Sebelumnya: Kaizo menemukan artikel mengenai tambang intan yang ganjil, hanya beberapa lama kemudian ia dan Halilintar diserang oleh mutan jenis baru. Mereka digiring ke Rumah Sakit Pulau Rintis yang sudah tak berpenghuni, di sana mereka mendapati tanda titik-titik lubang pada lengan mutan baru itu. Kaizo memberitahu jika ia dahulu memiliki pola titik tersebut dan bekas-bekas luka di punggung yang sama pula. Mereka menarik kesimpulan jika mereka berhadapan dengan kuasa besar. Kaizo bertengkar dengan Halilintar dan berakhir dengan Kaizo mencekiknya hingga pingsan.

.

.

.

Chapter VII

Khianat

.

.

.

Pulau Rintis, Masa Kini. 02.14 PM.

Halilintar perlahan membuka matanya dan mengerjap lamban. Separuh sadar ia menangkap suara-suara dari kejauhan, ia berusaha memahaminya namun sulit.

Halilintar memaksa kelopak matanya melebar. Pandangannya langsung beradu pada langit-langit putih berdebu. Di mana ia?

Kesadaran mencecarinya dengan sensasi yang membanjiri sistem saraf—lehernya terasa pedih dan tenggorokannya kering sekali, ditambah sekujur tubuh terasa nyeri. Halilintar berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum siuman, namun rasanya seperti rekaman yang gagal berputar. Ia menoleh pada sekeliling untuk mencari petunjuk.

Agaknya ia tengah berbaring di sofa berdebu resepsionis kantor yayasan. Cahaya matahari merasuki ruangan melalui pintu kaca, menerangi sebagian area dengan temaram. Halilintar melihat sebuah senter serta pisau berburu asing tergeletak di meja dekat sofanya.

Pisau dan senter milik siapa itu? Milik Kaizo, kalau ia tak salah ingat namanya. Di mana pria itu sekarang?

Seketika itu bendungan memorinya pecah, seakan tsunami yang menghantamnya dengan momentum besar. Kaizo! Kaizo si berdarah dingin itu menyerangnya lagi hingga dia pingsan. Ia melarang Halilintar terlibat lebih jauh karena terlalu berbahaya—lawan yang mereka hadapi bukanlah dalam jangkauan kuasa mereka dan Kaizo pikir ia mampu membuat perubahan berarti? Memangnya sekuat apa ia?

Halilintar segera duduk dengan mata nanar, kegelisahannya semakin menderu. Abaikan soal Kaizo, ia baru teringat kalau lawan mereka memiliki kuasa dahsyat. Satu jentikan jari saja sudah mampu membuat hidup mereka semua menderita. Kaizo berkata ia takkan hidup setelah ini, apa ia sudah curiga dari awal? Apa ini berarti sirna sudah kesempatan mencari keluarganya?

Agak limbung, Halilintar berusaha berdiri namun ia dikejutkan dengan tusukan rasa sakit pada kakinya. Halilintar kembali duduk, ia baru ingat jika pahanya terluka cukup dalam akibat gigitan mutan. Obat peredam nyeri telah habis efeknya, hanya menyisakan serabut saraf yang berisik menjerit dalam peringatan.

Halilintar menggigit bibir. Ia harus menguatkan diri. Jangan cengeng, tahan, tahan. Jangan lemah. Ia harus pergi mencari keluarganya.

Sayangnya belum sempat Halilintar berdiri tegak, tiba-tiba pintu kaca kantor tersebut dibuka dengan suara keras. Halilintar menoleh dengan jantung terlonjak, matanya membelalak.

Segerombolan personel berbaju hitam-hitam dengan pelindung kepala, dada beserta senjata api laras panjang berhamburan masuk. Wajah-wajah mereka ditutupi masker hitam, mata mereka fokus pada Halilintar—mereka semua mengarahkan moncong senjata api itu padanya seolah ia adalah buronan interpol.

Waspada, Halilintar refleks berdiri. Gerakan tiba-tibanya itu menyebabkan personel terdepan mundur ke belakang seakan mengira Halilintar akan menerjang mereka. Seseorang dari mereka bersiap menarik pelatuk ke arah dahinya, namun seorang lagi menurunkan mulut bedilnya.

"Tahan, ia bukan mutan!" serunya. "Cepat bawa dia."

"Siapa kalian?" tanya Halilintar.

"Diam saja dan ikut," gerutu salah satu personel tersebut.

"Berlutut!" seru seorang dari mereka.

Beberapa dari mereka segera maju mengepung Halilintar dan seorang lagi mendorong kencang bahunya agar ia berlutut. Halilintar berkelit dan menyikut solar plexus personel tersebut, ia hampir berhasil menerobos kabur namun tulang pipinya keburu dihantam oleh senapan. Halilintar jatuh terjerembab, kepalanya terasa berputar.

"Kau akan ditembak kalau melawan petugas!" hardik seseorang.

Tiga orang menahan tubuh Halilintar yang masih di lantai, seorang personel mengikat kedua tangan Halilintar ke belakang dengan tali ziplock. Kunciannya begitu ketat dan Halilintar menahan pedih saat bahu dan lengannya terpelintir. Ia merasai dengan jelas luka yang hampir tertutup mulai robek lagi.

"Ayo!"

Dua dari mereka masing-masing mencengkram kedua lengannya dan menariknya agar berdiri.

