Sebelumnya: Halilintar dan Kaizo tiba di rumah Tok Aba, di sana banyak genangan darah kering serta sobekan jaket Taufan dan Gempa. Kaizo menemukan mayat misterius yang membusuk di sebuah kamar, sementara itu Halilintar menemukan jurnal Solar dan mengetahui jika para penduduk Pulau Rintis dilarang keluar pulau.

Pada adegan flashback, ada Fang seminggu sebelum dirinya hilang. Ia telah tiba di dermaga dan ditemui seorang lelaki asing. Lelaki itulah yang mengiriminya pesan SMS keberadaan Kaizo. Sementara itu, ada suara sirene misterius pada Pulau Rintis dan Solar yang mengatakan masalah tambang penyebab bencana.

.

.

Chapter IV

Makhluk

.

.

"Simpanlah jurnal adikmu itu dan kemarilah. Ada yang ingin aku perlihatkan padamu."

Usai mengatakan itu, Kaizo beranjak menuju ke sebuah kamar yang familiar. Halilintar yang berada di atas tangga sembari meremas jurnal Solar segera mengenali tujuan Kaizo. Itu kamar Tok Aba, apa ia menemukan sesuatu?

Halilintar bergegas turun dan mengejar mantan tentara tersebut, figurnya sudah menghilang dari balik pintu. Anehnya ketika berjalan menuju kamar Tok Aba, tiba-tiba Halilintar disergap bau busuk menyengat hingga ia terbatuk-batuk—pemuda itu segera ganti bernafas melalui mulut. Aroma aneh itu tidak pernah ia cium sebelumnya, seperti bau bangkai bercampur bau manis... atau bau buah? Yang jelas berpadu begitu memuakkan.

Sambil menahan lambungnya agar tidak tumpah, Halilintar memasuki kamar Tok Aba. Di sana, ia disajikan pemandangan mengerikan seolah baru saja dicongkel dari narasi Dante Alighieri.

Di sudut tempat tidur Tok Aba, ada seonggok mayat dengan daging meleleh dan terkelupas tengah bersandar pada dinding. Genangan cairan tubuh membanjiri kasur, perutnya membengkak dan sekujur badannya hitam legam. Arak-arakan ribuan serangga menyuburkan pembusukan, memakani daging dan menyesap cairan mayat sedikit demi sedikit. Ribuan belatung gemuk bergeliat-geliat lincah, menyantap jaringan mati dengan lahap. Mayat itu tengah mengayomi ekosistemnya sendiri, berkerjasama dengan kerumunan besar binatang melata dan bersayap.

Belum lagi bau busuk luar biasa yang merundungi saraf hidung, Halilintar hampir bisa mencicipinya di lidah. Ia hendak muntah rasanya.

Ini pertama kali Halilintar melihat jenazah, dan sudah dalam fase pembusukan pula. Terlalu eksplisit pemandangan tersebut, sangat menyeramkan dan sebuah peringatan nyaring jika semua manusia akan bernasib sama. Potrait itu menjadi tato permanen pada otaknya, seperti besi panas yang dilekatkan ke kulit. Rentetan pertanyaan berkelebat terlalu cepat untuk ia tangkap, dan pertanyaan yang bergema paling nyaring adalah—

"Kau kenal dia?" tanya Kaizo, memecah kelimbungan Halilintar.

"Tidak," ia refleks menjawab demikian. Halilintar mengerinyitkan alis pada otot lidahnya yang bergerak sendiri. Apa ia sungguh tidak mengenal mayat ini?

Kaizo sepertinya berpikiran sama. Ia skeptis pada penyangkalan terburu-buru Halilintar.

"Kau yakin?"

Halilintar memicingkan mata pada mayat itu. Memang asing sekali.

"Iya, aku tidak mengenalnya."

"Ia mati di rumahmu," kata Kaizo, alisnya terangkat.

Halilintar menangkap maksud Kaizo. Dawamnya, mayat yang berada di rumah seseorang dipastikan bukan orang asing lagi, dan probabilitas itu adalah salah satu keluarganya membuat darah Halilintar membeku.

Dengan ketakutan kian mengganas, Halilintar mengidentifikasi mayat itu lebih seksama. Lambat laun Halilintar sadar kalau rasa ngerinya kian menipis seiring banyaknya ciri pengenal yang tidak ada. Memang benar mayat itu adalah orang asing, Halilintar yakin sekali. Bukan karena proses dekomposisi merusak total rupanya, namun karena—

"Baik Tok Aba maupun keenam adikku, tak ada satu pun memiliki baju semacam itu," kata Halilintar.

