu yang jahat terjadi di sana dan tak ada satupun media memberitakannya."

Halilintar menerawang jauh, dadanya terasa bergemuruh. Tepat dugaannya, sesuatu yang besar telah terjadi di Pulau Rintis dan semua keluarganya terancam bahaya. Halilintar sangat menyayangkan dirinya yang tidak segera datang ke mari dan berupaya mencari mereka. Sudah sebulan lebih berlalu dan banyak hal dapat terjadi dalam masa itu. Boleh jadi ia terlambat dan mereka semua sudah...

Tidak, tepis Halilintar dalam hati. Jika ia belum melihat jasad mereka itu berarti mereka masih hidup—dan apapun akan ia lakukan agar ia sampai ke Pulau Rintis dan mencari keenam adiknya serta Tok Aba. Apapun caranya ia harus tiba di sana, termasuk bekerja sama dengan orang asing yang sangat mencurigakan ini... namun ia harus tahu dahulu satu detil penting mengenai pria itu.

Halilintar lalu menatap tajam pada Kaizo yang dibalas dengan tenang olehnya.

"Kau sudah tahu alasanku ke Rintis, lalu apa motivasimu hingga kau rela bersusah payah menjemput kapal di tengah malam dan ambil resiko berlayar buta di laut lepas?"

Halilintar tak bisa membaca raut wajah Kaizo—di sini gelap sekali dan Halilintar bahkan tak tahu bagaimana wajah pria itu—namun ada keheningan berat menggantung di udara, di antara hembusan kencang angin laut dan kapal yang terombang-ambing diterpa ombak besar. Halilintar rasa pria aneh itu agak marah karena pertanyaan invasif Halilintar dan mungkin ia malah melempar Halilintar ke laut...

"Adikku di sana," gerutu Kaizo, memecah kesunyian. Ia lalu menancapkan pisau lipatnya ke lantai kayu berlapis fiber-glass tersebut seolah melampiaskan perasaannya. "Aku baru menyadari ia hilang seminggu lalu. Teman-temannya mengatakan adikku pergi ke Pulau Rintis demi hal konyol."

Halilintar bisa bersimpati mengenai itu. Ia teringat tingkah polah Taufan, Thorn dan Blaze yang suka membuatnya marah akibat hal tidak berfaedah. Namun walau kerap bertengkar, dalam situasi ini pun tetap saja para kakak akan berusaha melindungi adiknya. Entah bagaimana cerita Kaizo, namun Halilintar pun memiliki sentimen yang sama—mungkin juga Halilintar akan menyelundupkan kapal menuju perairan terlarang seperti Kaizo, membuat resiko besar ia ditangkap anggota BAKAMLA atau Badan Keamanan Laut Malaysia yang berpatroli. Namun itu harga yang pantas jika taruhannya adalah menemui keluarganya, bukan?

Dengan hati mulai mantap, Halilintar lalu memandang Kaizo yang tampak menunggunya.

"Baiklah, aku akan bekerja sama," ujarnya. Kaizo tersenyum kecil namun Halilintar tak dapat melihatnya. Ia hanya memandang figur Kaizo yang berdiri dari tempatnya dan berjalan mendekati Halilintar.

"Aku memang takkan bisa masuk ke Pulau Rintis sendirian dan kau takkan bisa sampai ke Pulau Rintis tanpa aku," ujar Kaizo. "Kita memerlukan satu sama lain."

Kaizo berdiri tepat di depan Halilintar yang masih duduk di geladak. Halilintar mendongakkan wajahnya dan tampaklah baginya wajah Kaizo—ia agak terkejut melihat parasnya yang masih muda, tadinya Halilintar mengira ia adalah pria tua karena suara baritonnya.

"Kaizo," ujarnya singkat.

"Halilintar."

Kaizo mengulurkan tangannya dan Halilintar menyambutnya.

.

.

Bersambung

.

A/N

Saya suka ngebayangin gimana kalau Kaizo dan Hali, dua kakak sulung, bersatu buat nyelamatin keluarga mereka. Pasti seru~

Ini draft sudah berbulan-bulan di kepala saya dan akhirnya ditulis setelah wabah coronavirus itu ahahaha.

Yosh, voting time~ menurut pembaca saya harus apdet mana? Ada Aux Armes - Abide With Me - Selendang Merah - Wisata dan Mochi - Living Dragons? Silakan ketik ya di kolom review ^-^

Silakan juga kalau ada kritik/saran dan tanggapannya! ^-^