3

.

.

ANDAI saja Hermione mempunyai pilihan untuk lompat dari menara itu atau pergi mengurus Malfoy, maka tanpa berpikir panjang dia akan memilih yang pertama.

Tentu saja, tanpa pengawasan dari Tiny dan kekuatan magis yang mencegah berbagai macam perbuatan menyimpang di rumah itu, pasti dia telah melakukannya. Karena sudah seminggu tiga hari ia berada di sana, Hermione dipaksa menerima pelajaran baru yang tak dikehendakinya. Bagaimana tidak, saat dia membawa baskom berisi air dan handuk, berusaha setengah mati untuk tak melemparkannya karena melihat Yaxley tanpa tanda memasuki koridor tempat Malfoy bersemayam.

Lucius mengekori di belakangnya, raut wajahnya tampak terganggu. Sampai akhirnya, beberapa meter sebelum pintu kamar Draco dicapai, Lucius menahan pundaknya dengan ujung tongkatnya yang bengkok. "Kenapa begitu terburu-buru, Yaxley? Hal penting apa yang hendak kau sampaikan padanya?"

Yaxley, dengan rambut panjang diikat jatuh, mempunyai perawakan yang sama angkuhnya dengan Lucius, berbalik. Mengangkat sebelah alisnya. Bibirnya melebar samar—hampir membentuk sebuah senyum. Lucius membebaskan pundak itu dari tongkatnya. "Kenapa harus kukatakan padamu jika kubutuh Draco seorang?"

"Kupikir kita sudah tuntas membicarakan hal ini dalam judul semua miliknya adalah miliku juga. Bagaimana pun, Draco belumlah berumur untuk menanggung bebannya sendiri dalam menerima perintah."

"Jadi kaupikir, kau punya hak, bahkan jika Pangeran Kegelapan ingin memberikan sebuah penghargaan atau hukuman?"

"Semua yang terjadi pada Draco—ya." Jawab Lucius mantap, seperti sebuah desisan. "jadi lebih baik kau enyah, sebelum aku habis kesabaran dan membuat harga dirimu jatuh. Kuyakin bukan hal itu yang Pangeran Kegelapan inginkan saat kau datang ke sini."

"Wah, aku jadi semakin penasaran, Lucius." Sayangnya, alih-alih takut, nada bicara Yaxley malah semakin riang. "kira-kira apa ya, yang kausembunyikan dari kami semua? Kau yakin berkata bahwa Draco beberapa bulan terakhir ini berguru ilmu di Rumania setelah tugasnya yang terakhir?"

Mata Lucius menyipit berbahaya. "Satu kesalahan saja akan membawamu pada petaka yang tak kau kehendaki, Yaxley. Percayalah."

Yaxley tampak puas, namun tidak melanjutkan untuk berjalan terus keujung koridor. Dia hanya melirik pintu itu sebelum benar-benar berlalu pergi. "Kita lihat saja nanti, Lucius. Apakah kau benar soal lelucon Draco-yang-beristirahat-mu itu, ataukah aku, dengan segala prasangka ini. Tapi aku masih memberimu sela, selama tidak ada bukti, kita semua tak bersalah, kan? Jadi pergunakan waktu singkat ini untuk mencari cara agar kau lolos lagi."

.

Ternyata Lucius Malfoy menyembunyikan fakta mengenai apa yang terjadi sebenarnya pada keluarganya, Hermione menyimpulkan. Semua bukti itu terpampang nyata, melihat gerak-geriknya dan caranya bertipu muslihat—pastilah apa yang menimpa Draco bukan suatu hal yang layak diketahui oleh khalayak, menurut seorang Malfoy.

Hal itu pula yang membuat Lucius jarang sekali mengunjungi putranya. Terlebih ketika ia berhasil mengunci Narcissa di sayap barat. Tadinya kedatangannya untuk menyeret Narcissa pergi, menghalau kericuhan. Namun nampaknya setelah wanita itu terkurung, tidak ada lagi alasan bagi Lucius untuk ke sana.

Sungguh ironi.