"Kau yakin?"

"Yeah, tidak ada yang suka warna itu," ujarnya kian pasti. Sontak bibit-bibit keraguan yang baru saja tersemai langsung musnah dan rasa lega luar biasa membasuh dirinya. Halilintar mengucap alhamdulillah berulang kali dengan lirih.

Meskipun begitu, masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab—apa yang dilakukan orang asing ini di rumahnya? Apa yang terjadi antara keluarganya dan orang ini? Siapa ia? Apa urusannya di sini? Apa penyebab kematiannya? Apakah ada kaitannya dengan Tok Aba serta keenam adiknya?

"Ini isyarat buruk," komentar Kaizo sembari menggelengkan kepalanya. "Kau sudah dapatkan jurnal adikmu, mungkin ada petunjuk di mana mereka. Ayo kita pergi dari sini."

"Hm," gumam Halilintar.

Halilintar baru saja melangkah ketika tiba-tiba Kaizo merentangkan lengannya di depan Halilintar, mencegahnya berjalan lebih jauh. Ia menoleh ke arah mantan tentara itu dan melihat roman wajahnya mengeras. Matanya tajam menerawang dan bahunya tegang bertautan. Kaizo memandang ke arah Halilintar dengan mata liar.

"Ada yang datang," bisiknya.

Nafas Halilintar tertahan sejenak, jantungnya berdebar kencang. Apa?

Kaizo memberi gestur jemari agar Halilintar tak bergerak dari tempatnya. Halilintar hanya mengangguk samar sementara pria itu berjalan lebih dahulu, suara tapak sepatu boot-nya tak terdengar sama sekali. Ia melihat Kaizo mencabut sesuatu dari balik jaketnya dan segera menghilang di balik pintu kamar.

Ia menajamkan telinganya agar mendengar sesuatu. Di luar hanya ada berisiknya suara jangkrik bersahutan dengan suara hewan nokturnal lain. Angin membuat dedaunan saling bergesekan, bunyinya halus sekali lantas membuat Halilintar bertanya. Bagaimana Kaizo bisa menangkap suara sekecil itu dan menarik deduksi jika ada sesuatu yang datang? Ia yakin semenjak tadi tak mendengar apapun, atau mungkin inderanya tak setajam Kaizo.

Tiba-tiba terdengar bunyi debam keras memecah kesunyian. Halilintar terkesiap. Ia segera berlari keluar kamar dan melihat pemandangan tak biasa.

Di ruang tamu, ia melihat siluet Kaizo tengah memiting seseorang, namun ada yang tidak biasa dari orang itu. Jelas sekali ia manusia—pria berpakaian compang-camping—tetapi ia meraung-raung seperti hewan buas kesakitan. Orang itu menggeliat dengan alot di lantai, sekuat tenaga melepaskan diri dari pitingan Kaizo. Berkali-kali ia mencoba mengigit lengan mantan tentara tersebut, namun Kaizo dengan sekali pukul pada sisi lehernya segera membuat gelandangan itu terhuyung dan tak bergerak lagi.

Setelah melempar penyerangnya ke samping, Kaizo lalu memandang ke arah Halilintar dengan ekspresi genting.

"Apapun itu, ia bukan manusia normal lagi," ujar Kaizo, heran bercampur waspada. "Ia bertingkah seperti hewan buas."

"Apa maunya?" tanya Halilintar.

"Aku tak tahu," kata Kaizo seraya mengambil pisaunya yang terjatuh. "Tapi ia sudah memanggil teman-temannya."

Benar saja. Sayup-sayup terdengar lolongan dan pekikan panjang dari luar, tak lama kemudian atap rumah berbunyi berisik sekali seolah ada sekumpulan orang melompat-lompat.

Kaizo tahu jika ia dan Halilintar keluar justru akan memperburuk keadaan. Itu seperti mengiklankan diri agar diserang dan mengundang lebih banyak orang-orang liar ini. Strategi yang sesuai dalam pertarungan jumlah sedikit versus jumlah banyak adalah menciptakan medan yang sempit agar kawanan berjumlah besar lebih mudah diberantas. Lebih terkendali arah serangannya dan tidak mengepung pada titik buta.

