Chapter sebelumnya...
"Ya, Sakura-chan. Kau akan tahu saat melihat hasilnya. Jadi, haruskah kukirim melalui ponsel atau kau akan datang dan mengambil file-nya ke sini?" tanya Sasori.
Chapter 30. Duck Tail
Sakura masuk ke sebuah rumah dua lantai, dan melihat ada lima orang yang duduk di sofa, yaitu Deidara, Sasori, Kakuzu, Hidan, dan seorang lelaki yang tak ia kenal.
Lelaki itu mengenakan kaus hijau tua berbalut jaket berwarna hitam-putih dengan bawahan celana jeans. Lelaki itu terlihat bertubuh ramping, berambut hijau, matanya berwarna kuning, dan di antara ciri fisiknya, yang paling unik adalah wajahnya yang berbeda warna. Setengah hitam, dan setengah putih pucat.
"Sakura-chan," sapa Deidara. Ia mengangguk, ikut duduk di sofa.
"Dia adalah Sang Whiteblack, Zetsu," ucap Sasori.
Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Aku Zetsu. Senang bertemu denganmu, Nona Sakura."
Sakura menyambut tangannya, "Sakura. Salam kenal."
"Lihat ini, Sakura-chan." Sasori menghadapkan laptop ke arah Sakura.
Sakura melihat empat belas foto Shisui bersama Itachi. Setelahnya ia tahu , bahwa tiga tempat yang Sasori katakan adalah area bermain bola boling, golf, dan tempat makan mewah. Sakura lalu mengambil flash drive itu kemudian menyimpannya ke saku, sedangkan Zetsu segera pamit pergi. Kini hanya ada lima orang tersisa.
"Barbie, sebanyak apa pengetahuanmu tentang Klan Hyuuga?" tanya Sakura. Pertanyaan itu membuat mereka mengernyitkan dahi.
Hidan menatapnya. "Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu, Sakura-chan?"
"Aku ingin tahu."
Tampak berpikir sejenak, Sasori berkata, "Hyuuga termasuk Klan Tua di Konoha, mereka terbagi menjadi klan utama dan kedua yang disebut souke dan bunke. Hyuuga masih menanamkan nilai-nilai leluhur hingga sekarang. Bahkan di mansion, mereka memiliki kuil, buku-buku sejarah, dojo dan pelatihan beladiri tradisional lainnya. Citranya terhormat, bersih, dan murni. Masyarakat menghormati dan menghargai mereka."
"Apakah mereka pernah terlibat masalah, skandal, atau sejenisnya?"
Deidara tertawa mengejek. "Sasori-danna hanya mengatakan apa yang masyarakat tahu, dan apa yang mereka ingin untuk diketahui khalayak umum, un."
"Apa maksudmu, Rapunzell?"
Hidan mendecih. "Sakura-chan, citra mereka sangat bersih dan suci tanpa noda sedikit pun, dan itu bisa bertahan hingga ke generasi saat ini. Mungkin masyarakat percaya apa yang mereka ketahui itu benar. Namun untuk kami yang hidup di dunia normal dan gelap, kami sudah biasa mengetahui fakta kejam dan mengerikan yang telah dilakukan maupun yang diinginkan target atau client kami. Sebagian besar, hal itu berbanding terbalik dengan citra dan tampilan mereka di depan publik. Jadi bagi kami--" Lelaki itu mendengkus. "--sulit untuk mempercayai bahwa Hyuuga sesuci yang diketahui banyak orang."
Mendengar itu Sakura diam lalu menatap Sasori. Lelaki itu pun berkata, "Bahkan bunga mawar yang wangi dan indah pun memiliki duri yang buruk dan tajam." Dengan kata lain, tidak ada yang sempurna.
"Kenapa kau bertanya tentang ini, Sakura-chan?" tanya Kakuzu yang sedari tadi terdiam sembali memainkan ponselnya dan sedang melihat harga saham.
"Adik kembarku."
"Adikmu?" Deidara menaikkan satu alisnya.
"Ya. Keduanya dan juga ibu mereka memiliki mata khas Klan Hyuuga. Dari yang kutahu, hanya keturunan Hyuuga saja yang mempunyai mata seperti itu. Mata ibuku sedikit mirip, tetapi tetap tidak sama," kata Sakura.
