Sebelumnya: Kaizo dan Halilintar menemukan jenazah misterius di rumah Tok Aba. Di sana, mereka diserang oleh sekawanan manusia yang telah berubah sifatnya. Mereka berhasil menumpas kawanan tersebut namun Halilintar terkena gigitan. Sementara itu, sebulan yang lalu Pulau Rintis menghadapi penguncian total dan seluruh penduduk dilarang meninggalkan pulau. Sinyal ponsel mati total, radio pun tak bisa digunakan. Hanya ada siaran berita berulang-ulang mengenai kondisi para warga yang sakit misterius dan rumah sakit yang penuh. Solar menyebut mengenai keanehan di hutan sekitar tambang intan, namun mereka tak tahu pasti kebenarannya …

.

.

.

.

Chapter V

Jurnal

.

.

Pulau Rintis, 05.37 AM

Halilintar berbaring pada ranjang berdebu, memandang keluar dari jendela yang kacanya telah pecah sebagian.

Ia berada pada rumah kosong yang terletak agak jauh dari rumah Tok Aba. Kaizo yang memilihkan rumah ini sebagai tempat istirahat—dan memang ia sangat perlu memulihkan diri. Gigitan kuat orang-orang itu sungguh tak kenal ampun, pundak, lengan dan pahanya terluka cukup dalam. Sebelum sholat Subuh, Halilintar sempat membersihkannya dan mengoleskan krim antibiotik yang diberikan Kaizo. Pria itu sendiri lebih pendiam dari biasanya saat ia membantu Halilintar membalut perban pada pundak dan lengannya, sementara Halilintar sibuk membebat luka di pahanya sambil meringis pedih.

Usai sholat Subuh dan berdoa, Halilintar memutuskan beristirahat di atas ranjang berdebu di rumah tak berpenghuni tersebut. Ia sembari menunggu efek kapsul peredam rasa nyeri bekerja menumpulkan sarafnya. Setelah ini, ia akan bangkit berdiri mencari adik-adiknya. Luka seperti ini harusnya tak menjadi masalah mencari mereka atau petunjuk keberadaan mereka bukan?

Halilintar tiba-tiba teringat jurnal Solar dan segera merogoh tas ranselnya yang berada di dekat ranjang. Ia belum membaca semuanya, hanya entri terakhir dan itu pun tergesa-gesa.

Berbekal cahaya fajar dari kaca jendela, ia membalikkan halaman demi halaman dengan cepat dan mulai membaca.

[ 2019, 26 Desember]

[ Radio dan telepon genggamku sudah tidak menerima sinyal sama sekali. Internet sudah mati, hanya ada televisi yang menyiarkan informasi keselamatan dan jumlah pasien di Rumah Sakit Umum Pulau Rintis. Mereka kekurangan kamar untuk merawat semua pasien.

Pulau Rintis sekarang terisolir dari dunia luar. Tak ada penduduk yang boleh meninggalkan pulau dan tak ada pengunjung dari luar pulau. Penyebarannya terlalu cepat dan penyakit ini belum ada obatnya. Berpotensi menjadi wabah.

Beberapa gejala awal dari penyakit ini adalah:

· Mengantuk dan tidur lebih sering

· Berkurangnya daya kognitif

· Melamun

· Lemas, kehilangan tenaga

· Dalam beberapa kasus, koma

Pada tahap lanjutan, gejalanya menjadi:

· Kehilangan identitas diri

· Merasa lapar terus-menerus

· Dementia akut

· Air liur mengental

· Kehilangan rasa sakit dan indera peraba

· Agresif luar biasa, seperti mengigit atau mencakar

· Pendengaran sensitif, cenderung menjauhi cahaya dan takut air

Aku rasa masih ada gejala lain, tapi hanya ini saja yang paling sering muncul di televisi.

Penyebarannya masih melalui cairan tubuh. Dikarenakan pasien cenderung agresif pada tahap lanjutan, maka banyak kasus penyebaran melalui gigitan.]

Halilintar tanpa sadar meremas sampul jurnal Solar. Jantungnya berdegup keras sekali, keringat dingin mulai membasahi keningnya. Ia membaca berulang kali tulisan bersambung Solar, berharap ia salah membaca mengenai medium penyebaran—namun hingga sepuluh kali tetap saja tulisan adik bungsunya itu tak berubah. Halilintar hendak meragukan informasi dari Solar ini, tapi Solar adalah orang paling cerdas dan paling rakus membaca yang Halilintar kenal. Walaupun ada kemungkinan Solar salah, persentasenya kecil sekali.