Kesimpulannya, mereka harus tetap di rumah dan barikade semua akses masuk.

Kaizo segera menuju pintu depan dan mendorongnya tertutup—sayang sekali gerendelnya rusak maka tak bisa dikunci. Memahami ide pria eksentrik itu, Halilintar langsung mendorong sofa besar ke pintu dan menindihinya dengan sofa single lain, sementara Kaizo menyeret sebuah lemari buku dan menaruhnya dalam posisi miring.

Kaca-kaca jendela tiba-tiba pecah berserakan, belasan tangan-tangan pucat terjulur dari celah teralis. Manusia-manusia buas dalam berbagai usia dan jenis kelamin memasang ekspresi liar seolah berpenyakit mental. Wajah-wajah itu kosong, mata mereka menghitam dan air liur bertetesan. Mereka berseru-seru marah.

"RRRAAHH! RRRAAHH!"

Mereka mulai menggoncang teralis jendela, menyebabkan pasaknya perlahan-lahan rontok dari tempatnya. Sebagian lagi menggedor-gedor pintu depan yang sudah dibarikade, tangan-tangan pucat berusaha mendesak masuk dari celah pintu.

Kaizo mendorong pundak Halilintar.

"Cepat ke atas!"

Mereka langsung berlari menuju lantai dua. Halilintar sudah menaiki beberapa anak tangga dan Kaizo membuntutinya ketika pintu belakang rumah tiba-tiba terbuka lebar. Halilintar langsung merutuki kealpaannya melupakan akses masuk lain, ia menatap horor orang-orang buas berlari ke arah mereka. Tangan-tangan pucat terjulur hendak menangkap, suara meraung-raung dan mulut menganga lebar memperlihatkan gigi-gigi yang membusuk...

Kaizo yang masih di bawah tangga segera berbalik arah dan menghantamkan tinjunya ke kepala seorang lelaki yang paling dekat. Terdengar bunyi tulang dan tulang beradu, sedetik kemudian orang itu tumbang dengan kepala berdarah. Tanpa jeda, Kaizo mendongak ke arah Halilintar.

"Jangan bengong!" tegur Kaizo seraya menendang solar plexus seorang anak remaja hingga terpental. "Cepat ke atas!"

Seorang wanita berambut gimbal hendak menerkam Kaizo dari samping sementara dua lelaki lain sudah melompat ke arahnya, tangan terulur. Kaizo dengan gesit menyasar batang-batang leher mereka dan para penyerangnya langsung tumbang seketika. Tak ada pergerakan yang sia-sia—dengan sangat efisien dan konsisten, Kaizo melumpuhkan para penyerangnya. Titik vital pada leher, titik lemah di belakang telinga dan area rahang selalu berhasil ia kenai. Mengingat orang-orang ini hanya bertindak berdasarkan insting saja, maka tak heran mereka tak pernah menghindar dan belajar.

Situasi kian genting dengan datangnya kawanan lain dari pintu depan yang sudah berhasil dibuka, sementara gerombolan baru mulai memanjat masuk dari jendela yang berhasil dibobol teralisnya. Kaizo dan Halilintar sadar jika kumpulan manusia liar ini akan semakin banyak akibat keributan, seolah memanggil yang lain agar ramai. Mereka sudah dikepung dan tak ada jalan lari lagi.

Mau tak mau, keduanya harus bertarung di sini sampai selesai.

Halilintar segera melompat dari tangga dan mendarat tepat di atas salah satu dari kawanan, suara debam keras terdengar memuaskan di telinga. Dua orang dari kawanan itu menoleh dan hendak menyergap Halilintar. Dengan sigap, Halilintar segera melayangkan pukulannya pada yang terdekat, dan tanpa jeda ia menghabisi penyerang berikutnya.

Halilintar merasa tak nyaman menyakiti manusia lain. Ia benci sensasi tersebut walau ia tahu mereka hanya bertindak defensif.

Terkadang, kita memang harus melakukan hal-hal yang tidak kita sukai, termasuk kebenaran, batin Halilintar seraya menendang jatuh seorang penyerang. Orang buas itu terjungkal ke belakang, namun ia kembali bangun dan menerjangnya.