"Karena itulah, tadi kau bertanya apa mereka pernah memiliki masalah atau skandal?" tanya Kakuzu. Sakura mengangguk.
"Benar, tiga orang itu memang memiliki mata yang sama seperti milik Klan Hyuuga, un," ucap Deidara.
"Itu berarti kau menduga jika mereka memiliki hubungan dengan Hyuuga?" tanya Hidan. Sakura menggumam mengiyakan.
Sasori menatap Sakura. "Sakura-chan, meski kami tidak mempercayai mereka, tetapi kami tidak tahu banyak tentang Hyuuga. Karena kami tidak tertarik mencaritahu, dan kami semua belum pernah melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan mereka," ucapnya.
"Akan tetapi jika kau ingin memberi tugas mencari informasi tentang mereka, maka Kakuzu dan Hidan cocok dalam hal itu," lanjutnya. "Selain mereka tentunya mahir mencari informasi, yang mana itu adalah pekerjaan dasar kami semua. Kakuzu mahir dalam hal IT, itu akan sangat membantu jika mereka melakukan sesuatu menggunakan teknologi, dan Hidan, dia tahu banyak dalam hal sejarah. Mengingat ini tentang Klan Hyuuga, kurasa pengetahuannya akan berguna," tambahnya.
Sakura menatap keduanya bergantian. "Sekte, coin. Apa kalian sedang sibuk?" Keduanya menggeleng.
"Bisakah carikan aku informasi tentang Hyuuga?"
"Kalian harus menerimanya," ucap Deidara. "Itachi sudah mencaritahu tentang wanita bernama Megumi. Pain dan Konan adalah wanita seruling itu, sedangkan aku dan Sasori-danna menyelidiki wanita bernama Ayame," lanjutnya.
Hidan melempar bantal sofa pada Deidara. "Diamlah, pria palsu!"
"Hei! Kenapa kau melempaku dengan bantal?! Apa yang kukatakan itu benar," ucap Deidara yang wajahnya baru saja berciuman dengan benda empuk. Ia balas melemparnya pada Hidan.
"Saat itu kau bilang jika tugasmu sangat mudah, jadi sekarang kau harus ikut membantu, bodoh," kata Hidan.
"Tidak mau! Bagianku sudah selesai. Kalaupun mudah, itu adalah keberuntunganku. Jadi jangan protes padaku, uban!" sungut Deidara. Tiga orang lainnya mengabaikan Hidan dan Deidara.
"Baiklah, aku menyanggupi tugas ini," ujar Kakuzu santai. "Bagaimana denganmu, Hidan?"
"Baiklah, aku juga menerimanya," kata Hidan pada akhirnya.
Hidan melotot pada Deidara. "Ada lima wanita di kediaman Shimura. Jika satu wanita ini bagianku dan Kakuzu, maka masih ada satu wanita tersisa." Ia menyatukan kedua telapak tangannya layaknya berdoa. "Kuharan wanita yang tersisa akan menjadi tugas Sang Pria Palsu, yakni Deidara. Jashin-sama memberkatiku." Semua orang hanya menatapnya bosan.
Pergi dari markas Akatsuki, Sakura menghubungi Toneri. Mengatakan jika malam ini ia akan tidur di hunian. Setelah itu ia menelpon Shisui dan meminta semua adiknya untuk datang dan menginap di hunian, dengan membawa pakaian sekolah untuk yang masih sekolah, dan pakaian biasa untuk Shisui, serta piyama dan juga baju beladiri. Sakura lalu menuju percetakan foto, guna mencetak foto hasil pekerjan Zetsu dengan tambahan satu foto darinya.
* * *
"Hati-hati di jalan. Patuhi peraturan lalu lintas."
"Jangan mengemudi melebihi kecepatan yang diijinkan."
"Jangan merepotkan kakak kalian."
"Jangan membuat masalah di sana."
"Ingat untuk mengabari kami jika sudah sampai."
Ucapan-ucapan kelima ibu mereka terdengar bergantian. Ya, ampun. Mereka hanya menginap di hunian untuk semalam, bukan merantau. Kenapa mereka berlebihan sekali. Oh astaga!
"Baik, Kaa-san," ucap keenamnya serempak.
