4

.

HERMIONE akan memberikan apa saja, melakukan apa pun. Asal dia segera bangun dari mimpinya yang mengerikan, membuang sepasang bentuk mata biru kelabu itu dari ingatannya. Tapi dia terpancang, tak bisa menggerakan tubuhnya, bahkan menggeser gigi-giginya. Dia begitu berharap bahwa tangan kurus kecil berbonggol menggoyahnya dan mata bulat menonjol Tiny-lah yang dia lihat. Bukan ini, bukan dia…

"Jadi," rasanya Hermione sesak napas sangking cepatnya jantung terpompa mendengarnya bicara. "kau pikir aku masih bagian dari tidur siang sialanmu?"

Draco bergerak sangat lambat, mengusap dahinya. Seolah dia sangat berhati-hati jika saja sendinya bisa lepas karena itu. Hermione menegakan tubuhnya, masih menatap sosok itu dengan seksama. Dia tak mungkin masih bermimpi jika dia sendiri rasanya bisa mendengar dan merasakan hentakan di dadanya. Seperti jenis sihir pengendalian, Hermione terpancang ditempatnya. Serasa janggal dia duduk, berhadapan dengan Draco yang duduk di seberang—terhalang oleh tempat tidur olehnya.

Hermione menimbang-nimbang, menghadapi Draco segamblang ini seperti membutuhkan persiapan yang matang. Tak bisa semendadak ini, rasanya dia baru saja menerima sebuah ultimatum. Namun dia sendirian, tak bersekutu, tanpa tameng. "Kau tak berharap bisa duduk seharian di sana dan terus-menerus menatapku seolah aku bangkit dari kematian kan,"

Tapi sayangnya, Hermione memang berpikir demikian. "Apa yang terjadi padamu?"

"Mungkin bukan sebuah pertanyaan yang cocok antara kita—" jari Draco menunjuk dirinya dan Hermione dengan malas, seperti mengusir lalat yang berdesing diwajahnya. "mengingat apa dan siapa kau dan aku ini."

"Maaf? Apa dan siapa?"

"Kau itu apa dan akulah siapa,"

Wajah yang tadinya bingung bukan kepalang tergantikan oleh rahang yang mengeras, dahinya berkerut, ada berbagai macam muntahan kata-kata yang ingin Hermione sampaikan pada si pirang. Namun dia memutuskan untuk menelannya lagi, mengatupkan mulutnya rapat-rapat walaupun rasanya sangat memuakan. Baru beberapa menit dia bangun dari sekaratnya, beberapa kata yang keluar dari mulutnya, namun dia telah mampu menyulut amarah Hermione sedemikian cepat.

Dengan galak Hermione bangkit, melempar pandangan penuh permusuhan pada Draco. Sebelum memutuskan untuk pergi ke pintu, namun suara cowok itu menghentikannya lagi. Selalu. "Mau kabur ya? Atau menangis di kamarmu yang mirip sangkar burung itu?"

Hermione menatapnya, Draco balas menatapnya. Mata biru-kelabu itu masih merendahkan seperti dulu. Sanggup mencemoohnya tanpa kata-kata. "Membungkam mulutmu,"

"Dengan apa misalnya? Tongkat sihir? Aku ragu kau masih ingat Kutukannya, Granger."

"Oh, kita lihat saja aku bisa apa." Mata Hermione menyipit, kepalanya panas. "tidak ada orang di Manor, seekor peri-rumah. Aku penasaran kata-kata kotor apalagi yang keluar dari mulutmu, dan tidak sabar memberikanmu pelajaran yang berharga."

Tapi memang Malfoy-lah namanya jika dia akan melakukan hal itu ketika itu sebuah peringatan atau larangan. Bahkan lebih parah. Sekarang Draco bangkit dari duduk nyamannya. Dengan jubah tidur hitam panjang yang tertiup angin dari balkon, rasanya dia seperti siluet. Hermione menyadari betapa kurusnya tubuh itu. Tapi dia mulai siaga ketika Draco berjalan pelan—sangat perlahan kearahnya. Memberikan kesan buas pada mangsa incarannya. "Aku tak butuh siapapun, atau apapun untuk menghadapimu, Darah-Lumpur." Dua kata terakhir itu selalu dikatakan dengan khasnya. "aku bahkan bisa mematahkan lehermu dengan jari-jariku."

Hermione terpaku, berusaha keras agar Draco tak mencium kegentaran di matanya. Dia menatap setiap pergerakannya, melangkahkan kearahnya, seolah benar-benar menikmati kewaspadaan yang membara di hati Hermione sehingga membakar sedikit demi sedikit keberanian yang tersisa. Draco menghentikan langkahnya, menyisakan beberapa senti dari keberadaannya pada Hermione. Seolah memberi izin pada Hermione untuk menghirup napas sebelum benar-benar merenggut hal itu darinya. Wajah Draco mengeras, sebelum mengernyit saat menatap mata cokelat Hermione lebih dekat. Menyondongkan wajahnya, sampai pada posisi yang tak pantas.

Mata itu memandangnya seolah dia belum pernah melihat sesuatu sehina itu.