Halilintar tak mengerti. Orang—makhluk?—ini seperti tak merasakan kesakitan. Selama masih bisa bergerak, mereka akan terus menyerang. Ia harus fokus menghentikan pergerakan dengan cepat dan tanpa membunuh, pikir Halilintar sembari menggeretakkan giginya. Terlebih lagi ia akan kelelahan akibat buang energi dengan tak efisien sementara kawanan ini cukup banyak. Menilik strategi penyerangan Kaizo, rupanya ia harus mengincar area kepala dan leher agar segera selesai.

Maka Halilintar memukul keras sisi leher si penyerang, membuatnya langsung terkapar.

Baru saja hendak menarik nafas ketika Halilintar merasakan sakit luar biasa pada pundaknya. Ada seorang perempuan muda mengigitnya dari belakang, suaranya menggeram-geram bak hewan buas mendapatkan buruan. Halilintar menahan rasa belas kasihannya dan meninju keras-keras area mata perempuan itu—penyerangnya mulai mengendurkan gigitannya. Halilintar memukulnya lagi dan akhirnya ia terbebas dari si penyerang, sepersekian detik kemudian Halilintar berbalik dan menghantamkan tinjunya pada solar plexus si penyerang. Wanita itu langsung jatuh tak bergerak lagi di lantai.

Tiba-tiba ia digigit lagi oleh seseorang pada pundak kiri dan Halilintar berseru kesakitan. Bersamaan dengan itu, ada seorang anak kecil turut membenamkan giginya pada paha Halilintar—sementara itu, seorang lelaki paruh baya menyergap Halilintar di lengan kiri dan mencengkramnya, kuku-kukunya menancap pada jaket. Menahan nyeri yang menusuk, Halilintar memutuskan melepas gigitan pada pundaknya dengan menjambak rambut kusut itu.

Halilintar merasa mual ketika kulit kepala si perempuan terkelupas akibat tarikannya. Tampak darah segar mengucur deras, daging merah beserta tengkorak tampak samar dalam gelap. Perempuan itu sama sekali tidak merasa kesakitan dan terus mengigit. Halilintar memukulnya lagi, namun celaka, tenaganya tak bisa sekeras sebelumnya akibat rasa sakit. Gigi-gigi mereka berhasil menembus jaketnya dan darah mulai merembesi baju. Mereka langsung menghisap rakus cairan merah tersebut.

Halilintar berusaha menguatkan diri dan terus berontak serta memukul, namun mereka tak bergeming. Seolah menambah kemalangan, seorang pria tambun menerjangnya dan mengigit pinggangnya dengan kuat sekali. Halilintar mengerang keras.

Tak mampu membendung, Halilintar tersungkur jatuh bersama empat orang pengeroyoknya. Setengah putus asa, ia terus bergulat sekuat tenaga—meninju, menendang dan memukul—namun justru pergerakannya memperburuk lukanya. Ia tetap tak bisa, tak bisa melepaskan diri... ia akan tamat di sini, di rumah masa kecilnya, dimakan hidup-hidup dan gagal menemui Tok Aba beserta adik-adiknya.

Dalam kesakitan luar biasa, ia teringat akan seekor rusa yang diterkam sekawanan singa. Mereka pun memakannya hidup-hidup, mengoyak perutnya, memakan organnya—

Tiba-tiba, Kaizo menusuk leher penyerang itu tepat di tulang belakang, membuat ia mengendurkan gigitan pada bahu Halilintar dan meregang sekarat. Mantan tentara itu kemudian mematahkan leher si anak kecil dan ia langsung tak bergerak lagi. Selanjutnya, Kaizo menebas kasar leher dua pria tersebut dengan pisau saku—darah mengucur deras dari arteri keduanya. Mereka segera melepaskan gigitan pada Halilintar dan ambruk bersamaan. Darah terpercik ke sekeliling mereka.

Halilintar menarik nafas lega dan meringis kesakitan. Jantungnya berdebar keras bak kepakan sayap kolibri, lengan, paha dan pundaknya berdenyut-denyut akibat gigitan brutal mereka. Pahanya perih sekali dan pinggangnya sulit digerakkan tanpa menimbulkan kram dan sensasi ditusuk-tusuk pisau. Ia lalu duduk dengan susah-payah dan memandang sekitarnya.

