Chapter sebelumnya...

"Sang Whiteblack, Zetsu."

Chapter 28. Green Area

"Zetsu?"

Sasori menatap Sakura dan mengangguk. "Ya, Zetsu. Dia sangat mahir dalam tugas seperti ini."

"Ah, benar. Kenapa aku lupa tentangnya," kata Deidara.

"Di teman kalian?"

"Bisa dibilang begitu, tetapi kami sangat jarang bertemu dan berkomunikasi," ujar Pain yang sekarang memeluk erat bahu Konan.

Kakuzu bertanya pada Sasori. "Apakah sekarang dia ada di Konoha? Tugas ini mulai dilakukan besok."

"Tidak, dia ada di kota Suna. Jika aku mengabarinya sekarang dan dia datang malam ini, maka besok dia bisa mulai bekerja," jawab Sasori.

Sasori bertanya, "Aku bisa membuatnya menyetujui melakukan tugas ini. Bagaimana, Sakura-chan?" Anggukan setuju adalah balasan yang ia dapat.

"Ah, Sakura-chan, kemarin malam saat aku dan Pain makan malam bersama di restoran, ada wanita seruling itu di sana. Kami mendengar dia membuat janji dengan seseorang melalui ponsel bahwa Selasa pagi mereka akan bertemu di Green Area," kata Konan. Sakura mengangguk.

* * *

Di lantai tujuh sebuah gedung bertingkat, seseorang masuk ke salah satu apartemen. Setelah masuk ia menghirup aroma ruangan yang sangat akrab baginya, membuat lengkungan di bibir tercipta.

Berjalan melewati ruang tamu, ia menuju pintu kaca geser yang terhubung ke balkon. Menyibak gorden, membuka pintu, ia berjalan di balkon melewati tanaman-tanaman di sana lalu kedua tangannya bertopang ke besi pembatas. Matanya terpejam, menikmati embusan angin malam.

Setelah udara terasa semakin dingin menusuk kulit, ia masuk apartemen lalu pergi ke salah satu kamar. Setelah memasuki kamar yang dindingnya dilukis itu, ia menutup pintu dan terlihatlah sebuah patung manusia di balik pintu. Terkekeh melihat patung, ia mendekatinya. Jemarinya menyusuri pahatan wajah benda itu dan mengusap bibirnya.

Kemudian ia menuju tempat tidur. Memandang ranjang yang memiliki warna mencolok pada boneka, sprei, dan selimutnya. Hal yang paling menyita perhatian adalah guling dan bantalnya yang memiliki gambar seseorang. Melihat itu semua ia tersenyum.

Melihat ke depan, ia menatap bergantian ke arah dua benda yang ada di samping jendela. Dua benda itu adalah patung yang lebih kecil dari patung pertama tadi. Namun dua patung itu juga tidak sama ukurannya. Karena yang di sebelah kiri berukuran lebih kecil. Itu adalah patung anak-anak.

Tertawa kecil melihat kedua patung itu, ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan terhenti ketika netranya terpaku pada sebuah kotak kaca di atas meja bundar berukuran kecil tak jauh dari ranjang.

Mendekati kotak kaca itu, ia berjongkok, hingga ia bisa melihat isi kotak itu dari dekat. Mengusap kotak kaca itu, senyum lembut muncul di wajahnya seiring dengan tatapan sendunya.

* * *

Senin sore trio InoShikaChou sedang bersantai di taman belakang rumah Ino yang memiliki banyak bunga.

"Wah Ino, tamanmu ini indah sekali," kagum Chouji.

Ino tertawa. "Jangan bertingkah seolah kau baru pertama kali datang, Chou."

"Memang bukan pertama kali aku datang ke sini, tetapi aku selalu terkagum setiap melihatnya. Ini memang indah. Benarkan, Shikamaru?" Ino tertawa mendengarnya.

"Ya, kau memang merawat taman ini dengan baik, Ino," ujar Shikamaru yang sedang berbaring di rerumputan.