Halilintar kembali dihadapkan kengerian yang meremukkan benaknya. Apa ini kenyataan?

Jelas sekali dari informasi Solar jika orang-orang yang menyerang dirinya dan Kaizo secara membabi-buta adalah penduduk Pulau Rintis yang terinfeksi. Namun jika media penyebarannya adalah cairan tubuh seperti darah dan saliva, maka boleh jadi Tok Aba dan semua adik-adiknya sudah tertular mengingat keadaan rumah mereka yang kacau-balau. Belum lagi keadaan Pulau Rintis yang seperti kota hantu, tanpa penduduk dan gelap gulita. Menurut jurnal Solar, orang-orang yang terinfeksi pada tahap lanjutan cenderung menjauhi cahaya—bukankah lebih aman jika menyalakan lampu? Apakah listrik tak lagi mengalir? Atau itu karena tak ada lagi yang hidup di sini?

Hal lainnya adalah fakta kemungkinan Halilintar tertular. Ia terkena gigitan tak hanya di satu tempat, namun tiga tempat. Ia tak tahu bagaimana harus bereaksi selain penyangkalan untuk saat ini. Tidak mungkin, bukan? Apa ia akan berakhir sama seperti orang-orang itu, berjalan ke segala arah tanpa pikiran, menyerang orang lain, tak mengenal siapapun, selamanya demikian hingga maut menjegalnya—

"Hey."

Halilintar tersentak kaget dari lamunan gelapnya, ia hampir saja menjatuhkan jurnal yang dipegangnya. Napasnya memberat dan ia menatap ke arah sumber suara dengan tatapan nanar—tampak Kaizo tengah berdiri di pintu masuk kamar, pada pundak kirinya bergelayut ransel berwarna gelap.

"Hah?"

"Kau dapat informasi dari jurnal itu?"

Seketika itu gelombang panik mulai membasuh sekujur tubuh Halilintar. Ia bisa menebak jika Kaizo sama sekali tidak tahu mengenai penyakit ini dan bisa dipastikan ia juga tak tahu gejala serta cara penyebarannya. Jika Kaizo tahu Halilintar sudah tertular dan tinggal menunggu waktu saja, ia pasti meninggalkannya di sini dan Halilintar akan lebih lama bertemu adik-adiknya. Mungkin pula Kaizo malah membunuhnya agar ia tak tertular pula.

Dilemanya, bagaimanapun Halilintar menyembunyikan kebenaran, Kaizo pasti akan mencari tahu apa yang terjadi di sini. Itu takkan lama lagi dan Halilintar rasa ia juga tak ingin dibunuh Kaizo. Setidaknya, ia ingin memperjuangkan nasib keluarganya dahulu walau kian detik kemungkinan mereka selamat kian tipis. Sesegeranya Halilintar menampik pemikiran tersebut, probabilitas hanyalah permainan orang oportunis. Tak peduli tipisnya kemungkinan, ia harus mencari mereka. Ia berhutang itu pada keluarganya.

Lantas bagaimana dengan Kaizo? Ia belum tahu mengenai isi jurnal Solar.

Halilintar tiba-tiba merutuki keegoisannya barusan. Jika ia menyembunyikan kebenaran dari pria ini, boleh jadi malah membahayakan nyawanya. Boleh jadi Kaizo menjadi lebih ceroboh pada keselamatannya karena ia tak tahu mengenai media penyebaran penyakit misterius ini. Halilintar sama saja berbohong padanya dan lebih buruk lagi, ia dijatuhi tanggung jawab pada nyawa Kaizo jika terjadi hal di luar dugaan. Seseorang akan mati karena sifat pengecutnya.

Halilintar menolak hidup dalam rasa bersalah atas jiwa orang lain. Ia takkan mampu menggendong beban dosa seberat itu.

Lagipula jika Kaizo akan meninggalkannya di sini dan mereka berpisah jalan, Halilintar takkan merasa rugi terlalu besar. Memang ia akan cukup kesulitan tanpa bantuannya, namun tak sebanding dengan harga nyawa Kaizo. Walau Halilintar tidak menyukai pria eksentrik itu, mana mungkin ia juga mau membunuhnya melalui omisi.

Halilintar menghela napas pelan. Seraya berzikir, ia lalu menyerahkan jurnal Solar pada Kaizo tanpa berkata apapun.

