"Childhood Memories" by Meltavi

Boboiboy © Animonsta Studios

Fanfic ini aku tulis tidak mengharapkan keuntungan apapun, hanya untuk kesenangan semata^^

Warning(s) : AU, TauYa, bro!HaliTauGem, friendship, romance, family, typo, gaje, dll.

Selamat membaca^^

...

..

.


"Hah? Yaya pindah ke sini?"

Taufan mengulangi perkataan ibunya lagi. Ia sampai mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk saking terkejutnya. Toples berisi keripik pisang yang ia makan tadi seketika terabaikan. Kedua matanya menatap sang ibu penuh tuntutan untuk segera menjawab keraguannya.

Wanita paruh baya di depannya mengangguk. Tangannya dengan cekatan merapikan vas bunga di atas meja ruang tamu tanpa menatap balik putranya. "Iya, Yaya temen kecil kamu. Ibu denger dari neneknya katanya dia pindah ke sini lagi." jelas ibunya lalu bangkit menuju dapur, meninggalkan Taufan yang masih melongo.

"Yaya ... " gumam Taufan, matanya menatap lurus ke depan sementara otaknya memutar kembali kenangan masa kecilnya, tepatnya sepuluh tahun yang lalu.

Yaya adalah teman masa kecilnya dulu. Gadis kecil nan mungil yang sangat menggemaskan. Pipinya sangat gembul saat itu, membuat Taufan seringkali mencubitnya karena gemas. Namun pada saat mereka memasuki SD, gadis itu pindah ke kota Kuala Lumpur karena pekerjaan ayahnya. Sejak saat itu, Taufan tidak pernah menemui Yaya lagi. Bahkan kabar gadis itu pun ia tidak mengetahuinya sama sekali. Dan gadis itu akan pindah ke sini? Bagaimana penampilannya sekarang? Apa Yaya akan mengingatnya lagi?

"Aku pulang~!"

Suara membahana seseorang terdengar seantero rumah. Taufan tidak memedulikannya. Ia semakin menyelam dalam pikirannya sendiri.

"Ucapin salam orang mah, gimana sih kamu." tegur sang ibu, membiarkan putra ketiganya menyalami tangannya sambil cengar cengir.

"Hehe, maaf, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Kamu istirahat, gih. Ibu masih masak buat makan siang." ucap ibunya, sebelum kembali berkutat dengan masakannya di kompor.

Cowok yang dipanggil Gempa itu melihat kesibukan yang diciptakan ibunya di dapur. Sebuah loyang berisi kue kering yang sepertinya baru diangkat dari oven menarik perhatian Gempa.

"Ibu bikin kue buat siapa?" tanya Gempa heran. Karena biasanya sang ibu hanya membuat kue ketika ada acara yang diselenggarakan di rumah mereka, atau untuk menjamu tamu yang akan datang berkunjung.

"Oh, itu. Sore nanti ada tetangga lama pindah ke sini." jawab ibunya seraya menggerakkan spatula dengan lihai.

Alis Gempa terangkat. "Siapa?"

"Yaya. Kamu nggak bakal kenal, karena waktu dia di sini kamu sama Hali 'kan lagi tinggal sama Ayah di Kanada." jelas ibunya.

Gempa manggut-manggut. Itu berarti, yang mengenal Yaya hanya Taufan di antara mereka bertiga. Gempa menengok kembali ke ruang tamu, mendapati Taufan masih melamun di sana seperti orang idiot.

"Taufan udah tahu soal ini, Bu?"

Ibunya mengangguk. "Udah. Kaget banget dia tuh sampai bengong. Kamu colek coba, biar rohnya nggak kecabut." celetuk ibunya membuat Gempa tergelak. Putra ketiga dari Boboiboy bersaudara itu kemudian melangkah menuju ruang tamu. Beniat menyadarkan kembarannya tersebut sesuai perkataan sang ibu.