Halilintar tak menyadari di belakangnya ada seseorang hendak menyerang lagi, namun Kaizo dengan cepat mengayunkan tinjunya hingga orang itu terhempas ke lantai. Suara debam tersebut membuat Halilintar menoleh dengan mata terbelalak. Ia melihat Kaizo berdiri sambil mengusap darah pada matanya, sedang penyerangnya sudah terkapar tak bergerak.

"Itu yang terakhir," ujarnya.

Mendengar itu, Halilintar menghembuskan nafas seraya mengucap tasbih berkali-kali. Matanya memandang sekitarnya dengan lelah bercampur tak percaya.

Memang benar tak ada lagi orang yang hendak menyerang mereka, semuanya sudah tumbang tak bangkit lagi. Lantai rumah penuh dengan belasan (puluhan?) orang bergelimpangan dan tumpang-tindih dalam berbagai posisi. Sebagian memiliki luka fatal, cairan merah pekat seperti kolam di sekitar mereka. Halilintar rasa itu akibat kemahiran Kaizo memainkan pisau sakunya ditambah efisiensi brutal pria itu dalam memusnahkan ancaman.

Halilintar memandang ke arah Kaizo hendak menanyakan sesuatu, namun ia mengatupkan mulutnya.

Kaizo tampak gamang bercampur masygul. Ia seperti merenungkan sesuatu yang tak mengenakkan, alisnya berkerut dalam dan ekspresinya kosong. Episode itu hanya bertahan selama tiga detik sebelum Kaizo menyadarkan diri dari renungannya.

"Kita harus pergi," putusnya.

"Kita bisa jadi bulan-bulanan kawanan lebih besar," peringat Halilintar. Kaizo menggeleng kecil.

"Suara mereka tak ada lagi. Sunyi," katanya. "Tadi itu ribut sekali."

Kalimat Kaizo terkadang penuh kode dan pesan implisit yang hanya ia sendiri yang paham. Itu agak menjengkelkan, meski mungkin memang tabiat Kaizo yang tak terlalu pusing masalah memberi penjelasan.

Halilintar hendak membuka mulutnya untuk bertanya, tapi Kaizo menginterupsi.

"Kau bisa berdiri?"

Halilintar menunda interogasinya dan mencoba bangun. Ia memungut jurnal Solar yang tergeletak tak jauh darinya, dan berusaha bangkit dengan bertumpu pada lengan yang tak cedera. Kaizo segera menyokongnya dan ia berhasil berdiri sambil meringis.

Halilintar memeriksa pundaknya yang digigit tersebut dan menemukan jaketnya sudah sobek beserta kausnya, bercak darah menodai area sekitar. Sama pula nasib lengan dan pinggangnya—ia beruntung lukanya tak dalam akibat tertahan oleh jaket tebalnya. Sayang sekali pahanya tak bernasib seberuntung itu. Meskipun tak merobek arteri besar, tapi tetap cukup dalam hingga jinsnya agak banjir dengan darah.

"Uh," erang lirih Halilintar. Kaizo memerhatikan seksama luka pada pahanya, memang tampak paling parah daripada yang lain.

"Kau bisa berjalan?"

Halilintar memijakkan kakinya dan menumpukan sedikit berat badannya. Seketika itu nyeri yang menusuk mengejutkannya, Halilintar segera mengangkat kakinya sambil meringis. Ia bisa melihat darahnya meleleh lagi.

"Kita cari tempat aman dekat sini," ujar Kaizo. "Setelah itu, kita ikat lukamu."

"Yeah..."

Kaizo menyampirkan lengan Halilintar pada pundaknya dan mereka beranjak dari sana.

Di langit, utas benang fajar mengiris gelapnya malam.

.

.

.

Sebulan yang lalu...

"... lokasi tambang intan Pulau Rintis telah disegel—"

"... sebanyak 376 orang telah terinfeksi dan dirawat di rumah sakit darurat—"

"... menular melalui air ludah atau gigitan, para penderita memiliki gejala kehilangan kesadaran, identitas diri, rasa lapar luar biasa dan"

"... belum ada obat dan vaksin untuk virus ini, Kepala Humas Rumah Sakit Pulau Rintis mengatakan virus ini merusak permanen otak para pasien—"

"Para penduduk diminta tetap berada dalam rumah dan tidak beraktivitas di luar hingga situasi kondusif. Jangan meninggalkan Pulau Rintis dan tetap tenang. Keselamatan Anda adalah prioritas kami."

