I don't own Naruto.
Without "You" belong to R-daisy.
Warning : AU, OOC, Crackpair, Typos, Gaje Etc.
"Kau masih ingat cerita tentang pria tua yang datang menemuiku dan mengakui dirinya sebagai ayah kandungku."
Hinata yang baru selesai menghabiskan spaghetti itu sejenak terdiam lalu mengangguk. Ia meminum air putih nya sebelum akhirnya menatap pria di depannya dengan serius.
"Masih."
Lalu Hinata baru menyadari bahwa lawan bicaranya sama sekali tak menyentuh makanannya dengan serius.
"Lalu kemarin sore ada lagi pria asing yang tiba-tiba datang mengunjungiku dan mengaku bahwa dirinya sebagai keluarga."
Rasa penasaran sontak menyentil hati Hinata. Dia menopangkan dagunya seakan terpanggil.
"Lebih tepatnya dia putra dari ayah." Lidahnya sedikit kelu saat dia memanggil pria itu ayah.
"Kami beda setahun, jadi bisa di bilang dia adalah kakak tiriku."
"Terus?"
"Intinya dia cuman mau bilang kalau Ayah meninggalkan sedikit warisan untukku."
Sejenak Hinata mengetuk dagunya dengan ujung jari. Tiba-tiba ia pun lantas teringat akan warisan yang ditinggalkan mendiang Madara kepadanya; sebuah tabungan dan rumah besar yang harusnya jadi tempat tinggalnya bersama mendiang Itachi setelah menikah.
Setelah Itachi dan Madara meninggal, rumah itu sementara dipegang oleh Uchiha Fugaku selaku putra semata wayangnya sebelum isi surat wasiat itu dikemukakan. Namun, Fugaku justru melakukan tindakan penyelewengan, ia dengan paksa menjual rumah itu.
Akan tetapi, beruntungnya Sasuke adalah pembelinya, meskipun waktu itu masih dicicil. Dan setelah surat wasiat itu dibacakan, rumah besar yang diwariskan padanya justru harus berpindah tangan pada Sasuke mengingat pembayaran cicilan rumah itu sudah hampir 70 %.
"Lalu? "
"Tentu saja aku tak berniat mengambilnya sepeserpun."
Hinata lantas tak bersuara. Tangan di dagunya terlepas.
"Sekalipun dia memaksa, aku akan tetap menolaknya. Untuk apa aku menerima uang dari orang yang menganggapku selama ini tiada..."
Sai, pria di depannya terkadang mengingatkan dirinya akan mantan suaminya. Harga diri, arogan dan wajahnya selalu membuatnya kembali terkenang akan sosok yang pernah mendiami hatinya.
Bukan pernah, tapi sampai sekarang pun Hinata selalu gagal melupakannya. Dengan segala yang pernah dialami bersama, kebaikan atau keburukan, bagaimana bisa Hinata mengubur semua itu dengan mudah?!
"Hinata...?"
Sai memanggilnya sedikit khawatir. Hinata tampak sedikit murung hari ini. Senyum di wajahnya bahkan tak secerah dari yang biasanya. Ia tak tahu apa yang dipikirkan wanita itu, namun ia tahu bahwa Hinata sedang tidak baik-baik saja.
"Hmm."
"Apa kau kurang sehat?"
Hinata yang terperanjat sontak menunjukkan senyum lima jarinya.
"Aku hanya kurang tidur semalam."
"Ah, maaf seharusnya aku tak mengganggumu."
Hinata lantas menggeleng, "Tak apa sungguh."
Namun ucapannya tertahan, perhatiannya dengan cepat teralihkan. Tanpa sengaja Hinata melihat siluet seseorang yang dikenalnya. Ia sontak berdiri—
—Surai seperti warna permen karet...
"Sa—!"
Akan tetapi, sayangnya itu bukanlah dia. Bukanlah almarhum Sakura.
Orang yang disangka Sakura lantas membalikkan badannya menyapa kawanannya. Hinata mengedipkan mata saat tahu bahwa wanita yang disangka Sakura ternyata seorang wanita paruh baya yang mempunyai postur tubuh dengan Sakura yang diingatnya beberapa tahun yang lalu.
Hinata sontak memijit keningnya. Ia kembali duduk di tempatnya dan kemudian terperanjat.
Orang yang telah meninggal tidak mungkin hidup kembali.
Mengingat Sakura seperti membuka buku diary. Jantungnya berdebar-debar. Berkat itu juga ia pun teringat kembali pada mantan suaminya.
"Hinata..."