Kaizo mengerinyitkan alis dan meraih sodoran buku catatan tersebut, matanya tampak tertuju pada tulisan tangan Solar. Ia membacanya dengan cepat dan kian detik, kerutan dahinya kian mendalam. Halilintar bersiap pada reaksi Kaizo setelah ini, ia harap masih bisa membela diri jika Kaizo memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Halilintar baru beberapa jam bertemu dengannya, namun ia bisa membaca jika Kaizo adalah orang yang praktikal dan berkepala dingin. Ia pasti akan membunuh Halilintar jika ia rasa itu lebih baik.

Bukan bermakna Halilintar akan diam saja tanpa perlawanan saat Kaizo menyerangnya, tentu saja.

Suara buku ditutup lagi-lagi memupuskan lamunan Halilintar, memecah keheningan yang menegangkan. Kaizo menatap Halilintar dengan sorot mata penuh kalkulasi, mencerna dan menyelidik. Halilintar balas menatapnya dengan ekspresi datar dan agak menantang, tangan kanannya terkepal erat.

"Sejauh ini, kau merasakan gejalanya?" tanya Kaizo, nadanya monoton. Halilintar mengangkat alis dalam keheranan. Dari semua respons yang akan keluar, ucapan itu sama sekali tidak terduga.

"Tidak, aku belum merasakan gejalanya."

Kaizo bergumam kecil dan menaruh jurnal Solar di kaki ranjang.

"Cepat bangkit, kita akan ke pusat kota. Aku menemukan tumpangan."

Kaizo segera berbalik. Halilintar rasa ia tak bisa diam saja dan menebak-nebak nasibnya.

"Tunggu," panggil Halilintar. Kaizo berhenti melangkah, ia menolehkan wajahnya. Pundak Halilintar menegang, seakan bersiap menghadapi sesuatu.

"Itu saja? Tak ada yang ingin kau tambahkan?"

Kaizo membalikkan badannya. Alisnya berkerut samar.

"Maksudmu?"

"Kau baca jurnal adikku, kau tahu aku sudah tertular," tukas Halilintar.

"Selama kau belum mau mengigit orang lain, aku anggap kau baik-baik saja," sahut Kaizo. "Percakapan ini selesai. Jangan mendebatku."

Kaizo langsung pergi tanpa mengucapkan apapun lagi. Halilintar merasa Kaizo menyepelekan kondisi ini karena bukan ia yang tertular dan ia bisa membela diri jika Halilintar sudah memasuki fase lanjutan. Di sisi lain jika Halilintar mengabaikannya, ia masih bisa mencari semua keluarganya. Mencari sendirian itu lebih memakan waktu daripada ditemani orang lain, apalagi jika mereka bisa disergap sewaktu-waktu. Jika mereka bersama, mereka lebih bisa mempertahankan diri.

Selain itu, reaksi Kaizo di luar dugaannya. Ia mengira Kaizo entah akan meninggalkannya atau justru membunuhnya, tetapi ia malah tetap membawa Halilintar bersamanya. Dengan kondisi sakit seperti ini, Halilintar hanya beban saja dan resiko besar bagi keselamatan Kaizo. Solar tidak menuliskan seberapa lama transisi dan inkubasi virus itu, boleh jadi lebih singkat daripada penyakit kebanyakan. Boleh jadi Halilintar terlelap dan terbangun sebagai makhluk yang hanya tahu kanibalisme, boleh jadi Kaizo terkena gigitannya dan habislah mereka berdua di sana.

Lalu apa keuntungan Kaizo membawa Halilintar? Semenjak awal, Kaizo berkata ia memerlukan bantuan Halilintar, tetapi ia tak yakin untuk apa. Mencari tahu mengenai keadaan Rintis? Kaizo sudah mendapat segala informasi darinya. Lantas, apalagi motivasi Kaizo? Pekerjaan amal dan rasa kemanusiaan?

Halilintar bimbang, ia tak mau berprasangka buruk namun pria itu memang mencurigakan dan seolah banyak menyembunyikan sesuatu darinya.

Aku akan awasi lekat-lekat orang ini, batin Halilintar. Untuk saat ini, ia akan mengikuti alur Kaizo dan lihat apa yang akan terjadi.

