Sebelumnya: Halilintar telah terkena gigitan dan dicurigai tertular penyakit misterius tersebut. Kaizo dan Halilintar menuju pusat kota dan tetap tidak menemukan siapapun. Halilintar mengetahui mengapa Kaizo membawanya ikut serta, yakni karena Kaizo yakin ia takkan selamat dari sana. Sementara itu, sebulan lalu rumah Tok Aba diserang oleh seorang pasien tahap lanjutan. Pasien itu berhasil ditahan, namun melepaskan diri dan menyerang Taufan.
.
.
.
Chapter VI
Pertanda
.
.
.
Pulau Rintis masa sekarang. Pusat kota, tempat perbelanjaan besar. Pukul 07.42 AM.
"Karena," jeda Kaizo, matanya tampak sewarna lahar. "Mungkin aku takkan bisa keluar hidup-hidup dari sini, namun kau bisa, Halilintar."
Halilintar mengangkat alisnya, dadanya mencelos. Sirna sudah amarahnya barusan.
"Apa kau lupa kalau aku sudah tertular? Kau yang seharusnya membawa pergi keluargaku, aku takkan selamat dari sini."
Menjawab pernyataan Halilintar terasa seakan redudansi yang menjemukan. Kaizo menahan sarkasmenya demi tidak menyulut ke arah pertengkaran tak perlu. Ia benar-benar perlu Halilintar koperatif. Mungkin, mungkin di sini, di sudut berdebu dan gelap pada suatu tempat, ada perawatan bagi penyakit aneh ini. Jika Halilintar sembuh, ia bisa membawa Fang pergi sejauh mungkin.
Itu taruhan bernilai satu berbanding satu trilyun tentu saja, namun Kaizo lebih memilih itu daripada kemustahilan hingga ke titik nol.
Kaizo mengubah ekspresinya menjadi netral. Ia membalas sorot mata Halilintar dengan penuh kalkulasi.
"Kita akan mencari informasi soal penyakit ini. Ada fasilitas di sekitar Kepulauan Rintis Tua," ujar Kaizo.
"Fasilitas tempatmu dahulu?" klarifikasi Halilintar.
"Benar. Itu seperti awal yang bagus," komentar Kaizo dengan senyum artifisial. "Sekarang, kemaskan keperluanmu."
Halilintar melempar tatapan berisi ultimatum kalau percakapan mereka belum selesai, ia lalu pergi menuju rak makanan kaleng. Kaizo melihat figurnya ditelan produk-produk komersil berdebu, tiba-tiba terkenang Fang dan dirinya pada suatu waktu tertentu. Jika Kaizo pikir lagi, Halilintar hampir setinggi Fang dan ukuran tubuh mereka juga hampir sama. Sekilas pandang, mereka seperti orang yang sama pula.
Bukan bermakna ia terlalu sentimental hingga berangan Halilintar adalah Fang. Rasanya bumi menariknya terlalu kuat.
Kaizo memutar badan dan menuju area sisi pintu masuk. Ia terus melangkah melewati rak berisi buku catatan, peralatan tulis dan akhirnya rak surat kabar. Kaizo berhenti dan mulai menyeleksi koran demi koran dalam cahaya minim. Matanya dengan cepat melewati tajuk demi tajuk berita, kebanyakan dari mereka adalah berita mengenai virulen misterius, jumlah korban, ketersediaan pangan dan obat-obatan, respons pemerintah serta kepanikan mengenai Pulau Rintis yang dikunci total dari dunia luar. Kaizo melewati semua berita nahas tersebut dan mencari sesuatu berbeda.
Matanya terpaut pada sebuah tajuk cukup menarik di salah satu koran lokal berbahasa Mandarin "Rintis Now", terletak di sudut bawah seolah tercampak. Kaizo mulai membacanya.
["TAMBANG INTAN DIPASTIKAN TAKKAN BEROPERASI SETELAH DESAKAN AKTIVIS LINGKUNGAN."]
Kaizo tersenyum mencemooh. Sejak kapan oligarki mendengarkan aktivis lingkungan?
["... Ancient Forest Alliance (AFA) SEA memuji tindakan ini sebagai langkah melestarikan hutan kuno atau primeval forest yang kian menipis di dunia. Dilansir dari BBC, ketua aliansi mengomentari jika hutan tropis di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan Malaysia, memuat banyak spesies yang belum dikenali.