Sai yang cukup terkejut sontak memanggilnya. Seraya sejenak mengikuti arah pandangan Hinata, Sai hanya bisa menebak bahwa sahabatnya telah salah sangka terhadap seseorang.
"Apa wanita itu mirip seseorang? Kenalanmu?"
Seperti tetesan air hujan yang jatuh ke pelupuk mata, Hinata seketika tersadar dari lamunannya. Ia menatap dalam wanita yang telah duduk di seberang sebelum akhirnya tersenyum sedih ke arah Sai yang tampak penasaran.
"Ya, begitulah... "
Hinata kemudian menyeruput tehnya yang telah dingin. Ia menatap ke arah luar dengan tatapan yang tengah menggali masa lalu. Di luar sana langit tampak menggelap mendayu, menambah kesan sedih seolah ikut menyambut perasaan gundah gulana yang dirasakan Hinata sejak dari kemarin malam.
Sedangkan Sai yang masih setia mengamati akhirnya memakan hidangannya. Dalam hati, ia berharap Hinata bisa membagi sedikit masa lalunya. Sesekali Sai merasa Hinata begitu tak adil, sementara dirinya terkadang suka berbagi masalah pribadinya. Wanita itu selalu misterius dan selalu memasang tembok jika tiap kali dirinya mendekati.
Tak lama setetes air turun dari bumi. Mereka terdiam di tengah keramaian cafe. Hinata lantas menatap kembali Sai yang telah selesai dengan makanannya.
"Kau tau..." Hinata seketika menarik napas panjang sebelum membuangnya keras, "...aku pernah menikah dengan pria yang telah beristri lho..."
Sai yang mengelap mulut dengan tisu pun terdiam membisu. Ia sungguh terkejut dengan pernyataan Hinata.
"Kami menikah bukan karena cinta."
Ah, untung saja Sai tidak berpikir macam-macam.
"Banyak hal yang terjadi di luar perkiraan, takdirku dengannya berjalan cukup unik."
Hinata meremas jari-jemarinya.
"Kami pun memutuskan berpisah sebelum tanggal pernikahan di tahun pertama."
Kali ini senyuman miris terpatri di bibir Hinata.
"—Ah, lebih tepatnya aku pergi meninggalkannya. " Dalam keadaan Sasuke-kun tak berdaya dan terluka.
Tiba-tiba manik bulannya merasa penuh air. Dan sejenak Hinata mendongakkan kepalanya seraya berkedip-kedip agar air matanya tak tumpah. Dadanya tiba-tiba merasa sesak. Ingatan buruk itu kembali bertubi-tubi menghantamnya.
"Ta-tapi anehnya... Setelah sekian l-lama—"
Sungguh, Hinata tak dapat menghindari rasa yang berpacu di dalam hatinya. Air mata yang selalu ia tolak keberadaan justru lolos dari penjagaan.
Sai yang melihat ini sontak memberikan sapu tangannya. Hatinya tersentuh. Ia terdiam mengamati emosi Hinata yang menyeruak keluar dengan takjub. Sebelumnya ia tak pernah melihat Hinata yang tengah kalut.
"Aku masih mencintainya, Sai-kun" Aku sangat merindukan Sasuke-kun.
Sebenarnya Sai merasa sedikit lega. Itu bukan perasaan senang, hanya setidaknya Hinata mau membagi perasaannya saja cukup membuat fungsi keberadaannya sebagai sahabat sangat dihargai. Namun ia juga tak dapat mengesampingkan rasa patah hatinya. Yah, walaupun itu sedikit, tetap saja patah hati itu tidak enak.
Mereka pun sontak terdiam. Sampai akhirnya Hinata berhenti dari tangisannya.
"M-maaf, Sai-kun malah melihatku menangis. Aku jadi malu."
Hinata yang wajahnya merona karena menangis dan malu menutup wajah. Ia terkekeh kering.
"Tidak." Sai menggeleng,
Hinata yang melihat Sai tersenyum menghibur sontak terperangah.
"Menangis manusiawi kok."
Kembali mata Hinata tergenang air.
"Sai-kun... "
"Aku justru senang kalau kau mau bercerita."
Kini Sai menyeringai sambil bersedekap dada.
"Selama ini aku malah berpikir kalau kau tidak menganggap diriku sebagai sahabat. "
"Eh?!"
"Kau terlalu dingin Hinata."
Hinata sedikit panik saat Sai mencoba mengerjainya.
"Eh, maaf Sai-kun! Aku bersumpah, sungguh kau sahabatku. "
"Iya iya..."
