Sebelumnya: Halilintar, mahasiswa umur 19 tahun di Perak kehilangan kontak pada keenam adiknya dan kakeknya selama sebulan. Ia lalu hendak mengunjungi mereka di Pulau Rintis namun menghadapi rintangan. Seorang pria aneh bernama Kaizo terlihat menyelundupkan kapal tengah malam dan akhirnya berkonfrontasi dengan Halilintar. Kaizo lalu melumpuhkan Halilintar dan membawanya bersamanya, namun dari Kaizo, Halilintar mulai mencurigai banyak hal.
.
.
Chapter II
Kabut
.
.
Halilintar memejamkan mata namun ia tidak bisa terlelap nyenyak. Ada perasaan cemas tak menentu yang menganggu alam bawah sadarnya.
Ia bermimpi ia berlari ke rumahnya dan menemukan semua orang telah tiada. Kosong tanpa jejak apapun. Halilintar kemudian berlari memeriksa tiap kamar, namun semuanya nihil. Buram muram cat pada dinding itu, padahal seingat Halilintar rumah ini sangat cerah dan menggembirakan.
Sekarang seperti semuanya diselimuti debu tebal, seolah semuanya telah pergi begitu lama. Seolah tak ada yang ingat oleh Halilintar. Seolah tak ada yang menunggu Halilintar pulang. Seolah Halilintar sudah terlambat bertahun-tahun lamanya.
Rongga dadanya terasa mencelos kosong. Panik. Takut.
Tiba-tiba semburan ombak laut yang dingin mengejutkan Halilintar dari mimpi buruknya. Halilintar terjaga dan melihat sekeliling—rupanya ia masih berada di atas kapal menuju Pulau Rintis. Kapalnya sangat gelap tanpa lampu hanya mengandalkan langit malam cerah dan rembulan. Ombak laut bergelora kuat, riaknya menghantam lambung kapal dan memercik wajah Halilintar.
Rupanya ketika ia duduk beristirahat di dek, tanpa sengaja Halilintar terlelap sejenak. Ia kelelahan akibat perjalanan panjang dari Perak menuju pelabuhan dan seharian mencari feri yang tak kunjung tiba. Wajar saja ia tiba-tiba tertidur tanpa ia sadari.
Halilintar mengusap wajah dan rambutnya yang basah, bajunya pun sama kuyupnya. Air garam membuat kulitnya agak lengket dan angin kencang malam membuatnya kedinginan. Ia lalu meraih tas ransel dan memeriksa isinya—ternyata pakaiannya masih kering, tidak terendam. Ia mengucap kalimat syukur dengan lirih.
Halilintar memasuki anjungan kapal untuk bersalin pakaian dan malah menemukan Kaizo tengah berdiri di dekat kemudi. Mereka bertemu pandang sejenak.
Ia baru saja mau berbalik tanpa berbicara sedikitpun namun suara Kaizo menahan langkahnya.
"Kita akan sampai 15 menit lagi," ujar Kaizo.
"Oke," gumam Halilintar mengiyakan.
Tak ada hati melayani percakapan pada orang asing, Halilintar berbalik menuju buritan kapal dan bersalin baju di sana.
Kaizo menatap nun jauh di depan, sebuah teropong berada di tangan kanannya. Pulau Rintis sudah terlihat, ia tahu dari dinding kabut tebal putih yang menyelimuti perairan di sekitar pulau kecil itu. Bahkan tanpa teropong pun sudah mulai tampak oleh mata telanjang dinding kabut itu—mirip tirai raksasa yang menyembunyikan Pulau Rintis. Kaizo rasa tak ada kabut begitu persisten hingga bertahan selama 24 jam non-stop dan tak hilang sampai berminggu-minggu dalam cuaca hangat seperti ini.
Kabut laut tercipta akibat udara hangat yang basah berhembus ke atas permukaan laut yang dingin. Biasanya ada saat musim semi dan musim panas, tak aneh kabut laut kerap terbentuk pada perairan hangat seperti Malaysia. Sea Surface Temperatures (SST) lazimnya harus selalu di bawah 20' Celcius agar tercipta kabut. Namun sangat ganjil jika kabut itu bertahan begitu lama dan juga sangat tebal, seakan-akan tak ada perubahan temperatur sama sekali baik di darat maupun laut.
