2

.

.

RASANYA dia ingin menampar keluar otak si tua itu. Hanya sekedar menyuruhnya enyah sampai Hermione benar-benar pergi dan tak akan melihat wajah mengkerutnya barang untuk terakhir kali. Tapi dia tahu, untuk mengangkat tubuh saja ia tak mampu. Mungkin tulang-tulang di tubuhnya telah sirna sudah—bersamaan dengan hancur hatinya. Bisa jadi sudah menyatu dengan air yang mengalir di toilet, hanyut ke pusaran dan meluncur pada pembuangan. Dia rasanya ingin melenyapkan saja otaknya sekalian, agar dia menghilangkan bayang-bayang wajah Theodore Nott dari sana.

Sejak kata-kata yang keluar dari mulut Theodore siang tadi, dan ditinggalkan ia sendirian di kamar untuk 'berkemas', alih-alih bersiap, Hermione kendati bengong seperti sinting. Beberapa menit berlalu hingga matanya perih menuntut untuk berkedip. Ia kira karena angin yang berhembus mengantam. Namun tanpa terasa pipinya sudah banjir air mata. Cara Theodore bicara dan pergi seperti ada sembilu maya yang mencincang raga, hancur perlahan-lahan, dan raib entah kemana nyawanya.

Dia pikir Theo hanya berusaha untuk melontarkan kalimat candaan—cowok itu pernah melakukannya walau jarang.

Namun Theodore tidak kembali beberapa menit kemudian. Bahkan satu jam, atau jam-jam selanjutnya.

Hingga dirinya dengan gotai berjalan ke kamar mandi, membanting pintu menutup dan menjatuhkan diri di bathup. Dia ingin air dingin itu membekukan hatinya yang teramat sakit dirasa.

Hermione sudah berjam-jam terpekur di kamar mandi. Entah sudah berapa ratus kali Marilla menggedor pintunya. Suara perempuan tua itu terdengar lebih ceria. Dia mengetuk pintu, berkata dengan suara mendayu, bahwa selama apapun dirinya berendam di dalam bathup, tetap saja tak akan membersihkan darahnya sehingga dia bisa kabur dari status sosial ini. Marilla tak benar-benar bermaksud untuk menyuruhnya keluar. Dia mondar-mandir karena hanya ingin merealisasi suka cita yang membubung di dadanya mengenai kabar bahwa akhirnya anak bawang yang teramat dibencinya, terjual bak seonggok barang tak berharga.

"Kau bermaksud untuk melunturkan kulitmu kali ini, anak sialan?"

Teriakan kali ini menendengking teramat nyaring, sehingga dapat disimpulkan mungkin Marilla sudah benar-benar jengkel. Jadi daripada menerima lebih banyak derita sebelum kepergiannya—yang tak akan berimbas baik sama sekali—Hermione lebih baik bangkit dan bersiap.

Cepat atau lambat, toh dia bakal enyah juga dari tempat ini. Entah dibeli seperti di pasar lelang, dijebloskan ke lubang hitam perbudakan mana lagi—semua hanya tergantung waktu.

.

.

Bertanya-tanya siapa yang membelinya pada diri sendiri, maka ia menemukan kebuntuan. Setelah berpakaian, Hermione dijemput penuh kasih sayang oleh Marilla—yang sudah memasang senyum paling lebar yang pernah dilihiatnya selama mendekam di rumah itu—dia digiring menuju kereta tertutup. Dalam gelapnya malam, Hermione teringat perkataan Theodore bahwa pembelinya akan menjemput. Namun di mana? Hermione sudah memutuskan untuk mengunci rapat mulutnya selama yang ia mampu, jadi ia membiarkan rasa penasaran itu tenggelam.

"Kau tahu tidak, pekerjaan apa yang paling menjengkelkan di tengah malam begini?"

Karena ia hanya berdua oleh si kusir kereta, sudah jelas pria gemuk dengan kumis tebal yang lembab itu mengharapkan sautan darinya. Tapi alih-alih mengeluarkan suara, Hermione hanya mengerling tak peduli.

