Chapter sebelumnya...
Sakura menatap tajam Tayuya. "Kalau sampai dia terluka saat aku tidak ada, orang pertama yang kumintai pertanggung jawaban adalah kau, Tayuya." Setelah itu Sakura pergi. Meninggalkan Tayuya yang tubuhnya lemas hingga merosot dan terduduk di rerumputan.
Chapter 29. Red Wine
"Bagaimana keadaanmu, Ino-chan?" tanya Shizuka.
"Aku baik-baik saja." Ino tersenyum memandang empat temannya di layar ponsel. Mereka adalah Shizuka, Tenten, Fuu, dan Karui. Mereka sedang melakukan video call.
"Maaf kami tidak bisa menjengukmu hari ini," sesal Fuu.
"Bukan masalah, dua dari kalian semua ada di sini." Ino merubah kamera depan menjadi kamera belakang, lalu mengarahkannya pada Shikamaru dan Chouji yang sedang duduk di sofa.
Chouji yang sedang memakan buah aple segera melambaikan tangannya, sedangkan Shikamaru hanya menatap lalu menguap.
"Hei! Hei! Hei! Kenapa kau memakan buah yang kami kirim untuk Ino-chan, Chouji-kun?!" pekik Karui.
"Ah-ti-tidak. Aku hanya mengupasnya untuk Ino lalu sedikit mencicipi untuk memastikan rasanya manis," ujar Chouji. Ya, ia bisa mendengar suara empat gadis itu karena Ino menyalakan fitur pembesar suara.
Ino terkikik mendengarnya. Ia lalu mengubah kameranya menjadi kamera depan. "Aku yang memintanya mengupas apel itu, teman-teman," ujarnya.
"Terima kasih untuk kiriman buah dan makanan sehatnya," lanjutnya.
"Ino-chan, akan berapa lama kau di rumah sakit? Kami berniat menjengukmu bersama-sama besok," kata Shizuka.
Ino menggeleng. "Tidak perlu. Aku sudah baik-baik saja. Sore nanti aku akan pulang."
"Benarkah?" tanya Karui.
Dengan senyuman di wajah, Ino mengangguk. "Tentu saja."
"Syukurlah kalau kau sudah baik-baik saja," tutur Shizuka.
"Baiklah, kau harus istirahat lagi agar cepat pulih sepenuhnya," ujar Tenten. Terlihat tiga lainnya mengangguk setuju.
"Benar," ucap Karin dan Fuu bersamaan.
"Kalau begitu kami akan menutup sambungan. Sampai jumpa, Ino-chan," pamit Shizuka sembari melambaikan tangannya. Begitu juga dengan Tenten, Fuu, dan Karui.
"Hmm, sampai jumpa."
* * *
Saat hari mulai petang, Shikamaru keluar dari rumah membawa nampan berisi tiga mangkuk yang berisi sayur, lauk, dan potongan buah siap makan. Ia berjalan menuju rumah Ino. Gadis itu sudah pulang setengah jam yang lalu.
Sesampainya di rumah Yamanaka, ia disambut langsung oleh Inoichi yang segera memanggil pelayan untuk membawa makanan itu ke dapur. Shikamaru bertanya tentang Ino. Inoichi menjawab jika Ino sedang tidur. Mendengar itu ia pamit pulang.
Namun baru beberapa langkah ia keluar, Inoichi memanggilnya lalu segera menghampirinya. "Ada apa, Oji-san?"
Terlihat mempertimbangakan ucapannya, Inoici memilih mengatakannya. "Apakah terjadi sesuatu di sekolah atau di mana pun yang berkaitan dengan Ino?"
Dahi Shikamaru mengernyit. "Apa maksud paman?"
"Kau dan Chouji-kun adalah orang terdekatnya. Kalian banyak menghabiskan waktu bersama. Jadi kupikir kau tahu sesuatu," kata Inoichi
"Sesuatu seperti apa?"
Inoichi menghela napas panjang. "Akhir-akhir ini Ino sering mengigau dalam tidurnya. Aku mengetahuinya secara tidak sengaja ketika memeriksa kamarnya di waktu biasanya ia sudah tertidur."
"Dia tertawa, tersenyum, bahkan menangis. Saat itu terjadi, dia sering menyebut kata 'forehead'. Berdasarkan arti katanya, tidak mungkin itu adalah nama seseorang, tetapi Ino seakan memanggil dan menyebut seseorang dengan kata itu," lanjutnya.
Shikamaru menaikkan satu alisnya. "Forehead?"
