Secret

By: Honsuka Sara

Detective Conan belongs to Aoyama Gosho

Chapter 1: Menikah

.

.

.

.

.

"dr. Miyano, boleh bicara sebentar?"

Selada yang sudah setengah jalan ke mulut Shiho kembali lagi ke piring. Menengok ke arah sumber suara, Shiho mencoba mengangguk sopan. Ah, sulit rasanya untuk tersenyum, walaupun ia tau itulah sikap lebih sopan yang sebaiknya ditunjukkan sesama rekan kerja.

Shiho Miyano meletakkan garpunya dengan rapi di piring salad yang belum termakan setengah. Jam dinding putih besar di atas pantry menunjukkan dua puluh menit sebelum waktu istirahat makan siang berakhir. Mau tak mau, ia mengeluh dalam hati, walaupun dikoreksinya sedetik kemudian.

'Setelah apa yang terjadi selama dua puluh tahun hidupku, harusnya aku bersyukur karena masalah terbesarku saat ini hanyalah kehilangan waktu istirahat, kan?' batin dokter muda itu.

"Aku permisi sebentar."

Rekan-rekan kerja yang makan siang semeja dengannya tersenyum, mengangguk, membalas ucapannya, bahkan tertawa.

"Semangat, Shiho!" bisik Mary, rekan sesama tim medis yang kebetulan duduk di sebelah kanannya. Dokter berambut brunette itu tertawa kecil.

'Semangat, huh?' ringis Shiho dalam hati. Ia tahu benar ke mana arah pembicaraan ini.

Wanita berambut pirang itu berdiri, berjalan pelan mengikuti Arthur—pria yang tadi memanggilnya. Rupanya, Arthur tidak mengajaknya berjalan jauh. Hanya ke lorong dekat kafetaria dengan jendela besar menghadap lapangan yang dituruni salju pertama tahun itu.

"Shiho."

Arthur tampak gugup. Dari cara pria itu mengelap telapak tangan ke celananya, Shiho tau dia gugup dan tangannya sering berkeringat. Ah, indikasi awal penyakit jantung?

"Ya." Shiho menjawab panggilan akan namanya.

Pria itu tersenyum miring, mengingatkan Shiho akan seseorang yang sedang tak ingin diingatnya. Arthur tampak tampan. Seperti Peeta Mellark. Dengan bahu lebar dan rahang kotak. "Sebenarnya, aku sudah memerhatikanmu selama beberapa lama. Menurut penyelidikanku, kau masih sendiri. Entah kau yang terlalu hebat untuk menyembunyikan kehidupan personalmu dari seorang agen FBI atau penyelidikanku benar."

Jari manis Shiho tiba-tiba terasa gatal. Tapi sudah jadi pilihannya untuk membiarkan jari itu polos. "Aku bahkan tak bisa bermimpi untuk mengelabui penyelidikanmu, Sir."

"Ah, panggil aku Arthur saja."

"Oke, Arthur." Shiho menjawab begitu cepat.

"Jadi, ehm, keberatan kalau jalan denganku kapan-kapan sepulang kerja?"

Shiho mengelus tempat cincin itu seharusnya berada dengan tangan yang lain. "Maaf, tapi aku tidak bisa. Aku sudah menikah."

Sang pria hanya mengangkat sebelah alisnya. "Oh, wow, jadi kau benar-benar jago menutupi kehidupan personalmu?"

"Tidak, Arthur. Menciptakan legend bukan keahlianku."

"Kau tidak memakai cincin kawin."

"Aku tidak memakainya."

"Kau mau jujur saja dan menolak ajakan date-ku?"

"Maaf."

Tangan pria itu kini masuk ke sakunya. Posturnya lebih santai dibanding awal pembicaraan mereka. "Kau tahu, terlepas dari kita adalah FBI yang seharusnya sangat baik dalam menjaga rahasia, rumor bahwa kau sudah menikah sudah jadi perbincangan dimana-mana sejak cowok pertama yang kau tolak dua tahun lalu. Kau ingat, Alex yang pindah bulan lalu?"

"Aku ingat."

"Tapi tidak ada yang percaya karena kau masih delapan belas waktu itu. Dan data-datamu menunjukkan bahwa kau masih lajang. Wajar kalau kami tidak percaya kan, Dokter?"

"Padahal kalian adalah orang-orang terhebat dalam mencari dan mengumpulkan informasi."

Salju di luar turun makin lebat. Mungkin Shiho akan kedinginan dalam perjalanan ke halte bus nanti sore. Tapi Arthur punya mobil. Dia akan aman dengan penghangat di dalam sedan hitamnya.