Taufan yang masih asyik memikirkan sang teman lama, tidak mengetahui ada makhluk tengah mengendap-endap ke arahnya. Kini pikirannya dipenuhi bagaimana reaksi Yaya nanti ketika mereka bertemu lagi? Taufan takut Yaya akan memandangnya aneh, karena dirinya yang super absurd dan random ini. Tapi untuk masalah wajah, Taufan yakin 100% Yaya akan terpesona pada kegantengannya. Hanya saja...

"Kak Taufan!"

"Allahuakbar!" pekik Taufan kaget sampai tubuhnya sedikit terguncang. Ia mengusap dadanya dramatis, lalu menatap tajam pelaku yang membuat jantungnya berdisko sebentar.

"Kau ini, untung jiwaku tidak tercabut," gerutu Taufan mengerucutkan bibirnya.

Gempa tertawa. Ia mengambil tempat di samping sang kakak yang masih sibuk elus-elus dada. "Lagian Kak Taufan bengong terus, sih. Mikirin tetangga baru sampe segitunya." kata Gempa, meraup keripik di toples yang Taufan peluk. Sedetik kemudian, Gempa tersadar sesuatu. "Eh, tetangga lama deh buat Kak Taufan mah. Yakan yakan?" Alis Gempa naik-turun dengan wajah menggoda.

Taufan mencibir. Ia menebak adiknya tahu kabar itu dari sang ibu. "Bukan itu. Aku cuma bingung harus bagaimana saat bertemu sama dia lagi." ujar Taufan lesu, mendadak suasana menjadi mellow. Gempa yang mendengarnya mengerutkan alis.

"Yah, tinggal bilang 'hai?' atau 'apa kabar?'. Memang apa susahnya?" balas Gempa tak ambil pusing. Ia mengambil alih toples di pelukan sang kakak agar lebih leluasa memakan keripik pisang.

Taufan menghela napas jengah. Ia menghadapkan tubuhnya pada sang adik kembar, mengubah posisi duduknya menjadi bersila. "Coba kau jadi aku. Hampir sepuluh tahun nggak ketemu, pasti canggung, 'kan?"

Kepala Gempa mengangguk kalem dengan mulut masih mengunyah.

"Nah! Itu yang aku rasakan sekarang. Gimana kalo aku keliatan konyol di mata dia nanti," rengek Taufan. Kepalanya di sandarkan di punggung sofa, memanyunkan bibirnya seperti anak kecil.

Gempa memutar matanya malas. Ia tidak mengerti dengan Taufan yang mendadak misuh-misuh hanya karena akan bertemu teman lamanya. Padahal kesehariannya, Taufan bersikap apa adanya, meski harus Gempa akui sikap kakaknya itu lebih ke malu-maluin.

"Lebay ah. Dah, aku mau ke kamar dulu."

Toples yang berisi keripik pisang setengah itu diletakkan di atas meja. Gempa kemudian bangkit, meninggalkan Taufan yang masih merengek-rengek tidak jelas di sofa. Ia tidak mau virus gila kakaknya ikut merasuki tubuhnya yang suci ini.

...

..

.

Suara obrolan khas wanita beserta tawanya terdengar sampai di telinga Taufan. Ia mengintip dari balik gorden rumahnya, menatapi bagaimana sang ibu menyapa tetangga baru–ralat, lama—mereka yang baru saja datang beberapa menit sebelumnya. Cowok itu tanpa sadar menggigit bibir bawahnya ketika menemukan sosok gadis seusianya, berdiri di antara dua wanita paruh baya itu dengan canggung. Pasti dia Yaya. Teman masa kecilnya.

"Serius itu dia? Cantik banget," kata Taufan seperti melihat makanan lezat di depannya. Yaya–yang ia duga–terlihat begitu manis walaupun dilihat dari jarak yang lumayan jauh. Gadis itu memakai hijab berwarna merah muda dengan pakaian yang senada. Senyumnya sangat manis, dan caranya menatap begitu menenangkan dan tidak mengintimidasi siapapun. Pipinya tidak gembul lagi seperti dulu, malah lebih ke tirus namun tetap cantik. Gadis itu banyak berubah, seperti dugaannya.

