At My Worst

.

Chapter 2 : What Should I Do?

Pairing : Kiba/Ino


"Kurasa sebentar lagi hujan, ku antar pulang ya." Kiba berusaha bicara sehati-hati mungkin. Pasalnya Ino masih diam dan sesenggukan, agaknya rasa kesalnya belum juga tuntas. Namun melihat arlojinya yang sudah menunjukkan angka lebih dari dua belas membuatnya agak panik.

"K.. Kau, kau bisa, bisa pergi." Kalimatnya terbata, dan ia masih sibuk menghapus air matanya. Tak peduli jika wajah memerah dan make up nya berantakan.

Lelaki itu diam, menghela napas panjang dan tak tahu apa yang harus ia lakukan. "Kau tahu kan? Jika kau butuh aku, kau bisa mengandalkan ku."

Jantung Ino seolah melewatkan satu degupan. Ia tak tahu bagaimana Kiba bisa sampai sini dan berakhir menemani kegiatan absurdnya, namun kalimat pria itu seolah menciptakan sensasi yang tak asing. Sensasi hangat yang tak ingin ia bagi dengan siapapun.

"Akan ku temani sampai pagi jika itu yang kau inginkan."

Ino mengarahkan tatapan padanya, ada kelelahan yang menggantung di wajah pria itu, tapi berusaha ditutupi dengan senyum. "Mungkin, mungkin sebentar lagi bus bakal datang. Kau, kau bisa pulang."

"Kau bercanda? Bus terakhir sudah lewat dari jam sepuluh tadi." Kiba bisa merasakan betapa putus asanya wanita itu, "ku antar pulang jika kau ingin pulang, ini sudah larut. Tidak baik membiarkan wanita sepertimu sendirian disini, atau pulang jalan kaki. Kau tidak ingin diperkosa ramai-ramai kan?"

Kalimat terakhir Kiba membuatnya bergidik, tentu saja itu menakutkan. Jelas pulang naik mobil Kiba adalah opsi terakhir paling aman yang bisa dipilihnya, tapi...

"Ayo, aku akan mengantarmu pulang."

Dan yeah, meskipun perlu kesabaran untuk membujuk, wanita itu akhirnya mengikutinya.


Ia bertemu lagi dengan adik kecil yang menyebalkan itu, Shion. Dia tak lagi sekecil dulu, namun ekspresinya tetap sama. Judes dan tak ramah. Dia membukakan pintu ketika ia menekan bel pintu apartemen milik Ino.

Shion agak terkejut melihat Kiba bersama Ino yang rambutnya basah dan matanya sembap. Ia melirik curiga pada pria itu sebelum menghela napas panjang, dan menyilangkan tangan di depan dada.

"Ku rasa kakakmu sedang tidak baik-baik saja, jadi ku mohon rawat dia baik-baik."

"Kau Inuzuka kan?"

Kiba melirik Ino sekilas, agak sedikit jengkel karena kalimatnya tidak mendapat sambutan. Tapi ia memaksa bibirnya melukiskan senyum, "yeah, kau masih ingat aku rupanya." Ia tak tahu Shion akan mengingatnya sebagai orang baik atau bukan, karena dari cara gadis itu menatapnya, sorot matanya bukan sesuatu yang patut untuk disanjung.

"Tentu saja," Tatapannya beralih pada Ino yang seolah menginstruksikan 'diam saja'. "Aku tidak menyangka kita, maksudku, kalian bakal bertemu lagi." Ia mengabaikan tingkah tak nyaman Ino, lagi pula salah sendiri kenapa membawa pria ini kemari.

"Yeah, aku juga tidak--"

"Sudah hampir pukul satu dini hari, kurasa kami harus segera beristirahat. Mungkin kau juga perlu istirahat." Jika ia membiarkan Shion yang mendominasi percakapan, semua tidak akan berjalan dengan baik. Jadi cara satu-satunya adalah membuat Kiba segera pergi dari sana. "Shion, ayo masuk." Ia melangkah pelan memasuki pintu dan menarik tangan sang adik, tak peduli lagi apakah Kiba bakal segera beranjak atau tetap mematung di tempat.