"Tapi tak pernah kusentuh sesenti pun darah-kotor yang pernah ada selama aku hidup. Tak akan pernah. Karena hanya dengan menatapnya saja serasa mampu membuat kulitku terbakar dengan kebencian yang hina teramat sangat."

Hermione tak bergeming, tapi matanya perih karena tak berkedip terlalu lama.

"Aku menganggap apa yang telah kaulakukan selama ini adalah hal yang sepantasnya kaulakukan, kaum kalian lakukan. Tak mengurangi atau melebihi status itu. Dengan begitu, kau akan tetap pada tugasmu. Datang disetiap pagi dan enyah disetiap malam. Tutup mulutmu dari orang-orang atau siapapun, anggap kau tak melihatku bangun pagi ini dan seterusnya. Jangan ada seorangpun yang tahu tentang ini, bahkan ibuku sendiri."

Draco membuat jeda, membiarkan hanya suara napas mereka yang saling bersautan tersisa di sana. Sebelum akhirnya matanya menyipit berbahaya.

"Enyahlah, Granger. Atau menginjak ubin-ubin rumahku adalah hal terakhir yang bisa kaulakukan."

.

Enyah? Enyah.

Seperti de javu. Ada momen dimana dia seperti pernah mengalami perasaan ini, kembali pada saat dia ingin pergi dari Manor. Hermione sudah hampir satu jam masih berkutat di halaman yang sama—Sihir yang Tak Seharusnya. Dia ingin seseorang yang menciptakan penemuan itu untuk menyembul di hadapannya sekarang juga dan menjelaskan semuanya. Dia sudah berkali-kali membaca paragrafnya, mungkin dia akan mendapat nilai Outstanding jika buku ini masuk ke dalam mata pelajaran tingkat O.W.L-nya. Tapi tetap saja, dia hanya menghafal semua kata-katanya tanpa benar-benar mengerti secara pasti apa artinya.

Mungkin dia bisa tahu jika pikirannya tak sekeruh ini. Bayangan Draco yang seperti bangkit dari kematian membuatnya hampir gila. Dulu mengurusnya yang seperti mati saja menyiksanya teramat sangat—namun setelah dia mulai terbiasa, kenapa makhluk itu harus bangun dan menjungkir balikan keadaan? Dan kenapa dia—Si Anak Yang Bertahan Hidup Dibawah Ketiak Orang Tuanya—tak ingin siapapun tahu tentang keadaannya kini?

Bukankah akan menjadi sebuah kabar menabjubkan, seperti yang diketahui Hermione selama ini tentang Lucius yang menjadikan sekaratnya Draco adalah sebuah bencana, bahwa sekarang Draco telah bangun, sembuh dan sehat walafiat?

"Sebetulnya apa yang Nona risaukan?"

Dia tak menatap Tiny pada saat itu, enggan untuk menanggapi pertanyaan yang sudah kesekian kalinya ia ajukan. Mereka berdua sudah mengetahui sebuah fakta—namun Hermione enggan untuk membicarakannya. Walau pada mitra satu-satunya sekalipun.

"Menurut Tiny, oh, sungguh benar-benar suatu keajaiban—yang terjadi pada Tuan Draco," air mata Tiny mulai berucuran, napasnya tak beraturan dalam membendung kebahagiaan yang membeludak itu. "namun memang Tiny percaya Tuan Muda Draco akan sembuh kelak—"

"Ssst," Hermione tidak tahu kenapa dia menyuruh si peri-rumah diam, dia hanya melakukannya secara naluriah. "kupikir tak baik membicarakan itu disembarang tempat, Tiny."

Hermione mencuri-curi pandang pada lukisan besar diujung perpustakaan. Tempat Brutus Malfoy—kakek buyut Draco—duduk terkantuk-kantuk di kursi beludrunya. Saat mengira keadaan cukup aman, dia kembali menatap bukunya. Membaca paragraf itu lagi.

"Kapan Tuan Lucius kembali, Tiny?"

"Tiny belum mendapat kabar apapun, Nona Hermione. Haruskah Tiny mencari tahu?"

"Hm…ya—" Hermione menjawab asal saja, dia masih berkonsentrasi pada beberapa hal. "carilah tahu, kalau begitu."

Sebelum dia melihat respon si peri-rumah, Hermione mendengar bunyi tarr keras. Membuat suaranya berkali-kali lipat berdengung di ruangan hampa yang hening itu. Lukisan Brutus Malfoy terkaget, mendelik dan mencari-cari di sekelilingnya kelabakan. Seolah baru saja ada seseorang yang menembakan meriam ke jendela rumahnya.

Hermione kembali menjatuhkan pandangannya pada jam besar di sisi perpustakaan yang lain, langit sudah gelap. Dia menghabiskan seharian di perpustakaan—hanya untuk benar-benar menghindari sebuah pintu di seberang pintu kamarnya. Bahkan hanya sekedar mengerling.

Ketika memutuskan tak ada lagi yang bisa diterka-terka, maka Hermione memutuskan untuk kembali ke Sayap Barat—dimana kamarnya terletak. Dia rasanya ingin sekali tidur di perpustakaan, itulah tujuannya menyuruh Tiny mencari tahu kapan Lucius kembali. Hanya agar dirinya bisa bebas melenggang kemana pun tanpa takut Lucius muncul tanpa disangka.