"Kami berangkat, Kaa-san," pamit Shisui dan kelima adiknya. Enam orang itu segera masuk mobil hadiah dari Sakura saat tahun ajaran baru. Mereka berangkat saat sore hari.
Sekarang kediaman Shimura hanya dihuni oleh lima orang wanita. Yah, jika pak satpam di pos ikut dihitung, maka akan menjadi enam orang. Saat hari mulai gelap, seorang pengantar paket datang membawa sebuah kotak paket dan memberikannya pada pak satpam, yang kemudian diteruskan pada orang tujuan, Megumi.
Megumi berdiri kaku menghadap meja di kamarnya yang terdapat kotak paket tanpa nama pengirim, tetapi memiliki nama tujuan yaitu dirinya. Keringat mulai bermunculan di dahinya. Kedatangan paket pertama, membuatnya terkejut dan ketakutan, kini ia kedatangan paket kedua.
Memberanikan diri, ia mengambil cutter. Membuka kotak itu. Tidak seperti paket sebelumnya yang dua foto pertama adalah Shisui sendiri. Kini di paket kedua, foto pertama langsung foto Shisui dan Itachi.
Setelah melihat empat belas foto Shisui dan satu foto teh hijau, Megumi masih gemetaran dengan keringat yang bercucuran.
Tok ... tok ... tok ...
"Megumi-nee, apa kau ingin makan sup telur malam ini?" Suara ketukan pintu disusul suara Ayame yang bertanya membuatnya terkejut.
"Ah, ya! Ya! Aku mau," jawabnya cukup keras dan cepat.
* * *
"Cukup!" seru Sakura menghentikan pertandingan karate Shion dan Karin di atas matras. "Tata, Bubu. Giliran kalian," ucap Sakura.
"Apa yang akan kalian mainkan?" tanya Sakura.
"Judo."
"Kalian yakin?" Keduanya mengangguk. "Baiklah, silakan mulai."
Sakura dan adik-adiknya kini ada di atap Hunian. Ada satu ruangan persegi yang dibangun di atas atap butik, dan itu diperuntukkan untuk berlatih beladiri. Setelah semua mendapat giliran, Sakura meminta mereka beristirahat.
"Lelah?" tanya Sakura. Mereka mengangguk.
"Walaupun melelahkan, kami tetap menyukainya, Nee-san," ucap Kiba yang disetujui oleh semuanya.
"Baiklah, setelah istirahat kalian mandi lalu kita makan malam."
"Baik," sahut keenamnya.
Setelah beristirahat, Sakura dan adik-adiknya kembali ke hunian, lalu mandi bergantian. Hanya ada dua kamar mandi di hunian. Satu di kamar Sakura, dan satu di dekat dapur. Jadi masing-masing kamar mandi digunakan oleh tiga orang secara bergantian, sedangkan Sakura ia sedang memasak makan malam. Dibantu dengan yang belum mendapat giliran mandi, meski bantuan yang diberikan tidak cukup membantu sebenarnya.
Dari empat adik perempuannya, hanya Hinata yang bisa memasak. Jika diurutkan, maka dengan terpaksa urutannya akan menjadi seperti ini. Di posisi kedua adalah Shion, lalu Karin, dan terakhir Hanabi. Bahkan jika Shisui dimasukkan, dia akan menempati urutan kedua! Sedangkan Kiba akan menggeser posisi Hanabi.
Setelah makan malam, mereka membicarakan banyak hal di meja makan. Kemudian, mereka bertujuh melakukan game kecil untuk menentukan siapa dua orang yang mencuci piring. Memang takdir, karena yang terpilih adalah duo K, Karin dan Kiba. Keduanya dengan saling sinis membereskan peralatan makan di meja lalu menaruhnya di wastafel, sedangkan yang lainnya pergi menonton televisi sembari memakan camilan.
Sakura yang menyadari jika ada kemungkinan peralatan makannya akan hancur, ia segera datang menyusul dan meminta Kiba untuk menyiapkan futon bersama Shisui, dan ia akan menggantikannya mencuci piring.
"Bagaimana hari-harimu di sekolah?" tanya Sakura pada Karin yang bertugas menyusun peralatan makan yang sudah dicuci di rak pengering.
Karin menghela napas kasar. "Seperti biasa, tidak menyenangkan."