Halilintar meraih jurnal Solar dan memasukkannya ke dalam ransel. Jaket hitamnya ia kenakan kembali, walau masih bernoda darah dan sedikit berlubang. Kini, luka-lukanya hanya terasa berdenyut samar, pertanda kapsul peredam nyeri telah bekerja penuh. Halilintar mencoba berjalan normal dan luka gigitan di pahanya tidak terlalu menganggu gerakan.

Ia bergegas pergi keluar, menyusul Kaizo.

.

.

.

.

Satu bulan yang lalu, di Pulau Rintis. Pukul 09.45 PM

"Solar, apa yang kau tulis?" tanya Duri seraya mengintip dari bahu adik satu-satunya.

"Aku menulis informasi dari televisi mengenai gejala dan penyebaran penyakitnya," jelas Solar, tangannya tak berhenti menggerakkan pena. Tulisan tangannya tampak bersambung penuh dan kecil-kecil, membuat Duri kesulitan membacanya.

"Untuk apa?"

"Hanya sebagai dokumentasi," jawab si bungsu. Ia lalu menaruh penanya dan menutup jurnal tersebut. "Kita takkan tahu masa depan, barangkali akan berguna catatannya."

Duri mengedikkan bahu. Soal-menyoal dengan Solar selalu ada balasannya, lebih baik ia biarkan saja. Terkadang Duri bertanya bagaimana ia bisa jatuh terlelap dengan otak tak pernah hening. Selalu ada saja ada buah pikiran yang harus digiling hingga tuntas.

Dengan gaya dramatis, Duri mengempaskan diri ke kasurnya. Kaki ranjangnya berdecit pelan menerima beban tubuh, selimut bertema dedaunan berkerut-kerut di bawah beratnya. Ia memandang ke langit-langit kamar dengan mata menerawang jauh.

"Solar, menurutmu kita harus berbuat apa?" tanyanya dengan nada serius. "Semua ini terlalu cepat. Apa kita dalam bahaya besar, Solar?"

Yang ditanya hanya mengembuskan napas kecil seraya menyandarkan dirinya pada kursi. Tangannya bersedekap di dada.

"Aku tak tahu, terlalu awal mengambil kesimpulan," ujarnya. "Akan lebih baik kita bersiap dan mengungsi ke area lebih sunyi sebelum tertular. Jika ada wabah, baik kita mengisolir diri."

"Tapi, kita ke mana?" tanya Duri, heran. Solar mengusap dagunya.

"Kita harus musyawarah dahulu pada Tok Aba."

Pintu kamar mereka diketuk singkat, serentak Duri dan Solar menoleh ke arah sumber suara. Tampak wajah Gempa menyembul dari pintu yang setengah terbuka tersebut.

"Hei, Tok Aba sudah pulang. Ayo turun ke bawah."

"Siap Kak!"

"Hm."

Ketika mereka bertiga menuruni tangga, semua saudara-saudara mereka sudah berkumpul di ruang keluarga. Tok Aba duduk pada sofa single, Blaze dan Taufan duduk bersesakan dengan Ice di sofa panjang. Gempa segera mengklaim sofa tanpa punggung sementara Solar dan Duri menyambar sofa single lalu berbagi tempat.

"Kalian sudah menonton berita, bukan?" buka Tok Aba.

Keenam kembar itu mengangguk dan bergumam afirmatif. Tok Aba mengurut pelipisnya yang sudah keriput, ia mengambil kacamata bundarnya dan mengusap lensanya dengan ujung baju Muslim.

"Jujur Atok tak tahu bagaimana menanggapinya selain kita harus mengurung diri terlebih dahulu hingga keadaan meredam. Ikut apa yang diarahkan pemerintah."

"Yaaaahhhh!" sorak Blaze dan Duri bersamaan, kecewa. Solar hanya memutar bola matanya sementara Gempa dan Ice berdesis pada Blaze serta Duri agar jangan membantah Tok Aba.

"Lalu, bagaimana kita mencari makan? Blaze kan makannya banyak, Tok, cepat habis beras kita …" timpal Taufan. Blaze hanya melotot jengkel pada saudaranya.

"Menurut kabar, nanti akan ada tentara yang berkeliling mendistribusikan bahan pangan setiap seminggu sekali," jawab Tok Aba. "Jadi, kita bersabar dan diam di rumah hingga situasi stabil."

"Tentara bisa membagikan paket sembako, ya?" tanya Duri, heran. Solar menjentik dahi kakaknya itu.