"Kami mengkhawatirkan kepunahan hewan atau tumbuhan yang bahkan belum sempat dipelajari di hutan ini. Mengingat letak Pulau Rintis dikelilingi laut, pihak akademik bisa meneliti keragaman hayati dan bagaimana habitatnya, serta evolusi beberapa jenis serupa dalam isolasi geografis ... "]
Kaizo menghafal letak tambang intan itu dan mengembalikan korannya. Mungkin seperti tembakan undian, namun ada sesuatu yang tak bisa Kaizo abaikan begitu saja. Dalam daftar mental, Kaizo menaruhnya dalam prioritas nomor sekian dari sekian. Sekarang, ia harus memperbarui suplai obat-obatannya.
Hampir tiga puluh menit berlalu semenjak mereka menyusuri swalayan gelap gulita tak ditunggui itu. Tak ada basa-basi apapun antara Halilintar dan Kaizo selama mereka menjarah komoditas, hanya ada suara barang dikemas ke dalam tas dan langkah samar.
Kaizo rampung lebih dahulu dan tengah menunggu Halilintar selesai di pintu masuk. Matanya memandang ke luar sana, tepatnya area halaman mall yang lengang. Bayang matahari semakin memanjang, Kaizo melirik jam tangannya.
Pukul 8.12 AM.
Dari kejauhan, di sesela ilalang tinggi, Kaizo melihat kelebat hitam yang sangat cepat menghindari cahaya. Tungkainya panjang sekali, bergerak ganjil saat merayap masuk ke saluran air. Kaizo tak melepaskan pandangannya untuk mengenali bayangan apa itu, namun sayangnya sudah ditelan kegelapan.
Ia bertanya sebanyak apa misteri di pulau ini.
Terdengar bunyi decitan sepatu halus memupuskan renungan. Kaizo menoleh, terlihat Halilintar berjalan mendekatinya sembari menggendong ranselnya yang agak penuh. Mereka bertemu pandang.
Tanpa bertukar kalimat, mereka keluar dari pusat perbelanjaan tersebut. Angin kencang berembus menerbangkan tanah merah dan dedaunan kering, gemerisik suaranya terdengar melankolis. Membisu, mereka menuju Chevrolet Silverado hitam yang diparkir tak jauh dari area tangga masuk.
Kaizo melempar lagi pandangan ke arah di mana ia menangkap sosok asing tersebut. Kosong, hanya ada rumput ilalang tinggi menutupi saluran air dan tumpukan sampah. Baunya pun lenyap dilebur angin dan air. Tak mungkin ia salah lihat. Matanya terlampau tajam. Hidungnya terlalu sensitif. Apa itu? Apa ia tertarik pada bau mereka?
"Ada apa?" sebuah suara memecah konsentrasinya. Pria itu memalingkan wajah dan melihat Halilintar tampak bertanya.
Kaizo tak menyahut dan langsung membuka pintu Chevrolet. Halilintar membeonya dan membuka pintu belakang, ia menaruh ranselnya di sana sedang Kaizo melempar tasnya ke kursi sebelah pengemudi. Pria itu memosisikan dirinya di belakang setir dan tanpa sadar mengerling ke arah jok belakang melalui kaca spion.
Tak ada siapapun di luar mobil mereka. Hanya ada Halilintar yang tengah menepuk-nepuk lipatan jaketnya seolah bersiap hendak tidur, namun ia seperti menahan diri. Matanya tampak lelah sekali, tiba-tiba ia menatap ke arah Kaizo.
"Sekitar jam 12 nanti, bisakah kau beritahu aku? Jamku mati kena air laut," pinta Halilintar.
"Mau apa?"
"Mau shalat Zuhur."
"Hm."
Kaizo memutar kunci mobil dan mesin pun menyala. Otomatis, radio yang tadinya mati juga ikut menyala dan tiba-tiba terdengar suara yang tak nyaring namun membawa pesan menggelegar bagi Kaizo dan Halilintar.