"Membawa darah-lumpur untuk dijadikan santapan makan malam." Hermione mendelik, pria itu tertawa. Jenis tawa menjengkelkan yang tak ingin di dengar siapa pun. Lalu ia melanjutkan dengan suara berat dan serak di bawah kumisnya yang lengket oleh keringat. Dia nampak tak peduli pada jenis interupsi apa pun, bahkan mungkin jika Hermione tiba-tiba saja menerjang dan mencekiknya sampai mati dari belakang. "aku sering mengantar barang, kau tahu. Terkadang sampai ujung Spinner, bahkan pernah ke Rumania naik kereta. Ho! Tanpa sihir, karena aku squib sialan. Tapi tidak pernah ke sini—belum pernah kesini, dibanding lubang kotor, kubangan paling hina—belum sekali pun aku berkereta ke tempat ini..."

Lalu suaranya menyamar, menjadi gumaman-gumaman yang tak tertangkap oleh indera pendengarnya. Toh, ia tak peduli. Dia hanya memandang jendela dengan muram. Kereta yang ditumpanginya teramat layak, dapat ditumpangi empat orang, dan mempunyai kursi yang empuk untuk dijadikan sandaran. Bukan tipikal kereta-kereta yang sering dipakai budak seperti dirinya.

Dia tak tahu sudah berapa lama perjalanan mereka, namun sudah beberapa kawasan dilewati. Ladang luas, menanjak jalan yang agak terjal, bahkan hutan belantara yang mungkin hanya si mata kuda saja yang mampu melihat jalan-jalannya.

Yang jelas ia tak mau tahu. Rasa penasarannya berkurang seiring dengan lamanya perjalanan. Memudar seperti cahaya bulan di atas tandu keretanya. Yang mulai menonjol adalah, pikiran mengenai Theodore tak mengantarnya sendiri. Barang melihatnya untuk terakhir kali pun, kenapa cowok itu tak mau? Hermione terjerembab dengan pemikiran-pemikiran itu. Dia ingin sekali lari dari kenyataan yang menohoknya tepat di perut. Dan kini yang paling sulit adalah menyirnakan rasa sakitnya.

Sudah terlalu dalam dia berpikir, tanpa sadar kereta berhenti. Kuda itu bersuara rendah, entah bermaksud memberi tanda pada si kusir gemuk bahwa ia patuh untuk berhenti, atau karena dia ikut merasakan empedu yang rasanya mulai bocor di atas perut Hermione. Dia pikir tiada manusia yang akan mengerti perasaannya lagi. Persetan dengan manusia-manusia. Sekarang jadi satwa lebih menggiurkan sepertinya. Setidaknya dia tidak perlu merasa terhina, karena dia berlabel manusia tapi dijual. Sedangkan satwa, memang sudah kodratinya diperjual-belikan. Tentu tak akan merasakan hina dina yang Hermione tanggung saat ini.

Kenapa pikirannya melantur hingga ke satwa, Hermione tidak tahu. Yang jelas, pintu kereta berdecit dan terbuka secara serampangan. Jelas sekali si gemuk jelek berkeringat itu tak tahu bagaimana cara memperlakukan barang dengan baik. "Jadi kau mau di sana semalaman atau apa?"

Suara serak dan rendah itu membuat Hermione mual. Apalagi melihat wajahnya—walau samar karena kurangnya penerangan—jadi, Hermione bergeser, menurunkan kaki kirinya terlebih dahulu pada pintu. Membungkuk dan keluar hati-hati. Saat mendongak, dia mengernyit.

Jadi, dia dikirim jauh-jauh, dengan si gemuk jelek berbadan tengik ini, hanya untuk dibuang ke dalam hamparan semak belukar yang hanya terlindungi oleh gerbang tua karatan? Dia menghela napas. Enggan untuk menatap si kusir, bahkan untuk meminta penjelasan.

