Yaya menatap jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 8 pagi. Kamar barunya masih belum rapi, Yaya hanya sempat menyusun ranjangnya untuk dirinya tidur. Ia berniat ingin menyelesaikan mendekor kamarnya hari ini, karena besok adalah hari pertamanya masuk sekolah. Yaya berharap kehidupannya di kota kelahirannya ini bisa berbeda dengan kota yang ia tempati sebelumnya. Gadis itu menarik napas. Kakinya melangkah ke tengah ruangan lalu memilih kardus berisi pakaian untuk dirapikan pertama.
Bajunya cukup banyak. Beberapa ada yang ia gantung dengan hanger, sementara sisanya Yaya lipat dan dimasukkan ke dalam lemari. Yaya melakukannya dengan telaten. Gadis berotak encer itu akan membuat kamar barunya tak kalah nyaman dari yang di Kuala Lumpur.
Tok. Tok.
Suara ketukan pintu terdengar. Yaya bangkit dari duduknya, membuka pintu kamarnya yang bernuansa putih.
"Lagi beres-beres?"
Rupanya sang ibu yang mengetuk tadi. Yaya mengangguk. Ia melebarkan daun pintu agar ibunya bisa melihat isi kamarnya.
"Perlu ibu bantu?" tawar ibunya.
Yaya menggeleng. "Nggak usah, Bu. Yaya bisa sendiri." katanya.
Ibunya mengangguk. Kedua matanya menatap kamar putrinya sekali lagi sebelum menyadari sesuatu. "Oh, ya. Kamu udah ketemu Taufan?"
"Taufan?" ulang Yaya dengan dahi mengernyit. Bukankah dia adalah cowok yang Yaya temui tadi? "Ah, tetangga depan? Sudah tadi, tapi Yaya nggak sengaja nyiram dia," ujarnya seraya meringis malu.
Ibunya terlihat terkejut sedikit. "Kok bisa, sih? Kamu ada-ada aja." Terdengar kekehan pelan dari Yaya. "Syukur deh kalau kamu udah ketemu temen kecil kamu. Besok kamu satu sekolah sama dia, ya."
Yaya mengangkat alis bingung. Teman waktu kecil? Siapa? Taufan?
"Maksud ibu? Taufan temen aku dulu?"
Ibu Yaya melebarkan matanya tak percaya. "Loh? Kamu nggak inget Taufan?" Gelengan putrinya membuat ia semakin tak menyangka. "Yang sering kamu panggil Ufan, Yaya. Kamu nggak inget?"
Yaya terdiam. Satu nama itu terdengar sangat familiar di ingatannya. Gadis itu mencoba mengorek kenangan lamanya, mencari tahu siapa Ufan itu.
Beberapa detik diisi lamunan, dan Yaya seketika tersadar. Wajahnya berubah kaget.
"Astaga, dia Ufan?!"
...
..
.
Yaya tak akan melupakan masa kecilnya sebelum masuk sekolah dasar. Saat itu ia masih tinggal di Pulau Rintis, kota kelahirannya. Rumahnya bersebrangan dengan rumah bocah lelaki yang gemar tersenyum, Taufan namanya. Karena masih sulit mengeja, Yaya memanggilnya Ufan. Dan Taufan memanggilnya Aya meskipun kemampuan berbicara bocah itu lebih baik darinya.
Yang Yaya tahu, Taufan adalah anak laki-laki yang menyenangkan. Dia selalu membuat Yaya tersenyum, entah karena ucapannya atau tingkah lakunya. Setiap hari mereka bermain bersama, bahkan pernah satu waktu mereka tidak mau berpisah saat malam tiba, hingga akhirnya Yaya diperbolehkan menginap di rumah Taufan dan pulang saat esok paginya.
Harinya tak pernah suram selama Taufan ada di sekitarnya. Bocah itu selalu mempunyai hal baru setiap hari, membuat Yaya merasa nyaman berteman dengannya.
"Aya, kita main hujan-hujanan yuk!"
"Aya, Ufan punya bola baru. Ayo kita main!"
"Ufan habis bikin ayunan, lho. Aya mau coba?"
"Aya, kita ke kedai Tok Aba yuk! Tok Aba ada menu baru!"
Dan masih banyak lagi ajakannya yang tak pernah membuat Yaya bosan. Berkat Taufan juga, Yaya sangat menyukai cokelat. Kakek Taufan mempunyai kedai cokelat saat itu, dan Yaya selalu meminum cokelat buatan pria tua itu bersama Taufan. Sayangnya ketika Yaya pindah ke Kuala Lumpur, Tok Aba meninggal dunia.