Kaizo lalu melayangkan pandangannya pada bintang-gemintang di atas.
Jumlah bintang pada alam semesta memang tak terhitung, namun yang tampak dari bumi hanya ribuan saja. Kaizo menjadikan konstelasi sebagai pedomannya menunjuk arah selain kompas. Seperti pelaut zaman dahulu yang hanya bermodalkan ciri-ciri yang ada di alam, semenjak ia tak bisa menyalakan GPS.
Kaizo tiba-tiba teringat pada adiknya, Fang. Entah apa yang terjadi di sana, ada ribuan spekulasi berkelebatan di kepalanya. Kaizo adalah pribadi yang berkepala dingin dan percaya ia bisa mengatasi apapun yang dilemparkan padanya—hanya saja terkadang ia kekurangan petunjuk untuk menganalisa serta berhipotesis apa yang akan terjadi. Perencanaan memerlukan data yang memadai, bukan?
Tapi hilangnya Fang tak memberikan Kaizo data yang memadai—kecuali jutaan prasangka dan keharusan Kaizo untuk terjun langsung ke TKP tanpa tahu apa yang akan ia hadapi. Kaizo hanya ditinggalkan petunjuk berupa kamar Fang yang berantakan bak baru saja dijarah—lemari pakaian berhamburan isinya, kertas dan buku berserakan, lampu tidur yang pecah dan jendela yang terbuka lebar, menyebabkan dedaunan kering mengotori lantai serta tempat tidur. Kaizo juga menemukan petunjuk sebuah struk pembelian tiket kereta cepat ke pelabuhan dan absennya dompet serta ransel ungu milik Fang.
Kaizo meremas teropong pada tangannya. Retakan sebesar benang tercipta sedikit. Sudah seminggu berlalu dan banyak hal buruk bisa terjadi dalam kurun waktu seminggu. Sempatkan ia?
"Itukah kabutnya?"
Sebuah suara tiba-tiba mengusir bayangan Fang dari benak Kaizo. Pria itu menoleh dan mendapati Halilintar berada di belakangnya, matanya tertuju pada cakrawala. Ia melihat nun jauh di sana, keberadaan dinding putih seperti awan menutupi perairan Pulau Rintis.
"Ya, itu," gumam Kaizo.
"Bagaimana kau bisa navigasi di kabut setebal itu?" tanya Halilintar skeptis. "Kita bisa tersesat dan menabrak karang."
Kaizo rasa otak bocah itu tak terlalu tumpul.
"Tidak, aku kenal perairan itu."
Halilintar melirik dengan tatapan pesimis ke arah Kaizo. Alis kanannya terangkat.
"Begitukah?" ujarnya retorik. "Kuharap instingmu setajam kepercayaan dirimu."
"Aku tak memiliki rencana bunuh diri," geram Kaizo. "Aku mengarungi lautan ini dengan rencana matang. Aku tahu bagaimana melewati kabut itu."
"Sulit meyakinkan orang lain tanpa diiringi argumen valid," sindir Halilintar.
Kaizo menyeringai sedikit, ada kilat berbahaya di matanya. Halilintar tak suka itu, ia lalu mundur selangkah ke belakang.
"Lihatlah nanti," katanya. "Tapi ketika aku minta kau masuk ke anjungan, masuklah. Kunci rapat-rapat pintu dan jendela lalu sumbatlah segala lubang dan celah. Itu akan menyelamatkanmu."
Dengan itu Kaizo berbalik memunggungi Halilintar, matanya bertumpu pada gumpalan kabut yang kian mendekat. Halilintar merasa itu saran yang aneh dan cukup membunyikan alarm bahaya di kepalanya. Apa maksudnya? Memangnya apa yang akan mereka hadapi kelak?
Halilintar tak tahu harus percaya Kaizo atau tidak, dia seperti orang yang bermodal nekat saja. Bagaimana mungkin seorang pelaut, tanpa GPS dan hanya mengandalkan petunjuk alam bisa menerobos kabut yang konon tebalnya sampai tak bisa melihat pundak sendiri? Dengan apa Kaizo bisa tahu di mana mereka akan berlabuh? Mengandalkan keberuntungan belaka? Mengandalkan keberanian tanpa persiapan matang?