["Perhatian, residen Pulau Rintis! Mohon evakuasi diri Anda dan keluarga Anda secepatnya. Ikuti arahan petugas dan mengungsi menggunakan bus yang telah disediakan, Anda akan tiba di pos kesehatan untuk tes darah sebelum tiba di tempat aman. Mohon kemaskan barang seperlunya. Mohon tetap tenang dan ikuti arahan petugas. Kami ulangi … "]
Pesan itu berakhir, lalu berulang lagi. Jelas sekali ini hanya rekaman semata dan kebetulan frekuensinya tertangkap oleh radio mobil mereka. Halilintar tiba-tiba hilang kantuknya, ia menyorokkan tubuhnya ke kursi depan.
"Ini pesan broadcast?"
"Ah," afirmasi Kaizo. "Sepatutnya awal kejadian pesan ini disebar ke seluruh media, termasuk ponsel dan semua stasiun radio."
"Sebelum kemari, kita menyalakan radio dan tak menemukan apapun."
"Mungkin beberapa stasiun sudah habis daya," terka Kaizo. "Rekaman ini sama sekali tidak menunjukkan lokasi."
"Ya, tetapi ini pertanda kalau mungkin di suatu tempat mereka semua selamat," ujar Halilintar penuh harap.
Kaizo diam tak menjawab. Ia rasa jika mereka semua selamat, mengapa sama sekali tak ada komunikasi? Tak ada pesan apapun yang diterima Halilintar dari keluarganya atau Fang. Kaizo bisa paham jika ada orang yang memancingnya ke Pulau Rintis, namun apa mereka kira orang lain takkan bertanya dan berusaha menyelidiki? Cepat-lambat dunia luar akan mengendus keganjilan sebesar ini.
Tak mungkin mereka akan melenyapkan satu pulau. Mungkinkah?
Chevrolet itu bergerak keluar area parkir dan menapaki badan jalan utama. Mata Kaizo terus bergantian ke arah kaca spion dan jalan di depannya, agak waspada dengan area ini dan sosok aneh yang ia lihat. Pria itu mengingat dua pisau berburu di pinggangnya dan sebuah handgun Sig Sauer terpasang strap di dada. Satu magasin terselip di ikat pinggang, dua lainnya tersimpan di tas. Ia harap tak pernah perlu memakai pistol karena bisa memancing perhatian tak diinginkan. Di samping senjata, Kaizo juga memperhitungkan kemampuan Halilintar membela diri dalam keadaan terluka. Itu kecil rasanya—bisa jadi ia malah mati di sini.
Kaizo menghela napas. Oh, betapa bencinya ia harus bertanggung jawab pada nyawa manusia lain, melibatkan Halilintar mulai terasa ide yang buruk. Benarkah Halilintar masih berguna bagi Kaizo untuk membawa Fang pergi? Bisakah mereka menemui obatnya tepat waktu?
Bila nanti mereka tak menemukan vaksinnya dan membuat Halilintar tak berguna bagi tujuannya, apa yang akan Kaizo lakukan? Halilintar sudah terinfeksi, kemungkinan ia berubah menjadi mutan jauh lebih besar daripada ia sembuh. Apa ia akhiri saja nyawa Halilintar sekarang agar tak merasai kesakitan lebih jauh? Tapi, Kaizo bukan pembunuh yang membunuh duluan atas dasar masa depan yang belum terjadi. Ia hanya percaya pada membunuh karena membela diri saja, bukan ofensif.
Jika Fang di sini, ia mungkin akan menegur Kaizo karena kurang empati pada orang yang terluka dan sakit. Hatinya terlalu basah semenjak bergaul dengan teman-teman Melayu-nya itu. Mujur praduga Fang mengenai tabiat bekunya tak sepenuhnya benar. Kaizo bisa peduli, dalam syarat dan kondisi tersendiri.
Kaizo merogoh sebuah pisau berburunya pada pinggang. Seraya terus menyetir, Kaizo melepas pisau itu bersama sarungnya dan melemparkannya ke jok belakang. Pisau itu mendarat di sebelah Halilintar.
"Apa ini?"
"Bawa saja," gerutu Kaizo.
Halilintar mencabut senjata itu dari sarungnya. Ia memerhatikan mata pisaunya dengan seksama.
"Ini kualitas bagus," gumam Halilintar. "Terimakasih."