Inoichi mengangguk. "Ya. Selain itu dia juga cukup sering menyebut kata 'rambut pinky' dan 'mata hutan'. Aku tidak mengerti maksudnya. Karena itu aku bertanya padamu dan mungkin saja kau tahu sesuatu."
"Apakah Oji-san sudah bertanya pada Ino?"
"Aku sudah bertanya secara tersirat, tetapi tampaknya dia tidak ingat. Aku belum bertanya secara jelas karena khawatir kondisinya memburuk. Sebab ketika aku tahu Ino mengigau, itu tak lama setelah dia pulang sekolah bersama kau dan Chouji-kuu dalam keadaan kurang sehat yang bertepatan dengan perayaan kelahiran rusa keluargamu," ucapnya.
Shikamaru mengingat-ingat. 'Ah, itu saat Ino mendadak sakit setelah keluar dari toko bunga untuk mengambil daftar bunga yang habis.' batinya.
"Ah begitu," kata Shikamaru. "Akan tetapi, maaf Oji-san. Setahuku tidak ada sesuatu yang terjadi pada Ino selama di sekolah maupun saat bersamaku dan Chouji di luar sekolah," sambungnya.
Inoichi memaksakan senyum lalu melanjutkan. "Tidak apa-apa. Jika ada sesuatu yang kau tahu, tolong segera beritahu paman."
Setelah makan malam bersama ayah dan ibunya, kini Shikamaru duduk di kursi belajarnya. Sedang memikirkan perkataan Inoichi tentang Ino yang sering mengigau.
"Forehead, rambut pinky, mata hutan," lirihnya. "Apa maksudnya?"
Shikamaru memejamkan mata dan berkata dengan nada pelan, "Apa yang sebenarnya terjadi padamu Ino?"
"Forehead, forehead, forehead," ujarnya berulang-ulang. "Kenapa kau memanggil seseorang dengan sebutan 'dahi'?" Shikamaru menghela napas panjang.
Menyandarkan punggung ke kursi, ia lanjut bermonolog. "Rambut pinky? Bukankah itu berarti, rambut yang berwarna merah muda?"
"Terakhir, mata hutan." Shikamaru memijat pelipisnya. "Mana mungkin ada hutan di mata seseorang," ucapnya pelan.
Tiba-tiba, ponselnya yang ada di meja bergetar dan menyala tanda ada pesan masuk. Ia segera membuka pesan itu.
'Shikamaru, apa besok pagi saat berangkat sekolah kau bisa mampir ke toko peralatan melukis yang tak jauh dari komplek perumahanmu? Aku kehabisan cat warna merah muda dan hijau, untuk mewarnai rambut dan mata sketsa gadis yang beberapa hari lalu kutunjukkan padamu.'
Selesai membaca pesan itu, sebuah gambar menyusul yang juga dikirim oleh Sai. Foto itu memang sketsa model cilik yang pernah Sai lukis ketika di Hutan Nara. Kini sketsa yang beberapa hari lalu ia lihat sudah sepenuhnya selesai, dan Sai berniat mewarnainya.
'Baiklah, akan kubeli besok.'
Setelah mengirim balasan, Shikamaru berusaha mengingat apa yang terjadi pada Ino yang mungkin luput dari perhatiannya.
'Ino mengigau tak lama setelah ia tiba-tiba sakit setelah datang ke toko bunga untuk mengambil daftar bunga yang habis.' batinnya.
Shikamaru jelas yakin bahwa Ino baik-baik saja sebelum keluar dari toko bunga. Mereka bertiga bahkan sempat membicarakan salah satu Shimura Bersaudara yaitu Kiba. Namun, setelah keluar dari toko, Ino mendadak sakit.
Kemudian ia teringat perkataan Ibari, saat dirinya datang ke toko bunga beberapa hari yang lalu menggantikan Ino yang demam untuk mengambil daftar bunga yang perlu ditambah. Ibari menanyakan tentang kesehatan Ino, dan bercerita apa yang terjadi di toko waktu itu, yang ternyata Ino tiba-tiba sakit setelah ia bercerita tentang salah satu pengunjung.
'Saat itu, ketika aku sedang menceritakan ciri-ciri seorang pelanggan yang menarik. Dia tiba-tiba berteriak memegang kepalanya dan tubuhnya menjadi limbung, lalu wajahnya pucat. Aku berniat membawanya ke dokter, tetapi dia menolak.'