"Sudah mulai," kata Kaizo tiba-tiba. Ia lalu menoleh ke belakang. "Masuk ke anjungan. Tutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Jangan sampai ada celah dan lubang."
Halilintar mengerutkan alis. Sungguh perintah tak masuk akal.
"Kenapa?"
"Lakukan saja!"
Bulu roma Halilintar meremang, ia lalu berkata dengan nada yang berusaha sesopan mungkin walau ia kesal dianggap seperti anak kecil.
"Aku juga ada di perjalanan ini dan aku berhak tahu ada apa," ujar Halilintar. Kaizo tampak masam.
"Aku tak ada waktu menjelaskan. Sekarang cepat masuk sebelum terlambat."
Halilintar menahan egonya dan memilih mengalah. Ia tahu ia harus bekerja sama dengan Kaizo, karenanya ia tak boleh bertengkar dengannya walaupun Kaizo berperangai menyebalkan. Demi adik-adiknya, ia hanya harus menelan protesnya dan masuk ke anjungan. Lagipula, apa ruginya?
Halilintar berbalik dan berjalan menuju pintu anjungan tempat kapten dan kru biasa mengemudikan kapal. Dengan agak malas-malasan, Halilintar menutup pintunya dan menarik turun kaca jendela. Ia mengecek apakah jendela-jendela itu berlubang atau tidak—ternyata sudah rapat sekali. Ia juga mengecek sudut ruangan mencari celah terbuka hingga celah pintu pun ia periksa.
Sekian menit Halilintar mengitari ruangan sempit itu, dengan telaten mencari celah dan lubang. Semuanya sudah rapat sekali seperti kaleng sarden, sesuai instruksi Kaizo.
Halilintar lantas menatap ke arah kaca besar dekat kemudi kapal.
Ia melihat Kaizo masih berdiri di dek utama. Tak jauh dari kapal, terlihat dinding kabut kian mendekat. Kabut itu seolah kelambu putih raksasa, ukurannya cukup mencengangkan—memanjang dari timur ke barat dan tinggi menjulang ke langit hingga tak terlihat puncaknya.
Kabut ini seperti gerbang masuk ke alam yang bukan untuk manusia.
Kapal mereka dengan kecepatan konstan melaju membelah laut. Kaizo tampak diam mematung, seakan-akan ia menunggu diselubungi kabut itu. Halilintar tak mengerti apa yang ada di kepala pria itu namun ia cukup tegang ketika menyaksikan kapal mereka kian mendekat hingga Halilintar bisa melihat geliat putih kabut seperti kawah mendidih. Bayangan hitam berkerut-kerut pada tiap gerakan kabutnya—tampak dari dekat, kabut itu tidak seperti kabut lagi, melainkan sebuah pintu masuk ke dunia mengerikan yang berisi segala macam petaka.
Halilintar berjengit saat mulut kapal mereka mulai menerobos gumpalan putih gelap itu—tak ayal Kaizo yang berdiri di haluan langsung ditelan oleh kabut, sosoknya menghilang begitu saja. Kepulan kabut tebal perlahan-lahan menyelubungi seluruh kapal hingga akhirnya Halilintar tak bisa melihat apapun dari kaca anjungan.
Akhirnya, kegelapan total melanda. Tebalnya kabut menutupi seluruh cahaya bulan dan bintang. Bayang-bayang mulai membesar, mengancam mata manusia buta sementara. Halilintar sudah menyalakan lampu anjungan sebelum kabut menyelubungi seluruh kapal—cahaya temaram bersinar di dekat kemudi, menerangi ruangan sempit itu. Halilintar memerhatikan sekelilingnya.
Kapal ini terus berlayar menerobos kabut seolah mengantarkan mereka ke dunia gaib. Gejolak kabut tebal terlihat di kaca seperti lidah-lidah api, bergerak-gerak menjilati tiap badan kapal.
Halilintar yang dididik akhlak oleh kedua orang tuanya, mau tidak mau agak mencemaskan nasib Kaizo. Apa maunya sang pria muda berdiri di tengah kabut, bukankah kabut setebal ini dapat membahayakan pernafasan manusia?
Agak bersungut, Halilintar berbalik menuju pintu anjungan dan membukanya—terlihat kabut tebal nan gelap dan Halilintar langsung menembusnya.