Ino tersenyum "Benarkah? Aku sangat tersanjung mendengar ucapan kalian berdua."

"Kurasa tempat ini bisa menjadi objek untuk Sai lukis," kata Shikamaru. "Kau mungkin bisa menjadi modelnya dan latar belakangnya adalah tempat ini."

"Iya, itu ide bagus." Chouji setuju. "Sekarang musim semi, bunga-bunya sedang menunjukkan pesonanya."

Ino terlihat memikirkan ide kedua sahabatnya itu. "Hasilnya, bisa kau pajang di ruang tengah atau di kamarmu," tutur Chouji.

"Apakah akan bagus jika aku juga ikut dilukis?" tanya Ino ragu.

Sontak Chouji menatapnya. "Tentu saja bagus! Apa yang membuatmu tidak percaya diri begitu?" Pemuda bertubuh gempal itu melirik Shikamaru. "Benarkan, Shikamaru?"

"Tentu. Itu pasti akan bagus." Menghela napas, ia melanjutkan. "Ini mengingatkanku pada lukisan Sai yang mengunakan Hutan Nara sebagai latar belakang dengan mantan model cilik sebagai modelnya."

"Kapan dia melukisnya?" tanya Chouji.

"Dia melukis saat kita bertiga, Naruto, Sasuke, Tenten, dan Sai, berkemah di Hutan Nara," jawabnya. "Saat itu kau sibuk memakan camilan dan setelah itu membantu Ino dan Tenten menyiapkan makan siang tepat ketika Sai melukis, jadi kau tidak tahu," jelas Shikamaru.

"Ah, begitu rupanya."

"Itu artinya aku juga tidak tahu lukisan Sai?" tanya Ino.

Shikamaru melirik Ino. "Kau sempat melihatnya, Ino.

"Benarkah?"

Pemuda bergaya rambut bak nanas itu mengangguk dan berkata, "Saat kita di kantin, Sai menunjukkan hasil lukisannya yang ia foto menggunakan ponsel padaku. Kau ikut melihatnya tetapi setelah itu kau mengalami sakit kepala, lalu aku dan Tenten membawamu ke ruang kesehatan. Apa kau ingat?"

Ino diam, berusaha mengingat-ingat. Lalu matanya melebar kala ia mengingatnya, lebih tepatnya mengingat hasil lukisan Sai. Seketika kepalanya terasa sakit. Kedua tangannta segera mencengkram sisi kepalanya.

"Hei, Ino! Kau kenapa?" Chouji panik melihatnya. Begitu juga dengan Shikamaru.

"Hei, Ino. Apa kepalamu terasa sakit lagi? Haruskan kupanggil Inoichi-jiisan?" Chouji menatap Shikamaru.

Melihat Ino mencengkram kuat kepalanya, keringat yang bermunculan di dahinya, dan wajahnya mulai terlihat pucat, serta mulut yang terkunci rapat dengan gigi yang bergemerutuk menahan sakit, Shikamaru lekas berkata, "Beritahu Inoichi-ojisan dan minta ia siapkan mobil, aku akan menggendong Ino. Kita ke rumah sakit sekarang."

Chouji segera berlari ke dalam mencari Inoichi, sedangkan Shikamaru meraih tangan Ino agar melepaskan cengkraman di kepalanya, tak disangka saat melakukan itu tangan Ino seakan kehilangan tenaganya. Kini tangan putih itu tergolek lemah dengan beberapa helai rambut yang tercabut. Bersamaan dengan itu, kesadaran Ino juga memudar. Shikamaru kemudian menggendong gadis yang sudah tak sadarkan diri itu.

Inoichi, Shikamaru, dan Chouji. Ketiga laki-laki itu duduk dengan perasaan tegang di lorong rumah sakit tepat di depan ruangan tempat Ino sedang di rawat. Tak lama Yoshino dan Chouza datang dengan raut wajah panik. Chouji menghubungi keduanya saat dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Bagaimana keadaan Ino-chan?" tanya Yoshino.

