Sebelumnya: Seminggu lalu, Fang, adik Kaizo pergi ke Pulau Rintis atas pesan dari nomor tak dikenal. Sebulan yang lalu, Thorn, adik kembar Halilintar, bertanya pada Gempa mengapa langit di kota mereka tampak aneh. Di masa sekarang, Halilintar dan Kaizo sudah tiba di Pulau Rintis. Kabut beracun yang menyelubungi pesisir berhasil mereka lewati, dan mereka menemui suasana Pulau Rintis yang sunyi sekali tanpa kehidupan. Bangunan ditinggalkan dan tak ada listrik. Halilintar mempertanyakan identitas Kaizo yang seolah tahu sesuatu namun ia sembunyikan.

.

.

Chapter III

Pertanyaan

.

.

Pulau Rintis, 02.55 AM, dinihari.

Malam mulai berakhir namun kegelapan pekat masih menyelubungi separuh wajah bumi. Tak ada satu pun pelita di sini, memaksa Halilintar dan Kaizo mengandalkan cahaya pucat bulan saja untuk navigasi. Bayang-bayang terlihat seperti raksasa hitam yang menggerayangi tiap langkah mereka, menyembunyikan kedua figur dari mata-mata yang mengintai.

Kaizo tiba-tiba berpaling dan menyelinap masuk ke sebuah ruko yang pintunya tergulung separuh, tampak sampah dan barang dagangan berhamburan di halamannya. Di belakang Kaizo, Halilintar terus mengekor sambil terus menyapukan matanya. Ia pun ikut memasuki ruko.

Matanya hampir tak bisa melihat apapun, kecuali siluet tubuh Kaizo yang melangkah kian dalam. Halilintar segera menyusul, matanya berusaha fokus pada punggung Kaizo agar tak kehilangan jejaknya. Sayangnya mata manusia hanya bisa melihat dalam cahaya minimum saja sebelum benar-benar buta. Kian dalam mereka masuk, Halilintar semakin kehilangan sosok pria itu.

Tanpa sengaja kaki Halilintar tersandung barang, suaranya cukup berisik menggema di kegelapan. Hampir saja ia jatuh terjerembab, namun berhasil ia atur keseimbangannya. Halilintar hendak memanggil Kaizo ketika ia melihat seberkas cahaya api, pantulan sinarnya melompati dinding. Halilintar berjalan cepat-cepat dan menemukan Kaizo berada dalam ruangan berisi meja dan lemari, sebatang lilin dinyalakan. Halilintar menerka ruangan ini dahulu tempat pemilik ruko menyimpan arsip, ia melihat banyak sekali kertas nota berceceran di lantai.

Kaizo tiba-tiba menutup pintu ruangan, memerangkap cahaya lilin hanya pada kamar itu. Halilintar melipat tangannya di dada.

"Jadi?"

Pria itu mengerling dan duduk di lantai. Halilintar mengikuti gesturnya.

"Dahulu, aku ditugaskan ke Sabah," ujar Kaizo. "Aku mantan tentara. Tugasku patroli laut bersama timku, menjaga perbatasan negara dari kapal penyelundup."

"Sulit," komentar Halilintar.

"Yeah," sahut Kaizo. "Perbatasan laut lebih susah diawasi daripada darat, banyak celah bagi para penyelundup membawa paket narkoba atau mengeruk hasil laut luar wilayahnya. Aku ditugaskan cukup lama di pesisir Sabah hingga tiba-tiba aku dimutasi ke pulau terpencil, sekitar dua kilometer dari Pulau Rintis. Mereka menjulukinya Pulau Bakau karena hutannya dan masih termasuk gugus Kepulauan Rintis Tua. Mutasi ini tak terduga dan sangat jauh dari tempat asalku, namun pemindahan adalah hal wajar maka aku tak pernah menaruh curiga."

Ekspresi Kaizo tampak mengeras setelahnya, urat-urat di lengannya mulai bermunculan. Dari pendar lilin yang lemah, Halilintar melihat iris Kaizo tampak merah seperti lahar gunung. Alisnya berkerut. Apa ia salah lihat?