Namun sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, ada sesuatu yang maya menggerakan engsel gerbang itu. Bunyi gemericik rantai, lalu sedetik kemudian gerbang terayun. Terbuka. Pupil matanya perlahan-lahan membesar, seiringan dengan apa yang melangkah maju—mendekat ke tempat mereka berdiri seperti tolol dengan suara kuda rendah yang tampak was-was di belakang mereka.

Saat gerbang terbuka, bukan lagi hamparan semak belukar yang terdapat dibaliknya. Ternyata sebuah jalan setapak yang dari jauh sekali terlihat kastil besar dengan lampu-lampu terang di jendelanya. Lalu menyeruak sosok-sosok berpakaian serba hitam. Mereka semua manusia utuh—hanya berpakaian gelap, yang mengingatkan Hermione akan seseorang. Namun kini ingatannya tak dapat dibohongi, Hermione selalu benar tentang dia.

"Theo?"

Theodore Nott muncul utuh saat melangkahkan kakinya, diterangi cahaya bulan. Sosoknya seperti badai dimata Hermione, menciptakan gelombang yang dahsyat di dadanya. Dia pikir dia tak akan melihat lelaki itu lagi untuk selamanya. "Kukira perjalanan non-sihir tak akan memakan waktu selama ini," Hermione tak tahu esensi dari kalimat itu, dia hanya peduli pada mata biru tenang Theo.

Dia ingin berucap syukur atas semua ini. Jadi ini yang telah dilakukannya—mungkinkah?

"Oh tidak, tidak, Granger." Apakah Theo bisa menembus pikirannya, atau semua ekspresi wajahnya lah yang mencerminkan kata-kata di benaknya—dia bimbang. "aku di sini hanya untuk memastikan bahwa transaksi ini berjalan sebagaimana semestinya."

Tunggu—

"Kau sudah bertemu Tuanmu." Theo bergeser, sosok lain yang sedari tadi—yang keberadaanya telah dilupakan Hermione—bergerak, maju beberapa langkah sehingga tubuhnya sejajar dengan Theo. Namun yang disebelah Theo mempunyai ciri khas yang berbeda secara fisik, dengan poros wajahnya yang jelas berbeda dengan sosok yang teramat sangat di dambakannya itu. Hermione merasa seolah udara menyusut di paru-parunya, dia begitu terkejut sehingga tak mampu menyembunyikan reaksi. Matanya mendelik, mulutnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tiada satu patah katapun yang keluar. Dia kenal mata itu, biru kelabu—terlebih lagi rambutnya.

"Sesuai pesanan, yang paling kotor. Darah lumpur Granger." Lucius Malfoy, suaranya seperti desisan diantar dua bibir yang nyaris tak bergerak saat dia mengucapkan kata-kata itu. Matanya menyipit, menatap Hermione dari ujung kepala hingga kaki. Mengintimidasinya sedemikian rupa. Hermione masih belum mampu berpikir, akibat dari sisa-sisa keterkejutannya. Atau mungkin kebencian yang membakar habis otaknya—dia ragu mana yang kini menguasai diri.

Tentu saja jika ada orang yang benar-benar dimungkinkan untuk membeli seorang budak, keluarga Malfoy pasti sudah bertengger dalam daftarnya. Tak diragukan lagi, perihal merogoh kantung untuk sekedar memelihara dan menunjukan kekuasaan telah menjadi hal yang lumrah. Dan kali ini, seperti kesempatan-kesempatan emas untuk unjuk diri lainnya, tentu si kepala pirang tak ingin melewatkan masa jayanya, dimana dia bisa menyabet bandrol harga dari seorang darah lumpur kotor. Namun yang jadi permasalahan, Hermione punya memori buruk akan mereka.

Para Malfoy itu.

Dengan membayangkannya saja, sepertinya megabdi pada Marilla dan menggosok kakinya setiap hari, nampaknya jauh lebih baik daripada nasibnya mendatang.

"Ia memang rendahan kotor, namun kuyakin tidak bodoh, kan, Nott?"