Shikamaru menatap ibunya. "Dokter masih memeriksanya, Kaa-san."

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Chouza memandang Chouji, puteranya.

"Kami tidak tahu. Tadi kami hanya duduk di rerumputan taman belakang sembari berbincang santai, dan tiba-tiba Ino terlihat kesakitan. Lalu aku memberitahu Inoichi-ojisan dan kami pergi ke rumah sakit," jelas Chouji.

Dahi Yoshino mengernyit. "Apa yang kalian bicarakan? Kaliah tahu jika ini ada hubungannya dengan bangkitnya ingatan lama Ino-chan, maka pasti ada pemicunya."

Shikamaru terdiam, tampak berpikir, sedangkan Chouji menggelengkan kepalanya. "Tidak Oba-san. Ini tidak ada pemicunya sama sekali, karena kami hanya membicarakan tentang Ino yang merawat tamannya dengan baik, lalu kami mengusulkan untuk menjadikan taman itu objek lukisan Sai. Hanya itu saja," kata pemuda yang memiliki tato spiral di kedua pipinya itu.

Malam telah tiba, kini keluarga Yamanaka, Nara, dan Akimichi ada di dalam kamar VIP tempat Ino dirawat. Gadi itu sedang tertidur, efek dari obat yang masuk ke tubuhnya.

"Inoichi, puterimu baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir," kata Shikaku yang datang beberapa jam yang lalu.

"Ya, Ino-chan gadis yang kuat. Dia pasti baik-baik saja," tambah Yoshino.

Chouza mengangguk. "Itu benar. Beberapa tahun ini kondisinya semakin membaik, bahkan bisa dikatakan hampir pulih sepenuhnya," katanya. "Mungkin saja ini adalah fase terakhir sebelum Ino-chan benar-benar sehat."

Inoichi tersenyum tipis sembari memandang anak gadisnya. "Ya, puteriku akan baik-baik saja. Itu pasti. Karena aku tak akan membiarkan hal buruk terjadi padanya," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Yoahino mengangguk. "Ya, ya, itu benar. Dokter juga berkata jika tak ada hal fatal yang terjadi." Beberapa saat suasana terasa hening, hingga Shikaku memecah keheningan.

"Sekarang sudah hampir larut malam. Kalian berdua pulanglah, besok kalian harus sekolah," ucap Shikaku pada Chouji dan Shikamaru.

"Kalian bertiga juga pulanglah, terima kasih sudah datang," tutur Inoichi sembari menatap Shikaku, Yoshino, dan Chouza.

"Tidak. Aku ingin di sini saja," kekeh Chouji yang mendapat anggukan setuju dari Shikamaru. Pemuda itu juga ingin tetap menunggu Ino.

"Tidak," tegas Yoshino. Ia menunjuk dua remaja itu. "Kalian pulanglah, jangan membantah." Kedua pemuda itu pasrah.

"Chouza, kau juga pulanglah. Awasi kedua anak nakal itu. Kami berdua akan tetap di sini bersama Inoichi," kata Shikaku.

"Bagaimana bisa-"

"Ayolah, Chouza," potong Yoshino. "Ini sudahlah yang paling adil. Kau juga perlu istirahat, hari ini kau sangat sibuk di restoran, bukan? Kami akan segera mengabarimu jika sesuatu terjadi, dan kau juga kabari kami jika kedua anak nakal itu membuat ulah." sambungnya.

"Kalian ini ..." lirih Inoichi.

"Jangan menolak, Inoichi. Kita semua adalah keluarga," tukas Shikaku.

* * *

Di kediaman Senju-Namikaze, tepatnya di sebuah kamar besar, seorang wanita berambut pirang pucat sedang duduk di kursi dekat jendela besar. Di meja terdapat sebotol sake dan gelasnya.