"Aku tidak dimutasi untuk menjaga markas. Aku dimutasi ke sebuah bangunan besar dan tiba-tiba aku tak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi padaku, aku tak ingat sama sekali. Semuanya seperti mimpi. Namun saat akhirnya tersadar, aku terbaring di hutan, tak jauh dari bangunan itu."

Kaizo ingat sensasi ketika ia terjaga—kepalanya seperti disumbat kapas, seluruh otot tubuhnya bertautan dan lima panca indera menghantamnya dengan stimulus intens bak gelombang tsunami. Sistem sarafnya seakan digigiti ribuan semut merah, tiap jengkal tubuhnya terbakar api imajiner.

Ketika itu ia bisa mendengar suara cicit tikus yang jauh sekali. Ia bisa melihat burung yang mengepak satu kilometer dari tempatnya. Ia bisa mencium bau lebih tajam daripada sebelumnya. Seluruh informasi sensoriknya membanjiri otak dan menuntut diproses. Kaizo hampir gila rasanya tiba-tiba ia merasai hal-hal yang seharusnya tidak bisa ia rasai.

Namun ia tak memberitahu bagian itu pada Halilintar. Kaizo rasa Halilintar yang merupakan orang asing tak patut mendapatkan informasi berlebihan, tapi anak muda itu harus tahu sesuatu yang buruk terjadi di sini. Konspirasi besar.

Tak perlu Halilintar mendengar bagian pelik itu, ia saja sudah tercenung mendengar kisah singkat Kaizo. Menurutnya, cerita Kaizo justru menambah misteri.

"Apa yang terjadi setelahnya?"

"Ada sekawanan pria membawa senjata laras panjang memburuku, aku tak mengerti mengapa aku dikejar. Aku lari ke pantai. Di sana ada kapal tertambat dan aku berhasil pergi walau harus dihujani tembakan ketika mereka sadar aku mencuri kapal. Bahan bakar hanya cukup sampai Pulau Rintis, jadi aku berhenti di sini dan melanjutkan pelarian. Anehnya, mereka tidak mengejarku lagi. Aku menumpang feri ke seberang."

"Apa mereka menghadangmu di pelabuhan?" tanya Halilintar heran. Kaizo mengerinyit.

"Memang ada pemeriksaan ketat tapi aku berhasil lolos."

"Mengapa kau dikejar? Apa yang kau lakukan?" tanya Halilintar tak mengerti.

"Aku tak melakukan apapun, setidaknya itu yang kuingat," ujar Kaizo. Kepalanya mulai terasa berat ketika berusaha mencari potongan memori. Hasilnya selalu nihil. Memorinya bersih, ia hanya mampu mengenang saat ia mendapat perintah untuk pindah. Setelah itu, semuanya gelap.

"Sesampainya di sana, bagaimana kau bersembunyi?" tanya Halilintar.

"Aku bersembunyi sebisaku dan menjauhi kota besar seperti Kuala Lumpur. Itu sulit sebab satu-satunya keluargaku, Fang, ada di sana. Aku khawatir mereka menangkapnya dan membawanya sebagai alasan memerasku agar keluar. Selama berbulan-bulan aku bersembunyi dan tiap minggu, aku melakukan perjalanan ke universitas tempat Fang kuliah untuk mengecek keberadaannya. Berbulan-bulan aku berhasil menghindari deteksi dan tiba-tiba saja Fang hilang. Saat aku berhasil tiba di rumahnya, aku melihat struk pembelian tiket untuk menyusul ke sini."

Kaizo memejamkan matanya erat, seolah menahan emosi. Halilintar dapat bersimpati padanya. Enam adik kembarnya dan kakeknya hilang tanpa kontak—melihat situasi sekarang di Pulau Rintis yang jauh dari kata stabil dan normal hanya membuat Halilintar semakin diserang rasa gundah. Pertanyaan yang terus berkelebat di benaknya hanya "apakah mereka semua masih hidup?".