"Kupastikan begitu, Sir. Mengingat siapa yang kaubeli ini."

"Aku tak akan memandang setitik keistimewaan apa pun yang dimiliki seorang darah lumpur dari masa lalunya. Bahkan dengan mantan kesayangan Dumbledore yang mati itu pun tidak. Jadi—" Lucius mengangkat sebelah alisnya tinggi, menyipit. Sedari tadi ia tak melihat lawan bicaranya. Matanya hanya terpaku pada Hermione. "—sebaiknya kau sudah berikan ia perintah untuk tak bertingkah. Jika ada hal yang tak seharusnya dilakukan, akan sangat berat ganjarannya, kurasa."

Hermione didorong kasar oleh kusir yang mengantarnya tadi. Berjalan tergopoh-gopoh untuk mendekati gerbang, ketika sampai di depan gerbang, setelah mengangguk tanpa suara, Lucius mendahuluinya. Saat sudah melewati gerbang, Hermione menyempatkan diri—menoleh pada sosok di belakangnya.

Namun ia harus kecewa, karena sedetik ia menoleh, Theodore sudah berbalik membelakanginya.

.

Hermione pernah membaca mengenai Malfoy Manor di buku Sejarah Sihir-nya dulu. Waktu itu ketika ia, Harry dan Ron harus memecahkan misteri mengenai siapa Pewaris Slytherin, sehingga membawanya kepada sejarah keluarga yang turun temurun menempati asrama itu.

Namun dia tak pernah sekalipun menginjak ubin-ubinnya, menatap ukiran di setiap sentinya atau mungkin merasakan hawa dingin yang tak ada hubungannya dengan udara malam itu. Mereka mempunyai perapian yang teramat besar di setiap ruangan. Gelap menjadi latarnya, serta permadani yang menjadi alas di setiap kursi-kursi bergerumul. Tempat ini mengingatkannya pada Hogwarts sedikit banyaknya. Tapi tentu perbedaan signifikan yang menjadi garis di dalam ingatannya. Mengingat hal-hal buruk yang akan terjadi di masa mendatang, dia menyumbat kenangannya.

Hanya untuk mengurangi derita yang ia rasakan.

"Indah, bukan?" Hermione mendengar Lucius Malfoy berkata di depannya, memecah kesunyian seketika. Mereka bedua kini mulai memasuki lorong yang panjang. "sayangnya, bukan lagi mengurus rumah tugasmu. Tugas mulia itu lebih baik diserahkan pada Peri Rumah—Tiny!"

Sedetik setelah bunyi tarr keras, Hermione melihat seekor Peri Rumah tergopoh-gopoh membututi langkah mereka berdua. Makhluk itu tampak kuyu dan berantakan, wajahnya menyiratkan penderitaan. "Tiny yang baik datang pada panggilan tuannya,"

"Bagaimana keadaannya?"

"Nyonya baru saja keluar, menangis seharian sampai Tiny yang baik sedih sekali melihatnya dan membenturkan kepala ke pilar untuk itu—"

"Berikan padaku, makhluk rendahan." Hermione melihat Tiny merogoh kantung bajunya—yang lebih mirip seperti handuk compang-camping—dan menyerahkan sebuah kunci dengan tangan keriput kecilnya pada Lucius penuh hormat. "kau sudah tahu tugasmu kedepan, sekarang kembali ke sayap barat, awasi kalau-kalau di mencoba membakar dirinya lagi..."

Sekejap bunyi tarr dan Tiny lenyap. Lucius masih terus berjalan, hingga sampai di ujung lorong, persis posisi mereka menghadap lukisan tua yang isinya adalah pria angkuh dengan rambut dan kumis putih seluruhnya. Ketika dia melihat Hermione-lah yang berada di belakang Lucius, pria itu berjenggit. Hampir bangkit dari kursi, seolah ada kuman bandel yang berjalan kearahnya. Lalu ia beralih menatap Lucius, terhina. Menggumamkan sesuatu tentang keturunan-kotor-mana-lagi-yang-kaubawa. Tapi Lucius mengindahkannya.