"Cepat, cepat!"

Halilintar digiring ke luar dengan kasar. Ransel, topi, senter dan pisau Kaizo terpaksa ditinggalkan begitu saja di sana.

Di luar, Halilintar melihat tiga mobil besar yang terparkir di tengah badan jalan. Mobil-mobil itu seperti standar operasional militer, tak heran ada banyak personel berseragam yang siaga dengan senjata api. Otak Halilintar masih berkabut, ia berusaha memikirkan jalan keluar namun mustahil ia bisa lari dalam kondisi tak imbang begini.

Naskah film memang membuat usaha pelarian terlihat mudah. Dalam realitas, ia hanya akan menjadi samsak tinju bagi personel kasar-kasar atau kakinya ditembak.

Halilintar dibawa ke sebuah mobil minivan hitam. Seorang dari personel membuka pintu belakangnya yang dipasangi teralis kokoh. Halilintar didorong masuk bersama empat personel lain sebagai penjagaan. Usai itu, pintu ditutup dengan bunyi keras dan dikunci dari luar. Musnah sudah harapannya untuk melarikan diri, ia harus menghadapi takdir buruk di depannya sekarang.

Halilintar menyaksikan dari jendela berteralis jika mobil pertama mulai berjalan, tak lama kemudian disusul dengan van tempatnya dikurung dan mobil terakhir yang mengekori mereka. Iring-iringan itu bergerak cepat menusuk lebih dalam jantung Pulau Rintis.

"Ke mana kita?" tanya Halilintar dengan nada masygul bercampur cemas.

Keempat personel itu tak menjawab, mata-mata gelap mereka hanya memandang ke arah Halilintar dengan bosan. Tak puas karena nihilnya jawaban, Halilintar semakin tegang bercampur marah.

"Di mana temanku?"

Seorang personel menampar Halilintar dengan keras, membuat kepala Halilintar membentur teralis.

"Diam!"

Halilintar menahan erangan kecil, matanya berkunang-kunang dan ada letupan rasa sakit di area pukulan. Ia harap tak menyebabkan luka serius, sebab ia tak yakin berapa lama lagi tubuhnya bertahan antara gempuran virus, luka, malnutrisi dan kelelahan.

Setengah linglung, Halilintar berusaha menjauh namun seorang personel menjambak rambutnya dan tiba-tiba wajahnya disungkurkan ke lantai van. Ia tak bisa bernapas saat sepatu personel itu menginjak kepalanya, mulut dan hidungnya hanya menghirup debu di lantai van.

"Bicara lagi kepalamu pecah separuh, mutan," ancam orang itu.

Injakan di kepalanya segera terangkat, Halilintar menoleh seraya menarik napas dalam-dalam. Bibirnya terasa basah oleh darah akibat tergigit saat ia jatuh tadi. Memang lebih baik ia diam saja dan bersabar untuk sementara waktu, walau ia marah sekali. Keadaan takkan berubah hanya karena kuatnya emosi seseorang.

Halilintar bangkit dengan kesulitan karena kedua tangannya tak bisa digerakkan. Bahu, lengan dan pahanya sudah berdenyut hebat, rasa sakit mulai merambah ke area lain. Kepala dan wajahnya terasa pedas akibat dipukul. Dengan kepayahan, Halilintar mendudukkan diri pada lantai van dan membuang darah yang memenuhi mulutnya.

Ia harap ia bisa shalat di tempat tujuan, pikirnya tiba-tiba. Teralihnya perhatian ke sana menyebabkan Halilintar lebih mampu disosiasi walau sejenak. Ia benar-benar tak ingin memroses segalanya sekarang. Ia terlalu marah dan ingin memukul sesuatu rasanya, namun ia teringat dahulu Gempa kerap menegurnya soal buruknya menuruti nafsu amarah.

Gempa benar, batinnya.

Halilintar memejamkan mata dan membayangkan ia berada pada dahulu kala, saat ia bersama keluarganya. Ia tengah duduk di kamarnya, berdoa, berzikir dan menenangkan diri. Suatu waktu bahtera akan berlabuh, ia akan turun dan dipertemukan oleh keluarganya. Ia yakin pasti akan berkumpul lagi dengan mereka, hidup atau mati. Tak perlu marah pada tindak aniaya pada dirinya, segala perbuatan seperti bumerang yang dilempar ke langit—suatu saat akan kembali pada si pelempar.

Gempa berkata jika Halilintar tak mampu mengendalikan situasi, setidaknya ia bisa mengendalikan reaksi.

Dalam saat begini, waktu seakan mengabur begitu saja. Konsep ruang dan waktu hanya ada di layar belakang. Ia membisukan segala stimuli luar, semua hal tak ada dan tak berarti. Semuanya hanya ilusi. Semuanya akan berakhir.

Mungkin beberapa jam telah berlalu ia dalam zona seperti itu—akhirnya mobil mereka melamban dan berhenti. Halilintar membuka matanya karena perubahan ritme. Ia melempar pandangan ke jendela dan melihat pagar berjaring yang memanjang sejauh mata, palang gerbang otomatis dan pos dengan personel bersenjata.

Tak berapa lama, mobil berjalan melewati pagar dan pos penjaga. Iring-iringan terus mencecah kawasan steril menuju susunan bangunan kusam yang berformasi agak melingkar. Banyak personel berseragam berseliweran di halaman luas tersebut dan tampak beberapa kendaraan standar operasional militer dikeluarkan dari garasi raksasa. Dari kejauhan, dua buah helikopter non-sipil duduk diam pada helipad.