"Ini akan menjadi pencarian sulit, tapi mari kita uraikan dahulu," ucap Kaizo lagi. "Untuk sekarang kita harus tahu ke mana mereka semua. Ada ribuan penduduk di Pulau Rintis, takkan mungkin mereka raib tanpa jejak sama sekali. Sayangnya, memeriksa satu per satu rumah itu pekerjaan tidak efisien. Kita harus mulai dari tempat yang kita kenali dan mulai investigasi dari sana."

Halilintar menelan ludahnya. Kaizo menyilangkan jemarinya, matanya yang sewarna batu rubi tampak berkilat-kilat.

"Aku tak pernah tinggal di sini tapi kau lahir dan besar di sini. Kita cari rumahmu dan dari sana kita bisa mencari petunjuk. Mereka pasti meninggalkan sesuatu untukmu... sebuah pesan atau cerita."

Halilintar mengepalkan tangannya, jantungnya berdebar keras sekali. Apa yang akan ia temukan di sana?

.

.

.

Satu minggu yang lalu.

Fang merengut marah, matanya menatap ke arah cakrawala seolah menuntut jawaban.

Ia cemas. Keringat dingin membasahi kulitnya dan telapak tangannya mendingin. Ia panik karena tak bisa ke Pulau Rintis, pekerja di pelabuhan berkata kalau sudah beberapa minggu semua feri libur. Tak ada kapal yang akan pergi ke sana, desas-desusnya ada kabut tebal aneh menyelimuti sekeliling pulau kecil itu.

Fang masygul ketika pencarian kakaknya harus tersandung di masalah merepotkan macam moda transportasi. Ia harus cari cara lain, ia harus dapat cara lain!

Fang mengurai benang kusut pikirannya, ia menarik nafas dalam-dalam. Tenang, tenang. Kaizo adalah personel tentara, ia kuat dan cerdik. Ia bisa mempertahankan diri. Ia tahu apa yang harus ia lakukan di situasi genting. Ia pasti baik-baik saja.

Lalu mengapa ia harus mengkhawatirkan Kaizo? Kalau Kaizo yang lebih mumpuni daripada dirinya saja bisa terjebak masalah, apalagi dirinya yang lemah itu?

Fang cepat-cepat menepis ide menganggu tersebut. Ia kemari karena ia mendapat pesan teks misterius yang hanya berbunyi "[KAIZO PULAU RINTIS]". Itu cukup mengejutkan Fang karena kakaknya bertugas di pesisir Sabah, bukan di Pulau Rintis. Jauh sekali dari tempat semula. Pantas saja Fang kehilangan jejaknya, rupanya selama ini ia mengendus bau yang keliru.

Fang yakin sekali ini isyarat dari kakaknya untuk menemuinya di sana. Jika Kaizo meminta bantuannya, itu bermakna ia menganggap Fang mampu melakukan sesuatu. Kaizo bukan tipe kakak yang akan mengorbankan keluarga satu-satunya untuk keselamatan dirinya. Kaizo takkan ingin menaruh Fang dalam skenario penuh pisau. Fang adalah prioritasnya nomor satu, meski Kaizo tak pernah mengutarakannya. Ia bukan orang yang pandai merangkai kata-kata atau merasa wajib menjelaskan dirinya.

Karenanya Fang yakin Kaizo memintanya ke Pulau Rintis pasti karena sesuatu yang penting, namun tidak akan membahayakan keselamatannya.

Fang menyusuri bibir pantai, agak jauh dari hiruk-pikuk pelabuhan. Ia harus menemukan kapal yang bertolak ke sana, tapi siapa yang mau menyewakan?

Mata Fang menatap deretan kapal layar berukuran medium. Warnanya putih bersih, tersusun rapi di dermaga. Fang rasa kapal-kapal ini milik perorangan, lazimnya para pengusaha untuk berlibur atau untuk dijual.

Tiba-tiba dalam benak Fang, terbit pikiran jahat ingin mencurinya saja namun segera ia urungkan karena ia tak tahu bagaimana mengoperasikan kapal. Lagipula, mencuri justru memperumit masalah.