"Kau tidur dengannya?"

Ino mengerutkan kening dan melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Shion, tak habis pikir dengan apa yang dikatakan gadis itu. "Tidak."

"Kalau bilang iya pun juga tidak apa-apa." Shion memasang senyum mencibir, "kalian juga pernah melakukan 'itu' sebelumnya kan?"

"Tutup mulutmu Shion!" Air matanya merebak, panas di dada seolah menguar menyakitkan.

"Nggak usah munafik Kak, aroma alkohol itu menjelaskan segalanya? Permainan macam apa yang kalian mainkan? Mengguyur seluruh tubuh dengan alkohol dan--"

"Plak!"

"Ku bilang diam!" Ino mengeratkan rahangnya, berusaha meredam amarah meski tangannya yang gemetaran ingin memukul pipi Shion lagi. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan."

Pipinya nyeri akibat tamparan sang kakak, ia tidak menyangka Ino bakal melakukan itu. Namun, itu tak membuatnya berhenti untuk tetap menunjukkan senyum mencibir. "Apa? Kau ingin menampar ku lagi? Tampar saja. Mau yang kanan apa yang kiri?"

Ino menghela napas panjang, berusaha menormalkan detak jantungnya yang menggila akibat amarah. Mau diperlakukan bagaimana pun, Shion tak bisa berubah.

"Kau melarangku dekat dengan pria manapun, tapi kau malah menjual dirimu ke semua lelaki. Apakah itu adil?" Ia maju selangkah, menatap lekat-lekat mata Ino yang kini mengalirkan air mata. "Munafik."

Mengabaikan seluruh kalimat menyakitkan itu Ino mundur, memilih pergi ke kamarnya. Tangannya gemetaran, dan matanya tak lagi mampu menahan linangan air mata. Shion tidak tahu apapun yang dilaluinya, kesulitan apa saja yang membelitnya. Kalau saja ia bisa berteriak dan mengungkapkan segalanya, ia ingin memaki, entah memaki pada siapa saja. Ia kesal dengan hidupnya yang tak berjalan baik-baik saja. Kenapa Tuhan? Kenapa?

Ia menyandarkan diri di pintu kamar, dan menangis terisak. Rasanya ingin menghilang dari dunia. Tak lagi memiliki harapan untuk hidup, tapi ia sudah pernah berjanji pada ibunya untuk tetap menjaga Shion, apapun yang terjadi. Tapi ini sudah diluar kesanggupannya.

Ponsel di genggamannya tiba-tiba bergetar, sebuah panggilan dari nomor yang ia beri nama Mr. Atsuhiro muncul di layar. Ini nomor Kiba. Kenapa dia menelepon? Apa dia masih di luar? Tak mempedulikan panggilan itu, Ino membiarkan ponselnya terus bergetar hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya.


Ino tak mengangkat teleponnya, sudah pasti begitu. Namun percakapannya dengan Shion ia dengar seluruhnya. Semua ini agak membuatnya bingung, apa Ino benar-benar menjual diri? Atau seperti yang dijelaskannya waktu itu, bahwa pekerjaannya hanya untuk menemani pria yang kesepian. Cuma sebagai teman ngobrol? Lalu kenapa malam ini Ino tampak sedih sekali? Apa yang terjadi?

Ketika mengerling arloji, ia baru sadar jika sekarang sudah lewat pukul satu malam. Astaga, sialan. Ia harus bangun pagi besok untuk berangkat ke kantor.

Dengan langkah berat, ia memasukkan ponsel ke saku dan menuruni tangga. Ia harus segera pulang dan istirahat.


Beberapa kali Kiba nyaris ketiduran saat rapat dengan petinggi perusahaan asal China. Kesadarannya benar-benar tipis, dan andai Naruto yang jadi asistennya tidak memberinya tepukan kecil tiap kali matanya nyaris terpejam, ia mungkin sudah ketiduran di ruangan itu. Insiden malamnya bersama Ino membuatnya tak bisa tidur sama sekali, dan berefek fatal sekarang.