Markas ini terlalu besar bagi pulau sekecil Pulau Rintis. Mereka bahkan tidak dalam darurat perang.

Mobil yang ditumpangi Halilintar terus melaju ke area belakang, jauh dari hiruk-pikuk kegiatan. Di sana, Halilintar melihat sebuah menara komunikasi, gedung-gedung putih dan beberapa personel berpatroli di sekitarnya. Sebuah bangunan tinggi berlantai sepuluh—yang paling besar dan luas—berdiri di tengah-tengah jajaran bak induk semang.

Mobil mereka berhenti di depannya. Jantung Halilintar berdegup kencang, setelah ini apa?

Pintu belakang van dibuka kuncinya dan ditarik. Sinar matahari sore merembes, personel yang paling dekat pintu segera keluar. Dua dari personel terdekat Halilintar langsung mencengkram lengannya dan menariknya keluar van. Halilintar balas menarik.

"Aku bisa turun sendiri!" bentaknya.

Mereka tak menggubrisnya dan tetap memiting kedua lengannya dengan kencang. Setengah diseret, Halilintar keluar dari sana sambil menahan rasa sakit dan emosi. Lupalah nasihat Gempa, ia benar-benar ingin memukul para personel ini dan kemudian menendang tulang kering Kaizo sekuat hati. Kalau saja dia tak dibuat pingsan, sudah tentu Halilintar takkan ditangkap. Katanya, "jangan ikut aku, sangat berbahaya, kau akan menghadapi kuasa besar", sekarang Halilintar justru menghadapi sendiri kuasa besar ini!

Hati kecilnya berbisik kalau sangat mungkin Kaizo tak menduga perkembangan ini. Halilintar menepisnya. Ia sudah muak dengan Kaizo, Halilintar membatin marah seiring langkahnya yang diseret personel menuju fasilitas tersebut. Mereka berhenti di lobi—dari pintu masuk, dua petugas berpakaian serba putih keluar menyambut rombongan Halilintar. Seorang dari mereka mendekat dan menggulung lengan jaket Halilintar lebih tinggi. Ia lalu mengusapkan antiseptik pada area tertentu, menancapkan jarum suntik dan menarik darahnya.

Halilintar berontak, namun kedua penjaganya menjegal usahanya. Ia menyaksikan darahnya mengisi tabung injeksi hingga penuh dan dicabut.

Seorang petugas menempelkan plester. Halilintar setengah mengira ia akan dibiarkan saja dengan lengan berlubang.

Usai pengambilan darah, Halilintar digiring masuk ke dalam fasilitas. Di sana, beberapa pekerja berbaju formal berada di belakang meja dan personel berseragam siaga di beberapa titik. Seorang dari mereka membukakan pintu otomatis dari dalam pos, Halilintar dibawa melewati pintu kerangkeng. Mereka menapaki lorong bercat pucat dengan banyak pintu dan jendela-jendela berteralis. Entah berapa pintu mereka lalui, Halilintar tak menghitungnya, namun akhirnya mereka berhenti pada sebuah pintu.

Personel di sebelah kanan Halilintar menggeser kartu pada panel di dinding, seketika itu pintu terbuka otomatis. Halilintar sekonyong-konyongnya didorong ke dalam, lalu pintunya ditutup dengan bunyi debam keras. Sesegeranya, dari lubang kecil berbentuk persegi panjang di pintu, petugas memotong ziplock yang mengikat Halilintar dan langsung menggeser penutup celah. Bisingnya begitu final, seolah ketokan palu hakim yang menyegel vonisnya.

Bedanya, ia tak mendapatkan prosesi seperti itu.

Halilintar mengedarkan pandangan pada ruangan tahanannya yang sempit, berukuran sekitar 4x3 meter. Agak gelap, hanya ada seberkas cahaya dari lubang angin berukuran 10 sentimeter. Di sudut, ada kasur tipis, selimut kotor dan sebaskom air. Di seberangnya ada toilet kecil yang tak bersekat, warnanya sudah menguning pekat.

Halilintar melipat kasur bau itu dan duduk pada tempatnya. Ia meminum air di baskom sedikit, rupanya masih bersih. Dengan perhatian, ia mengambil wudhu sekadarnya di air yang sama, mengalihkan pikirannya pada shalat yang tadi tak sempat ia tunaikan.

Selesainya, ia menyandarkan diri pada dinding dan memejamkan mata. Halilintar lelah sekali, ia rasa luka gigitannya mulai terinfeksi karena terasa bengkak dan berdenyut panas. Jika ia rasai lagi, memang ia merasa agak demam dan berkeringat dingin. Seharusnya ia membersihkan lukanya sekarang, tetapi perban dan krim antibiotik ada di ranselnya yang tertinggal di kantor tersebut.

Kapan ini akan berakhir? Batin Halilintar.

Bagaimana ia menemui keluarganya jika ia dikurung begini, entah untuk berapa lama? Belum lagi ia sakit sekarang, virusnya mulai menguasai tubuhnya. Masih sempatkah?