Saat mencapai pintu kamarnya, dia ingat bahwa Tiny tak menunjukan tanda-tanda telah kembali. Maka menghela napas berat, dia bergeser sedikit dari pintu kamarnya. Saat memutuskan menyentuh gagang pintu kamar di seberang, Hermione mengerling sekali lagi pintu kamarnya dengan penuh kerinduan. Dan langsung menyesali dengan apa yang tertangkap oleh matanya. Draco Malfoy dengan tongkat, duduk di samping tempat tidurnya, bertelanjang dada. Demi Merlin, apa yang dia pikirkan?

"Belum terbiasa bagiku untuk mengetuk pintunya." Tapi Draco tampak tidak peduli. Dia hanya memutar-mutarkan tongkat dijari-jarinya yang panjang, tongkat itu seolah lentur. Darimana dia mendapatkan tongkat itu?

"Ayahku kembali?"

"Tiny masih mencari tahu."

Hening sesaat. Draco masih belum menatapnya, matanya berkonsetrasi pada tongkat ditangannya, seolah tengah menjalin percakapan yang tak dimengerti siapapun kecuali keduanya. "Well?"

Hermione mengerjap. "Apa?"

"Kenapa kau masih disini?" kata-kata cowok itu tenang, seolah mereka hanya mengobrol soal cuaca. "belum terbiasa juga bagimu untuk tak lihat aku telanjang barang sehari?"

Hermione tampak terhina. Wajahnya memerah karena marah, dia mengepalkan tangan, sebelum akhirnya menghela napas. "Aku pikir ada sesuatu yang harus kumengerti,"

"Wah," kali ini Draco menghentikan kegiatannya, menggenggam tongkat sihirnya pada tangan kanan. Untuk pertama kalinya pada momen itu, dia menatap Hermione. Tatapannya tidak buas seperti pagi tadi saat Hermione meninggalkannya. Melainkan mencemooh. "aku belum terbiasa menyadari bahwa kau bukan Cewek-Sok-Tahu lagi."

"Tentang dirimu," Hermione berkata, seolah intrupsi menjengkelkan itu tak pernah ada. Dia juga mengabaikan sebelah alis Draco yang terangkat tinggi. "kenapa kau bisa bangun dari sekaratmu?"

Draco hanya menatapnya, membuatnya seperti orang tolol. Dengan postur janggal, Hermione bergerak, menggeser kakinya. Hanya untuk mengurangi kegugupan yang melandanya. Tapi dia merasa semakin konyol. Saat tenggelam dalam pikirannya sendiri—menerka-nerka apa yang Draco pikirkan—suara Draco yang keluar adalah yang paling normal diantara yang pernah ia dengar seharian itu. "Aku tidak sekarat,"

Hermione menyipit. "Tapi kau tidak sadarkan diri hampir tiga bulan—"

"Bukan berarti aku sekarat, kau idiot." Dia mulai menemukan nada Draco yang biasa, mencemooh. "aku mendengar dan merasakan apa yang terjadi di sekelilingku."

"Dan kau hanya berpura-pura—selama ini?"

"Temukanlah otakmu, Granger. Pikiranmu yang sekarang membuatku makin muak." Draco berkata santai, Hermione tidak memperdulikan selip lidah itu. Dia hanya penasaran setengah mati dengan jawabannya. "aku memang tak bisa menggerakan tubuhku, menggerakan mulutku atau bahkan membuka mataku. Namun selebih dari itu aku tahu apa yang terjadi."

"Jadi kau—koma?"

"Aku, apa?"

"Kom—oh, sudahlah. Kau tidak akan mengerti."

"Istilah Muggle bego apa itu?"

"Itu bukan istilah Muggle bego. Itu ada hubungannya dengan kondisi tubuhmu. Tak perlu jadi Muggle untuk koma." Sahut Hermione kenes.

Draco mengangkat bahu, tak peduli. Dia kembali memutar tongkatnya, kali ini menunduk menatapnya lagi. Hermione sangat canggung hingga dia memutuskan untuk mengambil beberapa helai pakaian—yang entah bagaimana—berserak di lantai. Dia mengerling ke meja di samping tempat tidur, belum melihat nampan berisi mangkuk makanan, yang berarti Tiny belum mengantar apapun untuk dimakan Draco. Bagaimana pun juga nalurinya kembali berjalan pada semestinya.

"Kupikir kau harus menyimpan tongkatmu jika kau memutuskan agar untuk tak diketahui oleh siapa pun soal keadaan ini," Hermione berusaha membuat nadanya seringan mungkin, dia berlama-lama membungkuk. Memeriksa baju-baju itu walau tak perlu.

"Budak macam apa yang mulai memberi instruksi pada tuannya?" balas Draco, sangat terganggu dengan ide Hermione. Hermione masih berlutut dalam usaha memungut pakaian, tapi matanya membalas tatapan Draco.

"Kau yang bilang tak ingin seorang pun tahu tentang keadaanmu? Dan apakah ayahmu akan dengan bodohnya membiarkan tongkat itu hilang darimanapun dia berasal?"