Naasnya, baru selangkah Halilintar di dalam kabut, tiba-tiba saja—
"Aah! Ah!"
Halilintar berteriak kesakitan, sekujur wajah, tangan dan lehernya terasa seperti dibakar dan ditusuk ribuan jarum kecil. Dengan panik, Halilintar kembali masuk ke anjungan dan membanting pintu agar tertutup.
Halilintar ambuk ke lantai—entah apa yang terjadi namun ketika Halilintar berada dalam kabut, seluruh kulitnya yang tidak tertutupi baju langsung terasa panas dan gatal. Dengan setengah tak sadar akibat delirium, Halilintar menggaruk keras-keras wajah, leher dan tangannya bergantian. Kulitnya mulai mengelupas akibat kuatnya ia menggaruk namun Halilintar tidak merasakan sakit sama sekali. Ada sesuatu di bawah kulitnya yang perlu dikeluarkan, ada sesuatu...
"Oh, Rabbi," erang Halilintar sambil mencakari lehernya sendiri. Rasanya panas dan gatal sekali—samar ia melihat kulitnya sudah memerah dan lecet-lecet. Ia hendak berhenti namun tidak bisa, tak bisa, harus terus menggaruk. Kulitnya seolah ditanami ribuan kutu yang mengigit secara bersamaan dan Halilintar tak bisa mengeluarkan mereka dari dalam kulit. Ia menjerit frustasi.
"Aaaaahh!"
Darah mulai mengucur dari wajah dan lehernya, mengotori tangan Halilintar seolah cat marun namun ia abaikan. Kutu-kutu itu masih terus menggaruki dan berkerumun di bawah kulitnya, mereka semakin dalam menggali. Halilintar mulai mengorek kulitnya yang terkelupas agar ia bisa melihat kutu-kutu itu—darahnya kian deras keluar namun tak ada apapun, mungkin jika ia kupas lebih dalam Halilintar akan bisa melihat koloni kutu yang bersarang di bawah kulitnya—
Tiba-tiba pintu anjungan terbuka dan tampak Kaizo yang gusar. Ia langsung menutup pintunya saat melihat Halilintar yang masih asyik mencakari wajahnya sendiri hingga berdarah-darah.
"Aku sudah katakan, jangan keluar anjungan!" hardik Kaizo marah.
Halilintar tak mampu menjawab, ia dengan histeris tengah mencakari kepalanya sendiri. Rambutnya rontok dan berserakan di lantai, darahnya menodai jari-jarinya hingga mengalir ke siku. Ia berteriak putus-asa.
Kaizo segera mengambil satu jerigen air tawar di sudut dan menuangkan air tawar itu ke atas Halilintar, mengguyurnya dengan merata. Sekonyong-konyongnya Halilintar merasakan gatal dan panasnya mulai mereda, diganti dengan sensasi dingin segar. Halilintar mulai pulih dari halusinasinya, ia memandangi tangannya yang berangsur membaik meski penuh darah bercampur air. Dengan limbung setengah bingung, Halilintar menatap Kaizo yang tampak marah sekali.
"Cepat gosok kulitmu."
Seolah sedang bermimpi, Halilintar mulai menggosok wajah, kepala, leher dan tangannya. Rasa perih luka cakarannya sendiri mulai terasa di mana-mana—Halilintar meringis menahan nyeri namun ia terus mencuci kulit dan kepalanya hingga ia tak merasakan rasa aneh apapun lagi. Bau amis darah terendus samar, berbaur dengan air yang mengaliri.
Agak mengejutkan Kaizo diam dan dengan sabar terus menuangkan air tawar sampai dirasa cukup, menyebabkan lantai anjungan itu agak banjir. Halilintar merasa lega sekali, sensasi seolah ia digerogoti jutaan kutu dari dalam kulit tiba-tiba lenyap begitu saja.
Kaizo menjatuhkan jerigen kosong itu ke lantai, bunyi berisik benda kosong berdentang ribut. Halilintar mengusap wajah dan rambutnya dari air—ia lalu berdiri seraya menahan rasa perih. Air di bajunya mengalir deras ke lantai, terpercik ke segala penjuru. Kaizo tampak menjauh sedikit dari Halilintar.
"Terimakasih atas pertolongannya," kata Halilintar. "Ada apa di kabut itu?"