"Kau sepertinya lelah sekali, apa yang terjadi?" Naruto membawakannya kopi ketika rapat usai, dan mereka duduk berdua di kantin. Mengabaikan keramaian kantin yang sudah menjadi hal biasa baginya, Naruto duduk di samping Kiba.

"Nggak ada, cuma susah tidur saja." Ia mengalihkan tatapan pada uap kopi yang menguarkan aroma memikat, dan merasa kantuknya sekarang benar-benar hilang.

"Apa ini ada hubungannya dengan gadis itu?"

Ia paham 'gadis' yang dimaksud Naruto ini siapa, namun entah kenapa ia tak ingin mengakuinya. Namun ketimbang menjawab, ia lebih memilih menatap ke arah jendela. Memperhatikan angin yang menggoyangkan ranting pohon momiji yang mulai berguguran.

"Apa dia mau menjawab semua yang ingin kau ketahui?"

Kiba menelan ludah, merasakan tenggorokannya kering mendadak. "Sayangnya belum."

"Eh, kau ingat Sakura kan?" Uzumaki muda itu menyesap kopinya sebelum kembali fokus pada si lawan bicara, ia buru-buru meneruskan kalimat ketika Kiba hendak berbicara, "aku kemarin tidak sengaja bertemu dengannya."

Inuzuka mengernyit, merasa tak paham ke arah mana pembicaraan ini. "Terus?"

"Dia kan teman dekat Yamanaka waktu sekolah, kurasa dia tahu sesuatu soal Ino."

Bukannya bodoh, Kiba sudah pernah mendesak gadis Haruno itu untuk memberitahunya semua hal mengenai Ino. Namun tak pernah berhasil. Sakura begitu loyal pada Ino, mengabaikan Kiba, memilih menghindar dan tak menjawab semua pertanyaannya ketika Ino mendadak pindah. Entah pindah kemana waktu itu. "Kau nggak ingat aku pernah berusaha keras membuatnya bicara?"

"Paling tidak, dia yang paling tahu."

"Ada lagi."

Kening Naruto mengernyit, dia berusaha membaca sorot mata pemuda di hadapannya namun tak bisa menebak apapun. "Siapa?"

"Yamanaka Shion."

Seolah baru ingat jika Ino punya adik, ia refleks mengangguk.

"Dia agak brengsek, tapi dia pasti tahu banyak hal."


Malam berikutnya Shion tidak pulang, puluhan panggilan yang ia lancarkan tak satupun yang mendapat sambutan. Ino panik, ia tak tahu jika pertengkaran mereka kemarin bakal membuat anak itu begitu marah padanya. Dari sekian hal menjengkelkan, ini adalah salah satunya, kalau sudah begini ia harus mencari Shion kemana?

Ino hendak berjalan ke kamar sang adik ketika bel pintunya mendadak berbunyi. Refleks matanya teralih pada jam dinding yang kini nyaris menunjuk pukul sembilan malam, siapa yang bertamu malam-malam begini? Apakah Shion pulang?

Bel itu makin menjadi, seolah seseorang diluar sana sedang dalam suasana hati buruk dan penuh ketidak sabaran ketika menekannya. Ino setengah berlari menuju pintu, ingin memarahi Shion sekali lagi, meski sebagian dari dirinya ingin memeluk sang adik erat-erat.

Namun, apa yang ia dapati bukanlah Shion. Melainkan si pemilik gedung apartemen kecil tempatnya tinggal. Dia adalah seorang wanita setengah baya dengan bibir bergincu merah, rambut keriting sebahu dan tatapan tajam yang selalu tampak mencibir tengah berdiri dengan tangan disilangkan di depan dada.

"Nyonya Mei--"

"Aku sudah habis kesabaran NonaYamanaka. Kau meminta waktu satu minggu, dua minggu, sudah ku turuti. Tapi kau tak kunjung melunasi tagihanmu," Dia menghela napas panjang, sorot matanya tampak begitu kesal.

"Tapi Nyonya, saya baru membayarnya minggu lalu bukan?"