"Tentara itu bisa diterjunkan dalam kondisi darurat untuk membantu rakyat sipil, seperti evakuasi korban bencana alam dan distribusi bahan makanan atau obat-obatan. Bukan hanya membawa senjata dan menembaki orang."

"Ooh …"

"Yang penting adalah kita belum tertular, alhamdulillah," sambung Tok Aba. "Atok tahu ini berat, tapi tolong jangan keluar rumah dahulu hingga diumumkan sudah tak apa-apa. Sulit mengenali siapa yang sudah tertular pada fase awal."

"Beda dengan fase akhir yang mengerikan," gumam Ice.

"Zombi!" seru Blaze. "Seru ya, seperti di film-film, ya kan Kak Taufan?"

"Iya, tapi kalau di alam nyata jadi menakutkan, Blaze," sungut Taufan. "Tapi aku dengar hampir semua pasien di rumah sakit dipasangi straitjacket bukan? Agar saat berkembang ke tahap lanjutan mereka tidak menyerang orang yang sehat?"

"Berarti harusnya kita aman-aman saja keluar?" tanya Blaze, berbinar.

"Tidak bisa begitu, virusnya mudah menyebar," tepis Solar. "Jika virusnya menyebar melalui cairan tubuh, siapapun yang membuang ludah, bersin, batuk dan sejenisnya bisa mengumbar virus."

Blaze merengut tak puas namun ia tak membantah. Ice menautkan alisnya.

"Tapi bagaimana kalau kita menyendiri?"

Semua kelima saudaranya ditambah Tok Aba menoleh ke arah Ice, seakan menimbang ide tersebut. Tiba-tiba mendapat perhatian yang tak diminta membuat Ice merasa tak nyaman, ia hanya menunjukkan ekspresi meringis.

"Itu ide bagus kalau kita punya lumbung padi atau timbunan makanan lain," sangkal Gempa.

"Supermarket juga sudah ditutup agar masyarakat tidak keluar rumah dan belanja," tambah Solar lagi.

"Iya ya," gumam Ice.

Tiba-tiba terdengar suara keras berdebam dari arah luar, diikuti suara logam berderak riuh seolah pagar mereka dibengkokkan. Seketika itu semua penghuni rumah tegang bercampur gelisah, jantung mereka berdegup kencang. Mereka semua bertukar pandangan, ribuan tanya dan prasangka berseliweran dalam benak. Siapa yang membuat keributan di larut malam begini?

Jelas sekali siapapun itu memiliki niat yang jelek, datang-datang menggedor dinding dan merusak pagar.

"Biar Atok yang periksa," putus Tok Aba.

"Jangan Atok," cegah Gempa. "Biar saya saja."

Gempa langsung berdiri dari tempatnya, seluruh otot di tubuhnya bak tali busur yang terentang penuh. Solar mengekori dari belakang, ia menyambar tongkat kasti milik Duri yang tersandar di dekat lemari kaca. Mata mereka tertuju pada pintu depan yang masih terkunci, sayup-sayup terdengar suara-suara asing di teras rumah.

Sesampainya di pintu depan, Gempa menoleh ke belakang dan matanya beradu pada Solar. Si bungsu hanya mengangguk, tanda ia bersiap. Gempa kemudian menyibakkan sedikit tirai jendela di sisi pintu dan melihat samar-samar sosok berdiri setengah bersandar pada dinding. Kedua tangannya menyentuh daun pintu, kepalanya menggeleng-geleng cepat.

"Aruughhhhh …"

Greeekkk, greeekkk terdengar keras bunyi daun pintu yang digaruk kuat. Beberapa detik kemudian, pintu itu bergetar hebat, dihantam keras-keras oleh orang tersebut. Seakan-akan orang itu melempar tubuhnya sendiri pada pintu dan tak peduli tulangnya akan patah. Gempa sontak mundur ke belakang ketika melihat engsel pintu mulai kendur, tak kuat menahan momentumnya. Sigap, Solar maju dan bersiap mengayunkan tongkat kastinya.

"Kak Gem, dalam hitungan ketiga buka kunci pintunya!"

"Kau yakin?" seru Gempa.

"Yakin! Satu, dua, tiga!"