"Itu beracun," ujar Kaizo. "Jangan sentuh kabut itu lagi. Meskipun racunnya akan netral kalau terkena air tawar, tapi dengan apa kau akan minum?"
Halilintar termangu sejenak mendengar ujaran Kaizo barusan. Ada banyak pertanyaan mengapa kabutnya beracun dan apa yang menyebabkannya seperti itu—namun ada satu pertanyaan paling mendominasi.
"Kau tampak baik-baik saja di dalam kabut," komentar Halilintar, penuh selidik.
Kaizo tampak tak senang mendapat komentar seperti itu. Ia segera beranjak dari sana tanpa menjawab—meninggalkan Halilintar dengan banyak pertanyaan, praduga dan kecurigaan.
Siapa sebenarnya Kaizo itu? Benarkah ia hendak menjemput adiknya di sana atau ia ada maksud lain? Bisakah ia memercayainya? Apa sebenarnya kabut ini? Apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Rintis? Selamatkah mereka semua? Tidak, selamatkah ia nanti melalui ini semua?
Halilintar ada firasat ini baru permulaan dari mimpi buruk.
Ia melemparkan pandangannya pada kaca dan menatap gulungan kabut yang kian menggila, menjanjikan hal-hal mengerikan yang menunggu di dalamnya. Entah apa yang disembunyikan dalam kabut ini. Mengapa sampai menyebabkan ia gila sementara? Apa tujuannya? Siapa yang menaruhnya di sana?
Halilintar duduk di kursi kru dan memutuskan untuk berdoa dan berzikir agar pikirannya lebih tenang. Ia tak tahu apapun. Ia hanya bisa berusaha. Lagipula, ke mana lagi ia menyerahkan takdirnya kecuali Dia?
.
.
.
.
.
Sebelumnya, di Pulau Rintis.
"Mengapa langitnya aneh, Kak Gem?"
Gempa, si kembar ketiga, menoleh sedikit dari tugas kuliahnya dan melihat kembar keenam, Thorn, tengah memangku dagunya di jendela. Mata besarnya menatapi langit yang mulai gelap, awan tampak bergelombang seperti ombak.
"Mau hujan, barangkali," jawab Gempa sekenanya. Ia kembali menulis di jurnal.
"Tapi Kak Gem, warnanya aneh," tunjuk Thorn ke arah langit. Gempa hanya tersenyum kecil namun matanya masih fokus ke tugasnya.
"Warnanya seperti apa, Thornie?"
"Uh, seperti tinta tumpah," kata Thorn. Gempa tertawa.
"Yah, mungkin mau badai."
Tiba-tiba terdengar bunyi memekakkan telinga, membuat darah Gempa seolah membeku di pembuluhnya. Ia pikir ia takkan pernah mendengar suara melengking tinggi itu, seperti suara teriakan burung pemakan bangkai.
.
Sebelumnya, di Kuala Lumpur
Fang tampak frustasi.
Ia mengusap air matanya sambil terus mengacak-acak lemari, berkemas baju seadanya dan sedikit perbekalan. Ia perlu perjalanan cepat dengan barang bawaan yang ringan.
Fang harus segera mencari kakaknya yang sudah hilang begitu lama. Beberapa bulan belakangan ia sudah melacak dan menanyai rekan-rekan Kaizo yang ia kenal. Fang juga mendatangi rumah-rumah demi petunjuk apapun—namun semua usahanya nihil. Tidak ada yang mengetahui di mana Kaizo, kakaknya seolah hilang ditelan bumi.
Kuliahnya terbengkalai. Nilai sempurna A-nya jatuh drastis. Ia jarang memakan apapun hingga tubuhnya kurus sekali, beratnya turun 14 kilogram. Fang tak peduli, ia terlalu terpuruk dalam depresi saat tahu pencariannya berbuah sia-sia.
Hingga hari itu ia mendapat pesan dari nomor tak dikenal. Isinya hanya seperti ini.
["KAIZO PULAU RINTIS"]
Fang segera membuang segalanya dan memesan kereta tercepat ke sana.
.
.
.
.
.
Kapal itu akhirnya berhenti dan menabrak sesuatu entah apa itu. Suaranya cukup nyaring hingga mengejutkan Halilintar—apakah mereka menabrak karang? Atau benda lain?