Tok ... tok ... tok ...

Setelah tiga kali ketukan yang membuat wanita bernama Tsunade itu melirik pintu, seseorang masuk.

"My Lady, aku membawa kabar baik untukmu," kata orang itu yang adalah suaminya.

Tsunade mendecih. "Apa?" ketusnya.

"Lihat ini." Lelaki bertubuh besar dan berambut putih itu mengangkat sebuah map berwarna hijau.

"Apa itu?"

Menghampiri isterinya lalu duduk berhadapan, kemudian menuang sake ke gelas dan segera meminumnya sampai habis. Mengusap tepi mulutnya yang basah dengan punggung tangan kiri, dan tangan kanannya mengulurkan map itu pada Tsunade. "Bukalah."

Menerima map, ia melihat isi di dalamnya berupa beberapa kertas berisi biodata lengkap gadis-gadis beserta fotonya.

Dengan nada angkuh Jiraiya berkata, "Bagaimana? Hem? Bingung memilih di antara mereka?"

Mengabaikan suaminya, Tsunade tetap fokus membaca kumpulan biodata itu dan melihat-lihat foto yang tertempel di setiap kertas.

"Kali ini sudah benar-benar kuperiksa secara lengkap. Aku juga menyelidikinya secara seksama agar terhindar dari kepalsuan yang mungkin mereka buat," kata Jiraiya.

Di saat sedang membaca kertas biodata gadis kelima, Tsunade teringat akan gadis berambut merah muda yang mendobrak pintu ruangannya di rumah sakit. Kejadian itu berputar di benaknya.

"De-Tsunade?" Jiraiya melambaikan tangannya di depan wajah isterinya, karena tidak ada respon ia bertepuk tangan sekali dengan kuat.

"Eh, apa yang kau lakukan?!" Tsunade seakan tersadar lalu bertanya dengan marah.

"Kau melamun."

"Aku hanya teringat sesuatu."

Jiraiya penasaran. "Apa yang kau ingat?"

Tsunade menatapnya sinis. "Gadis-gadis yang kau intip di pemandian air panas?"

"Ap-apa?" Jiraiya meringis. "Kau bercanda bukan? Hei, aku sudah tidak melakukan hal itu lagi, masa-masa itu sudah terlewat, Sayang." Ia segera berdiri lalu memutari meja dan kini berdiri di belakang Tsunade sembari memijat pundaknya.

"Kau tahu bukan, itu hanya kulakukan saat muda dulu. Lagi pula aku melakukannya untuk menarik perhatianmu, Sayang."

"Hmm, hmm," Tsunade hanya menggumam. Tangannya menyentuh pundaknya yang tak dipijat Jiraiya. "Sebelah sini," ujarnya.

Dengan senang hati Jiraiya menurutinya. "Tentu, tentu saja. Kau lanjutkan saja membaca biodata itu lalu beritahu aku gadis mana yang menarik minatmu untuk kau jadikan pasangan Naruto."

"Aku akan membacanya nanti, aku ingin bersantai sekarang. Kau jangan berhenti memijat, lain kali aku akan memijatmu juga," tutur Tsunade.

"Baiklah, baiklah, tidak apa-apa. Kau bisa memberitahuku saat kau sudah memilihnya."

* * *

Di sebuah kamar, Tuan Muda Kedua keluarga Otsutsuki yaitu Toneri, sedang menulis sesuatu di sebuah kertas dan sesekali melihat layar ponselnya yang ia letakkan di atas meja.

Setelah selesai ia bersandar ke sandaran kursi sembari membaca tulisan di kertas, lalu meraih ponselnya. Memposisikan kertas di belakang ponsel, ia memotret kertas itu, dan mengirimnya ke salah satu kontaknya, kemudian menghubunginya.

"Lihat foto yang kukirim. Aku ingin kau mencari informasi lengkap tentang tempat-tempat itu, dan juga mencari tahu apa yang terjadi di waktu yang kutulis," ucap Toneri pada orang di seberang telpon.