Fang menghela nafas dan mengusap wajahnya dengan kasar. Nafasnya gemetar dan ia menahan diri untuk tidak berteriak marah. Selama beberapa bulan ini ia sudah stress luar biasa akibat Kaizo yang hilang kabar. Ia berusaha menyeimbangkan usaha pencariannya dan waktu kuliahnya, walau kerap terbengkalai. Jika saja bukan karena janji pada kakaknya, Fang pasti sudah mengundurkan diri dari kampus dan fokus mengejar jejak Kaizo.

Ia takut suatu hari nanti ia akan dipaksa menerima realita di mana ia sebatang kara. Ia sudah kehilangan kedua orang tuanya, tak ada lagi keluarga dekat yang bisa ia percayai dan kini Kaizo juga meninggalkannya. Ia tak memiliki siapapun lagi—Fang memegang erat pada talian darah ini dan Kaizo pantas diperjuangkan sedemikian rupa. Kaizo pantas mendapatkan usaha terbaiknya walau akan membuat Fang menjadi debu dan abu.

Namun jikalau pada akhirnya ia gagal juga, Fang takkan menyesal terlalu dalam karena ia sudah mengucurkan tiap tetes darahnya demi ini. Karena ia sudah memerah habis sari pati jiwa dan pikirannya ke pencarian ini. Kaizo keluarganya. Kaizo adalah keluarga satu-satunya. Ia pantas diperjuangkan!

"Hei!"

Fang terperanjat dan menoleh, seorang pria muda berwajah ramah berlari menghampirinya. Insting Fang menjerit tanda bahaya namun ia abaikan.

Lelaki itu tersenyum sopan padanya, ia berhenti berjalan dan berdiri di dekat Fang.

"Anda Fang?" tanyanya.

Fang kian merasa curiga, ia mundur beberapa langkah ke belakang. Dari mana orang ini tahu namanya?

"Namaku bukan Fang," dustanya. Lelaki itu tersenyum tawar.

"Saya tahu Anda Fang, sayalah yang mengirimkan pesan keberadaan kakak Anda," ujarnya tenang. Mata Fang terbelalak tak percaya.

"Siapa Anda? Di mana kakakku?"

"Ah, sebaiknya kita berbicara di kapal. Anda tak menemukan feri ke Pulau Rintis, bukan? Saya sudah menyiapkan keberangkatan kita."

Lelaki muda itu memberikan gestur pada Fang agar mengikutinya, ia sendiri mulai melangkah tanpa menunggu.

Ada banyak alasan jika mengikuti orang asing penuh misteri adalah hal yang sangat berbahaya, instingnya berderik ribut memintanya lari sejauh mungkin. Itu ide sangat buruk dan pencariannya bisa kembali lagi ke poin awal.

Namun Fang yang tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan, dengan mudah mengabaikan peringatan di benaknya. Tambah lagi pria ini menjanjikan kapal untuk menyebrang dan tahu posisi Kaizo, maka dengan hati bimbang Fang menyusul sosok pria misterius tersebut. Demi Kaizo. Semuanya demi keluarganya.

Sayang beribu sayang tak terbetik di benak Fang pertanyaan mengapa orang ini membantunya dan benar-tidaknya informasi keberadaan Kaizo di Pulau Rintis.

.

.

.

Pulau Rintis, 03.28 AM, dinihari.

Halilintar dan Kaizo berjalan menyusuri jalan utama menuju rumah Tok Aba. Kegelapan pekat menyelimuti segala bangunan tegak, hanya cahaya redup dari bulan yang bersinar seperti lilin hampir padam. Setiap sudut hanya siluet, seakan menyimpan kengerian yang menunggu dilepaskan.

Kaizo enggan memakai senter atau sejenisnya, ia menyarankan untuk terus berjalan di bawah bayang-bayang agar tidak mencolok. Halilintar rasa itu masuk akal dan ia menuruti sarannya tanpa membantah.

Halilintar menyapukan pandangan, langkah kakinya terus bergerak tanpa jeda. Tak terdengar suara apapun kecuali angin malam menerpa dedaunan, menciptakan suara gemerisik lembut. Ia tak terbiasa dengan suasana sesunyi ini, seolah diamnya pertanda datangnya bencana lebih menyesakkan.