Gempa membuka kunci pintu depan dan sosok bertubuh besar itu langsung tersungkur jatuh di depan mereka. Solar dengan cepat mengayunkan tongkat kasti itu ke kepalanya berkali-kali tanpa jeda, terdengar bunyi tengkorak yang patah dan area sekitarnya yang mulai lembek akibat pukulan bertubi-tubi. Tepat satu menit sosok tersebut sudah telungkup tak bergerak, darah menggenangi lantai putih tersebut. Kaki dan tangannya membentuk posisi aneh, jari-jarinya hancur sebagian akibat menggaruk daun pintu mereka.

Solar terengah-engah, bola matanya terbelalak dalam kengerian akan baru saja yang ia lakukan. Tongkat kastinya terkena noda darah, begitu pula dengan celana putih yang ia kenakan. Ia tampak gamang, tak menghiraukan Gempa yang ada di sisinya serta tak menyadari kehadiran Tok Aba dan keempat kakak-kakaknya yang rupanya sejak tadi melihatnya menghabisi orang tersebut.

Solar bertanya bagaimana mereka akan memandangnya setelah ini. Saat ia menyerang orang itu, ia sama sekali membuang nurani dan melakukan apa yang harus ia lakukan detik itu pula. Tak ada celah menunggu atau mereka semua akan dalam bahaya. Nyawa satu orang yang bersalah atau nyawa tujuh orang tak bersalah?

Solar tahu keputusannya itu rasional. Namun hatinya tak bisa diajak rasional.

"Solar …?" panggil Gempa, cemas. Solar mengerakkan bola matanya ke arah Gempa tanpa bersuara. Tok Aba mendekati cucu bungsunya itu dengan rasa prihatin, tangannya agak gemetar melihat cucunya berlaku demikian walau itu diperlukan.

"Ayo kita ke dalam," ajak Tok Aba seraya menarik bahu Solar. Duri yang hampir menangis berusaha mengambil tongkat kasti dari genggaman Solar namun sulit, tangan adiknya mencengkram erat tongkat tersebut. Setidaknya, ia menuruti bimbingan Tok Aba agar meninggalkan tempat itu. Ice dan Blaze terlihat sama terkejutnya namun mereka tak mau berkata apa-apa, hanya merasa teriris melihat Solar trauma.

Gempa dan Taufan bertukar pandang, mereka akan membereskan orang ini dan melaporkannya ke rumah sakit usai Tok Aba dan adik-adik mereka di ruangan lain.

Belum sampai lima langkah, tiba-tiba orang itu melompat dan menerjang ke arah Taufan.

Taufan terbelalak, membeku pada tempatnya berdiri. Refleks, Gempa menghantamkan tubuhnya sekuat tenaga ke arah sosok tersebut—keduanya menabrak dinding dengan suara keras.

Mendengar hentakan sekeras itu, sontak Ice, Blaze dan Duri berlari ke ruang depan sementara Solar dan Tok Aba tetap berdiam di ruang keluarga. Ketiganya menyaksikan Gempa tengah menahan kepala orang yang seharusnya sudah mati, sementara Taufan berupaya memiting lengannya. Orang itu melawan dan bergulat dengan alot sekali, membuat Gempa dan Taufan kewalahan.

"RRRRAAAGGH!" raungnya, berulang-ulang. Ia mengamuk hebat. Mulutnya ternganga, giginya yang menguning dan cokelat berusaha mengigit Gempa namun berhasil ditahan pada sisi kepalanya dan pundak.

"Ice, cepat ambil tali!" seru Gempa, panik. Ice segera berlari ke belakang, sementara Duri dan Blaze membantu menahan rontaan orang tersebut. Sulit sekali, tenaganya benar-benar luar biasa. Jika terus begini, mereka bisa ganti diserang.

"Ini pasien yang kabur ya?!" jerit Taufan, masih berusaha menahan lengan orang itu bersama Duri.

"Sepertinya, pakaiannya seperti baju rumah sakit!" balas Gempa.

"Aduh, Kak Gem jangan sampai kena air liurnya!" teriak Blaze, ia menahan sisi tubuh pasien tersebut.

Tiba-tiba, sreeeett! Gigi orang itu berhasil menyobek jaket Gempa, hampir berhasil mengenainya. Gempa menatap kulit lengannya yang terbuka dengan wajah horor. Nyaris sekali!

Di tengah pergulatan sulit itu, Tok Aba dan Solar yang mendengar keributan serta sosok Ice yang berlari ke belakang, memutuskan untuk melihat apa yang terjadi. Melihat keempat saudaranya bergumul kepayahan, sesegeranya Solar tersadar dan berlari ke arah mereka. Ia segera mengambil kain alas vas bunga, menggulungnya dan mengikatkannya pada mulut pasien tersebut. Gigitannya berhasil tersumpal namun sampai berapa lama?