Mengingat bagaimana dulu mereka berjalan penuh gaya di hadapan orang-orang, menampilkan kemurnian dan kebangsawanan yang mereka miliki. Dulu Hermione dari balik bukunya sering mendengar kedua sahabatnya berbincang di Ruang Rekreasi mengenai betapa menyenangkannya membayangkan Malfoy Manor kebakaran hebat dan Malfoy jatuh miskin seketika, sehingga mereka tak mampu lagi bertinggi hati. Bahkan mengangkat dagu pun tidak. Asik sekali membicarakan hal-hal seperti itu dulu, walau tidak mungkin terjadi. Mungkin apa yang terjadi hari ini hampir sama persis seperti apa yang mereka impi-impikan dulu. Akan sangat memuaskan pasti melihat Lucius Malfoy penuh ketakutan menyembunyikan anaknya yang sekarat.

Mengingat masa lalu membawa Hermione ke berbagai kenangan yang indah—namun bersarang menyakitkan di hatinya. Ketika dia menatap wajah Draco pada malam hari, dimana dia sulit tidur dan kembali ke kamar Draco (dia suka berada di kamar itu, karena mempunyai balkon yang luas dengan pemandangan hamparan pepohonan, langsung memperlihatkan bukit-bukit dan langit—sedangkan kamarnya berjendela pun tidak, pikirnya pahit) barang berdiri diam sampai lewat tengah malam pada balkonnya, dia selalu teringat akan masa lalunya. Dulu dia, Harry dan Ron pernah berdiri di Menara Astronomi. Bahkan dia dan Harry pernah membawa Norbert—naga Norwegia bersisik milik Hagrid yang baru menetas secara illegal di gubuknya—untuk diserahkan pada teman-teman Charlie ke Rumania.

Kini dirinya terkungkung di sini. Melakukan hal-hal di luar akal sehatnya dulu. Dia berlalu, masuk ke dalam dan menutup pintu. Sudah lewat tengah malam, namun kantuk tak segera mengampirinya. Maka, mematung beberapa saat melihat sekeliling kamar, tatapan Hermione berhenti pada Draco. Dia melihat sisi wajahnya, rambutnya yang mulai keluar dari tatanan dan rambut-rambut yang tumbuh disekitar dagu serta pipi. Mencari sesuatu yang tak terlalu diharapkan untuk menemukannya, Hermione mencari gunting. Dan ia menemukannya. Segera saja menghampiri Draco lagi—perlahan-lahan ia memotong rambutnya. Berawal di bagian sisinya, lalu belakang—Hermione agak mengangkat tengkuk Draco untuk itu—dan terakhir di bagian atas.

Lalu dia meraba pipi Draco dengan lembut oleh salah satu mata guntingnya—hingga terus kebawah hingga dagu. Pekerjaan itu teramat seru, sehingga tanpa sadar sudah hampir pukul dua pagi. Dia teringat semua perbuatan itu pernah dilakukannya dulu, selangkah sebelum kekacauan ini dimulai. Dimana dia dan Harry bersembunyi di salah satu lembah di pinggiran Yorkshire. Hermione pernah memotong rambutnya, sekali.

"Lain kali jangan biarkan aku memotong rambutmu lagi, Harry."

Karena tidak akan ada lain kali itu. Bahkan tidak lagi bagi Hermione untuk menyentuh rambut hitam yang berantakan—barang menatap mata hijaunya lagi pun tidak.

Dia bertanya-tanya, sekaligus berharap dalam hati, kenapa Kementrian hanya merampas tongkatnya saja, tidak sekalian ingatannya?

.

Hermione terbangun dengan mimpi yang aneh.

Dia berada di kamar itu dengan sebuah bayangan hitam masuk melalui pintu balkon. Dia melihatnya sekelebat, karena jubahnya berkibar sehingga menyamarkan sosoknya. Dia pikir itu Harry—karena ketika dia mencoba memanggil namanya, dia seperti terjatuh tersedot kedalam lubang yang dalam dan mimpi itu buntu di sana.

Hermione menegakan kepalanya, menyipitkan mata untuk memastikan lebih jelas bahwasannya ia tertidur di kamar Draco. Dan ketika menoleh, mendapati Tiny yang sudah menatapinya dengan kedua bola mata besar yang mengejutkan.

"Ya ampun, kau hampir membuatku secara refleks menamparmu, Tiny."

Si Peri Rumah dengan cekatan berpindah, dia sudah menyiapkan baskom dan handuk di sisi tempat tidur Draco. Dia tersenyum lebar, hari itu tampaknya lebih bersemangat dari biasanya—walaupun Tiny tidak pernah tidak semangat. "Jangan sampai terlewat, Nona. Jangan sampai terlewat!"