Arthur dari divisi yang tidak diketahuinya. Alasan tangan kanan Arthur kini mengusap rambutnya juga tidak diketahui Shiho. "Kau harus mengenalkanku pada suamimu, kalau begitu. Atau aku akan mengambil wanita miliknya."

~HS~

Shiho sampai di apartemennya setelah sebuah operasi panjang yang melibatkan lima pistol terarah ke kepalanya dan lima lainnya melindunginya. Detailnya rahasia. Tidak bisa diceritakan. Dan begitulah sebagian besar hidupnya sekarang. Classified. Hanya diketahui orang-orang yang perlu tau. Laporan yang hanya boleh dibaca oleh pihak-pihak dengan level clearance tertentu. Aq

Shiho mengeluarkan isi tas yang ia bawa. Ada sedikit darah di snellinya.

'Mungkin bekas luka tembak orang itu', pikirnya.

Bagaimanapun, Shiho berdiri di sebelahnya saat ia memuntahkan darah akibat peluru yang menancap di paru-parunya. Snelli yang lain, yang dibungkus Shiho dengan plastik bening, bernoda darah lebih banyak. Wanita itu memakainya saat memberi CPR di atas ranjang pasien berkecepatan tinggi menuju ruang operasi. Empat suster mendorongnya. Ruang operasi terasa sangat jauh di saat-saat antara hidup dan mati seperti itu.

Menghela napas, Shiho merendam dua snelli tersebut dengan bleach di ruang cuci. Ia akan membuat makan malam dulu sebelum membilasnya. Makan malamnya biasa. Spicy wings siap goreng dan kentang tumbuk. Mungkin ditambah sepotong kue cokelat yang masih ada di lemari pendingin sebagai dessert.

Shiho sedang mengeringkan piring dengan lap tangan saat ia mendengar ponselnya berbunyi. Wanita itu memutuskan untuk membiarkannya. Dari nada dering yang ia dengar, panggilan berasal dari ponsel pribadinya, yang berarti bukan panggilan operasi mendadak. Ia sedang malas beramah-tamah. Piring-piringnya lebih penting. Snelli yang masih harus dicucinya juga penting. Tubuhnya juga masih bau amis darah. Panggilan itu bisa menunggu sampai sebelum ia tidur.

~HS~

Besoknya, Shiho ingat belum membuka ponsel pribadinya dan melihat panggilan yang ia abaikan saat berada di halte bus. Sayang sekali ponsel itu ternyata kehabisan baterai.

~HS~

"Kau akan berangkat siang ini dengan dua orang anggota lain. Arthur Williams dan seorang anggota baru. Aku belum menerima datanya. Dia memulai masa on the job training-nya hari ini. Aku pikir kau sudah kenal dengan Arthur?"

Kepala Tim Medis memanggil Shiho pagi-pagi. Rupanya ada misi mendadak. Bukan hal tidak wajar, tapi kenapa harus Arthur?

"Aku tau Mr. Williams, Sir."

"Bagus. Kau akan bertemu dengan mereka berdua siang ini pukul dua di Ruang Alpha untuk briefing singkat sebelum misi." Richard Jones seorang pria tua yang misterius seperti kebanyakan anggota FBI lainnya. Shiho hanya berharap ia mengetahui lebih banyak tentang apa yang harus dilakukannya sebelum ia dikirim dalam misi selanjutnya. Dan apa yang dia simpan di saku dalam snellinya. Antara pistol atau Surgical Medical Binocular Magnifier, Shiho belum bisa menentukan. "Lokasi, Rumah Sakit Santa Ana. Misi, mengawal rangkaian proses operasi CEO Glass Co., mencegah segala upaya pembunuhan terhadapnya, dan menarik informasi terkait kebocoran data negara baik dari dia sendiri maupun orang-orang di dekatnya. Kalian punya waktu dua minggu."

Glass Co. adalah perusahaan provider terbesar di Inggris. Ini akan menjadi misi menarik.

"Aku mengerti," jawab Shiho.

"Kau boleh pulang dan menyiapkan barang-barangmu sekarang." dr. Jones menatapnya datar. Mungkin itulah tatapan saat kau sudah terlalu lama belajar poker face. "Dan Shiho, bawa pistolmu. Hanya untuk berjaga-jaga."

Dan untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, Shiho melakukan sesuatu yang paling mendekati senyuman. Ia menyeringai.

"Yes, Sir."

.

.

.

.

.

AN: Tertarik untuk baca lanjutannya?