Malam itu, Taufan, Thorn dan Ice duduk berdekatan pada sofa, sementara Gempa, Blaze dan Solar berada pada kursi-kursi. Mata mereka melekat pada layar televisi yang anehnya hanya tersisa satu kanal saja. Badan penyiaran lokal di Pulau Rintis sudah menghapus semua kanal televisi untuk satu hari ini, sinyal ponsel serta jaringan internet pun bernasib sama. Entah kapan jalur komunikasi dipulihkan, mungkin juga tidak dalam waktu dekat ini.

Prospek hari esok begitu muram dan mendung.

Tak lama berselang, pemberitahuan dalam TV telah berakhir, menyisakan suara statis dan layar bersemut. Gempa segera mematikannya. Keheningan mendera rumah tersebut, dan di luar rumah juga tanpa suara manusia. Penduduk lain ikut ketakutan dan menolak keluar rumah kecuali terpaksa sekali. Suasana begitu mencekam dalam ketidakpastian, seiring tertulisnya jutaan skenario buruk.

"Jadi..." sua Taufan memecah kebisuan. "Kita diam saja? Di rumah?"

"Kau dengar peringatannya," kata Solar. Ia membuka jurnalnya dan mulai menulis entri terbaru.

"Sampai kapan kita dikurung?" tanya Blaze.

"Sampai pemerintah mengatakan sebaliknya," jawab Solar sembari terus menulis.

"Bagaimana dengan Tok Aba?" tanya Ice. "Atok belum pulang dari rumah Atok Hasan."

"Untuk sementara Atok harus diam dulu di sana," kata Gempa. Ia menghela nafas kecil.

"Kasihan yang tak ada rumah," ucap Thorn lirih. Ia bersandar pada Ice yang duduk di sisinya.

"Aku yakin pemerintah mengungsikan tunawisma ke tempat penampungan," kata Ice sambil mengusap kepala Thorn. "Jika tidak, mereka akan menjadi agen penularan yang buruk."

"Benarkah ini akibat penambangan intan itu?" tanya Blaze bimbang. "Aku masih tak paham."

"Mereka menutup rapat banyak hal. Kita takkan bisa tahu secara pasti," kata Taufan, alisnya berkerut-kerut.

"Siapa yang memiliki media, maka ialah pengendali massa," kata Gempa, ia mengurut keningnya. "Yang jelas, mereka kewalahan. Rumah sakit sudah penuh dan mereka harus mendirikan rumah sakit darurat di stadion."

"Karena itu kita harusnya meninggalkan Pulau Rintis bukan?" cecar Blaze gusar. "Daripada semakin banyak yang tertular! Kita harus pergi dari sini!"

"Kita dilarang meninggalkan Pulau Rintis agar tidak menularkan ke pulau seberang," sela Solar, matanya menatap lurus ke arah kakaknya. "Ini agar infeksinya mudah dikendalikan. Pulau Rintis cukup terpencil, tambah lagi harus menyebrangi laut. Mudah mengisolasi kita semua."

"Jadi... kita dikurung dan menunggu sakit?" kata Blaze. "Kalian dengar berita tadi bukan? Tak ada obatnya!"

"Karena itu kita dilarang keluar dan menghindari orang lain yang tampak sakit," ujar Ice menenangkan. "Tampak jelas bukan gejala penyakitnya?"

"Yeah, mirip mayat hidup," sahut Taufan. "Pasien disebut 'mutan' karena ada alasan bagus."

"Itu kalau sudah fase akhir, fase awal tak menimbulkan gejala apapun kecuali melamun, kelelahan, dan pelupa," ujar Gempa.

"Gejala seperti itu bisa dialami siapapun," pungkas Taufan.

"Karenanya sulit mendeteksi siapa yang berpenyakit kecuali sudah fase terakhir," kata Gempa pelan. "Kecuali sudah terlambat."

Mendengar itu, Thorn mengkerut di sisi Ice. Ia meremas lengan kakaknya itu.

"Aku tak tahu ini relevan atau tidak," kata Solar, berhenti sejenak menulis jurnalnya. "Tapi aku mendengar beberapa kisah menarik menyangkut tambang itu."

"Kisah apa?" tanya Blaze. Yang lain menatap ke arah si bungsu dengan penuh minat. Solar mengetuk dagunya.