"Apa maksudmu?"

"Hari ini Tiny yang baik harus mempersiapkan pertemuan yang diadakan di ruang lantai dasar. Tiny banyak sekali pekerjaan!"

Hermione kali ini tidak bisa menyembunyikan keingin tahuannya. "Pertemuan macam apakah itu?"

"Sebenarnya Tiny tak boleh bilang orang luar, begitu instruksi Tuan. Tapi Nona kini telah berada di dalam, jadi Tiny yang patuh tak salah." Celotehnya, lalu melanjutkan dengan semangat membara. Matanya yang bulat besar menatap sekitar was-was. "Pangeran Kegelapan akan berkunjung, petinggi-petinggi Pelahap Maut akan mengadakan perjamuan malam ini. Hanya sekedar pertemuan rutin bulanan. Dua bulan lalu di rumah keluarga Greengrass, sebulan lalu di keluarga Nott dan bulan ini pada keluarga Malfoy. Sebetulnya, sebelum Tuan Muda Draco jatuh sakit (mata Tiny berkaca-kaca saat melihat tubuh Tuannya, lalu sekejap bersemangat lagi saat menatap Hermione) pertemuan itu terus dilakukan di Malfoy Manor. Namun Tuan Besar tidak mau orang-orang tahu mengenai apa yang menimpa Tuan Muda, oh malang sekali Tuan Muda, Tiny menderita sekali sangking sedihnya,"

Hermione tidak merespon beberapa saat, dia sepintas berpikir akan sesuatu. Dari dulu dia selalu tahu mengenai perkembangan dunia masa kini. Tapi tentu saja tak secara bebas bisa di dapat informasi-informasi itu oleh budak seperti dirinya. Saat ia berada di Rumah Bordil, tentu saja Daily Prophet tak lagi memberikan informasi sebagaimana mestinya. Ia sudah muak dengan apa yang ditulis dalam sampah-sampah itu—tapi ia selalu tahu yang sebenarnya.

Tentu saja hal-hal yang ada dalam pikiran Voldemort tak akan dituangkan di dalam Daily Prophet. Dan semuanya akan terpampang jelas hari ini—di rumah itu. Hanya beberapa meter bagi Hermione, beberapa meter saja semua yang dia ingin tahu ada di sana.

Tapi tentu saja tak akan semudah kelihatannya.

"Apakah kau tidak kerepotan Tiny, mempersiapkan semuanya sendirian? Kupikir aku bisa membantumu di belakang—tanpa dilihat siapa pun…"

"Oh, Nona Hermione Granger yang mulia hatinya, Tiny terharu sekali…" wajah Tiny sudah bercucuran air mata. Tapi beberapa saat dia menggelengkan kepala dengan sedih, matanya merah memandang takut-takut ke pintu. "tapi Tiny hanya boleh bekerja sendirian. Sudah tugas Tiny sebagai Peri Rumah demikian."

Hermione tidak berusaha lebih jauh lagi, dia pikir semuanya memang sudah gamblang—dia tak akan pernah bisa menyentuh ke titik itu. Setelah selesai membasuh wajah Draco, dia mulai mengambil mangkuk ramuan makanannya. Hermione memasukan sepuluh sendok ramuan ke dalam mulut si pirang. Dia ingin mengesampingkan harapan-harapan baru yang muncul di kepalanya, tapi ia tak bisa.

Lalu saat Tiny membereskan semua peralatan, dan mengambil nampan—hampir mau ber-Dissaparate, Hermione dengan nekat bicara padanya. "Tiny!"

Tiny mematung, menatap Hermione penuh harap. "Ya, Nona Hermione?"

"Kupikir…um, akan sangat senang sekali diriku jika kau membawakan beberapa buku. Aku hampir mati kebosanan di sini!" Hermione tidak sepenuhnya bohong, tapi jelas semua itu ia katakan hanya karena ada sesuatu yang melintasi pikirannya.

"Wah, tepat sekali! Mungkin bisa ke perpustakaan jika Tiny sedang membersihkannya!"

"Manor punya perpustakaan?" Hermione terperangah, tamak akan pengetahuan yang dulu bersarang di sifatnya, membuncah. "boleh aku ke sana? Hanya untuk melihatnya, memilih buku yang akan kubaca?"