'Dia gadis dengan iris mata berwarna emerald, tubuhnya tinggi melebihi gadis jepang pada umumnya, bahkan kurasa tingginnya setara dengan tinggi pria Jepang pada umumnya, atau mungkin lebih tinggi. Ekspresinya tenang, dan wajahnya sangat cantik, tetapi fitur wajahnya tidak terlihat seperti gadis Jepang.'
'Aku merasa, kehadirannya memiliki aura yang kuat. Ah, dan jika hanya melihat tinggi dan wajahnya saja, maka orang tak akan percaya jika dia gadis Jepang asli.'
'Oh iya, satu lagi. Gadis itu memiliki rambut berwarna merah muda yang langka.'
Deg! Jantung Shikamaru berdetak kencang. Mata sipitnya melebar terkejut. 'Mata berwarna emerald, rambut merah muda.' Dua hal itu terngiang di benaknya.
Emerald adalah salah satu turunan dari warna hijau.' pikirnya.
"Mungkinkah yang dimaksud dengan 'mata hutan' bukanlah hutan di mata seseorang, melainkan mata yang berwarna hijau. Seperti layaknya warna sebuah hutan?" ucapnya pelan.
Di tengah keterkejutannya, ponselnya menyala dan bergetar. Menenangkan diri, ia membuka pesan masuk.
'Terima kasih. Kuharap kau tidak lupa, dan apa kau ingat lukisan ini? Shin-nii berencana memajangnya di pameran lukisannya pekan depan. Datanglah kalau kau mau.'
Sai mengirim pesan disertai foto lukisan gadis cilik dengan Hutan Nara sebagai latar belakangnya. Shikamaru menatap lukisan Sai. Melihat rambutnya yang berwarna merah muda, ia teringat akan ucapan Ibari dan juga kata yang Ino sebut saat mengigau. Membuatnya iseng memperbesar foto itu, dan ia terkejut melihatnya.
'E-emerald! Matanya berwarna hijau emerald.' batinnya terkejut.
Shikamaru lalu tiba-tiba teringat Sai yang mengatakan jika model cilik itu dua tahun lebih tua darinya. Itu artinya dia berada diusia yang sama dengan Ino. Setelah itu kata-kata Ino saat mengigau berputar di benaknya.
'Forehead, rambut pinky, mata hutan'
"Mungkinkah model ini, gadis yang dimaksud Ibari-san, dan juga orang yang Ino panggil forehead adalah orang yang sama?" monolog Shikamaru.
Mengusap wajah yang berkeringat, Shikamaru lalu menelpon Sai. "Ada apa Shikamaru?"
"Sai, tolong jawab dengan jujur. Apa kau tahu siapa model cilik yang kau lukis itu?"
Tak ada jawaban setelah pertanyaan terlontar dari mulut Shikamaru. "Sai, aku tahu kau mendengarku."
"Ini sangat penting bagiku, Sai."
"Sai?" Terdengar hela napas dari seberang telepon.
"Awalnya tidak, tetapi sekarang iya," kata Sai.
"Jelaskan."
"Saat aku kecil, aku tak peduli siapa dia. Bagiku dia hanya objek lukisan yang menarik. Karena itu aku tak tahu banyak tentangnya dan tak berniat mencari tahu. Shin-nii pun tak berniat memberi tahu. Yang kutahu, dia adalah seorang model cilik yang juga model bagi butik ibunya, dan dua tahun lebih tua dari kita seperti yang kukatakan padamu saat di Hutan Nara," jelas Sai.
Shikamaru mendengarkan dengan serius. "Lanjutkan," katanya.
"Beberapa hari yang lalu, sat aku menunjukkan lukisanku pada Shin-nii, dia banyak teringat akan masa lalu tentang gadis itu. Kau tahu? Gadis itu adalah objek lukisan manusia favoritnya, dan sudah sejak lama kami berdua tidak menjadikannya objek lukisan. Jadi, dia banyak bercerita yang ia tahu tentang gadis itu."
"Tidak biasanya Shin-nii banyak bercerita, jadi aku mendengarkannya dengan senang hati. Kurasa kau perlu tahu, bahwa aku dan Shin-nii biasa menyebut dia 'bunga sakura', dan--" Satu tangan Shikamaru kini meraih sebuah korek api di samping lampu belajar.
"--Aku baru tahu dari Shin-nii, jika nama gadis itu adalah, Sakura Shimura."
Ketika mendengar nama itu, Shikamaru meremat erat korek api pemberian Kiba Shimura.
* * *
"Sakura-chan!"