Kaizo tak menjawab. Logisnya, Halilintar lebih dahulu mati terjangkit virus sebelum menemui vaksin—tapi ia bisa lebih dahulu mati akibat tak mampu melawan serangan manusia terinfeksi, karenanya Kaizo memberikan Halilintar pisau berburu terbaiknya. Kalau Halilintar terus memburuk begini, tak akan ada yang bisa mengamankan Fang dari sana. Mereka semua akan terjebak selama-lamanya di Pulau Rintis.
Sekarang, apa rencana cadangannya?
Benaknya riuh pada masa depan tak pasti. Fang, apa ia masih hidup? Kaizo rasa masih hidup walau ada harganya. Jika ia dipancing ke sini, sangat mungkin orang-orang dari fasilitas itu yang membawa Fang. Lalu apa yang mereka inginkan dari Kaizo? Ia tak mengingat apapun dan tak membawa apapun ketika melarikan diri.
Bahkan Kaizo tak tahu itu fasilitas apa. Semuanya samar sekali, seperti mimpi yang terbenam di bawah air.
"Perjalanan ini akan panjang," gumam Halilintar dari jok belakang. "Keberatan jika kau bercerita sedikit?"
Kaizo mengerutkan alis. Sebenarnya ia enggan memberitahu informasi sensitifnya, namun memang sudah saatnya ia bercerita. Jika ia timbang lagi, memang tampak tak apa membongkar hal yang ia tahu. Walaupun Halilintar membeberkan kisahnya ke orang lain, jelas sekali seakan isapan jempol. Hanya seperti naskah picisan saja dan takkan digubris, mana ada yang mau percaya kecuali mereka mengalami sendiri? Perlu bukti kuat dan verifikasi figur otoritas tinggi seperti menteri atau PM. Kaizo curiga jika memang ada pihak yang menutupi semua konspirasi ini.
Tetapi Halilintar—juga Fang—akan terancam hidup mereka karena informasi Kaizo. Mereka bisa diburu seumur hidup, bahkan dibunuh.
Kaizo bertanya seberapa banyak pihak yang terlibat dalam kejadian mengenaskan ini. Mungkin malah terikut pula negara-negara lain, mustahil hanya satu negara saja yang tahu!
Di sisi lain argumen, Kaizo memberitahu atau tidak itu tak ada bedanya. Baik Halilintar dan Fang sudah meniti garis tipis antara maut-hidup semenjak terlibat perkara ini. Mereka sudah menjadi target bidikan badan intelijen karena sudah datang ke sini dan melihat semuanya. Jika Kaizo membongkar informasinya sebelum ia mati, mungkin akan membantu. Mungkin, mungkin mereka bisa lari walau seumur hidup.
Konyol, bodohnya ia. Mana bisa?
Kaizo melirik pada kaca spion di atas. Halilintar tampak menahan kantuk berat demi mendengar apa yang akan Kaizo katakan.
"Seperti yang aku katakan di awal, aku dipindahtugaskan dari perbatasan laut Sabah ke sini, lebih tepatnya pulau terpencil bernama Bakau," ujar Kaizo. "Aku hanya ingat memasuki fasilitas besar di sana. Berbeda dengan ucapan atasanku yang memutuskan aku mendiami markas Pulau Rotan."
"Di Pulau Bakau hanya ada kau sendiri?"
"Tidak," gumam Kaizo sembari melempar pandang ke luar mobil. Masih tak ada siapapun. "Aku bersama sekumpulan tentara lain berjumlah 60 orang. Mereka pun dimutasi dari markas lain, bahkan ada yang dari angkatan udara serta angkatan darat. Ini bukan mutasi biasa, sebab seolah dipilih dari kesatuan yang lain pula."
"Apa kesamaan antara mereka semua?" tanya Halilintar.
"Kami semua anggota terbaik," gumam Kaizo. "Jejak rekam mulus, uji fisik, kecerdasan, akurasi dan aspek lainnya."
"Di mana mereka semua sekarang?" selidik Halilintar.
Sayangnya, Kaizo tak mendengar pertanyaan Halilintar itu karena ia terkejut. Dari kaca spion, Kaizo menyaksikan sosok manusia bertungkai panjang tengah berderap cepat mengejar mobil mereka di belakang. Mulutnya menyeringai, matanya memutih, kulitnya berwarna abu-abu dan penuh tutul cokelat. Ia tampak seperti di bawah pengaruh narkotika.
Kaizo menginjak pedal gas dan mobil itu semakin melaju, namun sosok itu kian cepat mengejar. Halilintar terkesiap.