Halilintar menatapi sumber cahaya pada lubang di atas sana, matanya separuh tertutup. Ia tak ingin memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini, ia tak pandai berencana. Itu keahlian Gempa dan Solar, selama ini Halilintar hanya menerima saran dari mereka. Ia bahkan takkan sampai sini dengan sendirinya—jika saja Kaizo tak memaksanya ikut, mungkin Halilintar selama-lamanya tak tahu nasib keluarganya.

Ia tak tahu seberapa lama pikirannya berlayar, yang jelas pada titik tertentu ia kehilangan daya rasionalnya. Ia tiba-tiba menghadapi pemandangan yang begitu familiar hingga dadanya terasa sempit oleh jutaan kupu-kupu mengepak riuh.

Ini hari raya. Halilintar duduk pada kursinya, di depannya ada Tok Aba tengah menyendokkan opor ayam ke dalam mangkuk ketupat Blaze. Taufan dan Duri bercengkerama seraya tertawa kecil, Solar dan Ice berbincang mengenai buku lawas yang mereka temui di perpustakaan kota. Makanan dan minuman khas Tok Aba tersaji, aromanya menguar mengingatkan suasana rumah ramah.

Halilintar menoleh ke sisi kanannya dan di sana ada Gempa yang minum teh seraya tersenyum-senyum mendengar candaan Taufan dan celetukan Duri. Lalu tiba-tiba Blaze bersorak karena berhasil memakan kacang goreng yang dilempar Solar. Tok Aba mengomel. Duri, Taufan dan Ice tertawa … Halilintar lega tak ada yang tertinggal dan terkatung-katung. Semua hartanya ada di sini, di tempat seharusnya.

Namun mengapa lidahnya kelu, urung menyapa mereka?

"Eh lihat, Kak Hali sudah pulang!" sua Duri memecah suasana. Sontak semua mata memandang Halilintar dengan terkejut bercampur senang.

"Kak Hali!"

"Kak!"

"Baru sampai?"

"Haaiiii!"

"Bawa oleh-oleh dari Perak, Kak?"

"Kak Hali hilang kelamaan!"

Halilintar terpana melihat mereka. Keluarganya baik-baik saja, mereka bahkan tertawa-tawa tanpa khawatir. Lalu, ada apa dengan sensasi penuh urgensi di belakang benaknya? Halilintar bisa mengabaikannya dan tinggal di sini selama-lamanya. Tak perlu kembali ke Perak. Tak perlu mengikuti petunjuk seseorang mengenai tambang …

Halilintar menoleh ke arah ruang tamu. Di sana, seseorang berdiri dengan tubuh berlumur darah, matanya berkilat buas. Halilintar kenal pria itu, tapi ia lupa namanya. Ganjil saat ia menyeringai, giginya berupa taring seluruhnya seperti hiu. Jarinya menunjuk ke arah keluarganya dan seringaiannya kian melebar.

Halilintar berdiri dari kursinya, jantungnya mencelos.

"Jangan, kumohon, jangan, jangan ambil mereka …"

Ia menerjang. Halilintar menatap horor—

Ia dibangunkan oleh tendangan pada rusuknya, menyebabkan Halilintar meringkuk kesakitan. Seiring kesadaran yang memulih, ia menangkap bentakan dan ucapan orang lain di selnya.

"Bangun! Bangun!"

"Cepat bangun!"

Tubuhnya terasa berat sekali dan demamnya sudah meninggi. Halilintar memaksakan diri untuk bangkit, kepalanya berdenyut sakit dan matanya mengabur. Dua penjaga yang tak sabar menungguinya bergerak, langsung memiting kedua lengannya. Mereka memaksanya berdiri, mengikat tangannya dengan tali ziplock dan langsung mendorongnya keluar.

Setengah terpejam, Halilintar melihat hari sudah gelap dari jendela lorong. Sebuah jam dinding menunjukkan pukul 06.39 malam.

Mimpinya tadi terasa begitu lama.

Kedua penjaganya membawa Halilintar ke luar lorong, melewati pintu kerangkeng yang beberapa jam yang lalu Halilintar lewati. Mereka berbelok pada sebuah pintu kaca dan memasuki lift. Seorang penjaga menekan tombol lantai empat dan pintu bergeser tertutup. Halilintar setengah bertanya mengapa ruang lift ini terlalu besar, ia juga camkan jumlah lantai pada tombol. Rupanya banyak lantai di bawah tanah, hingga lima lapis.

Untuk apa? Batin Halilintar.

Menit berlalu, mereka tiba pada lantai empat. Di sini, koridor tampak jauh lebih bersih dan apik, cahaya lampu neon terang sekali. Halilintar tiba-tiba merasa mual, ia tak tahu untuk apa ia dibawa ke sini. Bukankah ia tahanan yang beberapa menit lalu hanya pantas berdiam di sel kumuh?

Kedua penjaganya menggiring Halilintar pada pintu di ujung lorong. Seorang personel di sebelah kiri membukanya.

Halilintar menyaksikan sebuah ruangan dengan dinding ubin dan kaca raksasa yang memenuhi separuh dinding. Lampunya lebih redup daripada di koridor. Sebuah meja baja dengan dua kursi baja pula berada di tengah-tengah, di atas meja tersaji dua nampan besar berisi minuman, daging panggang, sayuran dan kentang kukus.

Halilintar ditinggalkan begitu saja di sana. Pintu keluar telah ditutup dan ia rasa juga dijaga oleh personel yang membawanya ke mari.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Halilintar menoleh ke arah cermin raksasa di dinding. Ia tampak pucat, berkantung mata, rambutnya acak-acakan dan keringat demam membasahi kulit. Bibirnya merah sekali akibat luka benturan di van dan matanya tampak lelah.