"Jadi kau ketakutan, ya." Pipi Hermione memerah, dia sempat ingin membuka mulut tapi Draco bicara lagi, matanya menatapi tongkatnya. Seolah dia tak pernah melihat benda itu sebelumnya. "Tenang saja, Granger, aku sedang tak ada minat untuk mantrai kau ataupun membuatmu dicambuk karena dikira ayahku kehilangan tongkat ini." Hermione melihatnya memiringkan bibirnya sedikit, Demi Setan—dia benci melihatnya begitu—"belum, tepatnya. Barang ini diambil Tiny dari lemari ibuku—yang sepertinya tak ada seorang pun berminat untuk masuk ke sana."

Hermione mulai berdiri, gerakannya lambat. Ada berbagai hal yang ingin dipertanyakan, namun dia tak ingin merusak suasana hati si pirang yang tampaknya jauh lebih baik dari pagi tadi. Lagi pula dia tak ingin terus menerus diancam atau pergi dengan cara diusir—setidaknya dia bisa mengerjakan tugas-tugasnya tanpa tampak lebih hina lagi daripada ini.

"Granger," Hermione berhenti pada ambang pintu, menatap mata biru kelabu itu. Dia mulai tak suka suara Draco memanggil namanya. "ambilkan aku sapu di ruang bawah tanah ketika kau kembali bersama makanan."

Hermione menyipit, menutup pintu agak lebih keras dari biasanya.

Dia juga benci saat Draco seolah membaca pikirannya.

.

Bukan salahnya jika Lucius mengetahui semuanya, dia pikir. Hermione hanya akan berpura-pura tidak tahu, tanpa harus ikut menutup-nutupi segalanya. Dia mungkin bisa saja memberika kode-kode padanya, agar dia segera tahu bahwa Draco telah sadar. Sehingga mungkin Lucius akan menempatkan dirinya pada pada tugas yang lain. Dia akan merasa lebih baik bekerja di dapur, membantu atau menggantikan Tiny. Semuanya pemikiran itu tampak lebih menguntungkannya, namun Hermione masih tak mengerti kenapa dia belum mantap membeberkan segalanya pada Lucius.

Terlebih Tiny kembali pada pagi hari itu dengan jawaban kosong, bahwa Lucius kini sedang benar-benar ditempa tugas yang tak berkesudahan oleh Pangeran Kegelapan. Dia semakin kesal ketika dia harus berkunjung ke kamar Draco dan mendapati pintunya di kunci. Entah kenapa bayangan Draco dengan tongkat sihir membuat semua ini kelihatan jauh lebih buruk. Dia sudah mengunci kamarnya—bisa jadi melakukan entah apa—dan Hermione tampak seperti tolol berjam-jam mengawasi pintu kamar itu. Kalau saja ada bunyi engsel pintu terbuka atau gagangnya bergerak. Tapi dia belum menemukan tanda-tanda bahwa Draco mecabut kutukan pengunci pintu sampai menjelang makan siang. Dan Hermione uring-uringan, memanggil Tiny agar memeriksa apa yang dilakukan cowok itu di kamarnya.

"Maafkan Tiny, Nona Hermione. Tapi Tuan Muda Draco suruh bungkam pada siapapun tanpa terkecuali."

Lalu dengan jengkel yang sepertinya baru dirasakan semenjak mengenal si peri-rumah, dia menyuruh Tiny pergi. Hermione berkali-kali menghela napas berat, menelungkupkan wajahnya pada buku dihadapannya. Dia hari itu sudah memutuskan berhenti membaca Kutukan yang Tak Seharusnya dan memulai buku baru. Tapi dia sama sekali belum memulainya karena pikirannya masih terpatri dengan Draco.

Bagaimana bisa, masih terhitung jam semenjak ia sadarkan diri, cowok itu telah menguras habis perhatiannya? Memang dari dulu Hermione tidak pernah berpikir mengenai hal ini—dia tak pernah sekalipun membayangkan bagaimana jadinya jika saja Draco bangun. Bahkan untuk memikirkan posisinya di tempat ini—mengingat dia dibeli untuk mengurus Draco yang seperti mati. Namun dia hampir lupa seberapa menyebalkannya dia, dan berapa banyak kesusahan yang akan dideritanya jika dengan keberadaan cowok itu.

"Lucius akan melemparmu ke ruang bawah tanah kalau saja dia tahu kau tidak mengurus cucuku yang berharga," gumam Abraxas Malfoy pada sore itu, matanya terpejam dan duduk dengan nyaman di dalam lukisannya. Sudah sebulan lebih dengan keberadaan Hermione di sana, dia sepertinya menyerah pada usaha untuk terus menyumpah serapahi. Terlebih dia sudah tahu untuk apa Hermione di sana.

"Apakah Anda tak mendengar suara gagang pintu bergerak, Tuan Malfoy?"

Abraxas membuka matanya, raut wajahnya meremehkan. "Ya ampun, Demi Celana Tua Merlin. Masihkah kalian pantas dulu disebut penyihir jika bahkan dikunci oleh seekor peri-rumah?"

Hermione mengernyit. Dia sudah melupakan kata-kata Abraxas di belakangnya ketika dengan gesit dia menerobos masuk pintu kamar Draco.

