Anak-anak Galaksi: A Memory that Remains

Oleh Murasaki Dokugi

BoBoiBoy milik Monsta


.

.

.

Bagian 3: Fenomena 'Alga merah'

Sebuah pesawat angkasa raksasa yang bentuknya menyerupai ngengat terbang melesat melintasi galaksi. Salah satu penumpang pesawatnya, seorang gadis cilik berantena yang memakai gaun bangsawan dan berkerudung biru tua memandang langit penuh nebula dari balik jendela pesawat angkasa. Dia takjub setengah mati. Ini adalah salah satu dari beberapa kesempatan dimana dia diizinkan bepergian bersama orangtuanya melakukan perjalanan diplomatik antar planet dan galaksi. Kuputeri, nama gadis kecil itu–yang kadangkala dipanggil dengan nama Puput–tersenyum lebar sembari melanjutkan kegiatannya memandang langit galaksi. Satu menit kemudian, seorang pria paruh baya yang juga berantena seperti Puput masuk ke dalam kabin gadis kecil itu. Selera pakaiannya yang resmi dan sedikit necis menunjukkan statusnya sebagai Raja Planet Windara. Melihat Puput yang asyik melihat-lihat langit galaksi, dia terkekeh.

"Anak Ayah ni. Kamu nampak langit tu dah macam tengok makanan tau." Pria itu mendekati Puput dan menepuk pelan kepala gadis cilik itu. Puput menengadah ke arah Ayahnya dan tersenyum lebar.

"Ayah, langit Nebula ni hebat lah! Puput suka!" Ujarnya kegirangan. "Jarang-jarang Puput nampak langit nebula macam ni."

"Ah," Raja Windara tertawa kecil. "Alam semesta kita luas, nak. Langit Nebula yang kamu nampak itu baru satu dari kesekian milyaran nebula yang ada kat luar angkasa ni. Planet kita: Planet Windara hanyalah satu dari sekian milyaran planet kat alam semesta. Dan inilah yang buat kita berfikir kalau kita dan nebula itu hanyalah makhluk dan ciptaan sang Maha Kuasa: Allah. Dibandingkan semua ini, kita ialah beberapa titik debu sahaja."

Puput terdiam sejenak sebelum kemudian membalas Ayahnya. "Betul, Ayah. Sehebat apapun kita, kita tiada apa-apanya ketimbang Allah yang Maha Kuasa. Maksudnya, tengok semua nebula dan bintang-bintang ni. Hanya Allah yang mampu menciptakan semua kehebatan ni."

"Pandai anak Ayah," ucap sang Raja terharu lalu mengangkat putrinya ke dalam gendongannya. "Nah, jom kita sholat dahulu. Dah masuk masa zohor kat planet Windara. Kamu masih ingat kan arah kiblat kita kat mana?"

Puput mengangguk. "Um! Arah kiblat kita ialah dimana arah Ka'bah kat Planet Bumi," tukasnya riang sembari memeluk leher Ayahnya. Ayahnya terkekeh kembali.

"Pandai! Nah, jom kita sholat dahulu. Masih ada masa satu hari sebelum kita tiba kat Planet Tim Tam Dua," tukas pria itu seraya menggendong putrinya menuju Mushola pesawat angkasa mereka.


Pesawat Angkasa Keluarga Kerajaan Windara telah tiba di atmosfer Planet Tim tam Dua. Puput melihat ke permukaan Planet itu dan terbelalak takjub. Hutan-hutan rindang, pegunungan dan perbukitan terjal, sungai-sungai yang mengalir, pemukiman penduduk yang sebagian besar rumahnya terbuat dari kayu, rumah-rumah liliput di sela-sela lembah, benteng-benteng raksasa yang terbuat dari batu-batu gunung, dan kastil megah dimana keluarga kerajaan yang memimpin Planet Timur tam Dua. Puput merasa dirinya seolah-olah menemukan sebuah dunia fantasi.

Tak lama kemudian, pesawat angkasa mereka pun mendarat di sebuah bukaan di lembah hijau tak jauh dari Ibukota dimana Kastil Kerajaan Tim tam Dua berada. Puput dan Ayahnya pun bergandengan tangan seraya keluar dari pesawat angkasa mereka.

"Yang mulia, kita sudah tiba di Planet Tim tam Dua," ucap seorang pengawal. "Apakah kita kena bagi tahu Raja Wilson Montaque lewat Merpati pembawa pesan kalau kita sudah tiba kat Planet dia?"

Raja Windara menggaruk dagunya. "Boleh juga. Segera kirimkan Merpati padanya. Kuharap dia tak lupa dengan kedatangan kita."

"Baik, yang mulia."

Sang Raja mengangguk. Setelah Merpati pembawa pesan mereka diterbangkan menuju kastil Raja Wilson Montaque, Raja Planet Tim tam Dua, Sang Raja lalu membimbing tangan Puput ke arah kota yang berada di antara lembah dimana mereka mendaratkan pesawat angkasa mereka dan Kastil Ibukota.

"Apa kata Ayah ajak Puput siar-siar bandar sikit sebelum kita berjumpa dengan Raja Montaque," ujar Raja Windara. "Ayah tengok Puput nampak senang sangat sejak kapal angkasa kita masuk atmosfer Planet ni."