Sakura berhenti melangkah di koridor rumah sakit, menoleh ke belakang dan melihat orang yang memanggilnya berjalan ke arahnya dengan langkah lebar.
"Ada apa, Karasu-san?"
Karasu adalah Residen Senior di bagian nephrology, bagian Sakura coass di-rolling pertamanya.
Karasu tersenyum. "Tidak ada. Mari kita mengobrol sambil berjalan," ucapnya.
Saat sudah sampai di area parkir, Karasu bertanya, "Sakura-chan, apa kau baik-baik saja?"
Sakura menoleh, "Ya. Tentu."
Karasu tertawa kecil. "Mungkin iya jika secara fisik," katanya. "Namun tidak dengan pikiranmu."
"Apa maksudmu, Karasu-san?" Langkah Sakura terhenti, begitu juga Karasu.
"Aku banyak mendengar tentangmu dari rekanku di sini yang menjadi tim teman-teman kuliahmu. Mereka berbicara hal baik tentangmu, mereka mengagumimu juga, dan itu terbukti. Karena sudah lebih dari seminggu ini sejak kau bertugas di nephrology, aku tahu apa yang mereka katakan itu benar," ujar Karasu.
Karasu menoleh pada Sakura di sampingnya. "Namun, hari ini kau tidak seperti biasanya." Sakura menatap Karasu dengan dahi mengernyit.
Menunduk sesaat lalu berdiri menghadap Sakura, Karasu melanjutkan dengan serius. "Kau tidak fokus hari ini. Kau terburu-buru, bertindak sedikit ceroboh, dan beberapa kali melakukan kesalahan kecil. Aku bahkan melihat kau melamun beberapa kali. Memang bukan kesalahan yang fatal, tetapi ini bisa menghambat kinerja tim dan akan merugikan dirimu sendiri. Kau tidak seperti dirimu yang biasanya. Kau kacau hari ini."
"Maaf karena mengatakan ini, tetapi saat beberapa waktu lalu ketika ayahmu meninggal, dan kau harus coass setelah hari pemakamannya, teman-teman kuliahmu dan juga rekan-rekanku berkata bahwa kau bahkan masih bisa melakukan tugasmu dengan baik. Namun hari ini, kau berantakan," lanjutnya.
"Kau masih sangat muda jika dibandingkan teman-teman kuliahmu. Kau cerdas, dan juga berbakat. Jangan sia-siakan potensimu karena terdistraksi oleh sesuatu. Jika kau yang seperti ini berkelanjutan, aku sangat kecewa padamu. Aku memang tidak mengenal dekat dirimu, tetapi aku memiliki harapan padamu kalau kau akan menjadi dokter yang hebat. Itulah sebabnya aku menegurmu lebih awal agar tak berkelanjutan dan kau bisa segera memperbaikinya," ujarnya sembari menatap Sakura sendu.
Menolehkan wajahnya ke samping sesaat, ia lalu menatap Sakura dalam. "Namun jika kau besok seperti ini lagi, kurasa aku perlu bicara dengan dosen pembimbingmu. Kau calon dokter dan saat kau sudah menjadi dokter nanti, diluar dari kuasa Kami-sama, kesehatan dan keselamatan pasien berada di tanganmu. Satu kecerobohan kecil, satu kesalahan minor, satu tindakan tidak tepat, hal itu akan berakibat fatal. Seharusnya kau tahu itu dengan jelas."
"Tenangkan dirimu malam ini, dan jalani esok hari dengan lebih baik. Sampai jumpa lagi," pamit Karasu begegas menuju mobilnya, meninggalkan Sakura yang masih berdiri di tempatnya.
'Kaa-san, aku kacau hari ini. Maafkan aku'
Sakura lalu terkekeh pelan. "Seterpengaruh ini ternyata diriku karena pembicaraanku dengan Tayuya pagi tadi."
Ketika sampai di mansion, Sakura segera mandi dan bersiap pergi dengan Toneri. Setelah itu, keduanya pergi bersama. "Kita akan ke mana, Toneri-nii?"
"Tidak ada tujuan pasti, mungkin kita akan berkeliling kota saja. Apa kau memiliki ide?"
Sakura menatap tajam sosok Toneri yang fokus mengemudi. "Lain kali jangan mengajakku pergi jika tak ada tujuan pasti."
Toneri terkekeh. "Baik, baik. Sekarang kutanya, adakah tempat yang ingin kau datangi saat ini?"
Sakura bersandar sembari bersedekap dada. "Tempat apa pun yang bisa membuatku merasa lebih baik."
Toneri meliriknya. "Hari yang buruk?"