"Maka dari itu aku selalu mendukung apa yang di lakukan oleh Gellert tentang—hei! Aku belum selesai—"

Pekikan Hermione tertahan saat dia ingat harus mengendalikan dirinya sebisa mungkin. Dia terhuyung, berlari ke jendela. Draco tersungkur di lantai, kulitnya pucat pasi ketika Hermione sudah dalam posisi lebih dekat untuk menatapnya. Keringat dingin membanjiri sisi wajahnya yang tirus, rambutnya berantankan. Hermione menggapai lengannya, berlutut agar bisa menyangga tubuh Draco, meletakan kepala itu di lengannya.

"Malfoy!" dia menggoyangkan lengannya, tapi cowok itu tak menjawab. Hermione tahu dia sadar—namun tak ada satu suara pun yang keluar dari bibirnya. Hanya ada napas berat, seolah hanya itu yang bisa dilakukan. Dia menyadari Draco dengan pakaian lengkap, baju dengan kerah tinggi dan jubah hitam berpergiannya. Hermione melihat sapu yang tergeletak tak jauh. Dia tak berpikir keras saat tahu tak ada artinya menanyai cowok itu sekarang.

Berusaha mengumpulkan sisa-sisa akalnya, Hermione menegakan tubuh Draco dan menyangganya berdiri. Dengan sulitnya akhirnya dia mencapai sisi tempat tidur dan hampir saja melemparkan tubuh Draco ke sana. Dia menghela napas berat, berlutut—hampir menangis.

Tidak puaskah dia membuat Hermione gelisah seharian? Meraba-raba apa yang dilakukannya, berdoa atas nama Merlin agar terhindar dari segala kekacauan? Tapi inilah yang diberikan Draco—dia lupa bahwa kini tengah dihadapkan dengan manusia paling menyebalkan yang pernah ada. Dia ingin sekali menampar wajah yang tak tak berdaya itu—barang sekali—untuk memuntahkan bentuk perasaanya. Namun alih-alih berbuat demikian, Hermione bangkit dan membenahi tubuh Draco. Melepas sepatunya—ya ampun, kemanakah dia sehingga harus memakai sepatu?—melepaskan jubahnya, dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Hermione merasakan sesuatu yang padat pada jubahnya, dia menemukan tongkat pada saku dalam jubah itu.

Dengan kebimbangan, dia meletakan tongkat itu pada meja di sisi tempat tidur Draco. Hermione memutuskan untuk mengambil baskom berisi air dan handuk basah. Dia duduk di sisi tempat tidur, mulai membasuh wajah itu. Napas Draco mulai teratur.

Dia menimbang-nimbang apa yang telah dilakukan cowok itu dan masih bersarang perasaan kesal dihatinya. "Aku tak ingin," dia kaget sekali, membeliak menatap Draco. Lalu rasa kesal dihati Hermione runtuh saat dia melihat satu-dua tetes air mata mengalir keluar dari pelupuk matanya yang terpejam. "aku tak ingin kembali."

Hermione telah berhenti mengusap wajah Draco, namun tak bisa mengurungkan diri untuk tidak mengulurkan tangan lagi dan menyentuh dahi si pirang. Dia mengusap rambutnya dengan sangat perlahan, seolah dengan begitu dia bisa menghapus sedikit demi sedikit gulana yang menggandrunginya. Dia sama sekali tak tahu apa yang dimaksud, dengan hanya melihatnya seperti ini, rasa iba itu muncul dengan sendirinya.

Tangan Draco naik, menggapai tangannya. Jari-jari panjang itu seolah mengikat jari-jarinya, menutupnya dan menolak untuk memberi izin Hermione membebaskan diri. Dia membawa tangan Hermione ke pipinya, membuainya seolah hal itu adalah satu-satunya tumpuan hidupnya di muka bumi ini. Matanya masih tertutup rapat, bibirnya bergetar dan wajahnya pucat pasi. Bagi Hermione tak ada pemandangan yang lebih menyedihkan lagi dari Draco selama ia mengenalnya daripada itu. Hermione menunduk, mendekatkan bibirnya pada telinganya. Menghembuska napas hangat di sana.

"Kau aman sekarang," bisik Hermione, bibir itu menyentuh cuping telinganya. "kau aman, Draco…"

.

Paginya Hermione mengantarkan makanan pada Draco. Dia memandang was-was ketika melihatnya duduk di kaki tempat tidur, telah menutup seluruh tirai jendela menuju balkon, sehingga kamarnya hanya remang-remang diisi sinar temaram. Saat dalam keadaan gelap seperti itu Hermione baru menyadari bahwa sebenarnya kamar Draco seperti memiliki karisma tersendiri, dimana warna perak pada dinding dan tirainya menyala. Serta hijau Slytherin yang menyejukan. Hermione tak pernah meninggalkan kamar Draco dalam kondisi seperti itu sebelumnya, karena rasanya sangat tak menyenangkan berada di tempat temaram bersama orang yang tak dikehendakinya.

"Memang bukan cuaca yang baik untuk menyelinap keluar," Hermione memecah keheningan janggal di sana. Dia meletakan nampan berisi makanan di meja sebelah tempat tidur. "Tiny sedang ada tugas, jadi kau tak bisa panggil dia sembarangan. Ayahmu tak akan berpikir bahwa akulah yang memanggilnya."