"Apa-apaan ini?"
"Lihat saja ke belakang!"
Halilintar menoleh dan matanya membola melihat sosok berkaki panjang bak belalang berlari kencang menyerupai makhluk mitos. Mulutnya terbuka.
"Dia lebih cepat daripada orang-orang yang kita temui tadi malam!" seru Halilintar.
"Mutasi lain," rutuk Kaizo, ia menyetir berbelok menghindari jajaran mobil terparkir. "Mungkin lebih kuat juga."
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Halilintar, matanya tak lepas dari sosok misterius tersebut yang bisa mengimbangi kecepatan mobil.
"Aku sedang mencari medan agak tersembunyi, kita tak tahu seberapa banyak mutan ini."
Halilintar melepas sarung pisau berburunya, matanya terus tertuju pada sosok yang mengejar mobil mereka. Ia memang masih sakit, namun ia tak mau mati tanpa perlawanan. Jika mutan itu terlalu dekat, Halilintar bisa menusuknya.
Hal selanjutnya terjadi di luar dugaan mereka. Manusia mutan tersebut tiba-tiba melompat tinggi dan badannya menubruk mobil tersebut. Akibat kuatnya tenaga, mobil mereka oleng—sisi buritan menabrak mobil penduduk yang teronggok sembarangan. Kaizo berhasil menyeimbangkannya, ia merogoh Sig Sauer dari sarungnya.
"Ke sini, Halilintar!" bentak Kaizo.
Tanpa menjawab, Halilintar pindah ke kursi sebelah Kaizo. Dari kaca jendela, tampak mutan itu mencengkram sisi mobil dan sebelah tangannya memukul kaca mobil hingga pecah.
Kaizo menginjak rem dan langsung berbalik, menembak.
DOR! DOR! DOR!
Suara letusan peluru memekakkan telinga, Halilintar merunduk dan menutup telinganya. Peluru-peluru itu menembus tengkorak mutan tersebut—di mata, pipi dan dahi. Untuk sepersekian detik, Kaizo mengira ia akan tumbang dengan mudah seperti mutan-mutan lain di rumah Tok Aba tadi malam, namun sama sekali tidak.
Manusia mutan itu tetap merangsek masuk dari lubang kaca yang pecah, Kaizo menembakinya lagi. Suaranya beruntun menulikan gendang telinga siapa saja, terutama area sempit tertutup seperti mobil ini.
"Halilintar, cepat keluar dan masuk ke bangunan terdekat!" seru Kaizo, di sesela letupan Sig Sauer-nya.
Halilintar langsung membuka pintu mobil dan berlari memasuki halaman tak terawat Rumah Sakit Pulau Rintis. Kaizo setengah hati memikirkan implikasinya, sembari melubangi kepala mutan itu. Darah terpercik ke seluruh penjuru mobil, namun mutan itu hanya agak melamban saja. Ia tetap mampu bergerak masuk walau sebagian kepalanya sudah hancur.
Sekilas, Kaizo melihat sesuatu pada lengan si mutan. Ia terbelalak.
Kaizo segera menjatuhkan pistolnya, mencengkram sisi jok mobil dan menendang keras kepala mutan tersebut. Terdengar bunyi debam dan mutan itu langsung jatuh tak bergerak. Separuh badannya tergolek di jok belakang, menindih ransel Halilintar.
Berhasil.
Kaizo berasumsi jika harus mematahkan leher atau memutus sistem saraf tulang belakang agar mutasi baru ini mati. Tak hanya menembaki kepala saja, virus ini lebih tangguh daripada biasanya.
Pistolnya terasa panas membara, namun Kaizo tetap menyarungkannya di strap dada. Dengan cepat Kaizo keluar dari mobil dan menarik mayat mutan yang terjepit di jendela. Mutan itu tak memakai pakaian kecuali celana pendek lusuh dan kakinya terlalu panjang, hampir setinggi tubuh Kaizo.
Dengan kasar Kaizo melemparnya ke tanah, lalu membuka jaket kulitnya dan membungkus kepala manusia mutan tersebut. Dengan kuat, ia mengikatnya hingga terselubung sempurna. Kaizo lakukan ini agar jika mutan ini bangkit lagi, ia tidak mengigit orang terdekatnya.