"Sedikit."
"Ingin bercerita?"
Sakura menghela napas lalu menatap keluar jendela. "Aku tidak melakukan tugasku dengan baik, dan Residen Senior menegurku saat akan pulang."
Dahi Toneri mengernyit. "Apa kau melakukan hal fatal?"
"Tidak, dan jangan sampai terjadi."
"Baiklah, My Princess. Kurasa aku tahu tempat yang bagus untukmu," ucap Toneri dengan senyuman.
Sekarang Toneri dan Sakura sudah sampai di tempat tujuan. "Ini tempatnya?"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk. "Ya. Ayo masuk."
"Tidak banyak waktu tersisa sebelum tempat ini tutup. Ayo cepat." Toneri menarik tangan Sakura yang masih berdiri diam memandang bagunan depat tempat tujuan Toneri.
Toneri dan Sakura mendatangi loket, lalu membeli dua tiket masuk. Keduanya berjalan melewati gapura bertuliskan Akuarium Konoha. Di bagian kiri dan kanannya terdapat patung ikan laut.
Setelah melewati lorong tembok dan menuruni tangga, kini mereka memasuki lorong kaca. Melalui dinding kaca lorong, ada banyak jenis ikan yang terlihat.
"Banyak dan beragam sekali jenis ikannya," kata Sakura
Toneri mengacak rambut Sakura. "Apa ada ikan kesukaanmu di sini?"
"Tidak. Aku suka rubah," balas Sakura santai. Toneri tertawa kecil.
"Nii-san, lihat itu. Mereka berkelompok."
"Ya, ikan jenis itu memang biasa berkelompok." Sakura mengangguk-angguk.
Sakura memperhatikan akuarium raksasa itu dan bertanya. "Ini semua hewan laut, apa mereka mengambil air laut untuk mengisi akuarium ini?"
"Aku tidak tahu pasti, tetapi kemungkian besar iya."
Melihat sebuah benda setinggi pinggang yang di atasnya terdapat kertas berlapis kaca, ia mendekatinya lalu membacanya.
"Hm, banyak sekali jumlah ikan di sini," gumamnya. Setelah itu Sakura berjalan melihat-lihat beragam ikan. Meninggalkan Toneri yang masih diam di tempatnya dan hanya melihat Sakura dengan senyum tipisnya.
"Nii-san, Kemarilah! Ada ikan yang terlihat seperti Momoshiki-nii. Wajahnya benar-benar tanpa ekspresi!" ucap Sakura dengan nada cukup tinggi. Membuat beberapa orang di dekatnya sontak memandangnya. Melihat itu Toneri tertawa kecil lalu segera menyusulnya.
Sakura si kakak yang dikagumi adik-adikknya atas sifat, tindakan, dan pemikirannya, tetaplah bersikap kekanakkan pada kakaknya.
Selesai mengunjungi akuarium dan hari mulai petang, Sakura dan Toneri pergi ke mall. "Kau ingin apa?"
"Aku ingin es krim."
Toneri melihat sekeliling lalu terhenti kala melihat stand yang menjual es krim. "Lihat itu. Ayo ke sana, kau ingin es krim, bukan?"
Sakura mengangguk lalu menggandeng manja lengan Toneri, ia berkata, "Ya, rasa vanila."
Menoleh pada adiknya yang bersikap manja, ia mencium puncak kepalanya. "Baiklah, ayo."
"Selamat datang, ingin memesan es krim pasangan?" tanya penjaga stand es krim pada Toneri dan Sakura dengan gestur tangan yang menunjuk sebuah papan bergambar es krim bertema couple.
Dahi Sakura dan Toneri berkerut dengan alis yang bertaut saat mendengarnya.
"Tidak, hanya satu saja rasa vanila, dan kami bukan pasangan," kata Toneri tenang. "Ini adikku," sambungnya.
Wanita itu terkejut. "Ah maaf, aku tidak tahu. Kupikir kalian sepasang kekasih," ujarnya sambil membungkuk.
"Baiklah, satu es krim rasa vanila. Segera siap," ucapnya kemudian.
Setelah membeli es krim, kini keduanya sedang ada di eskalator. Satu tangan Sakura memegang cone es krim dan satunya lagi masih setia menggandeng lengan kakaknya. Orang-orang menolehkan pandangannya untuk melihat keduanya.