Draco tak menunjukan bahwa dia mendengarkan. Dia menunduk, ternyata dalam keadaan yang lebih dekat bahwa Hermione menyadari dia sedang memegang tongkatnya. Gagasan untuk memperpanjang basa-basi diurungkannya, dia mengambil mangkuk makanan sisa semalam—ketika Hermione meninggalkannya—dan beranjak.

"Kemana budak ditempatkan sebelum mereka dibeli?"

Hermione hanya menatapnya. Menimbang apakah Draco mencoba memercik sebuah peperangan atau ini hanya pertanyaan iseng sambil lalunya. Hermione tak menyukai kesimpulan dari keduanya. "Kupikir kalianlah yang membuat birokrasinya."

"Aku sebelumnya di barisan penyerang, bukan pemerintahan." Lalu dia mendengar dengan samar Draco mendengus. "aku lupa bahwa mungkin kau buta akan hal itu."

"Yah, aku tak ingat Hogwarts memperlajari tentang ilmu ini." Dia menelan ludah gugup, rasanya konyol mengungkit-ngungkit masa lalu setelah sekian lama. Terlebih dengan orang yang paling tak diinginkan untuk bernolstagia. "dan bukan hal yang harus diketahui—"

"Jadi sepertinya Keras Kepala itu sudah bagian dari kepalamu, ya?" Draco menatapnya, berhenti memainkan tongkatnya. "hanya jawab saja, bisa tidak?"

Hermione melotot, tapi akhirnya menjawab dengan suara yang lebih paten. "Ditempatkan ke sel bawah tanah, menunggu. Lalu dipisahkan berdasarkan perawakan dan jenis kelamin. Lalu dijual, kadang jika kau sangat berharga, akan jatuh di pelelangan."

"Dan kau di sana? Pelelangan?"

Hermione mendengus, wajahnya masam. Dia duduk di sisi tempat tidur Draco tanpa disadari oleh keduanya, nampan berisi mangkuk dan gelas berada di pangkuannya. "Aku tak memiliki nilai untuk itu." Saat Draco menaikan alisnya, dia melanjutkan. "aku dibeli langsung dari sel bawah tanah oleh Burkes—kuyakin kau kenal dia—dan Burkes menjualku ke sebuah Rumah Bordil."

Draco tak menjawab beberapa saat, ekspresinya sulit ditebak. Rasanya mereka seperti tengah merundingkan tentang cuaca. "Hermione Granger…berakhir di Rumah Bordil. Sungguh ironi."

"Aku bukan menjadi pelacur di sana, maaf mengecewakanmu." Hermione tak bisa menyembunyikan nada sinis di sana. "lagipula disana lebih baik dan betapa aku berharap akhirku memang di sana."

"Rumah Bordil yang menarik. Apa yang si pemilik lakukan padamu? Bermaksud mengangkatmu sebagai anaknya?"

"Kau akan sangat mengenalnya," Draco mengangkat alisnya. "dia ada di tahun kita, si pemilik."

Hermione tidak tahan untuk menyebut namanya, ada sesuatu yang berdesir ketika dia mengingat hal itu. Rasanya hampir menyerupai ketika awal-awal dia meninggalkan Hogwarts—walau tak semenampar itu. Tapi sisa-sisa kenangan itu masih ada, bagaimana dia mengharap tinggi dan jatuh dikecewakan. Masih bersarang di hatinya, dan Hermione tak bisa bayangkan kapan waktu yang tepat untuk melupakan. Sepertinya ada aura yang berubah dalam suasana itu, bisa dirasakan Draco pun menyadarinya. Dengan gugup dia berdehem, mengumpulkan sisa-sisa kelugasannya.

"Tapi itu tak lagi jadi soal. Tak ada yang lebih layak daripada harus tinggal di sebuah kastil besar dengan seekor peri-rumah—"

"Dan menikmati mencuri buku-buku dari perpustakaannya?"

Hermione mendelik, tampak terhina. "Aku berusaha mencari penawarmu, mengingat tak ada satu orang di Manor pun yang berusaha." Lalu dia menambahkan. "dan aku selalu mengembalikan buku yang selesai kubaca, tepat dimana ia sebelumnya diletakan."

"Tipikal sekali," Draco mencibir. Rasanya aneh, baru beberapa saat yang lalu dia merasa Draco melihat kejanggalan dalam topik sebelumnya. Tentang bagaimana Hermione berusaha mengalihkan perbincangan, namun dia kini telah mendominasi tanpa instruksi yang menyebalkan. Bahkan dia tersadar bahwa kini Draco telah memutar tubuhnya, untuk berhadapan dengannya, dan Hermione sudah menaikan sebelah kakinya di tempat tidur—agar lebih leluasa juga menatapnya.

Lalu dia bertanya-tanya, mungkinkan perubahan atmosfer ini karena Draco menyadari apa yang terjadi semalam? Mungkinkah si pirang tahu bahwa Hermione yang memapahnya dan membisikan kata-kata itu—konyol jika dibayangkan kembali—ditelinganya? Dia memerhatikan Draco, cowok itu tampak memandang hampa ke depan. Seperti tidak benar-benar memikirkan sesuatu. Mereka membisu beberapa saat, nampaknya Draco sama sekali tak terganggu dengan keberadaan Hermione atau bahkan telah melupakannya.

