Chapter 5

Chain of Fate

"….Mayor Mustang…." Bisik Richard pada Roy yang masih terbaring akibat sakit itu.

"..eh?" Tanya Roy.

"Mayor Mustang…. Ada tamu menanti…." Kata Maes perlahan. Roy baru saja membuka matanya perlahan, tapi ia langsung pada posisi sigap setelah mengetahui siapa yang berada di hadapannya.

"Ya...Yang Mulia Fuhrer Bradley!" Katanya sambil menunjukkan tanda hormatnya.

"Ooh…. Rupanya kau sedang beristirahat ya…" kata Fuhrer dengan kebiasaan senyumnya yang khas.

"Ma…maaf atas kelancangan saya. Saya harap Anda dapat memaklumi kondisi kesehatan saya sekarang ini," jelas Roy pada Fuhrer.

"Ya…ya…. Aku tahu. Sekarang kau beristirahat saja dahulu. Kau adalah kunci penting dalam kemenangan kita pada perang ini. Maaf ya, aku jadi merepotkan kalian," kata Fuhrer sambil melaju pergi.

"Terima kasih atas perhatian Anda!" balas Roy dengan posisi hormatnya.

"Letnan Hunter, Letnan Hughes… harap kalian menjaganya dengan baik ya…" pesan Fuhrer pada mereka berdua.

"Siap!" seru mereka berdua bersamaan. Bradley segera keluar dari tenda mereka.

"Fyuuh…. Dasar! Untung saja dia bisa paham, kalau enggak…. Mungkin kepalamu sudah tidak berada di tempatnya…" bentak Maes pada Roy.

"Ya ampun…. Jadi selama 9 jam aku tidur terus!" Tanya Roy sambil melihat jam sakunya yang menunjukkan pukul 8.

"Jadi…bagaimana keadaanmu sekarang?" Tanya Richard.

"Yah…. Setidaknya lebih baik dari yang tadi…"balas Roy.

"Enak ya kau…. Selagi kita berperang, kau malah tidur-tiduran…" sindir Maes.

"Ya, ya… maafkan aku…. Jadi, bagaimana perangnya?" kata Roy.

"Gara-gara kamu, hampir segalanya jadi kacau…." Balas Maes.

"Maaf…." Lanjut Roy.

"Si Gran itu yang menggantikanmu….. Sesuai katamu, dia bukan orang yang menyenangkan…." Lanjut Richard.

"Gran ya…." Kata Roy.

"Oh. Maaf. Sepertinya aku mengingatkanmu pada hal itu lagi ya?" tambah Richard.

"Tidak apa…"


Roy Mustang, 10 tahun.

"Ayah…Ibu…. Aku pulang…." Kataku sambil membuka pintu. Begitu kusadari, mereka sudah tergeletak dengan berlumuran darah. Aku hanya bisa memanggil mereka, walaupun mereka sudah tidak ada. Aku sadar bahwa ada seseorang di balik semua ini, dan saat itu, yang kulihat hanyalah sesosok pria besar dengan tangan baja menyerupai pistol.

"Si..siapa kau!" seruku padanya. Ia hanya menoleh sedikit, lalu dengan seringainya ia menatapku.

"Huh….anak kecil, ya?" katanya seperti menahan tawa. Baru kusadari ternyata tangannya berlumuran darah, dan aku yakin bahwa ialah yang membunuh orangtuaku.

"Ke…kenapa kau…!"

"Huh…. Anak kecil, jangan salahkan aku…. Mereka menolak mentah-mentah perintahku…. Padahal hal ini tak semestinya terjadi bila mereka menyetujui rencanaku…." Katanya sambil tersenyum licik.

"Brengsek! Akan kukatakan bahwa…."

"percuma, nak! Mana ada yang mau percaya dengan anak kecil sepertimu…." Balasnya sekali lagi tanpa sempat kuselesaikan pernyataanku.

Ia hanya meninggalkan rumahku tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Bahkan ia seringkali tersenyum setelah melakukan perbuatan hina itu.

…………………………………………..