Di sebelah kanan mereka terdapat sebuah pintu, saat Lucius memasukan batang kunci ke lubangnya, Hermione berpikir sihir macam apa yang menyelubungi pintu itu—sehingga mereka diharuskan memakai kunci terlebih pada mantra.

Lucius membuka pintu dan memasuki ruangan tanpa suara, bahkan tanpa aba-aba apakah ia harus tetap mengekorinya atau tidak. Namun baru sepintas ragu itu muncul, Lucius telah berhenti empat langkah dari daun pintu. Ketika ia memberanikan diri untuk masuk satu langkah, Hermione mendengar Lucius berbicara tanpa menoleh padanya.

"Berbaring hampir dua bulan di sana, jika bukan karena hidungnya mengeluarkan uap saat disentuh, maka orang pasti berpikir dia telah mati."

Hermione diam-diam menjulurkan kepalanya untuk melihat lebih jelas.

Draco Malfoy terbujur kaku. Hermione bimbang bagaimana rupa jelasnya—namun yang kini hanya bisa ditangkap matanya, wajah pucat yang hampir saja tak berdaging, hampir sewarna dengan rambut pirang yang mulai lebih panjang dari ingatannya. Jika saja Lucius tidak memberi isyarat dengan kata-katanya, Hermione tidak akan menyadari ada seseorang berbaring di ranjang itu, karena serupa dengan selimut yang membungkus tubuhnya.

Terakhir kali dia melihat Draco Malfoy adalah ketika satu kerlingan penuh permusuhan dan dendam yang meledak di rongga dada di halaman Hogwarts sehari sebelum kematian Albus Dumbledore di tahun keenam mereka. Dia ingat si pirang itu dulu—dicurigai mati-matian oleh Harry, diawasi di setiap kesempatan dan dibuntuti tanpa henti—sehingga terbukti suatu malam, dia dan pengikut-pengikut kelamnya berhasil melancarkan aksi di Menara Astronomi. Membunuh Sang Legendaris Albus Dumbledore.

Ada kabar berdesing, setelah Snape melancarkan Kutukan-Tak-Termaafkan tepat di dada Dumbledore, mereka semua pergi meninggalkan Hogwarts dan mendapatkan trofi atas kerja dan usaha mereka. Tentu saja, si picik Slytherin itu berusaha sepanjang tahun untuk melancarkan rencananya. Namun bukan Draco Malfoy namanya jika tidak bersembunyi di balik jubah orang lain. Hermione berpikir, jika siapapun yang paling berjaya pada bangkitnya Voldemord, di daftar teratas tentu akan diisi oleh keluarga Malfoy.

Hermione pikir begitu.

Namun kini, melihat rumah yang teramat mencekam, dengan keadaan yang tak karuan, dan anak lelaki emas tunggal tergolek—masih disangsikan apakah bernyawa atau tidak—Lucius Malfoy pastilah begitu hancurnya saat ini.

Tapi Hermione sudah berhenti mengamati Draco. Ada begitu banyak pertanyaan di dalam kepalanya, dia sudah biasa dengan konsep pemikiran yang dimilikinya selama dia hidup itu. Tapi semenjak dia menjadi budak, dia lebih memilih bungkam sampai mati daripada bertanya dengan orang-orang yang dibencinya. Hermione melihat punggung Lucius, beberapa detik si pirang panjang berbalik. Tangan terlipat di dadanya.

"Belum ada satu Penyembuh pun yang bisa menangkal kutukannya, terlebih mengobatinya. Bahkan yang paling unggul dari Albania, tak kutemukan satupun yang bisa membuatnya membuka mata." Dagunya naik, matanya menatap Hermione dengan tajam. "sehingga aku memutuskan tak lagi berusaha. Jika memang harus begitu untuk seterusnya, maka semua orang akan menganggap keturunan Malfoy telah berhenti. Tak penting lagi bagiku."