"Apa yang kaulakukan kemarin?" Hermione memberanikan diri, menatapnya seksama untuk melihat reaksi Draco. Tapi dia hanya menoleh.

"Aku merasa tidak ada kewajiban untuk menjawabnya," dia terdiam sesaat. "aku tak melihat sesuatu hal yang kulakukan menganggumu."

Dia tidak ingat. Hermione meluruskan kakinya, nampak lebih berhati-hati. "Hanya berhenti lakukan hal diluar kemampuanmu."

"Sejak kapan kau peduli?"

Sejak kapan? Hermione memandangnya, menilai. Benar, sejak kapan? Toh kalau benar dia melakukan hal-hal sinting bukan kuasanya lah untuk mencegah. Dia disini berperan sebagai seorang yang tidak tahu apa-apa. Jadi, kenapa dia peduli? Hermione tidak menjawab pertanyaan itu. Melainkan hanya bangkit berdiri, membawa nampan di tangannya. Dia rasa dia tak perlu menjawabnya—karena pertanyaan itu bukanlah hal yang semestinya ia jawab. Iya, kan? Dia hanya benar-benar malas untuk mengurus orang sekarat untuk kedua kalinya.

Tapi mana mungkin?

Bukankah seharusnya dia meracuni atau mencekik Draco dalam tidurnya? Untuk semua masa lalu yang mereka alami dan keadaan ini, seharusnya hal itu lah yang ia lakukan sekarang. Bahkan tidak sudi untuk duduk berhadapan, berbagi udara yang sama. Kesimpulan itu masih menimbulkan lubang, masih ada celah untuk pertanyaan. Jadi, kenapa kau peduli?

Saat Hermione berbalik untuk mencapai pintu, suara Draco pelan di belakangnya sebelum dia menutup pintu. "Bawakan aku buku saat kau datang malam nanti."

Hermione tak tahu kenapa rasanya waktu berlalu begitu cepat, hingga dia datang di setiap pagi dan malam. Kadang membawa buku baru untuk ditukar dengan buku-buku lamanya. Sudah selewat seminggu setelah Draco sadar. Hermione masih bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan cowok itu di seluruh harinya, namun terjawab ketika dia memasuki kamar pada suatu siang untuk mengantarkan buku baru ke kamarnya.

Dia melihat Draco berdiri di balkon menggunakan tongkatnya—memancarkan sinar biru keperakan—dan mengarahkannya pada hamparan langit luas tak terbatas. Ternyata dia tengah mempelajari beberapa kutukan baru—atau tengah melatih kutukan-kutukan lamanya. Lebih sinting lagi ketika tiga hari sebelumnya, dia mendapati kamar yang kosong saat tiba jam makan malam. Hermione dengan paniknya menunggu di balkon, menyadari bahwa satu-satunya kemungkinan adalah si pirang pergi dengan sapunya. Tapi kemana? Apakah dia belum paham bahwa pertama kali dia berusaha terbang, dia berakhir di tempat tidur tanpa mengingat apa pun?

Rasanya sungguh menjengkelkan—mulai semalam Draco telah menyuruhnya untuk datang juga di jam siang untuk membacakannya buku, sementara ia berlatih dengan tongkatnya. Mengarahkannya secara asal pada langit. Namun hal itu menyebabkan Hermione harus lebih sering menatapnya dan menahan diri untuk tak mendengus jika Draco melakukan hal yang menjengkelkan. Seperti melempar ejekan-ejekan atau menjadikan status sebagai lelucon. Tapi terkadang obrolan mereka agak sedikit lebih normal dengan menyelipkan bumbu-bumbu kabar atau berita dari luar. Hermione memberitahunya bahwa belum ada perubahan-perubahan yang berarti selama tiga bulan terakhir, bahkan dalam usaha 'membesarkan hati Draco' dengan sarkasme tingkat tinggi, jika dia kembali kedalam barisan Pelahap Maut, maka akan banyak orang yang menyongsongnya.

Hermione semakin sering mengabiskan waktu di kamar Draco—seperti dulu ketika ia terbaring tak sadarkan diri. Namun keadaannya jauh berbeda, melihat fakta bahwa Draco berlatih di balkon dengan tongkat dan kutukan-kutukan rumit disetiap harinya, sedangkan Hermione merebahkan diri di tempat tidur dengan kepala yang menjuntai kebawah, membaca buku. Bahkan saat ini Hermione sudah mempunyai kebiasaan baru, yaitu memandang lurus melewati buku yang ia baca ketika sedang duduk-duduk di sofa tempat tidur. "Bukan dihentakkan, tapi kau harus mengayunkan secara horizontal," komentarnya, membuat Draco menyergah jengkel atau kadang mendengus kesal—ketika memang dia menyadari selanjutnya bahwa koreksi Hermione-lah yang benar.