Ayah dan ibuku adalah pegawai militer, walau tidak terlalu tepat untuk menyebutnya tentara. Ayahku adalah seorang alchemist kenegaraan, lalu ibuku adalah seorang sekertaris, atau mungkin operator telpon di sana. Sepertinya si brengsek itu menawarkan kerjasama pada ayah, namun ayah tidak setuju. Pasti ada sesuatu yang buruk di balik semua itu. Tapi, karena ayah terus menolak tawaran itu, ayah dan ibu harus menghilang dari sini……

…………………………………………..

Esoknya, ayah dan ibuku dikuburkan, namun tak ada seorangpun yang tahu mengapa mereka harus mengalami ini. Si brengsek itu juga bisa-bisanya bersandiwara dengan turut berbela sungkawa. Orang-orang hanya mengatakan 'padahal mereka orang yang sangat baik….', 'mengapa hal ini harus terjadi pada mereka?', atau mungkin hanya kata-kata iba pada diriku. Aku pikir aku akan berakhir sampai sini saja, tapi ternyata dugaanku itu salah….

"Kau anaknya James, ya?" Tanya seorang bapak tua yang berkacamata, berjanggut dan berambut panjang padaku.

"siapa kau?" tanggapanku agak cuek.

"James selalu berkata bahwa kau adalah anak yang hebat…. Jadi, aku akan mengasuhmu untuknya," balasnya.

"Apa! Aku tidak mau! Lebih baik aku berhenti hidup saja sekarang!"

"Hey nak, kau tidak ingin membuat orangtuamu bahagia?" tanyanya.

"Buat apa? Mereka sudah nggak ada…." Balasku kesal.

"Nak, jangan buat orangtuamu kecewa. Mereka tetap ada di hatimu," jawabnya pelan.

"….baiklah, jika memang itu maumu…." Kataku akhirnya menyetujui.

…………………….

Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal bersama si pak tua itu.

"Nak, apa kau tahu apa itu alchemy?" Tanya si pak tua itu padaku.

"alchemy? Oh, biasanya ayah sering melakukan itu…. Lalu ia punya gelar sebagai…"

"alchemist kenegaraan, bukan?" balasnya memotong kalimatku yang belum terselesaikan.

"aa..iya!" jawabku.

"karena itu, jadilah alchemist!" katanya padaku. Aku cukup kaget mendengarnya. Namun, aku sudah memilih jalan itu.

"me…memangnya kau ini adalah….alchemist?" tanyaku pada pak tua itu.

"ya… kau tertarik?" tanyanya. Aku hanya mengangguk sambil memantapkan keyakinanku. Jadi, aku putuskan untuk belajar alchemy, sampai saat itu, saat di mana aku bisa membalaskan kekejaman si brengsek itu.

………………………………………

"coba kau buat sebuah tombak…." Ujar si tua itu.

"baik…" kataku sambil mentransmutasikan bebatuan menjadi tombak.

"hebat, sepertinya baru kemarin kau belajar… tapi hasil transmutasimu sangat baik…" kata si tua itu memujiku.

"tapi…aku tak terlalu suka mentransmutasi benda padat…. Partikelnya terlalu padat…." Keluhku.

"baiklah, coba ini…" katanya sambil melemparkan korek api ke arahku. Aku hanya sedikit mentransmutasi udara dan (baru) mulai menyalakan korek itu, lalu….

"BoooM!" letusan besar terjadi seolah-olah baru saja ada bom.

"Uhuk…uhk…" si pak tua itu hanya batuk-batuk kecil saja.

"Ma..maaf! aku tidak bermaksud buruk…" kataku menjelaskan apa yang sebenarnya ingin kulakukan.

"hebat…. Lain kali kau harus lebih mengontrol kekuatanmu…." Katanya masih disertai batuk.

"ah…baik," jawabku.

"Kau memang berbakat, seperti ayahmu…." Lanjutnya. Aku hanya merasa aneh saja, sebab aku piker ia tidak terlalu dekat dengan ayah.

…………………………..

Sudah dua tahun aku tinggal bersama si tua ini. Dia tidak pernah mengeluh soal apapun sama sekali. Tapi, ternyata ia harus pergi dalam waktu singkat.