"Tentu saja boleh!" Tiny riang sekali melihat ekspresi wajah Hermione, seperti membagi-bagikan permen kepada anak kecil saat Hallowen. "tapi mungkin lusa, ketika Tuan Besar harus pergi memenuhi tugasnya. Nah, Tiny harus segera pergi, kalau begitu!"

Hermione memandang udara kosong setelah bunyi tarr keras, dalam hati berharap-harap, jika memang waktu itu datang—ia harus mempergunakan semua kesempatan sebagaimana mestinya. Hermione sama sekali tak tahu apa yang akan ia lakukan, bahkan untuk merencakan sesuatu. Tapi di kepalanya, terus meronta-ronta pemikiran bahwa ia harus menjelajahi Manor. Hermione lagi-lagi teringat akan kenangannya di Hogwarts dulu, mendapat pelajaran tak ada ruginya jika ia tahu lebih. Bahkan seringkali membawa Trio Gryffindor itu ke suatu hal yang menabjukan. Jadi, kenapa sekarang ia tak bisa mencapai impian itu? Barangkali dia bisa menemukan sesuatu—benda berkekuatan magis hitam—apa pun, yang membawanya pada berita baru.

Alih-alih kemajuan dalam dirinya.

Sampai pada hari dimana Tiny berjanji akan membawanya ke Perpustakaan Manor, Hermione segera saja bangun lebih pagi dari biasanya. Dia terbelalak ngeri saat melihat pintu balkon kamar Draco menjelebak lebar—membuat angin pagi bertiup masuk dan pastilah hal itu yang membuat tersibaknya selimut yang dipakai Draco. Ia lupa menutupnya semalam, maka dengan cekatan, ia segera menghampirinya, menyelimuti cowok itu dengan benar. Rambut yang pernah di potongnya beberapa hari lalu, menutupi dahinya. Hermione menyingkirkan helaian rambut pirang itu, menyisirnya dengan jari-jarinya.

Dia melihat wajah Draco, hal yang kini rasanya sudah menjadi nama tengahnya. Sebenarnya, ia lupa apakah iapernah berpikir—barang sekali di hidupnya—bahwa cowok itu mempunyai wajah yang tampan?

Pikiran itu muncul, sama halnya seperti Hermione yang sudah lupa kapan terakhir kali membasuh tubuh Draco dengan bersungut-sungut dan tekanan yang di luar batas. Atau menyendoki ramuan makanannya terlalu dalam, hingga mungkin bisa menusuk kerongkongannya. Yang jelas, kini ia mulai jengkel jika ada hal-hal yang terjadi pada Draco di luar apa yang dia lakukan, seperti misalnya Tiny yang lupa mengangkat baskom di sisi tempat tidur Draco hingga larut malam—karena akan mempersempit ruang bagi tubuh Draco, walaupun cowok itu tak akan pernah bergerak—atau pada mangkuk sisa ramuan makanannya yang terlalu lama, hingga menimbulkan bau tak nyaman.

Dia pernah terheran-heran. Waktu itu adalah kunjungan terakhir Narcissa sebelum ia dikunci di sayap barat. Pagi sekali wanita itu berkunjung, sehingga Hermione masih dengan pakaian tidurnya berlari gila-gilaan sampai menabrak daun pintu kamarnya sendiri. Ia kenal dengan jeritan Narcissa, namun sepertinya kali ini ada suara dalam lain yang menemaninya. Ia menerobos teriakan sumpah serapah dari lukisan Abraxas Malfoy—lukisan yang termpampang dekat pintu kamar Draco—dan benar saja, ketika ia sampai pada pintu kamar Draco—yang telah terbuka lebar—Lucius dan Tiny sepintas seperti tengah melakukan pertarungan Gladiator, bergulat seru di lantai, memegangi Narcissa yang sepertinya sudah tak tahu lagi siapa dirinya. Ada perasaan aneh yang merambat ketika Narcissa mulai menghambur pada Draco, menjatuhi tubuhnya dengan berat tubuhnya sendiri. Sepertinya wanita itu tak sadar akan kekuatan yang diciptakannya.

Maka dengan kelabakan, serta panas yang tak diketahui merambat di kepalanya, Hermione secara asal menyabet tongkat sihir Lucius yang tergeletak di lantai. Melontarkan Mantra Pengikat Tubuh, Narcissa langsung membatu. Bahkan Lucius dan Tiny demikian, padahal tak terkena mantra tersebut.