Ia memutuskan untuk duduk bersandar pada dinding sambil memeluk lutut. Seharusnya ia merasa lapar dan haus sekarang, namun infeksi di mana-mana hanya membuat Halilintar ingin tidur saja. Ia benar-benar pada ambang batasnya—untuk berjalan saja seakan perkara luar biasa. Ia tak tahu berapa lama ia akan bertahan, mencari keluarganya seakan hal yang sukar sekali sekarang.

Halilintar teringat janji Kaizo ketika Fang ditemukan. Semoga ia benar, semoga ia berhasil ya Allah, batinnya.

Ia mendengar pintu dibuka, namun ia abaikan. Suara ketukan sepatu terdengar mendekat, dan akhirnya berhenti.

"Kasihan," gumam seseorang, suaranya bariton. Halilintar mendongak.

Ada seorang pria berdiri di depannya, perawakannya sedang dan rambut berwarna terang disisir rapi. Pria itu memakai kemeja putih tanpa dasi dan jas berwarna krem gelap, kerut di wajahnya menyiratkan usia sekitar 45-50 tahun. Halilintar merasa ia bukan orang Asia, lebih ke Kaukasia jika dilihat dari warna rambut dan mata birunya.

Pria itu tersenyum tawar. Halilintar menatap datar ekspresi asing itu.

"Ayo makan bersama."

Ia bisa bahasa Melayu dengan fasih, rupanya. Walau ada aksen.

Usai mengajak, pria itu tak berkata apa-apa dan langsung menduduki kursi di dekat meja. Ia memberikan gestur dengan jarinya agar Halilintar duduk di depannya.

Dengan curiga, Halilintar berdiri dan menuruti permainan ini. Apalagi yang bisa ia lakukan? Dari awal ia tertangkap, Halilintar sudah kehilangan semua opsi.

Tanpa melepaskan pandangan dari sosok pria asing itu, Halilintar menarik kursi dan duduk dengan hati-hati. Pria tua itu tampak tak peduli, hanya mulai memotong daging steak di depannya. Halilintar memandangi gerakannya dengan rasa kian was-was. Apa yang ia inginkan dengan segala teatrikal ini?

Tanpa peduli bentrokan dalam benak Halilintar, pria itu menusuk potongan daging dengan garpu dan memakannya. Ia mengunyah nikmat.

"Hm. Potongan daging babi terbaik yang disiram wine. Favoritku."

Halilintar merasa mual. Ia menyingkirkan hidangan di depannya. Apa ini intimidasi psikologis?

"Kau tak suka?" tanyanya basa-basi, sorot matanya menyiratkan tantangan.

Halilintar hanya memandangnya dengan ekspresi dingin. Ia tak bersuara.

Pria itu menaruh garpu dan pisaunya, ia lalu melipat jari di depan wajah. Senyumnya tak mencapai mata.

"Orang memanggilku Oleksandr," ujar pria itu dengan aksen khas Slavia. "Aku di sini ingin menawarkan sesuatu."

Halilintar tak ingin tahu ke arah mana percakapan ini, tapi ia tak berdaya menghentikannya. Ini seperti menyaksikan tabrakan kereta dalam gerak lamban, ia hanya menjadi penonton tanpa partisipasi. Halilintar menunggu pria asing itu cepat selesai agar ia bisa menadbirkan kekalahannya.

Oleksandr tak terpengaruh diamnya Halilintar. Ia mengetukkan jemarinya ke meja, menyebabkan bunyi berdentang.

"Berikan informasi tentang Kaizo dan kau akan mendapat informasi di mana keluargamu."

Halilintar terperangah, napasnya seakan tersembur semua ke luar.

"Kau tahu di mana mereka semua?" tanya Halilintar.

"Tentu saja, mereka semua masih hidup di tempat aman. Aku bahkan akan memerintahkan personel untuk membawamu ke sana. Sebagai gantinya, kau jawab semua pertanyaan mengenai Kaizo."

Halilintar tak terlalu memedulikan bagian Kaizo. Ia hanya sangat lega keluarganya selamat dan sudah mengungsi ke tempat yang jauh. Setidaknya ia datang ke mari sama sekali tidak sia-sia. Semua kekhawatiran, kekalutan dan ketakutannya sama sekali tak terwujud. Mereka aman, menunggu ditemukan Halilintar.

Bagaimana dengan Kaizo? Fang? Apa bijak ia barter dua orang tak bersalah untuk orang-orang tak bersalah lain yang memiliki ikatan emosional dengannya?

Bisakah ia selamatkan semua orang?

"Anda menanyai orang yang salah, aku tak tahu apapun soal Kaizo," ujar Halilintar setengah berdusta. "Aku baru saja mengenalnya kemarin malam."

Pria itu bergumam kecil.

"Tentu kau merasa ada yang berbeda darinya?"

Maksudnya, fisiknya?

"Ya," jawab Halilintar, singkat. Oleksandr kembali melanjutkan menyantap panganannya.

"Apa kau tahu ke mana ia akan pergi?" tanyanya.

Halilintar mual. Ia merasa dilema antara rasa cinta pada keluarganya dan rasa bersalah jika Kaizo tersandung masalah akibat mulutnya. Apa ia harus berdusta lagi? Bagaimana nasib keluarganya kelak?

