Psycho-Pass © Gen Urobuchi


"Kau mau membunuhku, heh?"

Seringai dan perilaku sedikit kasar yang sering dapat teguran dari Gino diutarakan oleh Sasayama. Kerahnya dicengkeram erat oleh Kōgami. Keduanya sedang berlatih fisik di sasana kantor, dan Kōgami selalu unggul. Sasayama sedikit terengah dan merapikan kerah pakaian olahraganya yang mengekerut karena atasannya mencengkeram terlalu keras.

Kōgami melemparkan sebotol Anterctic Dorops ke arah Sasayama, dan pria itu menangkapnya dengan satu tangan. Segeralah dibuka segel penutup botolnya dan dihabiskan dalam beberapa teguk saja oleh Sasayama.

"Sepertinya ada yang mengganjal pikiranmu, ya? Tidak seperti biasanya."

Kōgami hanya mengambil handuk dan sedikit menyeka lehernya yang berkeringat. Ia diam saja atas pertanyaan dari Sasayama. Kōgami mempelajari trik Sasayama. Jika pria itu ingin menggali informasi mendalam mengenai dirinya, Sasayama akan menggelayut tanpa henti di sisinya, selama berhari-hari, sampai Kōgami menyerah dan membagikan isi kepalanya kepada bawahannya itu. Umumnya, Sasayama kemudian akan mengolok Kōgami sebelum perilakunya itu ditegur oleh Ginoza. Tapi rasanya, untuk yang satu ini, Sasayama merasa ia tidak patut menggelayut terlalu lama di sisi atasannya itu. Nampaknya ini suatu hal yang sudah sejak lama Kōgami simpan sendiri, sejak pertama mereka bertemu, nampak ada selayang kabut yang selalu menutupi mata kelabu pria jangkung itu. Sasayama hanya memutar botol minumnya lalu mengeluarkan sepak Spinel yang ia simpan di dalam tas olahraganya dan mulai memantiknya. Kōgami, yang merasa terganggu dengan asap rokok, hanya mengabutkan asapnya dengan kedua tangannya sebelum terbatuk pelan.

"Hei, merokoklah di luar!"

Sasayama hanya menyengir saja sebelum ia beranjak dari kursi dan mengeluarkan satu sesapan asap lagi, tepat di samping Kōgami, dan meninggalkan pria itu sendirian di sasana.


"Berhenti!"

Kōgami mengangkat Dominatornya, sementara Masaoka sibuk mengejarnya, dengan Akane di belakang detektif senior itu. Suara Gino menggelegar, melarang Kōgami untuk 'mengikuti insting' detektifnya, yang menurut Gino, sangat tidak berguna dan tidak memiliki basis saintifik. Namun, ketika seekor anjing sudah yakin akan indra memburunya, tidak seekor hewan manapun dapat menghentikannya. Kōgami hanya mempercepat langkahnya. Ia selalu bertaruh pada instingnya. Terakhir kali ia menggunakannya, ia membantu Gino menyelesaikan sebuah kasus yang sulit.

"Tidak ada yang lebih menakutkan ketimbang dijebloskan ke fasilitas kesehatan mental itu. Hanya memandang sebuah kamar persegi empat yang kosong dan berwarna putih. Membosankan!"

Kōgami hanya mengangguk singkat sebelum ia menjabat tangan Sasayama di hari pertama pria itu bergabung dengan kepolisian. Sasayama, entah mengapa merasa aneh dengan seluruh pengalaman itu. Kriminal sepertinya bekerja menegakkan keadilan… Yang benar saja!

Kepala kaku itu terdiam. Kulit yang melingkupi seluruh bentuk kepala itu sudah mengering dan mengeras, dan terpajang di etalase sebuah toko di pinggir jalan yang sepi. Pengunjung yang lalu-lalang umumnya tidak terlalu memerhatikan. Kalaupun mereka menoleh untuk mencari cinderamata, mereka hanya melihat pajangan boneka porselain, atau pakaian yang dipamerkan di sebuah butik kecil tanpa nama. Namun karena jalanan itu sepi, umumnya mereka hanya mempercepat langkah.