"Kak Gem, kau ter—"

"Ini talinya!" seru Ice, memotong kalimat Solar. Ia membawa tali tambang ukuran sedang dan segera mengikatkannya pada lengan yang dipiting Duri dan Taufan. Dibantu Solar, mereka berdua mengikatnya sekuat tenaga dan Solar menyimpulnya dengan simpul mati. Duri dan Taufan melepas pitingan mereka dengan lega.

"Kakinya!" peringat Solar.

Gempa segera memutar posisi dan membanting pasien tersebut ke lantai, serempak ia, Duri, Ice dan Taufan menahan orang tersebut agar tetap di bawah selama Solar dan Blaze mengikat kedua tungkai kakinya. Setelah ini, semuanya akan aman!

Tanpa disangka, pasien tersebut merobek tali yang mengikat lengannya dan membalikkan badan, menerkam Taufan.

.

.

.

.

Satu bulan kemudian, Pulau Rintis. Pukul 07.32 AM

Halilintar membuka matanya dan memandangi sekeliling. Rupanya ia tertidur sesaat dan Kaizo masih menyetir di sampingnya.

Ia heran dengan pria itu. Halilintar sudah hampir meleleh di kursi penumpang karena saking capeknya—ia mengantuk karena semalam tak tidur, lapar karena tak makan dan minum dari kemarin dan lelah akibat luka-lukanya—tapi Kaizo seperti rampung menenggak kopi satu termos, tak ada kantuk sama sekali. Kalau ia terus-menerus mengikuti Kaizo, ia bisa ambruk kelelahan. Memang sebaiknya ia lanjut tidur saja, tapi rasa cemas kembali memaksanya terjaga.

Halilintar melempar pandangan ke luar jendela mobil Chevrolet bak terbuka tersebut, mereka sekarang berada di jalan utama. Dahulu tempat ini sangat ramai, sekarang pemandangannya sama suramnya. Deretan rumah, properti, bangunan-bangunan besar yang terbengkalai, kendaraan-kendaraan bermotor ditinggalkan pemiliknya, sampah dan barang rongsokan bertebaran di segala arah. Lebih dari satu jam mereka berkendara dari pesisir Pulau Rintis hingga ke pusat kota dan segalanya masih sama saja—tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Memang aneh jika penduduk Pulau Rintis seperti hilang begitu saja. Bahkan hewan-hewan liar seperti kucing dan anjing saja tak muncul.

Halilintar mulai disergap kemurungan yang sama. Apa ia benar-benar sudah terlambat?

Tiba-tiba, mobil itu berhenti pada salah satu bangunan di jalan utama. Halilintar memandang bangunan itu, ia mengenali tempatnya. Itu supermarket besar yang biasa Tok Aba datangi jika mencari keperluan kedai. Namun sejak Tok Aba mulai sakit-sakitan, ganti Halilintar, Gempa dan Taufan yang kerap berbelanja bahan-bahan pokok di sini.

Mengusir bayang memori, Halilintar turun mengiringi Kaizo. Mereka menapaki area parkir yang sangat luas, terlihat beberapa kendaraan bermotor ditinggalkan begitu saja seperti kepanikan yang datang tiba-tiba. Halilintar melihat ada noda darah di mana-mana, sudah mengering namun tak ada jasad sama sekali. Aneh, lagi-lagi aneh.

"Mau cari apa kita ke mari?" tanya Halilintar.

"Petunjuk dan air. Bahaya jika meminum air tak tertutup di sini."

"Kau baca jurnal adikku, bukan? Jika orang yang terinfeksi takut cahaya, tentu mereka sembunyi di dalam ruangan seperti ini selama ada matahari," tukas Halilintar.

"Mereka tak ada di sini," ujar Kaizo.

"Bagaimana kau tahu?"

"Tak ada bau busuk."

Halilintar mencatatnya dalam hati. Lagi-lagi ucapannya ganjil.

"Kalau ada orang yang bertahan, kau bisa lihat dari supermarket seperti ini," terang Kaizo. "Mereka pasti memerlukan obat, makanan, minuman dan produk kebersihan. Perhatikan baik-baik benda apa saja yang hilang dari rak toko dan kita bisa simpulkan. Lagipula, kau lapar bukan?"