"Aku … aku tak tahu," gumam Halilintar.

"Orang pandir pun tahu kau berdusta," kata Oleksandr seraya tersenyum tipis.

Halilintar tercekat, jantungnya berdebar keras. Ia memang tak bisa berbohong, jelas sekali Oleksandr mampu membacanya. Apa ia dalam masalah besar sekarang, setelah Oleksandr tahu ia berbohong?

Oleksandr menyesap wine pada gelas kristalnya. Ia mencebikkan bibir dan kembali mengiris daging di hadapannya dengan tenang. Halilintar benci gerak-gerik tenangnya, menandakan Oleksandr sedang mengulur waktu agar resolusi Halilintar retak. Apa yang harus ia katakan sekarang?

Oleksandr memasukkan potongan daging dan kentang ke mulutnya, ia menatap Halilintar.

"Aku beritahu suatu rahasia Kaizo yang tak ia bocorkan," ujar pria itu. "Tahukah kau kalau Pulau Rintis terinfeksi karena ulahnya?"

Halilintar skeptis. Bagaimana mungkin?

Oleksandr tampak prihatin, ia mengembuskan napas berat.

"Satu pulau indah, ribuan penduduk menjadi korbannya."

"Mustahil," tepis Halilintar, refleks. Oleksandr menatap Halilintar dengan tenang.

"Apa dia bercerita mengenai fasilitas di Pulau Bakau?" tanya sang pria. Halilintar mengangguk ragu-ragu.

"Kau tahu, sebenarnya dia tertular virus baru di sana. Pulau itu terisolir dari dunia luar, jadi wajar pula mutasi penyakitnya berbeda sendiri. Mereka berusaha menyembuhkannya, namun ia terlepas dari karantina dan memakan seorang dokter," Oleksandr menggelengkan kepalanya. "Aku saja mual melihat bagaimana ia mencabik manusia hidup-hidup seperti itu."

Halilintar menatapi lantai kusam di dekat sepatunya. Itu terdengar seperti cerita horor daripada nyata.

"Kau tahu, ia juga menggigit banyak pekerja fasilitas dan dari sana, orang-orang mulai tertular hingga menyebar ke seluruh penjuru Pulau Rintis. Tak hanya satu pulau, ia juga berhasil meloloskan diri dan pergi ke pulau lain dalam jangka waktu beberapa bulan. Siapa yang tahu berapa banyak orang yang sudah ia tularkan?"

Oleksandr mengambil jeda. Ia menyesap wine tersebut dan menggoyangkan gelasnya.

"Kau harus paham bahaya berada di dekatnya. Ia tak stabil, ia agresif dan bisa menyerang siapa saja kalau ia lapar. Sekarang makanan manusia takkan bisa memuaskan perutnya. Harus daging mentah dan segar," imbuh Oleksandr. Ia memandang Halilintar dengan kasihan. "Apa ia pernah menyerangmu?"

"Tidak, karena Kaizo tidak seperti itu," sangkal Halilintar. "Kau bercerita tanpa bukti. Ini fitnah."

Oleksandr merogoh sesuatu dalam jasnya sambil mengedipkan sebelah matanya pada Halilintar, seolah ia hendak membagi gosip terbaru.

Tak lama kemudian, orang Slavik itu mengeluarkan sebuah video kamera seukuran tangan. Oleksandr menyerahkannya pada Halilintar tanpa berkata apapun lagi. Halilintar memegang kamera tersebut dan memandang Oleksandr dengan ragu. Pria itu memberikan gestur tangan yang mempersilakan.

Dengan sangsi, Halilintar menatap layar dan menekan tombolnya. Video berputar.

Sebuah rekaman CCTV cukup jelas menyorot sebuah sel kerangkeng dengan kasur yang sudah robek. Seseorang berpostur menjulang tengah berjalan bolak-balik di dalam kerangkeng. Halilintar tahu ia adalah Kaizo, namun di rekaman ini Kaizo tampak aneh.

Tiba-tiba kerangkeng bergetar, Kaizo menghantamnya dengan kedua lengannya. Ia berteriak, namun tak ada suara di rekaman CCTV ini. Sulit menebak apa yang ia katakan.

Beberapa detik kemudian, ada tiga orang berjas putih dan sekumpulan personel berbaju hitam mengelilingi selnya. Kaizo semakin buas, ia terus menggedor kerangkeng. Para penjaga menembakinya dengan sesuatu, namun yang terjadi berikutnya adalah di luar dugaan.

Kerangkeng besi itu bengkok dengan mudah, Kaizo segera keluar. Para personel dan pekerja langsung berhamburan lari ketakutan, namun Kaizo berhasil menangkap seorang pekerja berjas putih.

Hal selanjutnya membuat bulu roma Halilintar meremang. Kamera CCTV merekam semprotan arteri yang dicabik oleh gigi, jeritan tak bersuara dan Kaizo yang dengan brutal memakannya. Korbannya segera jatuh ke lantai, Kaizo mulai menghabiskan mangsanya dengan rakus. Banjir darah di mana-mana, potongan—

Halilintar langsung menghentikan rekamannya. Ia tak sanggup menonton lebih jauh, kepalanya seperti dipalu berkali-kali. Tak masuk akal, mengapa—ah, Halilintar tiba-tiba teringat subuh tadi Kaizo yang membalut luka Halilintar dari serangan para mutan. Darahnya membanjiri tangan Kaizo dan ia sama sekali tidak bereaksi. Jika Kaizo adalah kanibal, mengapa ia tak menyerang Halilintar waktu itu?