Hermione merasakan dinginnya pada kalimat-kalimat itu membekukan otaknya. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu pada putra semata wayangnya?

"Dan mulai malam ini, kau yang akan mengurusnya." Kata Lucius, keangkuhan masih bersarang di sana. "koridor ini di sterilkan, karena akan membahayakan popularitas jika saja ada yang tahu kondisinya saat ini. Manor selalu akan dilindungi sihir tua yang tiada seorapun tahu mengenai efeknya. Tiny akan membantu beberapa kali, hingga selanjutnya kau yang benar-benar harus bekerja sendiri. Karena seekor Peri Rumah sudah cukup untuk mengurusi seluruh Manor."

Hermione menatap mata biru kelabunya, lalu mata itu menyipit.

"Walaupun hina untuk diingat, tapi aku sempat mendengar kabar kau mempunyai popularitas pada saat terdahulu. Aku tak ingin tahu banyak, dan tak peduli. Namun ada garis nyata diantara kita tentunya, jika kau melanggar hal-hal itu, membayangkan sangsinya saja kau tak akan mampu."

Hermione bergeming di tempat, masih terlalu takut, bahkan memberi respon.

"Kupikir, lebih baik begini seterusnya. Semakin sedikit kau mengeluarkan suara, akan semakin kecil resiko kau mendapat petaka. Dan kupikir kau sudah tahu bagaimana sambutanku pada makhluk seperti kalian sedari dulu, kuharap itu akan menjadi komposisi pemikiranmu agar tak terlalu banyak muncul memperlihatkan diri." Kali ini suaranya rendah berbahaya. "Karena itu pula yang akan membuatmu tak akan lupa mengenai dimana seharusnya tempatmu berada."

Kata-kata penutup itulah yang menghantarkan kepergiannya. Maka ketika Hermione hendak bertanya dimana seharusnya menetap dan dari mana tempat dia memulai, seeokor Peri Rumah, kecil keriput, telah berada di balik punggungnya. Makhluk itu tersenyum takut-takut saat mendongak menatapnya.

.

Hermione enggan sekali menatapnya, sosok itu.

Ketika keesokan paginya, setelah semalam Tiny menunjukan dimana kamarnya, memberikan setumpuk baju-baju, Hermione membuka kamar Draco (kali ini lukisan pria tua di depan kamar berteriak sumpah serapah) dan kini sudah lima belas menit hanya berdiri menatapinya. Dia tahu apa yang harus dilakukan—tapi jelas perasaannya menentang teramat sangat. Masih ada hubungannya dengan masa yang lalu, dia tak bisa menutup sakit hati yang pernah terjadi waktu itu.

Lalu dia mendengus keras, menggeleng seolah-olah dengan begitu apa yang kini menggandrungi otaknya akan rontok saat dia menggerakan kepalanya. Ketika dia pikir tak ada guna lagi pemikiran-pemikiran semacam itu, yang bahkan mungkin hanya akan membawanya ke tempat yang lebih menyulitkan lagi, Hermione akhirnya maju. Dia berada di posisi di mana tak pernah ia sedekat itu dengan si Malfoy diseumur hidupnya. Bahkan kini dia mulai menyentuhnya, jari-jarinya menggapai selimut yang menutupi pirang-brengsek yang pernah—dan masih—dibencinya. Ternyata ia bertelanjang dada, hanya mengenakan selembar kain untuk menutupi bagian pusar kebawah. Dan dengan secara sihir tempat tidur itu membersihkan kotoran-kotoran yang keluar dari tubuhnya. Mungkin hal-hal itu untuk mempermudah siapa saja yang mengurusnya.

Tapi tentu saja—bagi Hermione, sepintas apa pun yang mereka lakukan untuk mengurangi tugas-tugasnya, tak mengurangi kebenciannya.

Merlin, bagaimana bisa nasib tak pernah berpihak padanya, padahal dia tak pernah melakukan hal yang salah?