"Nak! Nak!" Puput melompat-lompat riang begitu mendengar tawaran Bapaknya. "Planet ni macam dunia dongeng fantasi lah! Ini kali pertama Puput tengok Planet ni. Ayah tengok tak penduduk-penduduk kat sini? Puput tadi nampak ada Alien setengah kuda!"

"Ah." Raja Windara tertawa kecil. "Mereka disebut Alien Centaur, sayang. Bukan hanya mereka. Kamu tengok lembah ni." Dia menunjuk ke arah satu sisi lembah. "Ada beberapa Alien Kurcaci yang tinggal kat sini. Dan juga ada Alien peri-peri kecil. Tapi jangan salah. Menurut maklumat umum yang Ayah dapatkan, mereka tak guna sihir macam dongeng-dongeng yang biasa kamu tengok kat buku cerita budak-budak. Walaupun ini planet medieval fantasi, diorang sebenarnya ialah mahkluk yang lagi minat kat ilmu saintik dan alkemi."

"Wahh..." Puput menggumam takjub mendengar penjelasan Ayahnya. Raja Windara tertawa melihat kekaguman putrinya. Dia lalu menggandeng tangan anaknya memasuki Ibukota Planet Tim tam Dua diiringi prajurit-prajurit mereka. Sepanjang perjalanan mereka memasuki Ibukota menuju kastil, Puput tak henti-hentinya melihat sekeliling: Rumah-rumah kayu bergaya era medieval, kandang-kadang berisi kambing, ayam, dan sapi, istal-istal kecil berisi kuda-kuda bersayap maupun tidak bersayap, warga-warga yang sedang melakukan pekerjaan sehari-hari seperti mengurus jerami, bercocok tanam, dan lain sebagainya.

Namun tidak seperti Puput yang terus menerus merasa takjub melihat keadaan sekelilingnya, Raja Windara merasa ada yang sedikit aneh dengan keadaan sekeliling kota. Di sudut-sudut depan rumah-rumah kayu Ibukota dan pinggir jalan, tumbuh bercak-bercak merah kehitaman berbentuk akar walaupun terlihat samar-samar. Awalnya dia mengira itu hanyalah bercak tanah biasa, tapi kemudian dia melihat bercak-bercak akar itu semakin bertambah jumlahnya selama perjalanan mereka menuju Kastil Raja Planet Tim tam Dua. Tidak tahan dengan rasa penasarannya, pria itu akhirnya mendekati salah seorang warga berspesies siren yang tengah mencabuti bulu-bulu ayam yang sudah disembelih di teras rumahnya.

"Permisi. Saya bukan penduduk Planet Windara, jadi saya mungkin belum familiar sangat dengan keadaan terbaru kat sekitar sini," ujar Raja Windara. "Kalau berkenan, saya nak bertanya pasal bercak akar kat jalan-jalan dan depan rumah bandar ni."

"Ah, yang mulia raja windara." Siren itu tertawa dan membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. "Ini dah kali ketiga Anda datang kat Planet kami, jadi saya pon dah mengenal Anda. Raja Montaque dah menerangkan benda bercak akar ni sejak bulan lepas. Beliau kata ini hanyalah fenomena alga merah biasa. Kalau beruntung, kami boleh buat Agar-agar dari Alga-alga ni, berhubung posisi bandar ni cukup jauh dari laut. Jadi menurut kami ini hanyalah fenomena alam biasa yang boleh jadi membagi manfaat buat kami."

"Oh, macam tu," gumam sang raja Windara mangut-mangut. "Baiklah. Terima kasih banyak atas maklumatnya, Puan."

"Sama-sama, yang mulia."

Puput melihat Ayahnya meninggalkan si wanita Siren yang sedang mencabuti bulu ayam itu dan kembali menggandeng tangannya. Gadis cilik itu dapat melihat ekspresi Ayahnya yang sedikit cemas. Dengan wajah penasaran gadis cilik itu pun bertanya,

"Kenapa, Ayah?"

Sang Raja mendesah panjang. 'Aku harap Alga yang menjalar kat rumah-rumah ni bukan Alga yang berbahaya,' batinnya dalam hati. Dia lalu menatap putrinya dan tersenyum. "Bukan apa-apa. Ayah hanya bertanya kat penduduk sini pasal bercak-bercak akar yang ada kat sudut-sudut lorong bandar ni. Dia kata kalau itu hanyalah Alga biasa."

"Ohh, Alga ye?" Puput melihat sekeliling. "Puput pon baru nampak Alga-alga tu sekarang, walaupun tak nampak sangat. Mungkin sebab alga-alga tu masih muda."

"Dan penduduk tadi kata dia akan dapat bahan buat Agar-agar dari Alga-alga ni," tukas Raja Windara. "Menarik. Ayah kena bagi tahu Wilson pasal ni. Okey lah. Jom kita sambung perjalanan menuju Kastil bandar Tim tam Dua ni."

"Baik, Ayah!"

Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju Kastil Ibukota Planet Tim tam Dua. Sembari berjalan, Raja Windara membatin dalam hati,

'Memang ada logic kalau mereka biarkan Alga-alga ni tumbuh buat bahan Agar-agar. Tapi kurasa keterangan penduduk sini kurang lengkap. Apa hanya aku sahaja yang merasa kalau Alga-alga ni menyembunyikan suatu maklumat penting? Kuharap Wilson boleh bagi maklumat lebih pasal benda Alga yang muncul kat lingkungan bandar dia ni.'


Bersambung...

Tetap setia menunggu kelanjutannya ya ^^ Love you all, dear readers!