"Sekitar dua bulan lalu, Amy bercerita jika ayahnya yang bekerja di tambang intan tiba-tiba harus dipindahtugaskan. Hingga saat ini tak ada kabar lagi dari ayah Amy, hilang misterius. Selain itu, aku mendapat kabar dari Iwan ketika ia dan ibunya mengendarai mobil melewati area sekitar tambang. Aksesnya diblokade, tak ada kendaraan yang boleh masuk. Yang janggal melihat iring-iringan mobil hitam tanpa plat nomor memasuki area terlarang."

"Aha, Ezra juga pernah bercerita," sahut Taufan tiba-tiba. "Kalau kakak sepupunya yang bekerja di sana tak pernah pulang lagi!"

"Jadi... sesuatu bermula dari tambang ini," simpul Gempa. "Entah apa alasannya, membuat para pekerja hilang tanpa kabar lalu penyakit misterius merembet ke penduduk lain."

"Mungkin mereka menemukan tempat yang tak seharusnya digali?" terka Solar. "Hutan itu memang hampir tak terjamah bukan?"

Tiba-tiba, pintu rumah mereka diketuk.

.

.

.

Seminggu yang lalu...

Telah genap 35 menit Fang berlayar di atas feri dengan destinasi Pulau Rintis, tumpangan yang ditawarkan oleh pria misterius di pantai. Matanya memicing pada lautan di hadapannya.

Fang baru memahami mengapa ada segelintir manusia begitu mencintai laut—berdiri di atas kapal yang berayun diterpa ombak dan menyaksikan hamparan air sewarna biru malam bertemu langit jernih di horizon, membentuk garis semu—adalah pengalaman yang tak bisa dilupakan. Langit seakan kubah kaca yang melambung tinggi, sementara laut adalah permadani indranila yang ditenun tanpa cela. Nun jauh di dalamnya, kehidupan bergolak ramai, mutiara dan marjan menanti pemilik. Keseluruhannya hanya debu remeh dari divinitas Tuhan yang Satu tak berbilangan. Fang bisa tersesat selamanya dalam kekagumannya.

"Indah, bukan?"

Fang menoleh dan melihat pria asing itu berdiri di belakangnya. Ia tersenyum sopan.

"Iya."

"Hm, saya pun takkan jemu memandangnya," kata pria itu.

Fang memutuskan untuk menghentikan basa-basi dan langsung tembak ke jantung masalah. Ia lantas memalingkan tubuhnya dan menghadap lelaki tersebut.

"Apa kaitanmu dengan kakakku?" tanya Fang.

"Saya hanya pesuruh dan pengantar Anda," katanya sambil mengulum senyum. "Tapi yang seharusnya Anda tahu, Kaizo lari membawa sesuatu yang sangat berharga."

Sebuah percikan api tercipta dalam dada Fang dan penyangkalan segera tercipta sebagai mekanisme defensif.

"Kakakku bukan pencuri."

"Saya tidak bermaksud demikian," katanya tenang. "Ini hanya kesalahpahaman. Kalau semuanya selesai, sudah tentu Kaizo dan Anda akan dikembalikan dengan selamat ke rumah kalian."

Pria itu tersenyum ramah, ada lesung pipit pada pipinya. Ia tampak menyenangkan hati dan hanya mengatakan apa yang ingin orang lain dengar. Ganjil jika malah menimbulkan efek sebaliknya, sebab Fang sama sekali tidak merasa tentram bersamanya. Ia mulai curiga jika senyumnya adalah senjatanya dalam mengelabui. Semata-mata agar lawan bicaranya tidak merasa terintimidasi dan terus merasa nyaman—hingga ia berbalik dan menusuk dari belakang, tentu saja.

Entah mengapa Fang merasa ada yang janggal dari semua ini. Ada detil besar yang terlewatkan dan ia seperti merasa melakukan kesalahan fatal. Tapi apa?

Tiba-tiba Fang teringat akan SMS singkat mengenai keberadaan Kaizo di Pulau Rintis, lalu pria ini menunggunya di pelabuhan bersama kapal feri yang seharusnya tidak beroperasi hingga narasi Kaizo mencuri sesuatu yang berharga. Bagaimana bisa ia tahu kecuali ia memang menguntit Fang sedari awal. Di samping itu, Fang baru tersadar jika tak ada jaminan Kaizo benar-benar akan berada di Pulau Rintis, semua ini seakan-akan—

Jebakan. Dan Fang masuk ke dalam perangkapnya begitu mudah.