Setelah itu Toneri meletakkan kertas ke meja, lalu menekan beberapa kali layar ponselnya hingga terlihat sebuah titik berwarna hijau yang bergerak mendekati mansion Otsutsuki. Melihat itu, Toneri berdiri lalu berjalan mendekati jendela. Menyibah sedikit gorden, ia mengintip keluar, tepat ke arah gerbang. Tak lama sebuah mobil putih milik Sakura datang.

"Ada begitu banyak tempat yang kau datangi dan aku tidak tahu sama sekali. Kau bahkan mendatangi tempat yang memiliki kemungkinan sangat kecil untuk kau ada di sana," lirihnya.

Mobil putih sudah tak terlihat karena sudah memasuki area parkir bawah tanah. Menatap ke depan seakan menerawang, ia berkata, "Jika aku tidak memergokimu malam itu yang bertingkah mencurigakan hingga membuatku memasang alat pelacak di mobilmu, maka aku tak akan tahu apa pun."

Menghela napas panjang ia melanjutkan dengan suara pelan. "Sebenarnya, apa yang kau sembunyikan, Saki?"

* * *

Selasa pagi di ruang makan mansion Otsutsuki terasa damai. Namun seorang pemuda yang baru saja turun dari tangga mengeryitkan dahinya melihat area makan.

"Di mana Saki? Dia tidak sarapan?"

Ayahnya, yakni Ashura menjawab, "Kau terlambat datang, Toneri. Adikmu itu sudah sarapan sebelum kita semua. Sekarang dia sudah berangkat."

'Pagi sekali'

"Hei, kenapa kau hanya diam di sana. Cepat kemari dan sarapan," kata Hagomoro pada Toneri, yang langsung menurut. Kini lima orang lelaki itu sarapan bersama.

Setelah sarapan, kini Toneri ada di dalam mobil. Ia tidak segera mengendarinya, tetapi memencet ponselnya lalu terlihatlah titik hijau di ponselnya yang tidak bergerak. Memperbesar gambar, dahinya mengernyit. 'Green Area?' batinnya. Kemudian menghubungi seseorang. "Kau di mana, Saki?"

"Aku di Green Area."

Mendengar jawaban Sakura, Toneri tersenyum tipis. Sakura mengatakan yang sebenarnya tentang di mana ia berada sekarang.

Green Area adalah sebuah lokasi yang dikelilingi banyak bangunan bertingkat. Panjangnya adalah tujuh puluh meter dan lebar lima puluh meter, tempat itu ditumbuhi rumput hijau, berbagai bunga, dan pohon pohon rindang. Terdapat juga beberapa kursi kayu. Orang-orang biasanya datang untuk sekedar singgah sebentar guna melihat lokasi yang terbilang asri di tengah kepungan gedung-gedung tinggi.

"Sedang apa kau di sana?" tanya Toneri.

"Mencari udara segar."

"Kau berangkat pagi-pagi sekali hanya untuk datang ke sana?"

"Iya, Nii-san. Tidak lama lagi aku akan ke rumah sakit." Terdengar suara kekehan di telinga Toneri dan dilanjut dengan ucapan Sakura."Aku tidak akan bolos coass, kalau itu yang kau khawatirkan."

"Baiklah," kata Toneri. "Saki, apa kau ada kegiatan sore ini?

"Tidak, kenapa?"

"Aku ingin mengajakmu pergi."

"Baiklah, aku akan langsung pulang setelah coass. Sampai nanti."

"Sampai nanti."

Di Green Area Sakura berdiri di balik pohon. Tangannya mengantongi ponsel yang baru saja ia gunakan. Emerald itu sedang memperhatikan seorang wanita bersurai merah yang terlihat sedang bertengkar dengan seorang lelaki.