Memang aneh insiden ini—ada ribuan penduduk di Pulau Rintis dan ke mana mereka semua? Kuasa mengerikan macam apa yang bisa menghilangkan ribuan orang tanpa jejak?

"Masih jauhkah rumahmu?" tanya Kaizo. Suaranya berbisik.

"Belok kanan dan kita memasuki wilayah perumahan."

Mereka tak berbicara lagi hingga mereka sampai di rumah Tok Aba, 20 menit kemudian. Seluruh nafas Halilintar seakan terhempas keluar ketika melihat kondisi rumah mereka.

Rumah itu gelap seperti rumah-rumah yang lain, pagarnya terbuka separuh dan rusak parah. Halilintar menyentuh teralisnya dan ia rasa pagar ini terkunci ketika dihantam keras dari luar hingga bengkok, entah apa itu.

Dengan perasaan horor menggelayuti hati, Halilintar memasuki halaman yang semrawut tersebut. Ia menyadari pintu depan rumah Tok Aba sudah hancur, engselnya menggantung dan daun pintunya hampir roboh. Serat-serat kayunya berserakan, banyak sekali bekas guratan memanjang seolah-olah...

"Mirip cakaran hewan buas," komentar Kaizo. "Sebesar beruang, mungkin."

Dengan telinga berdenging keras bak peringatan, Halilintar segera memasuki rumah itu diikuti Kaizo. Gelap sekali hampir tak terlihat apapun namun cahaya rembulan merembes dari jendela-jendela yang belum ditutupi tirai. Terlihat banyak perabotan yang terbalik dan berserakan, sebuah lemari terguling memuntahkan isinya dan tiga bilah pisau kotor tergeletak di lantai.

Suasananya melukiskan kegemparan luar biasa.

Mereka terus berjalan melewati tiap ruangan—hingga sesampainya di ruang keluarga, Halilintar tak bisa menahan sesengguknya ketika menyaksikan cipratan besar darah kering di dinding dan robekan dua jaket adiknya, Taufan dan Gempa, di lantai. Tangan Halilintar gemetar hebat saat ia memungut serpihan baju adiknya yang dibercaki darah lama, warnanya telah berubah menjadi kecokelatan.

Halilintar berlutut dan mencengkram serpihan jaket adiknya, air matanya mengalir dalam diam. Hatinya terasa remuk-redam membayangkan ribuan skenario adik-adiknya dibantai tanpa ampun, jeritan minta tolong mereka, rasa takut dan ngeri menjadi penutup hidup mereka semua... dan Halilintar sama sekali tidak tahu, ia aman sentosa di Perak. Halilintar tak mampu membayangkan lebih jauh lagi saat perasaan berduka dan bersalah menindihi pundaknya dengan ribuan ton besi. Tak ada bedanya rasa sakit dicabut tiap bilah tulang rusuknya dengan tragedi ini.

Halilintar mengeluarkan suara sesenggukan seraya membenamkan wajahnya pada jaket Taufan dan Gempa, aroma kematian menguar kental dan membuatnya terasa seperti pecundang paling besar di dunia ini.

Bagaimana ia bisa berjalan membawa kesedihan seberat ini? Tanpa sadar Halilintar mengigit bibirnya hingga berdarah dan menangis sejadi-jadi. Pedih sekali rasanya saat ia kehilangan sebanyak ini, seakan-akan ada jari yang merenggut paksa jantungnya ketika masih berdetak. Halilintar takut ia akan berjalan sebatang kara, membuka lembar demi lembar hari dalam bisu. Tak ada lagi rumah, semuanya hangus terbakar tanpa sisa apapun.

Halilintar merasa hilang untuk pertama kali dalam hidupnya. Raungan itu begitu memekakkan telinga dan membuat dunia senyap walau sekejap.

"Mereka mungkin masih hidup," kata Kaizo, membuat Halilintar teringat ada orang lain bersamanya. "Selama belum ada jenazah, sangat mungkin mereka selamat di suatu tempat."