Taufan melepaskan singkapannya pada gorden, membuat benda berbahan kain itu menutup pemandangan sang tetangga lama. Sebenarnya ia diajak keluar oleh ibunya untuk menyambut mereka tadi. Tapi Taufan pura-pura tidur di kamar karena tidak tahu reaksi apa yang akan ia tunjukkan nanti. Jadi daripada membuat kesalahan, lebih baik menghindarinya, bukan?

Taufan berniat kembali ke kamarnya sebab kakinya sudah merasa pegal berdiri terus di dekat jendela. Baru saja ia membalikkan badan, sosok yang menyerupai dirinya tiba-tiba ada di belakangnya.

"Astaghfirullah!" teriak Taufan kaget bukan main. Sepertinya ia akan dapat piring jika sekali lagi terkejut nanti. "Ngapain sih, Hal?" tanya Taufan kesal, sementara orang di depannya masih kalem mengunyah es batu.

"Kau yang ngapain. Lagi ngintip, hah?" ujar Halilintar balik bertanya. Dia baru bangun tidur omong-omong, jadi tidak tahu menahu soal hot news di dalam keluarganya.

"Ketinggalan berita kau mah." Halilintar melotot dikatai begitu. "Ada tetangga baru. Tuh baru dateng." jawab Taufan sambil melengos pergi, membiarkan Halilintar mengintip di tempatnya tadi karena penasaran.

"Cewek?" tanya Halilintar.

"Banci."

Halilintar mendengus kesal. Ia menghentikan aksi mengintipnya dan beralih duduk di sofa, memperhatikan adik kembarnya yang tengah berjalan menuju kamarnya.

"Tumben sekali kau tidak excited. Biasanya kalau ada tetangga baru kau senang macam orang gila." komentar Halilintar setelah menyadari sesuatu.

Taufan mengibaskan tangannya di udara. "Sedang tidak mood." jawabnya ogah-ogahan. "Ibu menyuruhmu makan. Ada di meja makanannya." kata Taufan lagi sebelum benar-benar tiba di lantai dua.

Halilintar hanya mengangguk singkat. Ia memang berniat makan tadi setelah bangun tidur dengan perut meronta kelaparan. Namun niatnya terhenti karena berita tentang tetangga baru mereka lebih menarik perhatiannya. Sepenglihatan Halilintar tadi, tetangga mereka mempunyai anak perempuan seusia mereka. Ini hal yang sangat baru karena baru kali ini mereka kedapatan tetangga cewek, sebaya pula.

"Kak Hali udah bangun?"

Halilintar menoleh dan mendapati Gempa baru saja turun dari tangga. Ia menanggapi pertanyaan adiknya dengan gumaman singkat, sementara Gempa menghampirinya dan duduk di sofa single.

"Kau sudah tahu?" tanya Halilintar tepat sang adik berhasil duduk di sofa.

"Tahu apa?"

"Itu. Tetangga baru."

Mulut Gempa berbentuk O lalu menganggukkan kepala. "Tau. Teman masa kecil Kak Taufan kan."

Lagi, Halilintar mendapat kabar tak terduga. "Eh? Maksudmu saat kita di Kanada?"

"Hu'um. Kalau nggak salah namanya Yaya." tambah Gempa lagi.

"Yaya?" beo Halilintar. Dahinya mengernyit karena merasa familiar dengan nama itu. "Ah, aku ingat! Yang sering diceritakan Taufan kalau kita teleponan, dia manggilnya 'Aya'!"

Gempa ikut heboh. "Oh iya! Aya Aya itu."

"Tapi kenapa Taufan kayak nggak seneng deh? 'Kan itu temen masa kecilnya?" tanya Halilintar. Jika jadi Taufan, Halilintar akan senang bukan main ketika bertemu lagi dengan teman lama. Tapi kenapa si biru itu malah terkesan abai? Halilintar tidak mengerti.