Akibat kelancangan itu, ia dihukum lima puluh cambukan secara sihir di punggung oleh Lucius. Dengan deraian air mata Tiny yang membantu menghitung di sisinya.

Namun hari ini, jauh dari kejadian gila yang belum dipahaminya itu, ia dan si Peri Rumah keluar secara mengendap-endap dari pintu kamar Draco, menguncinya perlahan. Mereka menghindari—sampai sadar bawa sia-sia saja karena baru dua detik saja, mereka sudah mendengar lukisan Abraxas Malfoy berterikan dengan marahnya.

"Turunan kotor! Terak lumpur dan binatang hina! Berani-beraninya kalian injak karpet Turki-ku dengan kaki brengsek kalian—"

Lalu mereka berlari menuju ujung koridor. Si Peri Rumah melompat-lompat riang saat menyusuri koridor selanjutnya, menaiki puluhan anak tangga yang berputar, berjalan ke sebuah koridor yang agak gelap dan sempit, mereka di hadapkan ke dua belah daun pintu besar yang lengkungan atasnya terukir mater atrium necessitas—kebutuhan adalah induk dari pengetahuan, Hermione pernah membaca adagium itu di beberapa buku dulu. Yang jelas, ia senang sekali bisa terbebas dari koridor itu. Barang untuk beberapa waktu saja.

Ketika masuk ke dalam, ia dibuat terperangah melihat pemandangan di hadapannya. Ratusan rak buku, yang berisi ribuan buku—Hermione sulit untuk mengira-ngira—terpampang bebas. Beberapa detik terdiam dengan mulut setengah terbuka, Hermione perlahan-lahan menyusuri rak-rak panjang itu. Jari-jarinya menyentuh buku-buku yang ia lewati. Semua kemuraman di hidupnya terasa sirna—tak perlu lagi ia menyembunyikan buku di bawah ubin atau mencuri-curi di bawah tempat tidurnya untuk membaca. Ia sudah mendapatkan semua yang ia inginkan.

Hermione terus berjalan ketika ia sampai pada arak-rak yang menarik perhatiannya. Dia menyabet beberapa buku di setiap rak yang dilewati. Rak ramuan, sejarah—bahkan dia sampai pada buku terakhir, Sihir yang Tak Seharusnya. Lalu pelukan penuh buku, ia menuju sebuah sofa hijau nyaman—dekat dengan perapian. Sofa itu merupakan pusat dari ratusan rak buku yang ada di sana. Ketika ia melirik jam dinding tua dengan angka-angka Romawi, ia baru sadar ternyata sudah hampir tiga jam ia berada di sana, hingga dengan amat sedih, seperti akan berpisah dengan belahan jiwa.

Berhasil mengakali Tiny dengan berbagai alasan tak masuk akal—namun dengan riang Peri rumah itu mempercayainya, ia diperbolehkan membawa satu buku ke kamarnya. Maka dengan suka cita, mereka kembali ke koridor itu. Setelah memberi sepuluh sendok ramuan makan ke mulut Draco yang tertutup rapat, Hermione merapikan rambut yang berantakan menutupi dahi cowok itu. Ada beberapa tetes keringat di sana—Hermione mengernyit. Udara cukup sejuk untuk mengeluarkan keringat begini, tapi dia hanya membelai dahi itu dengan telapak tangannya. Lalu beberapa menit kemudian di samping ranjang, Hermione telah berkutat dengan bukunya.

Sampai sudah hampir satu jam kemudian, Tiny tiba di kamar dengan bunyi tarr seperti biasa. Ia membawa baskom dan handuk sebagai persiapan basuhan untuk Draco sore itu. Ketika selesai membereskan kamar, dengan sekali jentikan tangan lantai bersih—jentikan kedua debu yang menempel pada perabotan menghilang, ia tergopoh-gopoh mendatangi tempat Hermione terpekur. Si Peri Rumah tak terlalu pandai membaca—namun terbata-bata ia paksakan saat melihat sampul buku dimana Hermione menenggelamkan wajahnya. "Kon..trra…ku…tu…kan…hi…dup…ba…gai…m—ma…ti."

.