Bait kalimat Kaizo seakan air dingin yang membasuh kepalanya dan Halilintar membiarkan pemikirannya berlayar menjauh, membiarkan harapan mulai berbunga dalam hatinya. Perlahan, ia menoleh pada Kaizo. Koyakan jaket Taufan dan Gempa masih dalam pelukannya.

Wajah Kaizo tampak tenang namun matanya menyorotkan simpati. Ia berlutut di sisi Halilintar, tangan Kaizo terasa hangat ketika menyentuh belikatnya.

"Darah kering ini memang banyak tapi tak cukup membuat orang mati," ujar Kaizo, berupaya menenangkan. "Lagipula, kau tak bisa bergelimang kekalutan padahal ini baru permulaan. Jangan menarik kesimpulan terburuk pada bukti sedikit. Ada peluang kalau adik-adikmu menunggu ditemukan."

Kata-kata Kaizo sedikit menawarkan rasa pahit di lidah. Mungkinkah semua adiknya masih hidup? Jika Halilintar cukup fokus, ia bisa bertahan dengan pemikiran demikian—selama ia belum melihat jenazah mereka, sangat mungkin mereka selamat di suatu tempat. Sangat mungkin mereka semua masih hidup dan menunggu ditemukan.

Halilintar menggenggam harapan itu walau setipis benang dan serapuh rumah laba-laba. Apapun itu, selama ia bisa terus berjalan lagi. Apapun itu, lebih baik daripada bayangan semua keluarganya mati mengenaskan. Apapun itu selama ia bisa berdiri lagi dan mencari mereka lalu memeluk mereka semua. Rasa rindunya sudah terlalu membuncah, sulit ia bendung. Dia berjanji takkan berpisah lagi pada keluarganya, semuanya akan ia hadapi bersama-sama.

Halilintar merasakan tangan Kaizo meremas pelan pundaknya. Ia tak menyangka Kaizo berusaha menghiburnya, mungkin karena insting seorang kakak dalam diri Kaizo dan bersimpati pada Halilintar. Mungkin Kaizo tak sedingin sangkaannya.

"Ayo teruskan cari petunjuk. Kita tak bisa diam saja di sini," ujar Kaizo. Ia menaruh sebuah senter kecil di depan Halilintar, isyarat implisitnya. Usai itu, Kaizo segera beranjak pergi untuk menyusuri lebih dalam rumah tersebut.

Kaizo benar. Ia harus logis sekarang dan melanjutkan, waktu takkan menunggunya selesai bersedih dan terhanyut arus prasangka terburuk. Ia harus kuat, kondisi ini takkan mengizinkan orang lemah. Ia harus kuat, kuat, kuat—

Lutut Halilintar terasa lemas sekali ketika ia mencoba berdiri. Halilintar menguat-nguatkan tubuhnya dan menegakkan posturnya, dua robekan jaket adiknya ia kantongi. Jemarinya masih gemetar namun sudah lebih terkendali.

Ia meraih senter kecil tersebut dan melangkah. Masih ada kabut di kepalanya, namun perlahan-lahan ia hapus demi pencarian efektif. Ia tak boleh bermental cengeng. Bukan waktunya.

Halilintar mengusap wajahnya sembari melantunkan zikir lirih untuk menguatkan mental. Ia lalu menyalakan senter, menyorotkannya pada sekeliling. Tampak partikel debu tipis meliputi tiap perkakas, percikan darah kering pun mulai tampak jelas menghiasi dinding dan jendela. Genangan darah lama itu membentuk pola lingkaran di lantai, sebagian mengotori meja dan kursi yang terbalik dan patah.

Halilintar menelan ludahnya dan berbalik, menuju ke tangga tingkat atas. Jantungnya kian berdebar layaknya pelari maraton menuju garis finish. Ia akan muntah kalau mengendus bau ruangan itu lebih lama lagi dan menyaksikan tumpahan darah adik-adiknya. Ia harus fokus dan menggunting dahulu kemelut perasaannya untuk ia urus nanti. Sekarang, Halilintar harus mencari petunjuk keberadaan mereka.