"Benarkah? Sama sekali tidak ada hal menarik?" Sakura menaikkan satu alisnya.
Berdecak, Karin menjawab, "Bukan menarik, Nee-san, tetapi aneh."
"Aneh?"
Karin mengangguk semangat. "Ya, Nee-san. Beberapa hari terakhir ini aku merasa ada yang mencuri-curi pandang padaku, dan aku tahu sia dia."
Sakura terkekeh. "Benarkah itu? Lucu sekali. Apa kau terlalu galak, hingga untuk melihatmu dia harus mencuri-curi pandang?"
"Nee-sannnn," rengeknya. Ia pergi ke belakang Sakura lalu memeluknya, dengan menyembulkan kepalanya di samping lengan Sakura. "Kenapa Nee-san berkata begitu?"
Sakura menoleh, lalu mengecup puncak kepala Karin. "Baiklah, kalau begitu ceritakan semuanya agar aku mengerti."
Mata Sakura seketika sendu, kala teringat percakapannya dengan Tayuya di Green Area.
'Maaf, aku sudah kasar pada ibumu. Namun aku juga harus melakukan sesuatu untuk ibuku. Sebagai permintaan maaf, aku akan membuatmu buta akan kebenaran ibumu. Tetaplah tidak tahu apa-apa. Aku tak mau sosok ibumu tercoreng di matamu. Aku tak mau kau merasa terluka, marah, sedih, dan kecewa. Ibumu sudah berjuang untuk keluar dari hidup gelapnya. Membuatmu tetap tidak tahu apa-apa akan menjadi pilihan terbaik untukmu dan juga Tayuya.'
Sakura mengecup lagi kepala Karin untuk kedua kalinya. "Kenapa Nee-san menciumku lagi? Apa Nee-san tidak mendengarkanku?"
"Memangnya apa yang kau katakan?" Karin melepas pelukannya.
"Nee-san tidak mendengar?"
Sakura menaikkan satu alisnya. "Apa? Apakah orang itu menyukaimu?"
Karin berdecak. "Aku tidak tahu." Wajah Sakura kaku sesaat, tetapi dengan cepat kembali tenang. Ia tadi hanya bicara acak karena tidak mendengar apa yang dikatakan Karin, tetapi tak disangka ucapannya adalah respon yang benar.
"Tidak tahu?" Sakura bergeser ke tempat Karin saat melakukan tugasnya. Kini dia yang menaruh peralatan makan di rak, sedangkan Karin hanya berdiri di sampingnya sembari bercerita.
"Awalnya aku pura-pura tidak menyadarinya. Karena sudah biasa bagi kami untuk mendapat tatapan dari murid-murid lain. Namun, ini berbeda. Pandangan matanya bukan seakan melihat hal aneh, takut, meremehkan, mengejek, ataupun menghina, tetapi entahlah, aku tak bisa mengatakannya."
"Dia laki-kali?" Karin mengangguk.
"Apa kau merasa terganggu?" tanya Sakura.
Diam dengan kernyitan di dahi, Karin berkata ragu-ragu. "Kurasa iya." Sakura terkekeh.
"Apakah dia pintar?"
Karin mendengkus, "Aku juga pintar."
Mendengar itu, Sakura meliriknya dan tersenyum geli. "Apa dia tampan?"
Karin bersedekap tangan, lalu menghela napas kasar. "Tidak buruk." Sakura menahan tawa.
"Apa dia sering membuat masalah?"
Dahi Karin mengernyit. "Tidak juga." Sakura tersenyum tipis.
Sekarang Sakura sudah selesai menyusun peralatan makan. Ia meraih lap tangan lalu mengeringkan tangannya seraya bertanya, "Siapa namanya?"
"Ekor bebek."
Sakura menoleh, "Ekor bebek?"
Karin berdecak. "Sasuke, Sasuke Uchiha." Seketika gerakan tangan Sakura terhenti.
Setelah mencuci piring, Sakura mandi. Kemudian semuanya menonton televisi bersama. Saat si kembar Karin, dan Shion sudah mulai mengantuk, keempatnya masuk kamar Sakura untuk tidur.
Si kembar tidur di ranjang Sakura, lalu Karin dan Shion tidur di futon sebelah kanan ranjang. Di sebelah kiri ranjang, terdapat futon juga, untuk Shisui dan Kiba tidur, sedangkan Sakura nanti akan tidur di samping Shion. Masih cukup ruang di sana.