Tidak bisa mendengar dengan jelas, Sakura diam-diam berpindah ke pohon lain yang lebih dekat dengan dua orang itu. Kini suara mereka berdua terdengar jelas.

Si wanita mencengkram kerah kemeja si pria, dengan tatapan nyalang ia berkata, "Cepat katakan! Siapa?"

Lelaki berkulit gelap dengan rambut hitam shaggy diikat ekor kuda dan mata hitam itu menjawab, "Tidak ada, Tayuya! Tidak ada."

"Sudah berapa kali kubilang, aku sama sekali tidak memberitahu siapa pun!" murka lelaki itu dengan nada frustasi.

"Bohong! Kau berbohong, Kidomaru!" tuduh Tayuya.

"Percayalah padaku, astaga."

Dengan tangan yang masih mencengkram kemeja Kidomaru, Tayuya menundukkan kepalanya. "Kumohon, Kidomaru. Kumohon katakan padaku, siapa orang yang kau beritahu tentang janinku," lirihnya.

Kidomaru memegang kedua bahu Tayuya. "Demi Kami-sama, aku tidak pernah memberitahu siapa pun tentang hal itu. Percayalah padaku."

"Kau sahabatku sejak lama, Tayuya. Bukankah aku, kau, dan dia, sudah sepakat untuk tidak membahas masa-masa itu lagi?" Kidomaru meraih tangan Tayuya di kerah kemejanya. "Hidup kita sekarang sudah jauh lebih baik, dan dia sudah berada di sisi Kami-sama. Jadi mari jangan kembali terlarut atau masuk ke dalam masa lalu yang gelap itu, Tayuya. Kita layak untuk menjalani hidup yang menyenangkan."

Menggenggam tangan Tayuya ia melanjutkan. "Aku tidak tahu kenapa kau membahas hal itu lagi setelah lebih dari dua puluh tahun berlalu. Aku tidak tahu alasanmu, tetapi yang kutahu kini kita menikmati hidup yang indah. Aku bahagia bersama teman grup musik kita dan kau pun hidup bahagia bersama para saudarimu dan anak-anakmu."

Tayuya mendongak, menatap Kidomaru dengan mata memerah. "Jangan menyianyiakan kesempatan kedua yang Kami-sama berikan pada kita. Kita sudah lepas dari jeratan lubang hitam, jadi jangan berniat kembali ke sana ataupun tenggelam dalam ingatan masa itu," ujar Kidomaru. "Jangan terpengaruh oleh orang yang membuatmu kacau. Kuatkan dirimu, itu semua di masa lalu. Kita sudah bebas, Tayuya."

"Kumohon, teruslah maju dan jalani hidupmu. Jika bukan untukmu, maka setidaknya lakukan untuk keluargamu saat ini, untuk mendiang anakmu, dan juga untuk dia, kekasihmu yang sudah tiada."

Kidomaru lalu mengusap airmata Tayuya. "Teman-teman grup musik kita membuat hidupku berwarna, tetapi kau, aku, dan dia, menjalani kehidupan yang buruk di masalalu. Dia sudah pergi, hanya kau dan aku yang tersisa. Sekarang kau meragukanku dan itu membuatku kecewa, tetapi itu tak mengubah fakta bahwa kau masihlah orang terdekatku hingga saat ini."

"Dengar, aku tak tahu siapa yang mengetahui hal itu hingga membuatmu seperti ini. Kau mulai terlihat kacau sejak pertengahan bulan lalu, dan hari ini aku tahu apa penyebabnya. Namun, aku berani bersumpah demi apa pun bahwa aku sungguh menjaga mulutku, Tayuya."

Kidomaru tersenyum pada Tayuya. "Hari ini kita libur latihan, dan aku akan memberitahu yang lain. Kau perlu waktu untuk menenangkan dirimu." Setelah itu ia pergi dari Green Area.

Kepala Tayuya tertunduk. Ia menangis sesenggukan. Setelah sedikit tenang, ia menghapus airmatanya lalu menarik hapas panjang dan berbalik, berniat melangkah pergi.