Banyak dari mereka yang mengira jika keduanya adalah pasangan, meski tinggi mereka bukan tinggi ideal sebagai pasangan. Karena tidak ada perbedaan yang mencolok di antara tinggi keduanya, tetapi Toneri masih sedikit lebih tinggi. Toneri memang memiliki tinggi di atas rata-rata pria tinggi di Jepang.
Di samping orang yang berpikir mereka pasangan serasi, ada orang yang mengagumi ketampanan, tinggi, dan postur tubuh Toneri. Ada pula yang kagum dan terkejut melihat tinggi Sakura yang hampir menyaingi Toneri.
"Kau ingin makan?"
"Tentu," jawab Sakura.
Keduanya kini ada di restoran. Mereka sudah selesai memesan beberapa saat yang lalu, sekarang sedang menunggu makanan datang.
"Apa kau ingin menonton film?" tanya Toneri.
Sakura menatap Toneri sekilas lalu lanjut makan es krim "Apakah ada film yang menarik?"
"Baiklah, mari kita lihat daftar filmnya melalui ponsel," ujar Toneri mengeluarkan ponselnya.
"Genre apa yang ingin kau tonton?"
Terlihat berpikir sesaat, Sakura menjawab, "Apa ada thriller?"
Setelah beberapa saat, Toneri berkata, "Bagus, ada satu." Ia menatap Sakura. "Kupesan sekarang tiketnya, setelah makan kita bisa menonton filmnya." Sakura mengangguk.
Setelah pergi ke akuarium, pergi ke mall dan membeli ek krim dan juga makan, lalu menonton film, dan terakhir membeli makanan untuk keluarga di rumah, kini Sakura dan Toneri sedang dalam perjalanan pulang. Bahkan ini sudah hampir sampai.
Beberapa saat kemudian keduanya sudah sampai di mansion. Toneri dan Sakura memasuki area parkir bawah tanah. "Saki, kau ingat adik kakak yang ada di depan kita saat berjalan keluar dari bioskop?"
"He? Ah dua orang itu, iya aku ingat. Si kakak menggedong adiknya karena kakinya tak sengaja terkilir saat naik tangga hendak keluar, bukan? Memangnya kenapa?"
"Awalnya si adik menolak saat kakaknya akan mengendongnya. Namun dia bersikeras untuk menggendong adiknya karena tidak ingin adiknya terluka semakin parah dan merasakan sakit di setiap langkahnya. Meski si kakak tahu adiknya masih bisa berjalan dengan menahan rasa sakit, dia tetap tidak mau adiknya merasakan sakit sendirian," ungkap Toneri.
"Kalau kau jeli, kau akan melihat kain kasa dan plester di telapak tangan sang kakak, yang berarti dia sedang terluka. Dengan kakinya yang terkilir si adik sudah merasa sakit, karena itu si kakak menggendongnya dengan tangan yang terluka, dan saat ia menggedongnya, ada kemungkinan rasa sakit tangannya bertambah atau bahkan lukanya terbuka," lanjutnya.
Toneri lalu menghentikan mobilnya. Ia menatap Sakura di sampingnya. "Kau tahu kenapa si kakak itu rela menggendong adiknya di saat tangannya sendiri terluka?" Sakura tak menjawab.
Menunduk sesaat Toneri melanjutkan. "Jawabannya adalah karena bagi seorang kakak sepertinya, melindungi, menjaga, dan merawat sang adik sangatlah penting baginya. Dia mendahuluhan adiknya dibanding dirinya sendiri."
"Saat adiknya menolak ketika ia berniat menggendongnya dan bersikap seolah baik-baik saja, sang kakak tahu jika adiknya merasakan sakit dan berniat tidak ingin menyusahkannya." Toneri tersenyum sedih. "Namun sang adik tidak menyadari jika sang kakak tahu apa yang berniat ia lakukan. Sang adik tak tahu jika sang kakak menginginkan keterbukaan, dan kejujuran."
Toneri mencabut kunci mobil. "Si adik tidak tahu bahwa sangat menyakitkan bagi sang kakak jika mengetahui sang adik jelas-jelas tidak baik-baik saja, tetapi tetap tak berniat mengatakan apa pun."
Toneri membuka pintu mobil. "Jika sang adik tak ingin kakaknya membantunya, maka setidaknya dia harus dengan jelas mengatakan yang sebenarnya apa yang terjadi dan alasan atas penolakannya." Toneri lalu keluar dari mobil dengan membawa kotak berisi makanan menuju tangga ke lantai pertama, meninggalkan Sakura yang masih diam termenung di dalam mobil.
* * *
Pukul sepuluh Malam Sakura mengendap-endap mendatangi sebuah pintu kamar yang ada di lantai yang sama dengannya.