"Kau cuma membayar dua bulan, kau lupa jika menunggak enam bulan?"

Ino tak lagi bisa berkata-kata, tak lagi memiliki nyali untuk mendebat. "Nyonya--"

"Maaf Nona, kau harus tinggalkan tempat ini. Masih banyak orang yang mau tinggal disini dan membayar uang sewa tepat waktu."

Reflek Ino berlutut, tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Jika ia dan Shion diusir dari tempat ini, mereka akan tinggal dimana? Uangnya sudah nyaris habis untuk membayar kuliah Shion. Jika tabungan itu ia gunakan untuk mencari tempat tinggal lain, bagaimana kebutuhan sehari-harinya bisa terpenuhi? "Nyonya, tolong... saya dan adik saya benar-benar membutuhkan tempat ini, saya mohon beri saya waktu seminggu lagi. Akan saya lunasi semuanya--"

"Berhenti mengulur waktu lagi, aku sudah cukup sabar menghadapimu. Kau selalu saja menyalah artikan kesabaranku," Nyonya Mei mendengus, menatap tepat ke arah biru muda mata sang lawan bicara, "dari pada kau memohon kepadaku seperti ini, kenapa kau tidak memohon pada pria kaya yang kau layani? Kau bisa meminta mereka membayar uang sewa apartemenmu kan? Mereka pasti mau, lagi pula tarifmu semalam pasti sudah lebih dari cukup, kau kan cantik mudah bagimu merayu mereka."

Harusnya ia marah dengan rentetan kalimat menyakitkan itu, harusnya ia memukul pipi wanita tua yang cerewet itu, atau menyanggah dengan kalimat yang lebih menyakitkan lagi. Namun, Ino tak bisa. Lidahnya kelu dan tenggorokannya tercekat. Mengetahui bagaimana orang lain menilai dirinya membuatnya sedih. Ketika air matanya menetes, ia sempat berpikir tak lagi ingin melanjutkan hidupnya. Tapi untuk saat ini, apakah Nyonya Tsunade mau meminjamkan uang padanya? Barangkali saja ada yang mau membayarnya tinggi untuk pekerjaan selanjutnya. "Nyonya, besok pagi akan saya lunasi semuanya. Kalau malam ini saya belum bisa."

Wanita itu mendecak pelan, nyaris memaki lagi, namun urung. Dia menghela napas panjang, dan mulai bicara. "Baiklah, besok pagi. Kalau kau tak bisa menyanggupi apa yang ucapkan ini, kau harus kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini."

Sejujurnya Ino tak yakin apa ia mampu mendapat uang untuk membayar sewa apartemen itu, namun ada sedikit kelegaan ketika Nyonya Mei memberinya kesempatan lagi. Ia akan segera menghubungi Nyonya Tsunade setelah ini, atau entah siapa saja orang baik yang mau membantunya.


"Aku tidak bisa menjanjikan itu."

Ino menghela napas panjang mendengar jawaban lawan bicaranya di telepon, dan tak tahu harus bicara apa lagi.

"Tapi ada kabar baik, ada pekerjaan untukmu, sayang. Dia membayar lumayan, yeah mungkin tak sebanyak uang yang kau butuhkan tapi ini cukup lumayan," Selama Tsunade menyelesaikan ucapannya, Ino hanya diam mendengarkan. "Besok ku telfon lagi ya." Dan pembicaraan mereka berakhir disitu.

Sembari mendudukkan diri di ranjang, Ino menatap cahaya bulan yang masuk lewat jendela kamarnya. Berpikir bahwa mungkin ia bisa menghubungi Sakura. Barangkali Sakura bisa membantunya, yeah mungkin saja.

Sakura bilang tak memiliki uang sebanyak yang ia butuhkan, tapi mungkin bisa membantu membayarkan dua bulan uang sewa apartemen. Ino mengelap air matanya, mungkin ini malam terakhir ia bisa tidur di kamar ini. Kamar sempit yang tak pernah jadi tempat ternyaman untuk pulang. Kemana lagi ia harus minta tolong? Kemana ia harus mencari uang untuk melunasi tunggakan itu? Sementara kekhawatirannya akan Shion juga membebani hatinya. Kenapa anak itu tak juga berubah?