Kaizo mengangkat manusia mutan tersebut dan menyampirkannya di pundak. Ia kemudian cepat-cepat berjalan menyusul Halilintar. Dari semua tempat, mereka harus berhenti pada rumah sakit tempat segala penyakit. Ini sangat riskan, namun boleh jadi satu-satunya tempat informasi jelas bagi penyakit misterius ini. Mungkin ada dokumen konfidensial terselip, mungkin masih ada pasien terjebak, mungkin masih ada mutasi baru, mungkin masih ada mutan yang lebih alot lagi dikalahkan …
"Kau tergigit?" tanya sebuah suara. Kaizo menemukan Halilintar muncul dari sisi pos gerbang rumah sakit, tangan kanannya memegang pisau berburu.
"Tidak."
Kaizo kini melempar pandang pada halaman rumah sakit itu—tenda-tenda biru memenuhi lapangan, kebanyakan sudah rusak dan roboh. Debu dan tanah mengotori kain terpalnya, peralatan kesehatan, kotak-kotak kontainer dan peti-peti jenazah berhamburan di sana-sini. Bau busuk darah lama, cairan tubuh, dan lainnya bercampur aduk menjadi satu namun Kaizo tak mencium bau yang baru. Semuanya bau yang sudah lama tertinggal dan berkali-kali diterpa hujan serta angin. Rumah sakit ini seperti ditinggalkan semua pekerjanya dengan tergesa-gesa.
Kaizo melangkah memasuki area tersebut dengan waspada walau telinganya tidak mendengar bunyi aneh. Halilintar mengiringinya dengan sorot mata menyelisik tiap sudut area, terutama jenazah yang tersampir di bahu Kaizo.
"Kenapa kau membawa mayatnya?" tanya Halilintar, risih.
"Aku melihat sesuatu yang menarik tadi."
Mereka berjalan mengitari kerumunan tenda tersebut dan tiba pada pintu masuk yang terbuka lebar. Halilintar menjengukkan kepalanya ke dalam dengan ragu-ragu, sementara Kaizo berjalan masuk tanpa berhenti. Gelap sekali dan banyak barang-barang berserakan walau tak sekacau yang dikira—memang benar adanya tempat ini ditinggalkan secara tiba-tiba dan begitu saja. Ia hanya lega hidungnya tak mengendus bau busuk mutan, setidaknya mereka sama sekali tidak ada untuk lantai dasar. Entah bagaimana untuk lantai lainnya, ia takkan heran jika tempat ini sumber mutasi virus terbaru.
"Kaizo, ini berbahaya," desis Halilintar seraya mengenggam pisaunya. Kaizo menoleh ke belakang dan melihat Halilintar masih berdiri di mulut pintu masuk. Wajahnya berkerut khawatir dan curiga.
"Untuk lantai ini mereka tak ada," sahut Kaizo dari dalam kegelapan lorong.
"'Lantai ini'?" ulang si pemuda, skeptis.
"Kau tahu aku takkan diam saja jika itu terjadi lagi."
Halilintar tak menjawab. Kaizo tahu ia was-was dan trauma, namun ia sangat yakin tak ada siapapun menghuni lantai dasar.
Dengan langkah pasti, Kaizo memasuki salah satu ruang poliklinik. Halilintar mengekor agak jauh di belakang sambil menyorotkan senter, matanya awas menelaah tiap ceruk gelap. Jelas sekali ia tak sepenuhnya percaya pada klaim Kaizo barusan, namun ia juga tahu insting pria aneh itu tak pernah salah sebelumnya.
Kaizo melihat interior poliklinik umum tersebut dan menemukan tempat tidur pasien yang berantakan. Di meja dokter, kertas-kertas berceceran dan gelas pena tumpah ke lantai. Seraya menyingkirkan kursi yang terbalik, Kaizo meletakkan mayat mutan itu di atas ranjang. Kedua tungkai kakinya tak muat karena saking panjangnya, lantas terkulai hingga menyapu lantai.
Tampak seberkas cahaya senter Halilintar dari pintu poliklinik menyinari separuh kamar. Kaizo merogoh sakunya dan turut menyalakan senter, ia menyorotkannya pada sisi tubuh mayat tersebut.
"Apa yang kau cari?" tanya Halilintar, ia berdiri di kaki ranjang dengan waspada.