"Entah. Tadi sih Kak Taufan bilangnya dia takut terlihat konyol di depan Yaya karena bertemu lagi setelah sekian lama. Aku juga nggak ngerti." ujar Gempa mengendikkan bahu, mencari posisi nyaman untuk menonton televisi.

Halilintar hanya ber-oh ria. Sementara Gempa menonton acara TV, Halilintar memilih melangkah ke dapur untuk mengisi perutnya yang kosong sejak siang hari. Ia tidak mau ibunya mengoceh panjang hanya karena dirinya telat makan.

...

..

.

Mungkin ini salah satu momen langka dalam keluarga Boboiboy bersaudara. Di kamar dengan pintu bertuliskan 'kamar Ufan' itu, berdiri gagah—nggak gagah juga sih–di depan cermin untuk melihat apakah penampilannya sudah pas atau belum. Entah apa yang merasuki Taufan, pagi-pagi sekali sudah bangun terus mandi tapi nggak tidur lagi, melainkan bersiap jogging di sekitar rumahnya. Kaos putih polos sudah melekat di tubuhnya dengan jaket berwarna biru gelap sebagai luaran serta bawahan celana training. Taufan mematut lagi dirinya di cermin. Memastikan wajahnya tidak beler maupun belekan.

Setelah merasa semuanya sudah pas, Taufan keluar dari kamar sehati-hati mungkin. Ia berharap tidak akan bertemu Halilintar entah di ruang tamu atau dapur, karena kakak kembarnya itu memiliki kebiasaan olahraga setiap minggu pagi. Karena kalau itu sampai terjadi–

"Kesambet apaan pagi-pagi udah bangun?"

–Halilintar akan meledeknya.

Taufan mendecak. Sepertinya ia salah memilih bersiap lebih pagi.

"Ngapa, sih? Komen aja." cibirnya sambil melengos melewati Halilintar di ambang pintu dapur. Taufan berusaha mengabaikan tatapan kakaknya yang terus menghujamnya tanpa henti. Seolah dirinya adalah tahanan yang kabur.

Halilintar mengikuti adik kembarnya ke meja makan yang tengah mengoles selai ke permukaan roti tawar untuk sarapan. Ini pemandangan yang amat langka. Saking langkanya, mungkin bisa masuk ke keajaiban dunia yang ke-8. Seorang Taufan, bangun pagi hanya untuk olahraga? Kerasukan setan apa dia?

"Kau mau tebar pesona sama tetangga baru, ya?" tuduh Halilintar setelah puas menatap selidik adik kembarnya.

"Enak aja! Mana ada aku kayak gitu!" Taufan langsung membalas nyolot.

Halilintar tertawa mengejek. Ia sudah menangkap jelas kedustaan itu. Jadi tanpa memedulikan Taufan lagi, Halilintar melenggang pergi untuk lari sekitar komplek.

"Woi, Hal! Serius aku nggak gitu!" teriak Taufan bersamaan pintu rumah yang tertutup. Taufan mencebikkan bibirnya. Melanjutkan sarapannya dengan wajah sebal. Kenapa setiap ia berbohong, seluruh keluarganya bisa mengetahuinya, sih?

Setelah selesai melahap dua lembar roti selai, Taufan memakai sepatunya di teras sambil menatap lekat bangunan didepannya. Rumah Yaya tampak sepi, pintunya masih tertutup rapat dengan lampu masih menyala. Taufan melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul enam pagi. Setelah galau semalaman karena bingung bagaimana cara menemui lagi teman masa kecilnya, Taufan akhirnya berencana ingin menyapa Yaya saat pulang jogging nanti. Pencitraan memang, tapi yang namanya first impression harus baik, bukan?

Cowok penyuka warna biru itu kemudian berdiri, melakukan perenggangan sebentar. Taufan cukup tahu diri bawah tubuhnya jarang diajak olahraga, maka dari itu ia merenggangkan ototnya sebentar jika tidak mau sakit badan setelah lari nanti.