Kalau diperhatikan lebih jelas lagi, ternyata pakaian-pakian yang diberikan oleh Malfoy selama hampir sebulan terakhir tidaklah terlalu buruk. Walaupun dia tidak suka modelnya, dress bunga-bunga norak sebetis dengan tali di pinggangnya. Dia teringat akan sebuah kisah-kisah klasik Muggle, tentang seorang anak sebatang kara yang hidup miskin di hutan belantara, sehingga tak tahu harus menggunakan apa untuk pakaian sehingga memakai sisa-sisa karung goni sebagai bahan. Tampak seperti pakaiannya.

Tapi setidaknya, lebih layak dibanding pakaian budaknya dulu. Walaupun Theodore pernah membelikannya baju-baju bagus yang agak modern, tetap saja ia tak diperbolehkan membawa apa pun saat memasuki Manor. Jadi setelah sampai pada pintu depannya ketika ia tiba pada saat ia dan Lucius melangkah masuk, Hermione diperintahkan untuk meletakan tas jinjingnya ke dekat pintu. Dan dengan satu lambaian tongkat ringan, kobaran api sudah melahap tasnya. Ia tak memiliki apapun yang tersisa—barang-barang bagus yang pernah dibelikan Theodore untuknya, semua jadi abu.

Tapi Hermione tidak terlalu peduli. Dia waktu itu hanya gelisah pada nasibnya.

Sebenarnya, ia mulai agak senang dengan suasana di rumah itu. Dia butuh sekali ketenangan seperti ini, Narcissa sudah tak pernah datang untuk mengamuk, Lucius sering berpergian karena tugas yang tak jelas—Hermione curiga ia hanya berusaha menghindari suasana rumah dibanding benar-benar bertugas—dan Tiny yang sudah seperti sahabatnya sendiri. Peri Rumah itu memang agak bodoh, karena ia selalu mengatakan apa yang Hermione dengar dan mudah tekena tipu muslihat.

Hermione tahu bahwa ia dan Tiny pernah mengendap-endap ke dapur untuk memasak sebuah menu—Hermione membujuk Tiny hanya untuk membunuh kebosanan yang ada, karena Lucius sudah hampir satu minggu tidak pulang—dan pada masakan pertamanya, rasa pai daging yang pernah di pelajari dari ibunya sebelum ia menghilangkan ingatannya dulu rasanya lebih mirip muntahan kucing daripada makanan apa pun yang ada di dunia ini. Tapi Tiny berkata penuh semangat dan mata berkaca-kaca bahwa pai itu adalah pai paling lezat buatan manusia yang pernah dicobanya. Karena mungkin memang Tiny tak pernah makan masakan manusia manapun, pikir Hermione masam.

Atau mungkin, ketika Hermione tanpa disadari Tiny sudah menyelundupkan lebih dari sepuluh buku ke dalam kamarnya. Karena tak terlalu pandai membaca, Tiny dengan terheran-heran, alih-alih menganggap buku yang ada di perpustakaan itu mempunyai kekuatan magis, karena ia berseru takjub, "Wah, Nona! Sampul bukunya bisa berubah-rubah, apakah warna-warna itu muncul sesuai dengan keinginan si pembaca?"

Hermione dengan susah payah menenggelamkan wajahnya dalam halaman buku yang dibacanya, menahan tawa. Namun ia tak tega melakukan hal lebih dari itu untuk mengakali si Peri Rumah.

Mereka banyak sekali mengahiskan waktu berdua. Setelah kewajiban Hermione selesai mengurus Draco, dan sepulangnya Tiny dari sayap barat untuk mengurus Narcissa, mereka habiskan waktu untuk ngobrol, menjelajahi Manor, atau bahkan tak melakukan apa pun. Tiny pernah bercerita mengenai posisi keluarga Malfoy sebelum sakit, hampir setiap hari selalu ada kegiatan di sana. Karena bisa dibilang diumur semuda itu, setelah keluar dari Hogwarts, Draco pernah memimpin beberapa penyerangan dan menjadi otak dalam rencana besar-besaran. Bahkan seringkali Draco melayani Pangeran Kegelapan sendirian, seolah-olah hampir menjadi tangan kanannya.