Halilintar yang duduk di anjungan segera berdiri dan menatap kaca lekat-lekat namun semuanya masih ditutupi kabut tebal. Ia hanya bisa menebak-nebak tanpa bisa mengecek situasi di luar sana.
Pintu anjungan tiba-tiba dibuka dengan keras, Halilintar terlonjak kaget. Tampak Kaizo masuk dengan terburu-buru, pakaiannya sudah compang-camping dan hampir hancur seolah ia baru saja selamat dari kebakaran besar. Tercium bau aneh seperti bau bangkai dari tubuhnya, agak bercampur dengan bau amis dan air laut. Halilintar heran sekali melihatnya namun ia diam saja.
"Minggir!" seru Kaizo sambil mendekati kemudi kapal. Halilintar dengan senang hati menjauh dari Kaizo—ia tak pernah bertemu orang yang bisa membuat dirinya bingung sesering ini.
Kaizo tampak sibuk pada area kemudi, entah apa yang ia lakukan tapi tindakannya membuat laju kapal menjadi sangat melambat seolah sebentar lagi berhenti. Kaizo lalu memandang Halilintar.
"Kita sudah sampai," ujarnya. Halilintar sangsi dengan klaim itu tapi ia tahan diri dari mengkritik.
"Oke," katanya. "Tak bisa pastikan apapun karena kabut."
"Melewati pantai, kabut pasti hilang," kata Kaizo. "Tutupi kepalamu, wajah dan tangan dengan kain. Kau tak mau kejadian seperti tadi terulang, bukan?"
Kaizo lalu pergi dari sana, entah apa lagi yang ia kerjakan. Bau bangkai, amis dan air laut masih tersisa di anjungan, Halilintar tak paham asalnya dari mana—namun ia tepis pemikiran itu dan segera merogoh tasnya untuk mencari sesuatu.
Sebentar lagi, sebentar lagi ia akan bertemu Tok Aba serta keenam adiknya. Jantung Halilintar berdetak lebih keras rasanya. Apa yang akan ia temui di sana?
Halilintar cepat-cepat memakai sarung tangan hitam dan jaket berlengan panjang—luka bekas cakarannya terasa pedih saat bergesekan dengan kain. Ia pun memasang topi berlidah merah-hitam dengan agak meringis karena luka cakar di kepalanya namun Halilintar tak tahu bagaimana ia melindungi wajah dan kepalanya dari racun kabut.
Halilintar berusaha mengakali. Ia menyelubungi kepalanya dengan kaus sampai wajah dan lehernya tertutup sempurna. Ia menahan perihnya serat kain bergesekan dengan luka cakar yang masih basah di wajahnya—sayangnya ada masalah baru.
Bagaimana ia bisa melihat jalan kalau matanya tertutup? Tapi jika matanya terbuka sekalipun, bagaimana ia bisa melihat di tengah kabut tebal begini? Sama saja hasilnya bukan?
Dengan wajah masih terbalut kaus, Kaizo tiba-tiba masuk. Ia sudah berganti pakaian meski tanpa pelindung apapun. Halilintar tak bisa melihat sosoknya tapi ia mendengar langkah cepat Kaizo mendekatinya.
Tanpa banyak bicara, pria itu mencengkram lengan Halilintar dengan kasar dan menariknya keluar anjungan.
Sambil menahan rasa sakit di lengan dan rasa agak jengkel, Halilintar pikir ia tak perlu repot-repot lagi memikirkan bagaimana ia melihat jalan.
Langkahnya agak tersandung-sandung karena Halilintar tak bisa melihat apapun, namun pria itu sepertinya tidak memiliki hambatan apapun berjalan di dalam kabut. Dari balik kausnya, Halilintar mencium bau bangkai dan amis semakin keras berhembus, bercampur dengan bau mineral. Darimana asalnya? Sepanjang ingatan Halilintar tinggal di Pulau Rintis, ia tak pernah mencium aroma memuakkan seperti ini.
Mereka berhenti berjalan dan kaki Halilintar melanggar sesuatu. Ia merabanya dan rupanya mereka sampai di bibir kapal, ada pagar di tepian. Lantas bagaimana ia turun?
"Lompat," perintah Kaizo.