Menoleh ke kanan kiri dan merasa keadaan aman, ia merogoh sakunya guna mengambil kunci. Membuka pintu kamar, ia segera masuk dan kembali menutup pintu.
Pemilik kamar berambut panjang terurai tanpa ekspresi yang sedang setengah berbaring di sofa panjang, dengan satu lengannya bertopang pada bantalan tangan sofa, sedangkan tangannya yang lain sedang memegang gelas berisi red wine hanya menoleh sekilas pada Sakura kemudian menyesap lagi cairan merah beralkohol.
"Momoshiki-nii," panggil Sakura.
Kakak pertama Sakura itu hanya melirik sekilas. "Hmm," gumamnya.
Sakura mendekat. "Bisakah malam ini aku tidur di sini?"
"Hmm."
Sakura duduk di sofa tunggal kecil yang berhadapan dengan Momoshiki. Melihat kakaknya yang kini menyesap anggur merah hingga habis ia bertanya, "Bisakah aku minum itu juga?"
Pemuda itu menatap Sakura sebentar lalu meraih botol anggur yang isinya masih banyak di meja bundar yang menjadi pembatas keduanya, kemudian ia letakkan botol itu pada permukaan meja dekat Sakura.
"Tentu, tetapi habiskan dalam sekali minum."
Melihat jumlah anggur merah yang harus ia habiskan dalam sekali minum, Sakura memandang ragu Momoshiki yang tampak sangat tenang.
Sakura menatap bergantian antara gelas anggur dan Momoshiki. "Apakah kurang?" tanya Momoshiki tenang.
"Ti-tidak. Aku hanya tidak lagi berniat ingin meminumnya," jawabnya. Sebenarnya Sakura hanya ingin menyicipinya sedikit, dan Momoshiki memperbolehkannya. Namun, jumlah yang harus ia minum membuatnya mengurungkan niatnya.
Dirinya besok masih harus coass dan juga harus lebih baik melakukan tugasnya, karena hari ini ia berantakan dan sudah mendapat teguran. Jika malam ini ia minum sebotol anggur, entah apa yang akan terjadi padanya besok.
Inilah perbedaan Toneri dan Momoshiki. Jika itu Toneri, dia akan melarangnya meminum anggur merah dan memberitahunya tentang akibat yang mungkin terjadi. Namun Momoshiki berbeda. Dia tidak melarangnya dan justru memperbolehkannya, dengan syarat ia harus menghabiskan sebotol anggur langsung dalam sekali minum.
Jika Toneri ia anggap kakak yang berbahaya, maka Momoshiki adalah kakak yang mengerikan. Toneri adalah kakak yang secara jelas menunjukkan emosi, perhatian, dan kepedulian. Namun Momoshiki sebaliknya. Ia terkesan tidak peduli jika dibandingkan dengan Toneri.
Secara singkat Toneri adalah tipe yang melindungi, menjaga, dan mencegah sebelum hal buruk terjadi padanya. Namun Momoshiki adalah tipe yang membiarkannya terluka agar dirinya bisa langsung merasakan akibatnya, tetapi tentu hal itu harus dalam pengawasannya. Misalnya adalah yang baru saja terjadi yaitu Momoshiki memberi Sakura sebotol anggur.
Setelah Sakura yang mengurungkan niatnya mencicipi anggur merah, keheningan terjadi, hingga Momoshiki yang menyuruhnya tidur.
"Tidurlah, sudah malam," ujar Momoshiki sambil memutar-mutar gelas anggur.
Sakura patuh. Ia mematikan lampu utama kamar, lalu lampu led berwarna warm yang mengelilingi plafon menyala otomatis. Kemudian ia naik ke ranjang Momoshiki. Berbaring, bersiap mendatangi alam mimpi.
Tak nyaman dengan posisi telentang, ia memiringkan tubuhnya lalu mencoba tidur. Tidak juga merasa nyaman, ia balik badan dan mencoba posisi miring ke sisi yang lain. Tidak merasa nyaman juga, ia mencoba tengkurap. Namun itu juga tak berhasil, dan ia kembali ke posisi telentang. Matanya terbuka menatap langit-langit.
Momoshiki yang sedari tadi memperhatikan Sakura, dengan masih dalam posisi setengah berbaring di sofa dan tak lupa tangannya memegang gelas berisi red wine, mengangkat satu sudut bibirnya. "Shiki-nii," panggil Sakura.
"Hmm." Momoshiki kembali menyesap anggur merah.