Sontak Fang merasa konyol sekali. Ia terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Ia terlalu pendek akal dan langsung menyambar opsi pertama yang ditawarkannya. Kepalanya tak bisa dingin barang sebentar memikirkan konsekuensi dari segalanya, dan sekarang ia terjebak dalam situasi lebih kusut daripada sebelumnya. Nasi sudah menjadi bubur. Ia tak bisa lari lagi dan harus menghadapi akibat dari kecerobohannya dalam mengendalikan emosi.

Fang menelan ludah, bulu romanya menegak dan jantungnya berpacu kencang. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang akan terjadi pada dirinya? Di mana Kaizo? Apa maunya? Mengapa ia dijebak?

Apa yang sudah Kaizo lakukan hingga ia terbelit situasi rumit ini?

"Kenapa? Anda baik-baik saja?" tanya pria itu, memecah kemelut dalam benak Fang. Fang terlonjak kaget dan menatap ke arahnya dengan jantung serasa mau meledak.

Fang mundur ke belakang, tangannya terkepal siap memukul jika diperlukan. Ekspresinya mengeras dan mulai menyusun plot melarikan diri. Pria itu nenyadari perubahan drastis dalam diri Fang dan mencium bau konfrontasi. Tapi ia tampak terhibur dan lagi-lagi tersenyum.

Fang benci senyum sakarin tersebut.

"Jika kakakku mencuri sesuatu, mengapa kau membawaku?" tanya Fang berang.

"Anda bertanya begitu seolah saya menculik Anda," tawanya. Terdengar sangat artifisial. Gigi Fang bergemelatuk.

"Memang menculik," ujarnya.

"Menculik berarti membawa tanpa persetujuan, bukan?" tanya si pria. "Tapi bukankah Anda sendiri yang ikut saya dengan suka rela?"

"Jangan bermain kata padaku," geram Fang. "Berhenti berputar-putar dan jawab saja pertanyaanku!"

"Ah, saya rasa memang sudah tak perlu lagi beramah-tamah, lagipula Anda sudah di sini," katanya dengan nada mengolok. "Sudah terlambat."

Gerakan pria itu sangat cepat dan Fang tak bereaksi cukup cepat. Lengan orang tersebut sudah menyergapnya dan tiba-tiba ada rasa sakit pada lehernya. Fang baru menyadari itu adalah jarum injeksi yang menancap—ia curiga itu propofol, substansi anestesi. Panik, Fang segera berontak dari cengkraman kokoh pria tersebut, namun semakin lama, seluruh ototnya kian melemah dan ia diserang kantuk berat. Ia berusaha membuat matanya terbuka lebar, tapi—

Dalam hitungan detik, Fang tak sadarkan diri.

Pria itu mengendurkan cengkramannya, membiarkan tubuh Fang merosot jatuh. Ia kemudian merogoh jaket dan mengeluarkan pesawat telepon. Dengan cepat, pria itu menekan beberapa tombol, dan tak perlu waktu lama menunggu sambungannya diterima.

"Saya akan tiba 45 menit lagi."

.

.

Bersambung

.

Terimakasih banyak kepada Aprilia - Owloka - Fauzan MZ - Noumi Bening - Darklulin - ReincArte - Strawberry Cheesecake14 - StormzAway - AquariusHime - Chande-chan yang sudah menyempatkan diri memberikan tanggapan! ^o^/ hihihi~

- PENTING! MOHON PERHATIAN! -

Dalam chapter ini banyak memuat unsur kekerasan dan tips agar melumpuhkan orang lain dalam sekali-dua kali pukul seperti pertarungan Kaizo dan Halilintar. Memang dalam tubuh manusia, ada beberapa titik lemah seperti:

1. Samping leher

2. Belakang leher (kuduk)

3. Sekitar area belakang kepala/sekitar belakang telinga

4. Solar plexus

5. Dagu dan rahang

6. Area ginjal.

Keenam area di atas kalau kamu kuat memukulnya bisa menyebabkan orang pingsan bahkan mati. Jadi mohon gunakan pengetahuan ini untuk darurat saja seperti kamu diserang dan mau dirampok/dibunuh/diperkosa dsb. Jangan untuk melukai orang lain tanpa dasar. Islam mengajarkan serangan defensif atau membela diri.

Ini saja. Moga bermanfaat ya! Silakan tanggapannya ^^