Diambilnya langkah pertama untuk memulai jogging perdananya. Sebenarnya ia bisa saja lari bersama Halilintar tadi. Namun Taufan tidak mau rencana pribadinya dihancurkan oleh makhluk dengan nama petir itu. Belum lagi ledekannya yang sungguh minta ditabok. Taufan menjauhi hal itu semaksimal mungkin.

Komplek perumahannya tampak sepi. Hanya segelintir orang yang Taufan temui selama ia berlari. Taufan juga sesekali menyapa orang yang ia kenal. Selebihnya ia terus berlari memutari kawasan perumahannya sampai dirinya bertemu Yaya di depan rumah mereka.

Untuk sesaat Taufan terpesona ketika matanya menangkap sosok cantik itu. Yaya Yah. Kerudung bergo merah muda menutupi rambutnya, dengan cardigan putih sebagai luarannya. Dia tengah menyiram tanaman di halaman rumahnya, posisinya yang menyamping membuatnya tak bisa menyadari keberadaan Taufan. Tapi itu sangat cukup bagi cowok maniak warna biru itu. Seperti melihat bidadari rasanya.

Taufan berdeham. Berusaha menetralkan detak jantungnya yang menggila tiba-tiba. Ia menepuk pipinya beberapa kali, menyuruh akal sehatnya kembali. Taufan menarik napas sebentar sebelum dikeluarkan lagi. Ia bersiap menyapa sang teman lama.

"Hei!"

Seruannya membuat Yaya menghadap ke arahnya. Namun bukannya mendapat sapaan ramah, Taufan malah kena semprot air.

Taufan memejamkan mata refleks kala air dari selang itu menabrak wajahnya. Rambut hingga pinggangnya seketika basah. Semprotan air itu tiba-tiba berhenti di detik berikutnya, kemudian terdengar suara panik.

"Ya ampun! Maafkan aku!"

"Tidak apa-apa. Hanya basah sedikit, kok." kata Taufan seraya memasang senyum konyolnya. Duh, pagi-pagi dah kena semprot bidadari.

Yaya di sana tampak ragu. Wajahnya dihiasi rasa bersalah, membuat Taufan dengan cepat menenangkannya.

"Tenang, tenang. Aku hanya ingin menyapamu." lanjut Taufan. Yaya diam di sana, menatapnya dengan bingung. "Senang bertemu denganmu lagi, Yaya."

Hening. Yaya masih menatapnya dengan sorot bingung. Taufan yang berdiri di depan rumah gadis itu seketika kikuk, karena Yaya tidak bereaksi sesuai yang diharapkannya.

Jangan-jangan dia lupa aku?!

"Err, iya, senang bertemu denganmu." ujar Yaya setelah diam cukup lama. "Tapi, namamu siapa? Dan, darimana kau tahu namaku?"

JDER!

Meski sulit, Taufan berusaha mempertahankan senyumannya. Sudah kena siram, terus dilupakan pula. Paket komplit.

"Namaku Taufan. Tetanggamu." Dan teman lamamu. "Ini rumahku." Tangan Taufan menunjuk ke arah rumahnya yang di seberang rumah Yaya.

"Ah, kau putra paman Amato ternyata! Salam kenal! Aku minta maaf sudah menyirammu tadi. Kukira airnya tidak akan keluar sebanyak itu ... " ringis Yaya sambil menggaruk pipinya malu.

Taufan tertawa hambar. "Hahaha, tidak apa-apa. Lagipula aku belum mandi." dustanya. Terlihat Yaya terkekeh kecil karena guyonannya tersebut. MasyaAllah, merdu banget.

"Oh, iya. Tadi kau tahu namaku darimana?" tanya Yaya kebingungan.

Taufan meringis. Menyesal sudah ia langsung memanggil nama gadis tersebut. Harusnya ia menyiapkan plan lain ketika hal ini terjadi. Tapi apa daya, otaknya yang hanya bisa menyerap pelajaran olahraga itu tidak memikirkannya sama sekali.