Ada hal besar yang hilang dari narasi ini, tapi apa?

Oleksandr bergumam, membuyarkan lamunan Halilintar.

"Sekarang, kau percaya?" tanyanya. "Sudah kukatakan dia itu sumber wabah di sini dan tak stabil kejiwaannya."

Halilintar meletakkan kamera tersebut dengan gamang. Kalau ia pikir lagi, bagaimana bisa ada manusia yang mampu melakukan itu? Perlu hilangnya akal, kondisi ekstrem dan hal sangat luar biasa lain hingga tega berbuat sedemikian binatangnya. Ini tak wajar, ini kegilaan namanya. Ini seperti mencabut habis kemanusiaan seseorang. Bagaimana mungkin? Manusia lahir bersama kemanusiaannya.

Tapi, orang di rekaman itu benar Kaizo. Halilintar terperangkap bersamanya selama 12 jam lebih, ia hafal wajah dan gerak-geriknya.

Apa benar ini Kaizo yang mencari adiknya? Yang bersedia mati asal Fang hidup? Yang tak ingin Halilintar terlibat saat ia yakin kalau ada kuasa yang berbahaya? Kaizo mungkin kasar tapi ia bukannya kejam hanya karena ia mau saja.

Halilintar membuka mulut untuk bertanya, namun ia tak tahu apa yang ingin ditanyakan. Terlalu banyak detail yang harus diproses.

"Aku tahu ini mengejutkan," buka Oleksandr, memecah sunyi. "Tapi kami perlu tahu ke mana Kaizo pergi."

"Untuk apa?" tanya Halilintar, masih tak percaya. Oleksandr memijit keningnya seakan ia lelah.

"Tahukah kau jika virus ini mutasi ganas dari rabies? Pasien yang sudah pada tahap lanjutan mungkin tampak sangat agresif, tapi rata-rata mereka meninggal dalam dua minggu. Kaizo … adalah kuncinya dan itu ada dalam plasma darahnya. Pasien memerlukan sel imunnya yang sudah menjinakkan virus itu agar bisa sembuh. Kau juga tertular, bukan? Apa kau tak mau sembuh?"

Halilintar membisu. Memang ia hendak sembuh, namun sekarang ia lebih memikirkan nasib semua orang terdekatnya.

"Keluargamu dalam bahaya virus juga," tambah Oleksandr seraya mengangguk kecil. "Memang mereka semua selamat di kamp pengungsi tapi kalau obatnya belum ditemukan, hanya tinggal menunggu waktu saja mereka semua tertular. Hanya tinggal menunggu waktu saja virus ini menyebar ke seluruh dunia. Karena itu, kita perlukan bantuan Kaizo. Kau tahu di mana dia?"

Seluruh dunia? Seluruh dunia dalam wabah tanpa obat?

Halilintar merasa goyah. Memang Kaizo diperlukan untuk kesembuhan orang-orang yang terjangkit dan tak dibenarkan Kaizo lari begitu saja. Bukankah dari awal ini memang bersumber dari Kaizo? Pantas bukan jika ia harus menyelesaikan segala kekacauan ini pula? Ia harus bertanggung jawab, baik suka atau tidak.

Bagaimana jika Oleksandr berbohong? Bisik hatinya.

Halilintar mengigit lidahnya. Oleksandr mungkin berkata sebenarnya, sebab pria di rekaman itu adalah Kaizo. Selain itu, Kaizo berkata ia dahulu berada di fasilitas di Pulau Bakau dan ia memang melarikan diri dari sana. Tambahan lagi Kaizo memang memiliki ketangguhan fisik yang abnormal dan bisa jadi efek atas kesembuhannya atas virus mutan tersebut. Bukankah Halilintar melihat sendiri bagaimana kuatnya para mutan? Mungkin benar adanya Kaizo adalah mutan pertama dan juga, sejauh ini, yang paling sukses.

Alih-alih Oleksandr yang berbohong, sangat mungkin Kaizo yang selama ini membohongi Halilintar. Boleh jadi ia mengelabuinya dan tidak menceritakan seluruhnya.

Cerita Oleksandr lebih bisa diterima dan lengkap, memiliki bukti pula—pasti ada sumber dari penyakit ini, bukan? Pasti ada yang menularkannya pertama kali. Segalanya dimulai dari seseorang dan jika orang itu Kaizo, apa urusannya bagi Halilintar? Yang jelas nasi sudah menjadi bubur dan wabah tengah tersiar ke mana-mana. Kaizo harus berhenti egois dan menyerahkan diri.

Halilintar mengurut keningnya, ia mengembuskan napas berat. Dalam hati, ia menelan rasa bersalah karena harus berkhianat pada Kaizo walau Halilintar tak pernah berjanji apapun. Tetap saja, membocorkan perkara yang hanya ditukar dalam lingkup tertutup adalah khianat walau tak ada janji.

Maaf, maaf, maaf. Kau harus bertanggung jawab, Kaizo, batin Halilintar.

"Jika kau menemuinya, apa kau akan menyakitinya?" tanya Halilintar. Oleksandr tertawa.