"Sangat mengharukan."

Langkah Tayuya terhenti. Ia menoleh ke sumber suara tepatnya di balik sebuah pohon dan matanya membulat terkejut kala ia melihat puteri sulungnya menatap dirinya dengan seringai di bibir.

"Sa-Sakura-chan, ka-kau di sini?" Tayuya terbata-bata. "Se-sejak kapan?"

Sakura menatap Tayuya dengan pandangan bermain-main. "Entahlah. Kalau aku tidak salah, maka itu sejak kau mencengkram kerah kemeja lelaki berkulit gelap itu dan berkata, 'Cepat katakan! Siapa?' begitu bukan, nada suaramu?" Sakura meniru nada suara Tayuya.

"Kau mendengar semuanya?"

Sakura menatap Tayuya sinis. "Aku berada di balik pohon yang sangat dekat dengan kalian berdua, dan kau berharap aku tidak mendengar apa-apa? Kau pasti bercanda."

"Ah, ngomong-ngomong, aku memiliki ingatan yang bagus, apa kau ingin aku mengulangi setiap ucapan kalian berdua tadi?"

Tayuya menunduk. "Kenapa?"

"Kenapa kau melakukan ini padaku, Sakura-chan?" lanjutnya.

"Memangnya apa yang kulakukan padamu?" tanya Sakura polos.

"Kidomaru berkata jika aku tak boleh terpengaruh padamu, tetapi nyatanya aku sangat terpengaruh," kata Tayuya masih dengan kepala tertunduk.

"Apakah menyenangkan bagimu untuk menyiksaku?" tanya Tayuya sambil mendongak lalu menatap Sakura.

Sakura menaikkan satu alisnya. "Aku tidak pernah menyiksamu."

"Kau menyiksaku!" teriak Tayuya.

Wanita berambut merah panjang itu bergegas mendekati Sakura lalu mencengkram erat kerah jas kuliahnya.

"Sejak malam itu, malam di mana kau mengatakan tentang mendiang anakku, kau sudah berhasil menyiksaku setiap hari! Bahkan setiap menit dan setiap detiknya!" pekik Tayuya.

"Setiap kita bertemu, kau selalu melihatku dengan seringaian dan pandangan mengancam serta meremehkan! Kau juga selalu menyindirku di setiap kesempatan! Kau membuatku tidak merasakan kenyamanan! Tahukah kau, jika sejak malam itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak?! Aku tidak bisa tampil dengan baik! Aku selalu merasa gelisah, panik, dan ketakutan! Aku juga kesulitan fokus pada hal-hal yang harus kukerjakan! Di samping apa yang kurasakan, aku bahkan masih harus bersikap normal di hadapan anggota keluarga kita! Tahukah kau kalau itu sangat sulit bagiku?!" raung Tayuya.

Diam sesaat sambil mengatur napasnya, ua melanjutkan dengan nada pelan. "Dimulai saat malam itu, lalu saat kau menyita kunci motor Shisui, kemudian saat kalian akan berlibur, dan terakhir pada malam ketika di jembatan itu."

Tayuya terkekh miris. "Harusnya aku tahu sejak awal, tepat saat malam itu. Bahwa kau memang tahu tentangku. Keraguanku membuatmu melakukan hal yang membuatku menjadi semakin panik dan ketakutan."

"Kau tahu? Setiap hari aku berpikir apa yang akan kau lakukan, apa rencanamu padaku, tindakan apa yang mungkin kau lakukan, kalimat apa yang akan terlontar dari bibirmu, akankah kau mengatakan sesuatu pada yang lainnya, akankah kau memberitahu adik-adikkmu tentangku dan sejenisnya. Semua pikiran-pikiran itu semakin hari semakin bertambah dan berhasil membuatku kacau."