Yaya mengecek lagi biskuit yang ia susun di sebuah tempat makan. Biskuit yang ia buat dengan penuh cinta itu akan diberikan Taufan, teman masa kecilnya. Ia sudah menyiram cowok itu, dan melupakannya begitu saja. Rasanya sangat tidak enak jika hanya meminta maaf. Yaya harus memberi kesan bagus pada Taufan setelah lama tidak bertemu. Ia sangat menyesal karena tidak bisa langsung mengenali cowok itu.
Setelah merasa puas dengan mahakaryanya, Yaya berjalan riang keluar rumah. Ia menatap sebentar rumah Taufan di seberang sana. Kalau dilihat secara seksama, rumah Taufan tidak berubah signifikan. Hanya catnya saja yang dirubah menjadi warna abu-abu, dan halamannya yang ditambah oleh beberapa tanaman. Selebihnya, rumah Taufan masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Dan Yaya tidak menyangka cowok itu masih menetap di sini.
Satu tarikan napas diambil ketika dirinya berhasil mencapai teras rumah Taufan. Mendadak Yaya dihampiri rasa ragu. Bagaimana jika Taufan marah padanya karena sudah melupakan cowok itu? Dan bagaimana kalau Taufan tak mau lagi berteman dengannya?
Tiba-tiba saja pintu rumah Taufan terbuka. Yaya tersentak kaget, pun dengan pelaku yang membuka pintu itu. Pandangan mereka seketika beradu, Yaya buru-buru mengalihkan pandangan dan menyodorkan tempat makan berisi biskuit yang sudah ia susun tadi.
"I-ini biskuit untukmu. Maaf sudah menyirammu tadi dan maaf juga karena ... tidak mengingatmu." ujar Yaya dengan suara pelan di kalimat terakhir. Ia menurunkan pandangannya karena tak berani bersitatap dengan Taufan.
Beberapa detik diisi dengan keheningan. Yaya mengernyitkan dahi karena tak mendengar sahutan suara dari orang di depannya, ia mengangkat pandangannya dengan pelan untuk mendapati wajah cowok di depannya dihiasi raut bingung.
"T-taufan?" panggilnya pelan. Yaya menatap seksama wajah cowok itu, baru menyadari iris matanya berbeda dari yang ia lihat sebelumnya. Seingatnya iris mata Taufan sewarna langit, kenapa sekarang menjadi merah delima?
"Sepertinya kau salah orang."
"Eh?"
Cowok yang ia kira Taufan itu menatapnya datar, terkesan cuek padanya. Yaya semakin kebingungan karena ini bukan sikap Taufan sama sekali.
"Aku bukan Taufan."
Hee?! Yaya membelalakkan matanya tak percaya.
"Aku Halilintar. Kakak kembarnya Taufan."
"K-kembar?!"
Sebentar. Yaya tak pernah ingat Taufan mempunyai saudara kembar. Saat kecil dahulu Taufan hanya tinggal berdua dengan ibunya, 'kan? Atau dirinya yang salah ingat?
"Ngomong-ngomong, ada apa ke sini? Kau ingin menemui Taufan tadi?"
Ditanya begitu membuat pipi Yaya merona merah. Ia dengan cepat menyerahkan kotak makan pada Halilintar, membuat cowok itu menerimanya dengan kaget.
"Ti-tidak. Aku hanya ingin memberi ini. Terimakasih!"
"Eh, tapi–"
Tanpa mendengar ucapan Halilintar hingga selesai, Yaya langsung mengambil seribu langkah menuju rumahnya. Rentetan sumpah serapah terucapkan dari bibirnya sepanjang ia berlari. Yaya yakin wajahnya sudah memerah karena malu.
Karena saking sibuknya berlari, Yaya tidak menyadari keberadaan sang ibu di ruang tamu. Ibu Yaya menatap putrinya heran dan langsung memanggilnya sebelum gadis itu hilang dari tangga menuju lantai dua.
"Yaya? Kamu kenapa?"
Sontak Yaya menoleh. Ia menghampiri sang ibu dengan wajah lesu.
"Ibuuuu!"
"Kenapa, sih?"
Wajah Yaya makin memelas. "Kenapa ibu nggak bilang kalau Taufan punya saudara kembar? Aku kira tadi Taufan, ternyata saudara kembarnyaaa," rengek Yaya.
Sang ibu tertawa geli. "Iyaa, Taufan memang punya saudara kembar. Namanya Halilintar dan Gempa. Ibu juga baru tahu tadi,"
Yaya melongo di tempat. "Tiga bersaudara?! Kembar?!" tanyanya terkejut bukan main.
"Hu'um. Kamu kenalan gih, siapa tau nyantol satu." canda ibunya sambil tertawa geli.
"Ibuuu!"
...
..
.
Yaya mematut dirinya sekali lagi di depan cermin. Hijab maupun seragam sekolahnya sudah rapi, namun detakan cepat jantungnya belum juga reda. Hari ini hari pertama ia pindah sekolah. Rasa gugup tak henti-hentinya menghampiri sejak kemarin. Yaya berusaha menenangkan diri, berkata dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja.