Sai mengacak poni Hinata dengan lembut hingga akhirnya tersenyum.
"Aku tau itu."
Hinata merapihkan poni yang diacak oleh Sai dan tersenyum balik.
"Sai-kun..."
Sejenak Hinata melihat jam di arlojinya. Tanpa terasa hampir dua jam mereka di cafe, akan tetapi hujan masih saja enggan pergi dari tempat ini. Ia pun memutuskan untuk mencuci mukanya yang kacau.
Kembalinya dari toilet, Hinata masih mendapati wanita yang mirip Sakura itu masih duduk bersama temannya. Ia mendesah lelah. Tempatnya duduk dengan wanita itu hanya terpisah oleh lima meja.
"Apa wanita itu mirip dengan istri mantan suamimu?" Tebak Sai begitu Hinata kembali duduk di tempatnya.
Kepala Hinata lantas mengangguk lemah. Kini ia bertopang dagu. Menatap dunia luar dari balik jendela.
"Sakura begitu cantik. Terutama dia sangat baik hati."
Kali ini Hinata tersenyum tipis.
"Awalnya hubunganku dengan Sakura tidak baik. Dia menolak mentah-mentah keberadaanku yang jadi istri kedua suaminya. Tapi, perlahan ia membuka dirinya dan menerima semua kenyataan."
Sai menatap Hinata yang tengah terkenang masa lalu.
"Saat aku pergi sebenarnya ia tengah hamil. Pernah suatu hari ia hampir kehilangan bayinya,"
Hinata sejenak memejamkan mata, "Dan bersyukurlah mereka berdua tak apa-apa. "
Perlahan sudut bibir Hinata cembung ke bawah. Sedangkan Sai masih terdiam dan mengubur semua rasa penasarannya.
"Namun semalam Gaara menyampaikan sesuatu yang membuatku sangat sedih. "
Kini Hinata membuka kembali matanya.
"Sakura... Ternyata sudah lama meninggal."
Senyuman yang terbentuk di bibir Hinata berubah ketir.
"Dia meninggal setelah berjuang melahirkan anaknya secara normal."
Bibir Hinata bergetar, ia memeluk perutnya.
"Dia hebat kan? Itulah mengapa aku memilih menghormatinya."
Sai yang terdiam sedari tadi lantas terbangun dari tempatnya. Ia mendekatkan kursinya lebih dekat. Menatapnya wajah Hinata yang masih menyimpan kesedihan. Ia menghela napas. Lamat-lamat tangannya beranjak untuk mengelus pundak Hinata. Ia tersenyum menghibur.
Hinata, sahabatnya sepertinya telah mengalami masa-masa yang sulit. Sai yang tak suka ikut campur lebih dalam memilih terdiam. Anehnya, ni membuat dirinya canggung. Ia tak bisa berkata apa-apa untuk menghibur Hinata.
Mereka lagi-lagi tenggelam dalam kesunyian di tengah keramaian. Hingga suara iPhone Sai berbunyi, di saat itulah kesunyian mereka pecah dengan sendirinya.
"Hn?"
Sai yang baru mengangkat teleponnya lantas celinguk-celinguk.
"Kau melihatku?"
Sebelah alis Sai sontak menekuk.
"Penting katamu? Baiklah..."
Sementara Hinata yang tersadar bahwa Sai tengah ada urusan mendesak sontak merapikan bawaannya.
"Hei, tapi aku lagi bersama temanku! Bisakah kau menunggu? "
"Kalau begitu aku pulang saja... " Bisik Hinata.
Belum saja ia beranjak dari tempatnya, seseorang yang mengobrol dengan Sai lewat telepon tiba-tiba muncul entah dari arah mana.
"Tidak perlu aku juga tak banyak waktu."
Hinata seketika membeku. Jantungnya berdebar kencang. Ia kenal suara ini. Kepalanya yang tertunduk perlahan naik. Sebelumnya ia menatap kaki orang itu, dan anehnya ia memakai tongkat seperti pria tua.
Dan saat kepalanya mendongak sempurna, kedua mata mereka langsung bersirobok. Hinata menahan napasnya, ia menutup mulutnya yang menganga karena terkejut.
'Sasuke-kun...?'
Hinata lantas mencubit tangannya sendiri dan merasa kesakitan. Ini bukan mimpi pikirnya buntu.
"Lama tak jumpa, Hinata." Ujar Sasuke yang menyapanya.
Di saat itulah Hinata merasa waktunya yang telah lama membeku kini perlahan mencair.