Hermione pernah bertanya, apakah ia tahu penyebab Draco sesakit ini. Tiny dengan mata berkaca-kaca, menjelaskan bahwa Penyembuh mana pun bahkan belum pernah melihatnya, mereka harus mencari dulu buku-buku yang melukiskan kutukan itu, sehingga mereka akan membuat penawarnya—kalau ada. Ini seperti sihir kuno—namun baru ditemukan obatnya di masa yang modern. Yang jelas, Hermione mendengar Tiny bicara seraya terisak-isak, bahwa Draco telah ditemukan seperti ini setelah melakukan sebuah 'tugas'. Mereka beruntung yang menemukan Draco adalah beberapa orang kepercayaan Lucius. Karena, jika sampai saja ia ditemukan oleh tangan yang salah, Draco pasti akan langsung dibunuh.

Maka tiba hari ini, ketika memasuki bulan Oktober, musim gugur pertengahan, Hermione menutup pintu balkon padahal masih pukul dua sore. Udara hari itu dingin—ia terpaksa harus membungkus tubuhnya dengan selimut yang diambilnya dari lemari Draco. Tiny belum nampak sedari memberikan baskom dan handuk serta ramuan makan siang. Ia curiga mungkin Lucius telah kembali dari liburan panjangnya, jadi ia kembali berkutat pada bukunya. Lemabaran tiga ratus dua puluh empat.

Sore itu, saat matanya sudah hampir tertutup, Hermione hampir melompat dari kursinya saat mendengar Tiny datang. Matanya merah mengerikan, pertanda habis menangis dan kepala sebelah kirinya terdapat luka memar—yang nampaknya baru ia dapat.

"Apa yang terjadi, Tiny?" Hermione menegakan tubuhnya, kantuknya hilang.

Sekejap, Hermione sadar bahwa tangan kanan makhluk itu tersembunyi di balik kain bajunya yang compang-camping, karena mungkin ia mempunyai luka yang lebih parah. Namun hatinya mencelos ketika alih-alih tangan setengah terbakar atau patah—Tiny mengeluarkan kertas tebal lusuh dari sana. Sekilas saja Hermione sudah menyadarinya. Daily Prophet.

Hermione terperangah ketika tangan Tiny dengan berat dan susah payah terjulur, memberikan Koran itu pada Hermione. Ia tahu bahwa hal ini menjadi pergolekan hebat antara naluri dan moral Peri Rumah itu. Di satu sisi pasti hal ini adalah hal yang melebihi batas kemampuannya, sebagai Peri Rumah tak seharusnya ia berlaku memihak pada yang bukan Tuannya. Tapi toh akhirnya, Tiny berada di sana. Setelah menghukum diri sendiri, tentu saja.

Saat Hermione menggapai Koran itu dan membukanya, rasanya jatungnya telah merosot pindah ke perut ketika membaca sampul depannya, dengan foto bergerak, ia melihat foto Kingsley Shacklebolt terpampang di sana, bergerak ditengah hirup pikuk flash kamera yang menghantam wajahnya.

DIA AKAN KEMBALI

(04/10) Mungkin tak asing lagi mendengar namanya, apalagi melihat tampangnya. Tentu saja selain pernah menyamar menjadi Asisten Perdana Menteri Muggle di separo hidupnya, Kingsley Shacklebolt kini masuk ke daftar 'Buronan Paling Diinginkan'. Setelah kemunculannya secara tiba-tiba di halaman Kementerian, Shacklebolt melepas tudung yang dikenakannya—dan langsung saja disambar oleh beberapa wartawan yang biasanya bertengger di sana. "Akan ada waktu dimana kalian menyesali tempat kalian berdiri sekarang, sudah kuperingatkan. Dia akan kembali, Harry Potter akan kembali." Tentu saja, setelah melakukan jumpa pers yang tak direncanakan itu—sosoknya tiba-tiba menghilang. Bahkan beberapa wartawan sempat dibuat keder dengan asapnya, yang di duga mengandung Hirup Bagai Gila… (bersambung ke hal. 2)

Hermione berhenti membaca, bukan karena selesainya tulisan itu pada sampul pertama. Ia juga tak membalik korannya dan segera menuju halaman selanjutnya. Tapi ia membeku, pikirannya melayang ke tempat yang jauh—yang ia sendiri tak tahu kemana.

