I don't own Naruto.

Without "You" belong to R-daisy.

Warning : AU, OOC, Crackpair, Typos, Gaje Etc.


Note : Fiksi ini mungkin mengandung spoiler berkaitan ending dari fiksiku Baby Breath ke depannya. Alasan kenapa aku gak memasukkan ke dalam bab BB, Karena ending BB akan berpusat pada Point of View Sasuke yang ditinggalkan oleh Hinata. Sekali-kali pengen lihat Sasuke merana, boleh dong ya? Dan di pada fiksi ini akan berpusat padaHinata yang meninggalkan Sasuke.

Tapi kan author udah janji bikin akhirnya jadi happy ending? insyaaAllah... Tentu dong, aku kan sudah janji. Lagian fiksi BB aja belum tamat, bisa-bisanya bikin cerita baru, greget aku. Well, kalian tak perlu khawatir. Janji adalah janji.

Salam manis.


Angin yang tertiup di musim panas yang menyengat menerbangkan helaian anak rambutnya. Di sepanjang jalan yang hijau, ia menuruti petunjuk arah yang dibuat untuknya. Manik bulannya menikmati pemandangan alami yang disajikan. Bunga liar ada dimana-mana.

Tak lama bibirnya menyunggingkan senyuman lega. Di ambillah sebuah foto dari saku long cardigan salem miliknya. Di ujung puncak sebuah daratan tinggi, tempat yang ia cari selama tiga tahun telah ditemukan. Rumah sederhana yang dikelilingi padang bunga dan sebuah pohon oak tua.

Tempat tinggal rahasia sang kakek bersama wanita yang dicintainya.

"Akhirnya... Aku menemukannya Kek."

Tangannya pun dengan cekatan mengambil buku sketsa dan pensil. Lalu ia menduduki dirinya di atas batu besar. Ia pun mulai menggambar persis di mana tempat sang kakek melukisnya dulu. Hingga langit mulai bercorak jingga, ia pun kembali ke peraduannya.

Dan ia sadar tujuan perjalanannya telah berakhir. Ia kangen kampung halaman. Pria itu adalah orang yang pertama ada di benaknya ketika teringat rumah. Walaupun ia tahu tiada lagi tempatnya untuk kembali, karena rumah itu telah lama kosong dan dingin sedingin hubungan mereka.


"Terimakasih telah membantuku menemukannya, Sai-kun. Aku bisa apa tanpamu..."

Pria bernama Sai itu sontak menyeringai seksi. Sadar atau tidak wanita di depannya tersenyum manis seolah tengah merayunya.

Sai adalah seorang fotografer yang sering bepergian ke luar negeri, sedangkan wanita kenalannya itu adalah seorang traveler. Ini sudah ke lima kalinya mereka berjumpa dalam kurun waktu dua tahun.

Pertemuan awal mereka adalah saat di dalam pesawat yang menuju bandara internasional Barcelona. Waktu itu kursi mereka bersebelahan. Awal perkenalan mereka terbilang buruk, wanita itu menumpahkan minuman ke baju mahalnya.

Lalu saat pertemuan kedua, itu empat bulan setelahnya. Mereka bertemu kembali di ibukota pertama Portugal, Guimaraes. Kala itu, lipstik merah yang menempel di bibir wanita itu menggetarkan hatinya. Dan senyuman yang seakan mengundang itu membuat Sai memberanikan diri untuk meminta SNS yang dimilikinya. Dari pertemuan kedua itulah mereka mulai saling kenalan.

Sampai hari dimana wanita itu mulai cerita tentang tujuan perjalanannya. Ia bertanya kepadanya. Pencarian pemandangan pada sebuah lukisan yang dibuat oleh almarhum kakeknya. Tanpa sedikit pun petunjuk mungkin akan sulit ditemukan. Namun dengan koneksi luas yang Sai punya, akhirnya pemandangan ditunjukkan oleh foto itu akhirnya sudah ditemukan.

Meskipun itu baru ditemukan minggu ini, wanita itu tampak bahagia. Sai pun turut bahagia.

"Lalu apa imbalan untukku?"

Mata bulan itu berkedip, Sai tak sedikit pun mengurangi senyuman mautnya.

"Oh, tentu saja imbalan ya... Terserah Sai-kun saja."

Minuman yang diteguk Sai seketika habis.

"Asal jangan minta yang aneh-aneh seperti mencium pipimu."

Pipi wanita itu merona seperti seorang gadis yang malu karena digoda oleh kekasihnya. Sai menumpukan lengannya di atas meja seraya mencondongkan diri.

"Meskipun sudah lama di luar negeri, aku tak terbiasa dengan budaya itu."

Sai mungkin playboy, tapi ia tak memungkiri pesona wanita itu begitu menariknya bagaikan magnet. Yang seakan tak meleleh oleh mulut manisnya. Begitu jauh seolah wanita itu mempunyai seorang dihatinya yang dijaganya.