Beda dengan penciuman anjing buas. Ada lekukan sepi di pinggir jalan raya pun, mereka akan terus mengendus dan mengejar. Insting mereka selalu haus untuk berburu, atau mungkin hanya sekedar untuk mencari kesenangan baru di luar sana. Terlalu banyak hal untuk mereka teliti dan kemudian, akan mereka sambut dengan salakan bernada tinggi. Salakan nyaring itu datang dari ujung Dominator milik Sasayama. Kilatan cahaya biru terang membuat gerakan lurus, menerjang target yang sudah terkunci oleh mata Sibyl. Ketika Kōgami datang, hanya percikan darah dan potongan tubuh saja yang tersisa di atas lantai batu pada malam itu. Sasayama memutar-mutar Dominatornya dan terlihat senang karena buruannya kini sudah tak bernyawa. Ia merasa pekerjaan ini sempurna. Jauh lebih baik daripada hanya berdiam diri di dalam ruang putih yang membosankan tanpa stimulasi dunia luar. Di sini, setidaknya ia bisa mendapat peran baru meskipun masyarakat awam tidak melihatnya sebagai manusia sehat. Ia bisa bermain peran menjadi seekor anjing. Seekor anjing! Anjing spesial, milik pemerintah, bahkan terlampau spesial karena anjing ini tidak bisa melawan. Kōgami hanya melihat hasil buruan Sasayama dengan pandangan alpa. Rasanya ia bisa belajar banyak dari pria ini, begitu pikirnya.


Lampu temaram di pinggir jalan malam itu hanya berkelap-kelip saja. Jalan tikus yang sepi, menjadi alasan pemerintah untuk tidak terlalu memberi perhatian khusus dan lalai dalam memasang cymatic scan. Ketakutan Kōgami bukannya tak beralasan. Seberapa besar kebenciannya terhadap keputusan negaranya, ia tak bisa berkelit bahwa kadang-kadang, negara membuat pilihan parokial yang membuat Kōgami bertanya-tanya mengenai kesejahteraan para penduduk Jepang seratus tahun yang lalu. Seratus tahun bukanlah waktu yang sebentar, namun perubahan semasif ini tentu membuatnya semakin menyangsikan mengenai arti dari apa itu masyarakat.

Robot kecil yang bertugas untuk menganalisa sekitar kemudian menghampiri Kōgami sebagai petugas yang berhak untuk menerima data, untuk kemudian ia olah dan distribusikan ke bawahannya. Buruan Sasayama dinyatakan sebagai korban yang tidak dibutuhkan lagi di masyarakat, dan karena skala kejahatannya kecil, Sybil memutuskan untuk tak memperpanjang perkara. Mereka semua bisa kembali ke kantor malam itu dan seperti yang Sasayama kerap lontarkan, "Call it a day," dengan aksen bahasa Inggrisnya yang berantakan. Sampai saat itu pun, Kōgami masih belum bisa dengan jelas memahami mengapa para kriminal ini tidak berhak mendapatkan keadilan yang layak. Mereka hanya mendapat dua pilihan hukuman yang ditentukan sepihak oleh Sybil; rehabilitasi, ataupun kematian. Sepihak! Bayangkan, mereka bahkan tak dapat kuasa untuk membela dirinya sendiri di mata hukum.

Kedua netra kelabu Kōgami mengerling pada sebuah etalase kecil yang gelap dan kumuh. Atensi Kōgami berhenti pada sebuah fiksasi, bagaikan mimpi yang ia tidak ingin tanggapi. Namun berapa kali pun ia berusaha untuk mengalihkan pandangannya, kedua netranya menolak. Hanya ada ia sendiri dan setangkup kepala. Kepala itu menyusut, mengering, dan mengecil.

Mendadak, Kōgami seperti ditarik kembali ke masa kecilnya.