"Roy…." Katanya memanggilku.

"Oh? Ada apa?" tanyaku.

"apa kau masih ingat saat itu?" Tanya si tua itu.

"Eh, saat apa?" tanyaku heran.

"dua tahun yang lalu…." Katanya. Aku hanya tertegun jika aku terus mengingat kejadian yang sangat menghantuiku itu.

"Um…ya…" jawabku.

"kamu tahu apa yang diinginkan Gran?" tanyanya lagi.

"Aku tidak mau tahu…" balasku kesal.

"mungkin memang tidak menarik bagimu, tapi ini agar kau tahu saja…" lanjutnya. Aku hanya cuek soal ini, sampai satu kata menarik perhatianku.

"Philosopher's stone…." Kata si tua itu.

"eh?" tanyaku heran.

"Kau sudah tahu 'kan, kalau batu itu dapat membuat apa saja…." Lanjut si pak tua.

"Ya…. Termasuk, untuk membangkitkan orang mati…."pikirku sambil berdesah.

"Gran pasti menginginkannya….untuk menjadikannya sebagai orang terhebat di Negara ini…."tambah si tua itu.

"Lalu…apa urusannya denganku…." Jawabku cuek.

"jangan sampai dia mendapatkannya!" seru si tua itu sampai membuatku kaget.

"ah…maksudmu…."

"jika ada yang mencari batu itu, kau cegah dia! Batu itu tidak diperlukan di dunia ini! Itu hanya akan membawa kesengsaraan!" lanjutnya.

"….baik. Aku tahu itu,"jawabku dengan tanggapan serius. Aku tahu aku tak akan membiarkan si brengsek itu memperoleh batu itu untuk kekuasaannya sendiri. Tidak akan! Lalu pak tua itu hanya berlalu begitu saja dan meninggalkanku sendirian. Aku hanya bisa menatap punggungnya saat itu, tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun dari bibirku.


"Jadi, begitu ya…. Ternyata kehidupanmu cukup berat ya…."kata Richard.

"dan ternyata bakat ayahmu tersalurkan padamu sampai kau juga menjadi alchemist kenegaraan…"

"ya… tapi, aku bersyukur aku bisa bertemu kalian…." Balas Roy.

"Oh, thanks…. Ngomong-ngomong, siapa pak tua yang kau maksud itu? Sepertinya dia alchemist yang sangat ahli…." Lanjut Maes.

"mmm…. Kalau tidak salah namanya…..Hohenheim…." Balas Roy.

"Hohenheim, ya…. Walau aku tidak tahu siapa dia, kita harus berterima kasih padanya…." Kata Richard.

"Untuk apa?" Tanya Maes.

"sebab, dialah yang membuat Roy menjadi seperti ini…." Balas Richard yang hanya dibalas senyuman kecil dari Roy.

"Tapi…. Nggak kusangka ternyata ada orang yang hidupnya lebih berat dari aku…." Lanjut Richard.

"maksudmu?" Tanya Maes.

"ayahku juga orang militer, tapi ia sudah meninggal. Bukan karena dibunuh, tetapi karena sakit. Ibuku juga sudah meninggal karena sakit, yang tanpa kuketahui ternyata mereka meninggal pada waktu yang hampir sama…." Ujar Richard.

"tanpa kuketahui? Jangan-jangan orangtuamu…."

"Mereka bercerai saat adikku lahir. Padahal keluarga kami harmonis, tapi terpaksa berpisah karena pekerjaan. Ayahku adalah seorang tentara di Central City, sedangkan rumahku ada di daerah South, jadi agak jauh. Aku dibawa ayahku saat berumur 3 tahun, jadi…saat itu aku tidak mengenal adikku sama sekali. Aku jadi harus hidup mandiri sejak awal, tapi nggak ada salahnya tuh…" kata Rich sambil tersenyum, walau senyumnya agak terlihat memaksa.

"central, ya…" pikir Maes.

"Lalu…bagaimana selanjutnya…" Tanya Roy.