Halilintar menapaki tangga menuju tingkat atas, tempat para adik-adiknya biasa berdiam. Ada dua kamar di atas sana dan balkon penuh pot-pot milik Thorn. Satu kamar diisi oleh Blaze dan Ice, si kembar keempat dan kelima. Yang lain ditempati Thorn dan Solar, kembar keenam dan ketujuh. Gempa dan Taufan mengambil kamar di lantai bawah, Tok Aba memiliki kamar sendiri.

Mungkin Halilintar akan menemukan sesuatu di atas sana.

Halilintar menengadah dan melihat akses masuk lantai dua tampak gelap gulita, seperti mulut besar menganga berwarna hitam. Sesuatu yang berat seolah berputar di lambungnya dan ia mempercepat langkahnya.

Cahaya senter menyoroti koridor gelap tersebut, dua pintu kamar adiknya tampak terbuka. Halilintar memasukinya.

Kaizo berada di lantai bawah, ia benci bau bermacam rupa di sini berbaur dengan bau busuk. Ia menutup hidungnya dan memeriksa sebuah kamar yang gelap gulita. Mata Kaizo terbiasa melihat dengan cahaya minim, ia bukan lagi manusia biasa. Sembari membungkus hidungnya rapat-rapat, ia menapaki kamar itu.

Sesegeranya ia melihat seonggok bangkai besar hampir tak dikenali bentuknya. Bau manis memuakkan bercampur busuknya daging menguar kuat, membuat Kaizo sulit menarik nafas. Ia tahu ada yang aneh ketika memasuki halaman rumah itu, ia bisa mencium bau busuknya dari jauh sekalipun namun tetap saja ia tak terbiasa menghadapinya.

Jenazah itu memanjang seperti ular. Wajahnya dalam ekspresi mengerikan, mulutnya menganga lebar—telalu besar untuk ukuran rahang normal. Ada sebilah pisau menancap pada dadanya. Daging itu telah terkelupas semua, diurai sempurna oleh serangga, ulat dan semut. Bangkainya membengkak dan mengeluarkan cairan hitam banyak sekali, membanjiri ranjang putih tersebut.

Kaizo menerka apakah ia salah satu anggota keluarga Halilintar yang tak selamat? Jika Halilintar melihat ini, ia akan shock. Bagaimana Kaizo menjelaskannya dengan ringan? Boleh jadi Halilintar akan terlalu terkejut hingga ia tak mampu bergerak, lantas membuat ia tak bisa membantu pencariannya.

Sang pria langsung berbalik dan berjalan keluar. Sebagai personel tentara, ia beberapa kali evakuasi jenazah korban bencana alam atau kejadian luar biasa lainnya seperti terorisme dan perang. Namun walau kerap ia jumpai, mayat manusia tetap saja bukan perkara remeh. Tetap saja bukan peristiwa yang bisa terbiasa mengalaminya. Itu tetap mengejutkan walau berkali-kali disaksikan.

Kaizo keluar dari kamar beraroma menyengat tersebut dan ia melihat Halilintar turun dari lantai atas dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam sebuah buku kecil, tubuhnya bersandar berat pada pagar tangga. Mata Halilintar tampak liar dan ia mengacungkan benda di sesela jarinya.

"Apa kau tahu masalah ini?" tanyanya parau.

"Maksudmu?"

"Ini jurnal Solar," ucap Halilintar dengan suara serak. "Di halaman terakhir catatannya sebelum ia pergi, ia berkata Pulau Rintis dalam situasi darurat dan semua penduduk dikurung tak boleh keluar pulau. Apa kau tahu sesuatu?"

"Aku pergi dari Pulau Rintis berbulan-bulan yang lalu dan ketika itu semuanya masih normal," ujar Kaizo tenang. "Kau ingat apa kata pekerja di pelabuhan? Tak ada kapal ke sini selama satu bulan dan ini bermakna kalau kejadian pengurungan ini baru satu bulan belakangan."