"Itu, um ... aku tau dari ibuku. Hehehe," jawabnya tertawa garing. Ada bunyi kretek di dalam dada Taufan, yaitu hatinya sendiri. Sakit banget loch.

Yaya mengangguk-angguk paham. Taufan bernapas lega karena Yaya tidak menanyakannya lebih lanjut. Soal perasaannya yang hancur karena dilupakan teman lamanya sendiri–oke, ini lebay–Taufan lupakan sebentar. Toh, nanti Yaya juga akan ingat. Semoga saja sih.

"Omong-omong, sepertinya kau harus ganti baju sekarang, Taufan. Nanti bisa masuk angin." kata Yaya, ada sedikit nada khawatir disana yang mana langsung membuat Taufan senang.

"Oh, iya. Baiklah, aku masuk dulu ya. Sampai jumpa Yaya!"

"Sekali lagi aku minta maaf sudah menyirammu!"

"Tidak apa-apa, Yaya!"

Setelahnya Taufan masuk ke rumahnya. Menghela napas ketika berhasil menutup pintu rumah dan bersandar di sana. Ia mengintip dari balik gorden, mendapati Yaya sudah menyelesaikan acara siram tanamannya dan masuk ke dalam rumah.

Mulutnya dibentuk seperti bebek. Sedih rasanya jika dilupakan teman sendiri. Namun Taufan berusaha berpikir positif. Mereka tidak bertemu selama 10 tahun lebih, banyak perubahan pada diri mereka masing-masing. Taufan tahu wajahnya yang bocah dulu kini berubah menjadi tampan mempesona. Wajar jika Yaya tidak mengingatnya.

"Kak Taufan habis dari planet mana ampe basah begini?"

Taufan menghentikan aksi mengintipnya. Ditemukannya Gempa sudah berada di belakangnya dengan wajah bantal. Pasti ibunya juga sudah bangun. Mengingat harus membuatkan sarapan untuk mereka berempat, karena ayahnya sedang menetap di luar kota karena pekerjaannya. Dan Gempa sebagai asisten ibunya sudah tentu membantunya menyiapkan sarapan. Taufan sih tinggal makan.

"Oh, Gempa. Tadi kena siram bidadari." jawab Taufan asal.

Gempa mengernyit. "Maksudnya?" Otaknya tak dapat mencerna kalimat kakaknya karena nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.

"Lupakan." Taufan mengibaskan tangan. Malas menjelaskan lebih lanjut. Ia baru akan melangkah menuju kamar mandi, namun suara Gempa menginterupsinya lagi.

"Kak Taufan habis ketemu Yaya?"

Mendadak suasana menjadi sendu. Taufan mengangguk dengan posisi membelakangi adiknya. "Iya, tapi dia nggak ingat aku, hiks." jawabnya dengan dramatis.

"Kok bisa–"

"Huwaaaa, Gempaaa! Yaya nggak ingat akuuu!"

Adegan selanjutnya adalah Taufan memeluk Gempa yang terkaget-kaget sambil menangis bombay karna tidak diingat teman lamanya sendiri.

.

.

.

.

to be continued


A/N :

Aloo gaiss, bertemu lagi dengan Meltavi yang sangat random ini /apa

Serius, ini iseng doang nulis ff ini. Ini ff multichap pertama aku–Little Sister nggak termasuk karna dia kayak kumpulan drabble jatohnya sksksk–jadi gatau bakal kelar apa ngga WKWKWKWK /plak

Kayaknya ff ini nggak bakal berat konfliknya. Yah paling dikasi drama dikit, biar seru(?)

Dan yups, lagi-lagi jiwa shiper TauYa-ku keluar. Nggak paham lagi deh, secinta itu sama TauYa huhu

Itu aja kayaknya. Makasih yang udah nyempetin baca^^ Dan aku amat sangat berterimakasih jika ada yg review ehehe /ngarep

See u guys~