Ia kemudian memberanikan diri mengambil jemari lentik wanita itu lalu menciumnya tanpa sedikit mengalihkan tatapannya dari manik yang indah itu. Ia pun bisa merasakan jarinya yang hangat.

"Nanti akan kupikirkan..."

Lalu manik kelam itu menangkap kembali cincin yang selalu melekat di jari manisnya. Cincin yang selalu ia tebak sebagai cara handal wanita itu mengusir halus setiap pria yang akan mendekatinya.

"Saat kita bertemu Guimaraes, aku berpikir kalau kau sudah menikah."

Bahu wanita itu seketika menegang kaku, Sai menyadari itu.

"Dan kau bilang padaku bahwa kau adalah wanita bebas."

Sai memegang —memutar- cincin itu seolah ingin melepaskannya dari tempatnya. Seketika itu sang pemilik cincin berkesiap menarik jarinya, namun ia terlalu lemah sekarang ini.

"Tapi, kau bahkan masih mengenakan cincin ini saat di apartemenmu sendiri, padahal kau tahu aku yang datang menjengukmu, kan?"

"Itu..."

Wanita itu tak dapat melanjutkan kata-katanya. Kepalanya tertunduk seperti tak suka membagikan kehidupan pribadinya. Akan tetapi, Sai tidak memaksa. Biarlah ia tahu dengan sendirinya.

Tak lama suara dering iPhone milik Sai berbunyi. Itu pesan dari model pemotretannya hari ini. Bibirnya tersungging dengan manis kali ini saat membalas pesan itu.

"Hm... Ino sudah menungguku. Dia akan marah-marah kalau aku telat lagi. Bukankah tak baik menunggu wanita seksi seperti dirinya, kan?"

Wanita itu terkekeh kecil kala Sai mengerling nakal. Pria itu kemudian beranjak dari kursinya dengan berat hati.

"Cepat sembuh ya Hinata." ujarnya yang mengacak poninya.

Setelah kepergian Sai, tahukah kau betapa kelabunya hati wanita itu?

Kala rindunya tak bisa dibendung lagi, maka sakit pun akan menyapa. Merindukan sosok yang telah memasangkan cincin pernikahan di jarinya bukanlah sebuah dosa. Hanya saja ia menyempitkan hatinya hingga perasaan jujur itu tak keluar.

Sungguh wanita yang merepotkan.


"Sasuke-kun apa yang kau lakukan?!"

Hinata panik akan kedatangan Sasuke. Pria itu tiba-tiba naik ke kasur dan memeluknya yang sedang demam tinggi. Dia sudah tiga hari sakit, dan demamnya belum turun drastis biarpun telah meminum obat dari dokter.

Sedangkan pria itu selalu saja sibuk. Ini sudah memasuki musim dingin, inilah pertama kalinya dia berkunjung sejak berita hari itu. Tapi, Hinata tak dapat memungkiri perasaan bahagianya.

"Ini hukuman. Siapa suruh tak mengabariku kalau kau lagi demam."

"T-Tapi kan kau harus lebih memperhatikan Sakura, dia kan lagi ha—"

"Sakura... Sakura... Selalu saja Sakura alasanmu untuk menghindariku."

Hinata terdiam membatu kala Sasuke memotongnya.

"Ia sudah dapat banyak perhatian. Bisakah kau egois sedikit? Lagipula kau lagi sakit, Hinata."

Tapi ia tak punya hak untuk 'egois'. Bisakah?

"Nanti kau ketularan..."

Sasuke kemudian melepaskan pelukannya dan bangkit dari tidurnya. Menatap Hinata yang langsung menutup sebagian wajahnya dengan selimut. Keningnya menekuk dalam. Tiba-tiba ia memikirkan suatu ide gila. Pria itu kemudian menyeringai bak serigala yang memojokkan buruannya.

"Ah, kau benar... Biar adil, sekalian saja aku menciummu supaya cepat tertular."

"Sasuke-kun, jangan gila!"

Sebuah pukulan lemah mendarat di lengannya. Sasuke lantas berbaring lagi dan memeluk cemas tubuh Hinata yang panas tubuhnya menurun sedikit dari yang diceritakan oleh kepala pelayan.

"Kalau begitu diamlah, dan tidur."

"Sasuke-kun bodoh..."

Hinata ingin menangis. Perasaan aneh yang selalu meliputinya dikala Sasuke absen sepertinya akan meledak. Ia sakit karena memikirkan pria di sebelahnya ini.

"Hn."

"Sasuke-kun menyebalkan..."

"Iya, menyebalkan."

Keesokan harinya, bagaikan sebuah booster kedatangan sosok Sasuke justru membuat suhu tubuh Hinata kembali normal. Akan tetapi, seperti yang telah diprediksi, di hari itu juga giliran Sasuke yang sakit.