Dia pernah berdoa dulu sekali—sebelum hidupnya sekacau ini—agar semua keburukan biarkan saja hanya menimpa dirinya seorang dengan kedua sahabatnya terbebas. Dengan begitu mereka bisa membantunya keluar dari semua penderitaan ini. Namun lama kelamaan, seperti nasibnya yang makin terombang ambing tak karuan, ia mulai berhenti berharap. Dan tak lagi ingin membicarakan mereka pada siapa pun, bahkan dengan pikirannya sendiri. Ia tak mau lagi membuat hatinya jatuh untuk kedua kali, karena tak sanggup ia menanggung pedihnya.

Jadi, ia melipat Koran itu. Menyerahkan kembali pada Tiny, ia tersenyum lemah. Sesuatu yang susah payah ia paksakan. "Kau harus membakarnya sebelum Tuanmu sadar akan kehilangan sesuatu,"

Tapi air mata telah membanjiri wajah Tiny. Nampaknya tak perlu Hermione mengatakan apa yang ia rasakan, semua sudah terpampang jelas di wajahnya. Hermione menatap Peri Rumah itu dengan sedih. Perlahan, dengan gerakan yang lemah, ia meninggalkan Hermione. Menjentikan jarinya dan menghilang.

Lalu sisa sore itu dihabiskannya dengan menatap pintu balkon yang terbuka. Udara teramat dingin, namun Hermione mengabaikannya. Ia masih memeluk buku. Ia sudah berkali-kali membaca halaman tiga ratus dua puluh empat, namun sepertinya kata-kata dalam buku itu menembus pikirannya, dan tak mau bersarang. Hingga sampai pada sesuatu yang ia cari—setelah setengah mati menampik pikiran akan kejadian sore tadi—ia menemukan satu paragraf yang membuat dadanya membumbung dipenuhi kebahagiaan. Dalam buku Kontra Kutukan Hidup Bagai Mati yang sudah dibacanya hampir seminggu, Hermione menemukan sub judul penyakit yang ciri-cirinya sama seperti yang dialami Draco. Semuanya benar, memadai. Hidup bagai mati karena kutukan-di sana disebutkan salah satu kutukan Verbal Modern, yang dilakukan oleh beberapa penyihir, dan baru ditemukan di abad ke Sembilan belas. Kutukan Hexonus. Hermione baru pertama kali mendengarnya, lalu dahinya mengernyit makin keheranan ketika membaca bait selanjutnya.

Kontra Kutukan Hexonus merupakan yang terbaru ditemukan—ia memulai, membaca kalimat itu dalam hati. Dan—kau harus memotong salah satu bagian tubuh si penderita kutukan, untuk menghilangkan efek hidup bagai matinya. Jika tidak, maka sampai waktu yang tak bisa diperhitungkan, akan terus berada di keadaan yang sama—alis Hermione hampir bertautan, sangking kerasnya ia berpikir.

Ia membaca bait itu—bait-bait selanjutnya yang tidak ada hubungannya, hingga membalik halaman selanjutnya. Tidak ada cara lain, hanya memotong salah satu bagian tubuh dari si penderita. Maka, ia menatap Draco. Matanya sayu. Sudah hampir pukul dua pagi, namun ia masih ingin berusaha keras, mungkin saja ada ramuan. Ia tak akan memotong satu apa pun dari tubuh si pirang…

.

Hermione dibangunkan dengan dinginnya angin yang berhembus liar menerpa wajahnya. Ia membuka mata perlahan, dia mulai bermimpi aneh lagi. Bahkan bayangan itu tampak makin nyata setelah ia mengerjap. Namun, Hermione hampir mati di tempat sangking terkejutnya, karena bukan lagi sekelebat bayang hitam yang hadir di mimpinya. Melainkan dua bola mata biru-kelabu yang persis di depannya, berhadapan dengannya. Namun ia melupakan sesuatu. Bukan mimpi namanya, jika ia merasakan tubuhnya berjenggit karena terkejut.

"Menikmati tidurmu, Granger?"


A/N : terima kasih semua yang sudah bersedia untuk membaca dan review. Mungkin story saya yang satu ini agak berbeda dari yang lain but here you are. Sempat baca review yang bilang 'apa akan disembuhkan oleh kekuatan cinta?' No, it's not kind of that story. Haha. Saya sedang membutuhkan kritik dari para pembaca yang budiman. Mungkin you guys agak bosen karena fict ini terkesan kebanyakan narasi tapi mungkin di chapter-chapter selanjutnya akan mulai pada konflik sebenarnya. Semoga hari-hari kalian menyenangkan! Salam...