"Roy, jangan buat ia mengingat masa lalunya lagi. Itu tidak menyenangkan, tahu…." Lanjut Maes.

"Tidak apa. Bukannya aku sudah pernah bilang, bahwa sebagai sahabat kita harus saling berbagi segalanya?" Tanya Richard.

"...maaf, aku memaksakan kehendak…" balas Roy.

"tak usah dipikirkan. Jadi, saat itu… aku berumur 12 tahun, lalu karena ayah sedang cuti, aku dibawa ke rumahku di desa kecil dareah South. Aku bertemu dengan adik perempuanku untuk pertama kalinya. Dia agak galak, tapi ternyata…dia sangat manis…" ujar Richard.

"wah, bersyukur sekali. Kau punya adik yang cute!" kata Maes sambil tersenyum.

"Ya…. Saat itu aku baru mengenal adikku, dan ternyata ia juga punya kemampuan menembak yang sangat hebat. Padahal saat itu ia baru umur 8 tahun. Aku jadi salut," kata Richard.

"sepertinya sebagai kakak, kau mengajarkan apa yang tidak baik untuk adik perempuanmu…" kata Roy agak bercanda.

"bukannya bagus untuk melindungi diri sendiri? Kita 'kan harus hidup mandiri…" balas Richard.

"benar! Kita tidak tahu kapan akan terjadi bahaya, bukan?" lanjut Maes.

"ya…. Lalu, saat aku berumur 17 tahun, ayah meninggalkanku. Kuputuskan untuk tinggal bersama ibuku di desa kecil itu. Namun, saat aku datang… yang kulihat hanyalah adikku yang langsung menyambutku dengan tangisan. Ternyata…ibu juga sudah meninggal…." Kata Richard sambil menahan rasa kecewanya.

"Maaf…." kata Roy.

"Tidak apa. Itu hanya kejadian yang sudah lama berlalu…. Segalanya sudah tak bisa diulang lagi," balas Richard.

"ternyata aku harus bersyukur. Hidupku tidak lebih buruk dari itu…" sela Maes.

"kenapa?" Tanya Roy.

"orangtuaku masih hidup sampai sekarang, walau mereka sudah tidak di sini lagi…" ujar Maes.

"maksudmu? Di mana mereka?" Tanya Richard.

"mereka ada di negeri sebelah, Drachma…. Yang kuketahui, alasan mereka meninggalkan Negara ini…."

"negeri yang berbahaya, bukan?" sela Roy memotong penjelasan Maes.

"ya… mereka bilang begitu. Dari mana kau tahu?" lanjut Maes.

"si tua itu juga pernah bilang begitu…. Dia bilang cepat tinggalkan negeri yang berbahaya ini…" jelas Roy

"ya…. Memang ada sesuatu yang aneh di negeri ini, sebab sejak Fuhrer Bradley memimpin Negara ini, terus-terusan terjadi kerusuhan dan perang…. Ada apa ya sebenarnya?" ujar Richard.

"entahlah…. Tapi, kalau bukan karena perang ini, kita tidak bisa saling bertemu 'kan?" lanjut Maes.

"benar! Mungkin aku bisa menyesal jika aku tidak terpanggil pada perang ini!" tambah Richard.

"ya…. Mungkin saja, kita bertiga hanya terikat oleh rantai takdir…" balas Roy sambil tersenyum.

"Kita pantas berterima kasih pada takdir yang mengikat kita bertiga…"

...to be continued...

Fuwa… akhirnya bisa jadi juga. Chapter yang ini emang lebih panjang dari biasanya, tapi kayanya tetep kependekan, ya? Mungkin juga jadi lama bikinnya, berhubung dengan adanya World Cup Germany 2006. Sorry! Pembuatan FF-nya jadi terhambat karena aku harus nonton WC!Aku sih bermaksud 'ngorek' masa lalunya those three men pada chapter ini. Semoga saja alurnya makin keliatan jelas. Di-review- please! Aku harap kalian bisa kasih komentar pada cerita yang aneh ini… jadi, Richard itu siapa! Jawabannya sudah sangat jelas di atas! Semoga kalian yang masih belum tahu makin penasaran.