Sembari terisak, ia bangkit dan menuju lemari pakaian. Lebih baik ia berkemas, kemudian menghubungi Shion. Barangkali panggilannya bakal mendapat respon.


Setelah keluar dari apartemen milik Nyonya Mei, ia memutuskan mencari penginapan murah untuk beberapa hari. Penginapan itu adalah tempat paling menyedihkan yang pernah ia lihat, milik seorang kakek tua yang meski penampilannya lusuh namun cukup ramah. Tidak ada tempat tidur nyaman, hanya futon tipis. Kamar itu benar-benar sempit, tidak menyediakan banyak hal, hanya lemari dan meja di dekat jendela yang mengarah ke sungai kecil di sebelah penginapan itu. Kamar Ino terletak di lantai dua, dengan penerangan minim dan aroma apak yang sulit sekali dihindari.

Wanita itu menghela napas panjang ketika menatap pemandangan di luar jendela, paling tidak ia tetap bisa makan hari ini. Dan kecemasan soal Shion kembali menghantamnya. Bagaimana keadaan anak itu? Dia tidak sedang melarikan diri bersama laki-laki yang pernah ditelfonnya tempo hari kan? Atau melakukan hal aneh lain yang sulit untuk ia terima? Bagaimana jika pergaulannya terlalu bebas?

Sembari duduk di atas futon tipis, Ino ingin mengistirahatkan diri. Ini masih pukul delapan malam, tak ada yang bisa ia lakukan. Nyonya Tsunade juga belum menghubungi nya lagi. Barangkali tawaran yang diberikan padanya kemarin sudah dialihkan ke gadis lain. Bagaimana pun juga, Nyonya pemabuk itu memiliki banyak stok gadis yang lebih cantik darinya, jadi ia bukan sumber pundi pundi utama penghasilan si Nyonya.

Kalau terus seperti ini ia bisa mati. Mungkin jika memikirkan diri sendiri ia rela mati, tapi Shion masih terlalu muda. Anak itu masih punya masa depan. Ketika ia nyaris pasrah dan merebahkan diri, tiba-tiba ia memikirkan sesuatu. Suatu rencana yang mungkin lumayan brilian.


Setelah seharian bekerja, berendam air hangat adalah pilihan paling tepat untuk merelakskan otot-ototnya yang kaku. Sepulang kerja ia sengaja berhenti di depan blok apartemen Ino. Namun tak menemukan gadis itu lewat atau hanya sekedar muncul dari jendela apartemennya. Firasatnya tidak terlalu bagus ketika melihat jendela itu tetap gelap hingga menjelang malam. Apa Ino sibuk dengan pekerjaannya? Dan Shion sedang kuliah? Entahlah, tapi ia tak punya nyali untuk bertamu kesana atau hanya sekedar iseng mengetuk pintunya. Sebab, menemui Ino tanpa alasan yang masuk akal bisa saja membuat mood wanita itu memburuk.

Hangat air yang menyentuh pori-pori kulitnya membuatnya nyaman hingga nyaris terlelap, andai saja bel pintunya tak berbunyi. Kiba nyaris mengabaikan itu, karena ia yakin jika si tamu bukan Naruto pasti cuma Lee, si tetangga yang gemar meminta gel rambut atau hanya sekedar parfum sebelum pergi ke klub malam. Apalagi jamnya pas sekali, jadi biarkan saja.

Namun bel itu terus berbunyi, beruntun seperti tak memberinya kesempatan untuk kembali mengistirahatkan diri.

"Sialan," Terpaksa ia bangkit dari bath tub, meraih handuk yang terletak tak jauh dari jangkauannya. Awas saja jika ini bukan sesuatu yang penting, akan ia hajar si Lee.

Mengabaikan rambutnya yang masih meneteskan air, ia berjalan ke pintu keluar. Nyaris mengumpat ketika dengan tergesa membukakan pintu. Bukan Lee, bukan juga Naruto. Tapi Ino.