Di ruang tengah tersisa Kiba yang memainkan video game, Sakura yang menggambar desain pakaian di meja bundar, dan Shisui yang sedang membaca buku. Setelah beberapa waktu berlalu, Kiba membereskan perlengkapan gamenya, mengatakan pada Shisui untuk tidur lebih dulu, lalu menghampiri Sakura, mencium pipi kanannya kemudian segera masuk kamar. Membuat Sakura tersenyum geli.
Dua puluh menit kemudian, Sakura membereskan peralatan menggambarnya, lalu pergi ke kamar, mengecek adik-adiknya. Setelah itu keluar dan menuju dapur. Membuat dua cokelat cangkir cokelat panas.
Membawa dua cangkir, ia menghampiri Shisui yang sedang membaca buku. "Cokelat panas?"
Shisui melihat ke meja, menatap cangkir berisi cokelat panas yang baru saja Sakura letakkan. "Terima kasih, Nee-san."
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Sakura sambil menghirup aroma cokelat di cangkir yang ia pegang.
"Baik-baik saja." Seakan ingat sesuatu, ia lekas menutup buku. "Nee-san, apa kau ingat yang kau katakan malam itu?"
Sakura meliriknya seakan bertanya. "Tentang tugas kuliahku yang berhubungan dengan keluarga dan kerabat," ucapnya.
Sakura mengangguk, tanda ia ingat. Tentu ia ingat. Itu adalah tugas kedua yang ia berikan pada Itachi untuk mendekati Shisui.
"Saat itu Nee-san berkata bahwa tugasku pasti selesai, dan Nee-san benar. Tugasku selesai," tuturnya dengan senyuman.
"Benarkah?"
Shisui mengangguk. "Ya. Teman Nee-san, Itachi Uchiha, membantuku. Dia menggunakan keluarganya untuk menyelesaikan tugasku. Dia bilang aku sudah seperti keluarganya." Sakura diam.
"Saat itu, aku sempat meragukannya, tetapi ternyata dia bisa di percaya. Dia berhasil melakukannta," lanjutnya.
"Dia orang yang baik sebenarnya, tetapi ..."
Sakura menoleh, "Apa? Tetapi apa?"
"Dia terus-terusan memintaku untuk pergi bersamanya. Setelah bertemu di hari pemakaman, kami tak sengaja bertemu di kedai kopi. Di sana kami mengobrol dan aku membicarakan tentang tugasku, dan dia ingin membantuku."
"Setelah tugasku selesai, dia mempintaku pergi dengannya. Karena dia sudah membantuku, aku tak menolaknya. Ingat saat hari Minggu ketika kita di restoran?" Sakura menggumam lalu sedikit mengangguk. "Teman yang kumaksud saat itu adalah dia," lanjutnya.
"Lalu?" tanya Sakura.
"Lalu keesokan harinya ia mengajakku pergi lagi, tetapi aku menolaknya. Dua hari kemudian yaitu hari ini, ia mengajakku lagi. Karena sebelumnya aku menolak, maka hari ini aku menerima ajakannya," jelas Shisui.
Sakura menaikkan satu alisnya. "Kau tidak menyukainya?"
"Bukan tidak menyukai. Hanya saja, jika aku bersamanya, di saat bersamaan aku kehilangan waktu bersama adik-adikku, karena waktunya bersamaan. Sebelumnya, aku jadi terlambat ke restoran, dan hari ini seharusnya aku dan adik-adikku pergi menonton pertandingan baseball karena aku pulang lebih awal, aku juga sudah mengajak mereka kemarin, tetapi terpaksa membatalkannya. Sebab aku pergi bersamanya."
"Hmm hmm hmm," Sakura menggumam sambil mengangguk-angguk. "Apa yang biasa dia bicarakan?"
Dengan dahi mengernyit, Shisui menjawab, "Dia sering bercerita tentang keluarganya, terutama bibi dan sepupunya yang hilang. Aku tidak tahu ini benar atau salah."
Shisui menatap Sakura. "Nee-san, terkadang aku merasa dia seakan memberitahuku bahwa aku adalah sepupunya yang hilang."
Chapter 30 selesai.