Bagaimana bisa si pirang angkuh itu berbaring di sana dengan damainya sedangkan Hermione yang terus menerus menyetuhnya?

Saat bunyi tarr keras memecah keheningan, Hermione melihat Tiny tergopoh-gopoh membawa sebuah baskom di tangan kanan dan handuk ditangan kirinya. Ia memberikan pada Hermione dengan rasa hormat. Ketika Hermione menerimanya dan mulai membasuh tubuh Draco dengan handuk yang baru saja diperasnya, dia melirik Peri Rumah itu. Mulai risih ketika sudah beberapa menit, tapi makhluk itu tetap menatapnya ingin tahu.

"Apa yang membuatmu masih berlaku seolah-olah aku diatasmu?" kata Hermione, seolah-olah suara perempuan itulah yang sedari tadi ditunggunya, menciptakan ekspresi suka cita.

"Karena kami Peri Rumah yang baik, akan selalu taat pada kode etik bahwa manusia selalu mempunyai derajat yang tinggi bagaimana pun keadaannya, Nona." Hermione tidak merespon, masih berkutat dengan handuknya yang kini mulai mengusap pundak dan dada Draco. "terlebih lagi, Nona Hermione Granger adalah sahabat Harry Potter yang termasyur, jelas saja tidak mengurangi rasa kagum dan hormat Tiny yang baik padanya."

Ada yang menusuk hatinya ketika mendengar namanya dan nama itu ketika disebut. Namun Tiny tak akan tahu rasanya, karena dia melanjutkan.

"Seandainya saja Pangeran Kegelapan tak mencabut tongkat-tongkat sihir para penyihir keturunan Muggle, pastilah saja keadaan dunia tak akan seburuk ini, Nona. Tiny sedih sekali, namun seharusnya Tiny tidak sedih. Karena keluarga tempat Tiny yang malang mengabdi adalah keluarga setia pengikut Pangeran Kegelapan. Maka dari itu kesedihan yang Tiny rasakan dua kali lipat. Bahkan Tiny harus memasukan jari-jari Tiny ke perapian…"

Lalu ia menunjukan jari-jarinya yang kecil keriput dengan luka bakar yang hampir mengering. Hermione menatapnya prihatin. "Jangan seperti itu, Tiny. Kau hanya akan membuat majikanmu bertambah marah, dengan melukai dirimu sendiri pasti mereka sadar kau telah berlaku salah."

"Oh, Nona Hermione Granger yang baik hatinya, pembebas para peri, seandainya Tiny yang malang ini bisa—tapi Tiny harus menghukum dirinya sendiri atas perasaan-perasaan lancang itu." Dia berkata dengan air mata bercucuran secara tidak wajar.

Untuk pertama kalinya semenjak dia menginjakan kaki di tempat itu, Hermione tersenyum lembut. Dia iba sekali dengan Peri Rumah itu, mengingat seberapa kuatnya dulu ia mendirikan sebuah komunitas untuk hak-hak mereka. Namun ia hanya bisa bungkam, mengingat keadaanya sekarang yang jauh lebih menderita. Tiny dengan cekatan membantunya membasuh tubuh Draco di bagian kaki, sesekali matanya yang bulat dan besar mencuri-curi pandang pada Hermione dengan antusiasme yang tinggi. Mereka berkerja sama tidak lebih dari lima menit, sehingga sampai dimana Tiny pamit untuk mengambil ramuan makanan Draco.

Hermione menunduk, memandang lagi wajah si pirang.

Apa tujuan sebenarnya kau diciptakan, Malfoy?

.

Namun pertanyaan itu terjawab ketika tengah malamnya, Hermione kelabakan ketika sebuah insiden baru yang terjadi. Hal ini jelas menjadi pengalaman yang seru, karena dia akan mengalaminya lagi di waktu kedepan. Merawat seorang Draco Malfoy bukanlah hal yang cukup sebagai penyokong penderitaannya, dia melupakan detil-detil terkecilnya.