Untuk beberapa saat Kiba terdiam, agak shock melihat wanita yang baru saja dipikirkannya berdiri di depan apartemennya. Aroma parfumnya merebak memenuhi indra penciuman, yang kali ini lebih terasa ketimbang pertemuan mereka beberapa waktu lalu. Bulu matanya lentik, seolah wanita itu sengaja berdandan sebegitu cantiknya untuk datang menemuinya.

"Apa aku mengganggu waktumu?"

Kiba meneguk ludah melihat tanktop ketat yang menunjukkan lekuk payudara si wanita. Dan ketika menyadari tatapannya, Ino menutup bagian dadanya dengan kardigan ungu yang ia kenakan. Ia berdehem pelan. "Nggak juga, masuklah."

Sejujurnya ini terasa seperti mimpi.


Sulit mengatur ritme jantungnya yang berdegup tak terkendali. Dan berusaha terlihat biasa-biasa saja bukanlah hal yang mudah. Apalagi penampilan Kiba saat ini bukan sesuatu yang ia harapkan. Ayolah, pria itu sepertinya baru selesai mandi dan terburu-buru membukakan pintu.

"Apa aku mengganggu waktumu?" Ia memperhatikan jakun pria itu bergerak ketika matanya tak sengaja terarah pada payudaranya. Astaga, Ino kau mungkin sudah gila sekarang. Buru-buru ia menutupinya dengan kardigan yang ia kenakan. Kalau ini berhasil, semuanya bakal lebih mudah.

"Nggak juga, masuklah." Pria itu membuka pintu lebih lebar, mempersilahkan Ino masuk ke dalam. Ia mengamati langkah wanita itu yang tampak sedikit ragu-ragu. "Dari mana dapat alamat rumahku?"

Matanya memperhatikan ruang tamu yang tampak luar biasa mewah itu, semua tertata dengan rapi. Barang-barang yang terpajang di sana juga bukan sesuatu yang murahan. Mendadak ia jadi merasa minder menginjakkan kaki disini. "Aku iseng tanya ke Nyonya Tsunade, dan mencoba datang ke alamat yang kau cantumkan disana." Sabun mandi beraroma green tea, terasa begitu segar dalam inderanya. Ino bisa merasakan tengkuknya yang meremang, dan rasa panas menguar dari dadanya. "Ku pikir tadi alamat palsu, aku cuma coba-coba."

Kiba menyilangkan tangan di depan dada, penasaran dengan tujuan wanita itu. "Pasti penting sekali ya sampai rela datang kesini malam-malam." Sekilas ia menatap jam dinding yang menunjuk pukul sepuluh malam lebih sedikit.

Penting? Penting sekali? Yamanaka muda itu menghela napas panjang. Berusaha meraup keberaniannya, ia berbalik untuk bisa menatap Kiba. Ya Tuhan, ia nyaris lemas melihat tubuh lelaki itu. Otot-otot dadanya yang talanjang terpahat begitu menakjubkan. Bahunya yang lebar, tatapannya yang tajam, dan bagian bawahnya hanya berbalut handuk. Ini bukan pertama kali nya ia melihat Kiba seperti ini, tapi ayolah itu sudah lewat bertahun-tahun lalu.

"Kenapa Ino?" Ia berusaha melembutkan tatapan. Aura pertemuan mereka sangat berbeda kali ini. Beberapa hari lalu, wanita itu penuh penolakan tapi kenapa hari ini tiba-tiba ingin menawarkan sebuah kerja sama? Apa dia ingin mengucapkan terima kasih karena telah ia antar pulang waktu itu?

"Kalau--" Ia menarik napas lagi, "kalau aku bersedia menemanimu malam ini, berapa bayaran yang bisa ku terima?"

Kiba berusaha memahami kalimat yang disampaikan si lawan bicara, menemani malam ini? Menemani apa? Ia mengulas senyum miring, dan sebelah alisnya naik. "Menemani apa?"