Halilintar merenggut depan jaketnya dengan keras, rasa optimis yang tadi berhasil ia kumpulkan tiba-tiba hilang dengan penemuan ini. Mengapa mereka semua dikurung? Siapa yang tega mengurung penduduk yang hendak menyelamatkan diri dari bahaya? Seperti sengaja agar mereka mati. Seperti pembantaian massal tanpa repot-repot mencabut senjata.

Tanpa menyadari carut-marut di kepala si pemuda, Kaizo menatap lurus-lurus ke arah Halilintar. Ia membalikkan tubuhnya.

"Simpanlah jurnal adikmu itu dan kemarilah. Ada yang ingin aku perlihatkan padamu."

.

.

.

Satu bulan yang lalu...

"Suara apa itu?" tanya Taufan, terkejut. Ia menoleh pada teman di dekatnya, Gopal.

"Tak tahu," sahut Gopal ketakutan sembari berlari ke jendela kelas. Mahasiswa lain pun ikut mengabaikan sesi kuliah yang masih berlangsung, beberapa ikut mengintip ke jendela dengan harapan dapat menyaksikan sesuatu.

Suara itu masih melengking tinggi, sirene yang biasa berbunyi saat Perang Dunia agar para penduduk mengungsi ke tempat aman. Teriakan sirene itu membuat darah Taufan membeku, desirannya seakan berhenti di jalurnya. Ia yakin semua orang juga merasakan jarum-jarum dingin menusuki kulit mereka, menciptakan sensasi es menjalari saraf.

Ia takut sekali.

"Kak Ufan, ada apa ini?" tanya Ice di sebelah kursi sang kakak. "Kemarin langit berubah gelap. Lalu ponsel dan radio tak bisa digunakan. Ada apa sebenarnya?"

"Entahlah, Ice... tapi kita harus bersama-sama. Jangan sampai histeria publik membuat kita terpencar," gumam Taufan seraya meraih lengan adik kembarnya. "Kemasi tasmu. Ayo kita temui yang lain."

Jeritan sirene masih menggema ketika mereka usai membereskan perkakas belajar. Taufan dan Ice segera keluar dari kelas—suasana di kampus asri tersebut mulai dilanda kepanikan. Beberapa mahasiswa keluar bangunan dalam keadaan bingung bercampur takut, sebagian sudah bersiap hendak pulang membawa kendaraan mereka. Taufan menoleh ke arah Ice.

"Kau tahu di mana yang lain?"

"Ah, Kak Gempa, Kak Blaze dan Thornie ada di gedung tiga, lantainya saja yang berbeda. Kalau Solar, dia berada di gedung satu—ah, itu dia Solar!"

Taufan menatap ke sudut yang Ice tunjuk. Di sana ia melihat si bungsu berlari kecil ke arah mereka, air mukanya memutih. Taufan dan Ice mempercepat langkah mereka agar menemui Solar di tengah-tengah halaman.

"Kita harus segera pergi dari Pulau Rintis," ujar Solar dengan nafas memburu. "Di sini sudah tak aman lagi! Kita semua akan menjadi korban tanpa terkecuali!"

"Kenapa? Apa maksudmu?" cecar Taufan. Solar tampak marah sekaligus panik.

"Aku mendapat informasi dari temanku kalau ini semua gara-gara penggalian tambang di hutan. Semua ini gara-gara ulah mereka!"

Sirene terus melolong seperti serigala.

.

.

Bersambung

.

A/N

Terimakasih pada Chande-chan - society-kun - nyankuro - ReincArte - Owloka - Anstian - Aprilia - 0Aozora0 - Hiyori - Hannabiramochi - Sekay Liberflux - Strawberry Cheesecake14 - Revi terimakasih banyak sudah mampir dan menyempatkan waktu kalian buat sapa saya hahaha! Moga chapter ini memuaskan ya ^-^

Saya tahu ini lamaaa banget gak apdet dan saya berusaha atur waktu lagi. Bagusnya memang pasang target dan goal, jadi mudahan saya bisa apdet lebih regular!

Terakhir, terus berdoa di mana saja kalian berada! Doa itu menjangkau hal yang tak terjangkau. ^-^

Ada tanggapan? Saran? Komentar? Silakan review!