"Yaya, cepat. Nanti kamu bisa terlambat, lho." seru ibunya dari lantai bawah.
"Iyaa, Bu!"
Yaya segera menyambar tasnya dan keluar dari kamar. Setelah sarapan dan berpamitan pada sang ibu, gadis penyuka warna pink itu berangkat ke sekolah barunya. SMA Pulau Rintis.
Kota ini sangat asri. Yaya bisa merasakan sejuknya udara dan warna hijau dedaunan yang memanjakan mata. Beberapa orang yang lewat menyapa dirinya, yang tentu saja dibalasnya dengan kikuk. Orang-orang disini sangat ramah ternyata. Yaya tidak biasa akan hal itu.
Saat ia berbelok di pertigaan, Yaya menemukan sebuah cafe unik bernuansa coklat. Cafe itu terlihat mungil, namun menarik hati Yaya. Ia berniat akan mampir ke cafe tersebut setelah pulang sekolah nanti.
Yaya melanjutkan perjalanannya menuju sekolah. Ia memang tidak mengetahui jalan ke SMA Pulau Rintis, namun sang ibu memberitahu bahwa sekolah barunya tidak jauh dengan rumah mereka. Setelah belok tadi, ia hanya perlu lurus sampai 500 meter lagi. Ibunya sempat menggodanya berangkat bersama Taufan karena takut dirinya nyasar, namun Yaya menolak mentah-mentah karena masih belum siap bertemu cowok itu. Yah, meski nanti juga bertemu di sekolah, sih.
"Hei, Yaya!"
Yaya tersentak ketiga namanya dipanggil oleh seseorang. Ia menengok ke belakang, menemukan Taufan–atau kembarannya?–menghampiri dirinya dengan skateboard.
Ini siapa tolong? Taufan? Atau Halilintar? Atau Gempa? jerit Yaya dalam hati.
"Mau berangkat sekolah?" tanya cowok itu.
Yaya mengangguk pelan. "Iya," Ia menatap lebih lekat lagi, menebak-nebak siapa cowok di depannya kini. Dari suara dan tatapan matanya, Yaya mengira ini adalah Taufan. "Tau... fan?" panggil Yaya ragu.
Reaksi Taufan diluar dugaannya. Cowok itu tiba-tiba tersenyum lebar seperti mendapat mobil mewah. "Akhirnya kamu mengenaliku!"
Yaya meringis. "Ah, iya. Aku... minta maaf soal kemarin. Karena tidak mengenalimu,"
"Tidak apa-apa, namanya manusia. Pasti ada yang dilupakannya hahahaha." kata Taufan tertawa garing. Yaya mau tak mau ikut tertawa meski tidak tahu letak kelucuannya dimana.
"Kamu pangling ya melihatku? Iya sih, sudah berapa tahun yang lalu ya, kita tidak bertemu? Pasti sudah lupa. Aku saja hampir tidak mengenal kamu lho," ujar Taufan.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju sekolah. Yaya melihat Taufan masih menenteng skateboard-nya, membuat ia bertanya-tanya di dalam hati kenapa cowok itu tidak memakainya.
"Kamu masih tinggal disini?" tanya Yaya.
"Yup. Aku disini terus semenjak kamu pindah. Lalu saudara kembarku ikut tinggal disini, mereka dulunya di Kanada bersama ayahku." jelas Taufan.
"Halilintar, ya?"
"Iya, yang kamu temui kemarin." kata Taufan sambil terkikik geli. Yaya langsung menggigit bibirnya malu, pasti Halilintar menceritakan kejadian memalukan itu pada Taufan. "Makasih ya, biskuitnya. Enak banget,"
Yaya tersenyum senang. Setidaknya biskuit itu telah sampai pada tujuannya. "Sama-sama."
Keduanya tiba di depan gerbang sekolah. Taufan sempat menawarkan diri untuk menemaninya ke ruang guru. Yaya menolaknya dengan berkata bahwa ia bisa sendiri. Akhirnya mereka berpisah di halaman, Taufan langsung menuju kelasnya sementara Yaya pergi ke ruang guru.
Yaya tahu beberapa pasang mata menatapnya penasaran karena baru di sini. Yaya sebisa mungkin mengabaikannya, meski debaran jantungnya yang cepat tak reda-reda. Setelah melewati beberapa koridor, ia tiba di depan pintu ruang guru. Dihelanya napas panjang, sebelum membuka kenop pintu itu.
Dalam hati ia berharap, pilihannya untuk pindah ke sekolah ini adalah tepat.
.
.
.
.
to be continued
A/N:
akhirnya bisa lanjutin. susah bngt nyari moodnya deh /cry
ini mengalir aja sesuai otak aku, gatau dah kedepannya gimana awokwokwok kita have fun aja yeahh