"Sekarang aku tahu bahwa Kidomaru benar. Dia memang tak mengatakan tentangku pada siapa pun, dan itu membuatku tidak tahu dari mana kau mengetahuinya. Kini aku tidak peduli dari mana kau tahu, aku hanya ingin bertanya."

Tayuya menatap tepat ke emerald Sakura dengan suara parau ia bertanya, "Kenapa kau melakukan ini padaku, Sakura-chan, kenapa?"

"Kenapa, ha! Kenapa?! Jawab aku!"

Sakura menepis kedua tangan Tayuya dari pakaiannya. Ia menatap tajam wanita di hadapannya. "Karena kau merusak rumah tangga ibuku!" pekiknya

Dengan wajah marah, Sakura menunjuk Tayuya. "Kau salah satu wanita yang membuat kesetiaan ibuku menjadi lelucon! Kau salah satu wanita yang membuat keharmonisan rumah tangga ibuku menjadi kepalsuan! Kau salah satu wanita yang membuat kakek, dan kedua pamanku tenggelam dalam penyesalan hingga saat ini! Kau salah satu wanita yang menjadi noda bagi ibuku! Dan kau juga salah satu wanita yang membuat ibuku menjadi menyedihkan bahkan setelah kematiannya!" Mendengar itu Tayuya terdiam kaku di tempatnya.

"Aku membencimu, Tayuya! Aku membencimu! Sangat membencimu!" raung Sakura dengan mata memerah.

Meredam emosi dalam dirinya, Sakura menurunkan tangannya, dan tangan yang kini terkepal erat itu berada di sisi tubuhnya . Ia memejamkan mata sesaat lalu berkata, "Kau beruntung memiliki Karin. Kehadirannyalah yang melindungimu dariku." Sakura memandang Tayuya dengan pandangan mencemooh.

"Kalau bukan karena Karin, sudah sejak lama kau menyusul kekasihmu ke hadapan Kami-sama."

Sakura merapihkan jasnya seraya berkata, "Aku bisa melakukan hal keji dan kejam padamu sewaktu-waktu ketika emosiku padamu tak bisa kukendalikan. Jadi jagalah Karin baik-baik. Karena selain dia puterimu, dia jugalah tameng terakhirmu."

Sakura menatap tajam Tayuya. "Kalau sampai dia terluka saat aku tidak ada, orang pertama yang kumintai pertanggung jawaban adalah kau, Tayuya." Setelah itu Sakura pergi. Meninggalkan Tayuya yang tubuhnya lemas hingga merosot dan terduduk di rerumputan.

Chapter 28 selesai.

-oOo-

A/N : Apa kalian ingat sosok yang muncul di chapter 6, 10, dan 16? OK, kubantu mengingat secara singkat.

-Di chap 6, dia tap, tap, tap, langkahnya di lorong, masuk apart, menerima pesan, lalu mencium sesuatu di meja.

-Di chap 10, dia memberi perintah dan menyiram dan memotong dahan bunga di balkon.

-Di chap 16, dia menghirup aroma ruangan, mengelus tanaman di balkon, masuk ruangan yang banyak foto dan memiliki penerangan lampu LED, mencetak foto lalu menggantungnya.

Sekarang ingat? Nah, dia muncul lagi di sini. Kalau udh ingat, kira-kira dia siapa? Tokoh yang belum dimunculkan secara jelas atau tokoh yang udah muncul secara jelas?

To Just Noober-chan : Yahh, biasa. Urusan RL dan lain sebagainya menghambat wkwkwk. Makasih banyak ya udah mau review.

*Hai semuanya :) Selamat hari raya idul fitri bagi yang merayakan ya. Hore! update 5 chap sekaligus. Yah, ini juga sekaligus mau kasih tau, kalau abis update lima chapter ini, saya bakal hiatus dari Ffn dulu. Mungkin untuk cek update bisa lihat wp-ku, ya. Bakal di lanjut lagi kok di Ffn-nya. Sampai ketemu lagi, ya.