Halilintar akui ia tak memikirkan sejauh itu. Cukup masuk akal hipotesis Kaizo—orang-orang yang selamat pasti kehabisan bahan makanan dan keperluan lain. Toko-toko kecil di penjuru Pulau Rintis pasti sudah bersih dijarah karena paling dekat pemukiman, akibatnya mereka perlahan-lahan bergerak menuju pusat kota untuk mencari makanan yang lain.

Itu pun jika ada yang selamat dan bertahan.

Kaizo dan Halilintar menaiki tangga menuju area masuk. Pintu bergulungnya setengah terbuka, mereka merunduk dan segera menyalakan senter. Gelap sekali di dalam dan itu membuat bulu roma Halilintar berdiri. Ia masih ingat bagaimana mereka dikeroyok oleh sekawanan orang-orang itu dan suasana serba gelap ini benar-benar membuatnya tegang.

Walau Halilintar sudah terkena gigitan mereka dan kemungkinan besar ia sudah tertular, tapi siapa yang suka diserang lagi dan dimakan hidup-hidup?

Kaizo berkata jika di sini tak ada mereka. Halilintar ragu, ia menyorotkan senter ke sudut supermarket yang agak berantakan.

"Bagaimana kau bisa yakin sekali mereka tak bersembunyi di sini?" tanya Halilintar, masih sangsi.

"Bau mereka tak ada dan tak ada suara mereka."

Alasan itu lagi? Halilintar tak suka rahasia-rahasia ini, ia tak pandai menebak.

"Bagaimana kau bisa mengendusnya? Kau mengatakan hal yang sama tadi malam."

"Dengar, kau—"

"Tidak, tidak, dengarkan aku," ujar Halilintar, ia berdiri menghadang Kaizo. Ia jengah dengan semua misteri dan ditambah kurang tidur, Halilintar semakin mudah tersulut. "Kemarin malam, kau katakan kau memerlukanku tapi kau tak beritahu untuk apa. Lalu kau mulai mengatakan hal-hal aneh mengenai kau bisa mendengar hal yang tak bisa didengar orang biasa dan kau bisa mengendus bak German Shepherd. Kau tak merasa lelah, matamu terkadang berwarna aneh dan kabut di laut itu tidak melukaimu. Ditambah lagi, kau berkata kalau ada sekelompok orang mengejarmu dan kau jadi buronan. Kau tak bisa menjatuhkan cerita sepenggal-penggal dan berpikir aku takkan curiga, Kaizo! Kau ini siapa sebenarnya?"

Halilintar tampak berusaha mengendalikan lagi rasa jengkelnya walau sulit. Berbanding terbalik, ekspresi Kaizo hanya datar saja, ia memandang kepada Halilintar dengan sorot hambar seakan-akan pidato Halilintar barusan sudah ia perkirakan akan terjadi.

Halilintar menghirup napas dalam-dalam seraya istighfar tiga kali. Ia melempar pandangan ke arah pria yang lebih senior itu.

"Aku hargai privasimu, aku tak suka mengorek rahasia. Tapi, kita ini sedang bekerja sama dan rahasiamu itu berkaitan dengan pulau ini, bahkan mungkin berkaitan dengan keselamatanku dan keluargaku. Kau harus memberitahuku kalau kau mau ini berhasil."

Sorot mata Kaizo tampak terhibur, membuat Halilintar semakin marah. Apa ia sedang mempermainkannya?

"Dari awal, aku tak pernah bermaksud merahasiakannya darimu, hanya saja ini waktu yang tidak tepat," ujarnya. "Tapi, aku memerlukanmu untuk Fang."

"Maksudmu?"

"Karena," jeda Kaizo, matanya tampak sewarna lahar. "Mungkin aku takkan bisa keluar hidup-hidup dari sini, namun kau bisa, Halilintar."

Halilintar mengangkat alisnya, dadanya mencelos. Sirna sudah amarahnya barusan.

"Apa kau lupa kalau aku sudah tertular? Kau yang seharusnya membawa pergi keluargaku, aku takkan selamat dari sini."

.

.

.

.

Bersambung

.

.

A/N

Setelah dua tahun akhirnya diapdet huhuhu sempat mau saya discon selamanya.

Saya rasa ada baiknya meramaikan karya yang bersih, gak ada pairings yaoi atau straight di fandom. Lebih aman dan lebih fokus ke plot daripada asupan menye-menye.

Silakan jika memiliki kritik dan sarannya!