Kaizo tak menyahut, ia mengangkat lengan mutan tersebut dan memfokuskan cahaya senternya pada area bisep.
"Kau lihat ini?"
Halilintar mendekat dan memicingkan mata. Sedetik kemudian, matanya membola.
"Kenapa ada serangkaian titik kecil?"
"Itu bukan titik kecil tapi lubang kecil, aku kenal polanya," ujar Kaizo. "Tepat usai aku lari dari Pulau Bakau, aku juga memiliki pola yang sama pada lenganku. Sekarang sudah tak ada bekasnya."
Halilintar menatap Kaizo dengan perasaan berkecamuk.
"Jarum? Tapi membentuk dua baris kolom."
"Mungkin saja," gumam Kaizo. "Teori lain mengapa mutan ini tak sembuh dari luka sekecil itu karena sudah lama ia tak makan."
Kaizo membalikkan jenazah di depannya dan menyorotkan senter pada punggung mutan tersebut. Halilintar terkesima.
Di kulit punggung mutan itu terdapat banyak bekas luka dengan berbagai macam lebar dan panjang. Beberapa seperti luka bakar tingkat dua merambah tingkat tiga terpatri di belikat. Sebagian luka parut tampak mendominasi dan melintang seolah jeratan.
Halilintar memalingkan wajahnya ke arah Kaizo dengan sejuta tanya. Kaizo hanya diam, ia menaruh senternya pada meja, membalikkan tubuhnya dan menyingkapkan kaus putihnya.
Di sana pada ekspansi kulit punggung, tampak luka-luka parut memenuhi permukaan dalam berbagai ukuran. Sebagian ada luka bakar yang berwarna agak gelap, namun bekas luka-luka itu lebih samar warnanya dan terkelabui lekukan otot daripada tampilan horor mayat mutan di depan mereka. Walau tak seburuk itu, tetap saja implikasi dari ini sama sekali tidak menyenangkan.
"Ya Allah robbi," bisik Halilintar memucat. "Apa kau … apa kau ingat dari mana semua luka ini?"
Kaizo menurunkan kausnya, ia membalikkan tubuh.
"Sewaktu aku keluar dari Bakau, aku tak merasakan sakit sama sekali."
Raut Halilintar tampak mendung. Ia mengeratkan jarinya pada senter di tangan, di benaknya berlarian sejuta ide teraduk emosi. Ia semakin kalut pada nasib keluarganya sekarang.
"Jika mutan ini dari fasilitas yang sama denganmu, mengapa kau berbeda?" tanya Halilintar.
"Aku sedang mencari tahu. Yang jelas, masih ada hubungan antara penyakit misterius ini dan lokasi penggalian tambang intan walau aku tak ada buktinya."
"Tambang?"
"Aku membaca koran di swalayan tadi," sahut Kaizo. "Ada kolom mengenai tambang intan yang diblokade dan serombongan aktivis."
Halilintar mengerutkan alisnya. Ia tak bisa menarik deduksi apapun dari sana, seolah itu dua kejadian tak berelasi sama sekali. Kaizo pun tidak memberikannya jeda untuk memroses, ia menghela napas berat.
"Dengan bukti konkret seperti ini, jelaslah ada konspirasi besar yang menyangkut kuasa jauh lebih besar daripada kita," kata Kaizo. "Ini terlalu berbahaya. Sekarang, lawan bukan lagi mutan tak berakal tetapi akal bulus manusia. Lebih baik kau diam saja dan jangan ikut aku."
Halilintar terlihat mematung mendengar kalimat terakhir yang tak diduganya. Sedetik kemudian air mukanya berubah menjadi tak percaya.
"Kau bercanda? Aku ikut, aku mau mencari keluargaku juga!"
Kaizo mendelik jengkel.
"Jika aku mengetahui keberadaan Fang, aku juga akan tahu di mana keluargamu. Takkan aku diam saja dan tak menyelamatkan mereka."
"Bukan itu maksudku—"
"Apa? Kau ingin berjasa pada misi bunuh diri?"
Wajah Halilintar memerah menahan marah bercampur gemas. Ia balas pandangan dingin Kaizo.
"Aku hanya ingin berguna bagi keluargaku sendiri saat mereka paling memerlukanku."