"Itu tak terelakkan, Nak. Dia pasti melawan dan berkelit dari hasil perbuatannya," ujar pria itu. "Ah, memang wajar perilaku hewan seperti itu."

Halilintar tiba-tiba teringat Ice, Duri dan Taufan yang menangis tersedu-sedu saat kucing mereka disiksa orang lain hingga mati.

"Hewan pun pantas mendapatkan perlakuan yang ramah," balas Halilintar. "Apalagi makhluk kompleks berakal seperti manusia."

Kilat mata Oleksandr mulai tampak berbahaya. Ia tersenyum miring.

"Bagaimana dengan hewan liar berbahaya? Mereka tak bisa dibujuk. Mereka harus dinetralisir."

Halilintar membuang wajah. Oleksandr menyesap lagi wine dengan perlahan.

"Tenang saja, kami hanya akan menembakkan peluru bius dosis tinggi padanya. Pemerintah hanya ingin agar wabah ini tidak menyebar ke pulau lain dan bisa memelajari mekanisme penyembuhannya. Kami hanya ingin menyelamatkan orang sebanyak mungkin, apa kau mau bekerja sama?"

Halilintar tiba-tiba merasa tak enak hati. Ia tahu ia harus, hanya saja ia tak nyaman. Memang Kaizo harus bertanggung jawab, tapi bagaimana dengan Fang? Siapa yang akan mencari keberadaannya?

Omong-omong Fang …

"Kaizo ke mari karena adiknya," buka Halilintar. "Di mana Fang?"

"Di tempat aman."

Jadi, mereka yang sebenarnya membawa Fang, simpul Halilintar. Jika mereka berputus-asa dan kesulitan mencari Kaizo selama ini, masuk akal mereka menculik Fang agar Kaizo bisa dipancing keluar.

Halilintar benci cara picik rendahan melibatkan orang tak ada sangkut-pautnya.

"Di mana Fang?" cecar Halilintar.

"Apa kau akan mengorek terus rahasia negara? Perjanjian kita hanya informasi keluargamu saja," ujar Oleksandr. "Jangan meminta sesuatu di luar hakmu. Bersyukur saja sebentar lagi kau bertemu keluargamu."

Oleksandr memang menjanjikan informasi keluarganya saja, tapi jika Kaizo akan ditahan, siapa yang akan mencari Fang?

"Aku tahu, aku bahkan tak pernah bertemu Fang. Hanya saja, ia tak memiliki keluarga lain selain kakaknya."

"Fang akan dipulangkan ke tempat asalnya jika Kaizo berhasil ditahan," kata Oleksandr ringan. "Aku jamin itu. Aku juga takkan menyakiti orang tak bersalah, aku berusaha menyelamatkan banyak orang di sini. Sekarang, Kaizo pergi ke mana? Apa rencananya?"

Oleksandr menatap Halilintar dengan dahi berkerut. Tatapannya tampak memancarkan keprihatinan mendalam berbaur kelelahan. Wajar sekali mengingat ada huru-hara mengerikan di sini dan ia harus ikut repot menangani.

Halilintar mengerti posisi Oleksandr, hanya saja Halilintar tetap merasa ada yang janggal. Terlalu banyak atau karena berkamuflase dengan bercampur kebenaran? Ia lelah berusaha memahami, karena dilihat dari sudut manapun Oleksandr itu masuk akal. Fang akan diantar pulang, Kaizo takkan disakiti dan menghadapi tanggung jawabnya, pemerintah akan menemukan obat sementara Halilintar akan menemui keluarganya.

Apalagi yang ia mau?

Mengapa Halilintar harus membuat segalanya lebih runyam? Mungkin situasi ini hanya sesederhana itu, tak ada trik tambahan.

Ya Allah, batinnya. Semoga ini benar.

"Kaizo … Kaizo menyebut ia akan mencari tahu mengapa ia menjadi seperti itu," kata Halilintar, ragu. "Ia juga menyebut soal tambang intan dan mungkin ia juga akan pergi ke sana."

"Tambang intan?" Oleksandr tampak tertarik.

"Ya, dia berkata ada hubungannya antara tambang intan dan epidemi ini," tambah Halilintar, tiba-tiba lidahnya terasa pahit. "Hanya itu saja yang aku tahu."

Oleksandr tersenyum ramah. Ia menenggak habis wine yang ada di tangannya.

"Kau sudah sangat membantu, Nak," ujar Oleksandr. Ia berdiri dari duduk, terdengar bunyi decitan halus dari kaki kursinya. Dengan senyum terakhir, ia berbalik badan dan berjalan meninggalkan Halilintar.

Halilintar berseru memanggil.

"Tunggu, bagaimana dengan keluargaku?"

Oleksandr menoleh sedikit, tangannya sudah berada pada gerendel pintu. Senyumnya lebar sekali seolah-olah ada sesuatu yang lucu.

"Keluargamu bisa kau temui di kuburan massal. Berdasarkan hasil tes darahmu, kau juga akan menyusul mereka."

Suara pintu tertutup menggema.

.

.

.

Bersambung

.

.

AN

Ya lah Hali tertypu. Kalo gitu mana aja omongan Oleksandr yang bohong? Chap selanjutnya bakalan lebih acak-acakan huhu

Yosh! Terimakasih pada reviewer chapter sebelumnya truongyenvyyb2006 - yuuna eunchea - Guest - Sky Liberflux !

Silakan kritik, saran dan komentarnya!