Tatapan mesum lelaki itu jelas manampakkan semuanya. Sebisa mungkin ia berusaha mengendalikan gemetar tubuhnya, dan tak menurunkan pandangan. Ia yakin, akan berhasil kali ini. Ia mengulas senyuman semanis mungkin. "Kau butuh ditemani apa?" Kaki jenjangnya yang cuma memakai rok berpelisir tak sampai lutut berjalan mendekati si lelaki. Ia yakin Kiba sudah masuk perangkapnya, namun juga tak yakin dengan kemampuannya malam ini.

Dari cara Ino berjalan saja sudah membuatnya sesak, gelombang berahi menghentak setiap sel tubuhnya. Membuat bagian bawahnya menegang. "Menghangatkan ranjang?"

Dadanya serasa meledak, campuran rasa trauma dan gugup bercampur jadi satu. Mati-matian ia melawan kehendak diri sendiri untuk berhenti, namun ia tak berhenti. Tepat di depan Kiba ia menengadah, menatap matanya lekat-lekat. "Berapa bayaran yang bisa ku terima?"

"Berapa pun yang kau minta."

Baiklah, ia hanya cukup mendesah, menampakkan raut bergairah, dan mengangkang untuk memuaskan nafsu pria itu lalu pundi-pundi uang akan ia dapatkan dengan mudah. "Oke deal." Ia melepas kardigannya, dan menyaksikan tatapan intens Kiba memandangi lekuk tubuhnya yang hanya berbalut tanktop putih tipis.

Ia tak pikir pajang ketika menunduk dan meraup bibir bergincu merah muda milik si gadis. Tak peduli jika Ino bisa merasakan bagian pentingnya yang cuma tertutup handuk kini ereksi.

Lumatan bibir Kiba terasa begitu brutal, ini bukan pertama kalinya mereka berciuman. Tapi kesan yang sekarang benar-benar berbeda. Cara Kiba menyesap bibirnya, melumatnya, mengabsen giginya seperti tengah meluapkan kerinduan yang sudah lama sekali dipendam. Ino benar-benar kualahan mengimbanginya.

Ketika Ino meraba dadanya, ia tak tinggal diam. Telapak tangannya yang tebal sudah menelusup ke dalam tanktop Ino, melepaskan kaitan branya, dan perlahan bergerak ke depan untuk meremas payudaranya. Tidak mungkin ia menyetubuhi wanita ini disini, ruang tamu terasa kurang nyaman. Entah sudah berapa lama ia merindukan hal semacam ini, sudah berapa lama ia mengharapkan Ino mau kembali ke pelukannya. Perlahan, ia mendorong Ino untuk menuju kamarnya tanpa melepaskan ciuman.

Inuzuka benar-benar akan menikam nya malam ini, dan tak ada kesempatan lagi untuk lari. Ia tak mampu berhenti melenguh saat telunjuk dan ibu jari lelaki itu memilin putingnya. Gelenyar gairah dan perasaan bersalah bergiliran timbul tenggelam dalam dadanya. Dan ketika Kiba merebahkan nya di ranjang yang empuk dan nyaman, ia tak lagi mampu membendung air mata.

Pikirannya memburam, ia tak bisa berpikir lagi atau memakai logika mengenai kenapa Ino mau melakukan ini? Untuk saat ini ia hanya ingin menuntaskan gairahnya. Menuntaskan sesuatu yang terasa mendesak pada organ vitalnya. Desahan Ino, lenguhan wanita itu yang mengalun mengiringi kegiatan itu membuat semangatnya makin tersulut.

"Ungh."

Entah sejak kapan tangan Kiba menanggalkan bra dan tanktop nya sehingga membuat dadanya terekspos jelas seperti ini. Rasa malu bercampur dengan berbagai perasaan lain yang tak mampu dijelaskan. Percuma memang menutupi payudaranya, toh Kiba sudah melihatnya. Melihat pria menjulang di atasnya membuat jantungnya serasa meledak dalam hitungan detik, gelombang nafsu terpancar jelas dari manik cokelatnya. Ketika pria itu menanggalkan handuk tamatlah riwayatnya.

tbc

Ah, entahlah

.

~Lin

17 September 2022