Narcissa Malfoy meraung-raung di depan pintu kamar Draco. Namun Hermione yakin, posisi itu di dapatnya karena Tiny telah menyeret tubuhnya dengan susah payah dari dalam kamar Draco. Mengintip dari celah pintu kamarnya, Hermione tak bisa melihat kondisi lebih memprihatinkan lagi. Dia tak melihat merah darah pada warna bibir ataupun olesan bedak di wajah Narcissa, yang tersisa hanyalah pucat pasi seolah tak dialiri darah.

Rambut setengah pirang-setengah hitam tak lagi disanggul tinggi dengan anggunnya—seperti yang Hermione ingat dulu. Yang ada rambut itu panjang berantakan, seperti tak pernah dirawat oleh pemiliknya. Ketika Tiny sudah kehabisan tenaga untuk mengendalikan Nyonyanya, Narcissa mulai meronta gila-gilaan, menendang Tiny jauh ke sudut dan bangkit kembali memasuki kamar Draco. Hermione membuka pintu kamarnya, Peri Rumah itu melihat Hermione, menggeleng ngeri. Dia tahu dengan hadirnya Hermione hanya akan memperkeruh keadaan. Setelah memberi isyarat pada Hermione untuk tetap tidak ikut campur, Peri Rumah itu berlari ke kamar Draco.

Lalu beberapa detik setelahnya, mendengar sesuatu yang pecah, meninggalkan semua keragu-raguannya, Hermione berlari menyusul ke dalam.

"Tak mau!" Hermione berhenti satu langkah di daun pintu, dia langsung disuguhi teriakan nyaring Narcissa. "…tak mau anakku disentuh oleh tangan kotor manapun! Tak akan sudi! Memang dia pikir, Draco sesakit apa sampai harus mempunyai pengurus seperti itu? Memang dia pikir, Draco tak bisa membasuh dirinya sendiri? Menyendok makanannya?"

Hermione hanya bisa membatu ketika pergolekan antara Tiny dan Narcissa terjadi. Berhasil melepaskan diri, Narcissa menghambur pada tubuh Draco. Cantik di wajahnya sudah memudar, yang tinggal hanya sisa-sisa kesedihan dan air mata membanjiri pipinya yang mulai menua.

"Tak akan kumaafkan perbuatannya! Lucius! Akan kuracuni makannya, lihat saja. Berani-beraninya dia membawa makhluk kotor lain ke rumah ini, berani-beraninya dia…" lalu suaranya tenggelam di dalam tangis yang pecah, menderu-deru dengan pedihnya. Hermione melihatnya iba, dia belum pernah melihat pemandangan seperti ini. Namun perasaan itu sirna seketika, seolah Narcissa sadar akan sesuatu, matanya beralih menatapnya. Hermione berjenggit ketika tangan wanita itu menunjuknya dengan liar. "Kau! Berani-beraninya kau menampakan wajah hinamu di hadapanku, berani-beraninya kau menginjak ubin-ubinku, menyentuh Draco-ku! Akan kubunuh kau…" suaranya tersendat dengan tangisan, sedetik berikutnya dia sudah kembali pada Draco, membekapnya erat. "…oh, Anakku, Anakku yang Malang. Akan kubayar dengan apapun yang kupunya, akan kuserahkan bahkan nyawaku sendiri…"

Lalu tangisannya menjadi tangisan memilukan. Akhirnya Tiny berhenti untuk menariknya, Peri Rumah itu menunduk lesu, menyeka kedua matanya dengan kain buluk yang dipakainya sebagai baju. Tak henti-hentinya Narcissa menciumi wajah Draco, menangis di pipinya, membisikan kata-kata paling menyayat hati ke telinganya. Hermione menghela napas, hanya berdiri mematung di sana selama setengah jam. Dia menatap pemandangan itu dengan masygul.

Kenapa Draco Malfoy diciptakan di dunia ini?

Seharusnya dia tahu, bahwa saat pertama kali melihat si pirang diseumur hidupnya, dia akan selalu menciptakan petaka baginya.