Tangan kecilnya membuka dan membalikkan lembaran pamflet yang dibagikan oleh seorang pramuniaga dari pusat perbelanjaan di bilangan Kanagawa. Sepanjang perjalanan pulangnya, Kōgami tak henti-hentinya mengagumi tulisan yang dicetak dengan leter Arial dan diberi penebal. Ia memimpikan masa depan dengan dirinya berada di garda terdepan keselamatan masyarakat. Ia menarik-narik lengan pakaian ibunya, berusaha untuk membagi mimpinya kepada wanita tersebut. Ibunya hanya mengusap kepalanya dan menjelaskan bahwa ia berharap, di bawah Sibyl nantinya, mimpi putranya bisa terealisasikan. Namun, dalam hatinya ia mencelos. Wanita itu hanya berusaha untuk menghibur putranya yang masih kecil. Wajar saja jika anak-anak memiliki impian mereka masing-masing, dan sudah tugas orang tua untuk mendukung mimpi anak-anak, sekonyol apapun itu.

Saat pertama kali Sibyl diimplementasikan, sebagian besar masyarakat bersuka cita. Mereka tidak perlu lagi sibuk-sibuk berpikir panjang mengenai pilihan yang akan mengubah hidup mereka selamanya; pilihan sekolah dan karir. Kala itu, masyarakat hanya perlu menerima hasil ujian mereka dan Sibyl yang menentukan. Mereka tidak perlu berpikir apakah mereka suka atau tidak dengan karir yang dipilih oleh Sibyl, sebab mereka yakin hidup mereka akan jauh dari bencana dan stress selama ada sistem komputer yang mengatur hidup mereka.

Much like an oracle.

Setiap kali Kōgami membagi mimpinya dengan ibunya, ia selalu merasa pandangan wanita itu kosong. Kōgami tidak pernah mengerti mengapa, sampai akhirnya memorinya kembali ke gang sempit itu.


Kōgami menaruh pak rokoknya di atas meja, tengah menimbang apakah ia perlu menambah satu linting lagi untuk malam ini. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya dan mendengus seraya menutup matanya dan terduduk di sofa. Ia lelah sekali. Banyak pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya.

Kalau memang Sibyl membantu manusia untuk hidup lebih baik, maka Sibyl dapat melihat masa depan dari setiap individu yang hidup. Apakah masa depan yang dilihat Sibyl termasuk kapan dan di mana manusia mati? Bukankah pilihan hidup yang sudah ditentukan Sibyl merupakan jalan hidup yang dianggap sebagai pilihan terbaik? Kalau tidak dda Sibyl, apakah aku tidak akan ada di sini, bertemu dengan seluruh orang-orang yang sudah kutemui sepanjang hidupku? Apakah kalau aku tidak bertemu mereka, aku tidak perlu tahu siapa yang masih hidup dan siapa yang sudah mati? Tetapi apa mungkin di kehidupan yang lain itu, orang-orang ini akan tetap mati? Apakah keberadaan Sibyl menjadi sia-sia saja?

Kōgami mengacak rambutnya dan mengalihkan pandangannya ke sebuah foto kecil yang pernah diambil oleh salah satu pegawai kantornya. Foto itu terdiri dari dirinya, Gino, dan Sasayama. Mereka sedang rehat, dan sedikit melepas beban pekerjaan dengan bepergian ke pusat kota bersama-sama, meskipun tak lama kemudian mereka harus segera menangani kasus di hari libur. Hubungan mereka saat itu tergolong dekat, namun ada sedikit penyesalan di hati Kōgami karena ia seharusnya membagi lebih banyak soal dirinya kepada Gino dan Sasayama sebelum kedua pria itu menghilang dari hidupnya. Gino yang sekarang bukanlah Gino yang Kōgami kenal, dan tentu saja apapun yang Kōgami lakukan tidak akan dapat mengembalikan Sasayama. Ia hanya bisa menarik satu pak rokok dengan merk favorit Sasayama.

And that's the closest thing he could get into bringing Sasayama back to life.