Halilintar memanjat pagar haluan, Kaizo masih menahan lengannya agar tak jatuh. Ia lalu melompat ke bawah tanpa tahu ia akan mendarat di mana.
"Bugh!"
Kakinya tiba-tiba terbenam ke pasir basah. Lumpur terpercik ke segala arah, sepatunya terbenam seluruhnya. Agak kesusahan, Halilintar mencabut kakinya dari lumpur dan berjalan ke tempat agak kering dengan sepatu agak berat—detik berikutnya Kaizo menyambar lengannya lagi dan setengah menyeret Halilintar ke rute yang Kaizo inginkan. Halilintar merasa seperti tahanan penjara saja namun ia tahan lidahnya dari protes.
Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Tok Aba serta keenam saudaranya. Ia bisa bersabar dengan perlakuan tidak enak, justru berkat Kaizo ia sampai ke mari meski Halilintar tak tahu apa yang Kaizo inginkan darinya.
Dengan membisu, mereka berjalan menyusuri tanah berpasir dan berkerikil, sesekali kaki Halilintar tersandung gundukan akar kelapa dan terjerat rumput menjalar—sekitar tiga puluh menit mereka berjalan tergesa-gesa. Lengan Halilintar yang dipiting Kaizo mulai terasa kebas akibat kuatnya tenaga pria itu, namun Halilintar bisa menahannya.
Untungnya Kaizo tiba-tiba berhenti berjalan dan melepaskan tangannya dari lengan Halilintar.
"Lepaskan penutup wajahmu."
Cepat-cepat Halilintar melepaskan kaus yang membalut kepalanya dan ia menyaksikan pemandangan tidak biasa.
Ini adalah jalan utama menuju kota, ada banyak toko-toko dan bangunan, lalu rumah-rumah penduduk—tapi semuanya kosong melompong. Suasananya gelap sekali tanpa satupun lampu penerangan, apalagi ini sudah lewat tengah malam. Tak hanya gelap gulita, jalanan pun tampak penuh sampah berserakan serta barang-barang toko yang berhamburan keluar. Kaca-kaca pecah, pintu-pintu rusak dan terbuka lebar. Buram dan kusam, penuh debu serta tanah.
Pulau Rintis sudah menjadi kota mati.
Jantung Halilintar seperti diremas kuat-kuat. Apa semua keluarganya masih hidup? Apa mereka semua selamat? Apa mereka baik-baik saja tanpa merasakan penderitaan?
Atau ia sudah terlambat?
Dengan perasaan hancur, Halilintar melangkah maju perlahan, matanya menelisik tiap jengkal bangunan dengan tak percaya.
"Apa... apa-apaan ini?" tanya Halilintar lirih.
"Ayo kita cari mereka," ujar Kaizo. "Kita harus berjalan memanfaatkan kegelapan. Jangan berjalan di tempat mencolok."
"Kenapa?" tanya Halilintar. "Kenapa harus bersembunyi? Apa yang kita hadapi?"
"Mereka bisa menangkap kita."
"Siapa mereka ini? Siapa kau sebenarnya? Kau seperti tahu semua ini," desis Halilintar curiga.
Kaizo mengerutkan alisnya tanda ia tak terpengaruh amarah Halilintar.
"Aku akan ceritakan tapi kita tak bisa berlama-lama di sini. Lebih baik kita bergerak sekarang."
"BRAK!"
Terdengar bunyi benda jatuh dari arah belakang. Kaizo dan Halilintar langsung waspada, mereka hening sejenak menajamkan telinga. Beberapa detik berlalu tanpa ada suara lain, Kaizo menatap Halilintar dengan alis terangkat sebelah. Halilintar mengangguk kecil, setuju penjelasan ditunda sampai masa yang tepat.
Mereka mulai berjalan menapaki jalanan yang lenggang itu, menghadapi takdir apapun yang menunggu mereka di sana.
.
.
Bersambung
.
A/N
Terimakasih kepada 0Aozora0 - society-kun - Owloka - Strawberry Cheesecake14 - ReincArte - nyankuro - puput - Anstian - Darklulin - a. .7 - Chanderione - Wafferoll Deka - Ramboochan - hannabiramochi yang sudah menyempatkan diri untuk membaca dan review! Ehehehe~
Moga kalian semua sehat-sehat ya aamiin!
Silakan review~