"Kau akan lebih bermanfaat jika kau tak ikut aku," ujar Kaizo. "Jangan menambah jumlah korban."
"Betul, jangan menambah jumlah korban," balas Halilintar.
Urat leher Kaizo mulai muncul. Ia tak mengerti isi kepala naif Halilintar—bukankah seharusnya ia senang tinggal ayun-ayun kaki menunggu, sementara Kaizo bersiap pasang badan? Apa sukarnya ia egois sebentar dan ambil jeda sejenak menjadi sok pahlawan?
"Halilintar, dengar," sua Kaizo, ia mengubah nadanya menjadi lebih rendah. "Saat ini, kau kelelahan berat. Kau terluka, kau sudah tertular dan sama sekali belum makan atau minum dari kemarin. Andai saja kau tak tergigit, aku sudah mengantarmu keluar pulau ini namun sekarang aku minta kau duduk diam di lokasi aman, istirahat sampai aku datang. Jika kau sakit, kau takkan berguna sama sekali bagi keluargamu dan kau hanya akan menyusahkanku saja."
Seluruh jejak kesal dari raut Halilintar tampak luruh saat termakan logika Kaizo. Matanya menatapi lantai yang berdebu dan alisnya berkerinyit, Halilintar mencerna ujaran mantan tentara tersebut. Kaizo lantas mengembuskan napas kecil.
"Aku harus lakukan ini lagi," imbuhnya. "Maaf ya."
Belum sempat Halilintar bertanya apa maksudnya, tiba-tiba Kaizo mencekik lehernya. Halilintar tak sempat menghindar, ia hanya bisa meronta pada pagutan besi Kaizo. Semu wajahnya berubah warna akibat arteri yang terjepit, praktis memutus sebentar arus darah ke otak. Hanya memerlukan waktu beberapa detik baginya untuk kehilangan kesadaran, Kaizo sengaja tak langsung melepaskan cengkramannya untuk beberapa saat agar Halilintar pingsan lebih lama.
Tak sampai separuh menit, Kaizo melepaskan cekikannya dan menahan tubuh Halilintar sebelum merosot jatuh membentur lantai. Sudah dua kali ia melakukan itu pada Halilintar—walau Kaizo dapat mempraktikan cekikan bela diri dengan relatif aman, bukan berarti ia suka melakukannya pada orang tak bersalah.
Jangan kejam, Abang. Mereka manusia juga. Sakit, tahu.
Sekarang, suara nuraninya mirip Fang. Rasanya ia seperti habis menyakiti adiknya itu.
Dengan menelan rasa tak nyaman sudah menyerang Halilintar lagi, Kaizo membawa pemuda itu dari ruang poliklinik umum menuju keluar rumah sakit. Ia berjalan mengambil ransel Halilintar yang tertinggal di mobil dan pergi ke bangunan di seberang jalan—sebuah kantor bank yang terbengkalai. Kaizo tak mengendus bau busuk mutan di sana, lantas ia membaringkan Halilintar pada sofa ruang tunggu. Ia kemudian meletakkan senter dan pisau berburunya di meja serta ranselnya di sisi sofa.
Kaizo melangkah keluar dan menutup pintu kantor tersebut. Ada perkara yang harus ia bereskan.
.
.
.
Bersambung
.
.
A/N
Terimakasih banyak pada reviewer chapter 4 sebelumnya Fauzan MZ - hanzamerta - scorprea - Guest - dnadna - kARImu, terimakasih menyempatkan waktu menyapa saya!
Terimakasih banyak juga pada reviewer chapter 5 psalp - truongyenvyyb2006 - Sind - Sky Liberflux - dnadna - Hydrangea Rose - yuuna eunchea, terimakasih mau mampir dan menaruh krisar!
Special thanks juga ke teman saya, Hanna, atas konsul soal nama ruangan di rs via chat.
Special thanks jugaa untuk Sky Liberflux buat koreksi spelling via chat~
Untuk chapter depan, kita masuk fase perubahan Halilintar yaa dan di chap-chap depan bersiap aja sama plot twist huhuhu. Jangan berharap akhir yang bahagia ya ahaha.
Sekali lagi, saya mau katakan juga kalau mari kita berkarya yang bersih dan tidak menyebar keburukan bagi audiens.
Salam hangat, DC.
Silakan kritik, saran dan komentarnya!