"Toneri-nii marah padaku."
Momoshiki tidak menanggapi, tetapi Sakura tahu dia mendengarkannya. Karena itu ia melanjutkan, "Aku melakukan sesuatu tanpa memberitahunya. Dia tahu itu dan mungkin dia sudah mulai mencari tahu. Aku tidak tahu sejauh mana ia tahu, tetapi yang kulakukan bisa dibilang tidak ada hubungannya dengan Toneri-nii."
"Nii-san, haruskah aku menceritakan semuanya pada Toneri-nii?"
"Lakukan yang tidak merugikanmu dan tidak membuat Toneri merasa buruk."
Dengan masih berbaring terlentang menatap langit-langit, Sakura mengernyitkan dahi. "Nii-san, kau tidak bertanya apa yang kulakukan? Kau tidak penasaran?"
Momoshiki meminum habis red wine di gelas lalu membalik gelasnya dan meletakkannya di atas meja. Setelah itu ia berdiri, kemudian mendekati ranjang. Melepas jepit rambut besi yang menahan rambut di sisi samping kepalanya lalu meletakkannya ke meja nakas, Momoshiki kemudian naik ke kasur. Sakura berbaring sedikit ke tengah, jadi masih ada ruang yang cukup untuknya.
Duduk di kasur dengan bersandar pada kepala ranjang, Momoshiki mengulurkan tangannya guna memperbaiki selimut Sakura seraya berkata, "Jika aku bertanya, apa kau akan menjawabnya dengan sukarela? Kalaupun iya, itu akan sungguh tidak adil untuk Toneri, bukan?" Sakura diam. Apa yang dikatakan kakaknya itu memang benar.
"Aku tidak akan bertanya. Namun, memilih untuk memberitahu atau tidak itu adalah pilihanmu," kata Momoshiki.
"Akan tetapi, jika aku mencari tahu dan aku mengetahui semuanya sebelum kau memberi tahu. Maka kau tidak akan bisa menghentikan apa yang ingin kulakukan. Aku tidak peduli jika yang kulakukan akan berakibat buruk," sambungnya dengan nada kejam. Sakura membeku seketika.
Momoshiki menunduk. Mengecup dahi Sakura lalu mengusap penuh sayang puncak kepalanya. Tindakan lembutnya sungguh berbanding terbalik dengan nada dan ucapannya barusan. "Tidurlah, sudah larut malam." Sakura mengangguk lalu segera memejamkan mata.
Momoshiki meraih salah satu majalah fashion di meja nakas. Ia menekuk satu kakinya guna menahan buku dari belakang, lalu satu tangannya membuka halamannya, membaca tulisan berukuran besar dan melihat gambar para model, sedangkan tangannya yang lain setia menepuk-nepuk pelan puncak kepala Sakura.
* * *
"Toneri-nii!" panggil Sakura.
Toneri yang hendak masuk ke mobilnya dan segera berangkat berkerja berhenti. Menoleh ke belakang, ia melihat Sakura yang berlari kecil ke arahnya.
Tiba-tiba Sakura memeluknya erat yang membuatnya terkejut. "Maafkan aku, Nii-san."
"Tolong beri aku waktu, aku tidak siap mengatakannya saat ini," sambungnya. Toneri diam.
Sakura melepas pelukannya lalu segera mencium pipi kanan Toneri. "Aku menyayangimu,My Silver Prince."
Setelahnya ia segera pergi menuju mobilnya dan lekas mengendarainya ke rumah sakit. Semoga hari ini ia kembali mendapatkan fokusnya dan melakukan tugasnya dengan baik, tidak seperti kemarin.
* * *
Setelah hari ini ia kembali seperti biasanya yang mengerjakan tugas dengan baik, Karasu memberinya anggukan bangga disertai senyuman padanya ketika ia akan keluar dari ruangan.
Saat ia sudah ada di area parkir dan bahkan sudah ada di dalam mobilnya, tepat ketika akan menyelakan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Membaca nama di layar ia menganggat panggilan. "Ada apa, Barbie?"
"Empat belas."
"Hari ini Shisui dan Itachi bertemu. Mereka pergi ketiga tempat yang berbeda, dan Zetsu memotret mereka sebanyak empat belas kali."
"Tiga tempat?"
"Ya, Sakura-chan. Kau akan tahu saat melihat hasilnya. Jadi, haruskah kukirim melalui ponsel atau kau akan datang dan mengambil file-nya ke sini?" tanya Sasori.
Chapter 29 selesai.