Kadang pembicaraan mereka diakhiri dengan perdebatan sengit, yang membuat Hermione keluar membanting pintu—sehingga lukisan Abraxas Malfoy bersumpah serapah. Draco masih dengan kearogannya, merendahkan orang lain merupakan bagian yang melekat pada tubuhnya. Sedangkan Hermione sendiri terlalu jengah untuk terus menerus di perintah—kadang Draco benar-benar rewel dan tak mengizinkannya pergi. Hermione mencurigai bahwa cowok itu senang melihatnya tersiksa, atau yang lebih parah berencana menargetkan Hermione sebagai bahan kutukan selanjutnya. Namun selebih dari itu mereka tampak menikmati kegiatan masing-masing yang dilakukan secara bersamaan itu.

Saat berbicara dengan Draco—walau pembicaraan mereka lebih sering buruknya daripada manfaatnya—dia mulai menyadari kenapa cowok itu tak ingin keadaannya tak diketahui oleh siapa pun. Dan bukan lagi rasa kesal, namun perlahan-lahan rasa kasihan tumbuh dihati Hermione. Bahwasannya tanpa Draco bicara secara gamblang betapa dia benci ayahnya, Hermione sudah bisa mengukurnya. Fakta itu menyentuh Hermione amat dalam—orang tua macam apa yang tega membiarkan daging anaknya membusuk demi kemasyuran dan ketakutan belaka? Perlakuan Lucius telah menempa Draco, membuatnya ingin membalasnya dengan menjadikan keadaannya sekarang sebagai senjata.

"Ibuku akan selalu mencintainya—walaupun dia bajingan brengsek yang telah mengorbankan apapun demi kekuasaan. Ibuku selalu begitu sampai dia gila tertelan penyesalan." Draco pernah berkata padanya dengan enteng pada suatu siang, ketika udara saat itu benar-benar panas. Mereka memutuskan untuk membuka lebar jendela balkon. Hermione merebahkan diri karpet beludru, memerhatikan tongkat sihir Draco dengan seksama di tangannya. Sedangkan si pirang berbaring di terlentang tempat tidur, menatap lampu kristal di langit-langit kamarnya. Seolah hal itu bukanlah apa-apa. Namun Hermione menyadari—ada lubang kegetiran yang terbuka di sana. Dia ingin membalas Lucius, namun tak bisa tahan dengan keadaan ibunya sekarang.

Tiny sangat jarang berkunjung, tampaknya dia benar-benar ditugasi untuk menempel tuannya. Kadang dia datang dengan mata merah—kadang dia hanya beberapa detik menampakan diri untuk sekedar menyapa Hermione. Lucius telah kembali dua kali semenjak Draco sadar, saat kepulangan yang terakhir dia datang ke ambang pintu kamar Draco. Hanya melihatnya sesaat sebelum pergi lagi dan tak kembali hingga kini. Sampai sebulan Draco sadar, Tiny kelihatan lusuh dan letih secara bersamaan. Tampangnya sangat menyedihkan. "Tuan Lucius akan kembali besok malam."

Hermione datang ke kamar Draco setelah peri-rumah itu ber-Dissaparate, mengenakan pakaian tidur tanpa alas kaki. Ia menatapi Draco tampak sangat berantakan, berdiri di balkon—dengan sapu di tangan kiri dan tongkat di tangan kanannya—seperti habis melakukan perjalanan jauh. Hermione menutup pintu dibelakangnya dengan pelan, tak ingin membangunkan lukisan Abraxas Malfoy di luar. Lalu dia bersandar pada pintu sesaat untuk bernapas, sampai menarik diri untuk berjalan kepada Draco. Di cahaya temaram, Hermione mampu melihat jubahnya basah. Angin berhembus kencang, belahan dunia mana lagi yang telah Draco arungi, pikirnya. Namun dengan terlalu banyak hal yang ingin dikatakan dan tanyakan, Hermione hanya mematung menatapnya.

"Aku punya banyak sekali hal yang harus dilakukan," Draco berjalan mendekat, membuat Hermione semakin jelas untuk melihatnya. Wajahnya pucat. Nampak linglung, dia berjalan pada sebuah rak buku yang Hermione susun untuknya, menarik salah satu buku, lalu membuka asal-asalan pada halamannya. Tangannya bergetar. "kontra kutukan…pembrantas…inferi…"

"Apa yang terjadi, Malfoy?"

"Aku benar-benar sibuk, pergilah."

"Ayahmu akan datang besok,"

"Ya…ya, aku tahu." Draco bergumam tak jelas, masih berkutat pada halaman-halaman bukunya. "mereka akan adakan pertemuan."

"Apa?"

"Kau akan tahu," jawab Draco asal. "aku pernah membaca, disini…"

"Fiendfyre—Api Kutukan, salah satu zat yang bisa membinasakan Ilmu Hitam. Begitulah cara kau menghancurkan Inferi."

Draco kali ini menatapnya, wajahnya seperti orang lapar. Tangannya telah berhenti bergerak. "Apakah akan menghancurkannya secara abadi atau—"

"Aku tak tahu!" kata Hermione putus asa. "aku tak pernah melakukannya, terlalu berbahaya. Dan bisakah kau tidak terus-terusan begini, main teka-teki dan pulang seperti orang kerasukan?"

Draco mengernyit. "Dan apa yang merisaukanmu tentang itu?"

"Agak ironi mendengarmu berhari-hari betapa kau tak ingin seorang pun tahu tentang keadaanmu. Apa yang kaulakukan? Bersliweran di Knockturn Alley dan menyapa kawan-kawan lamamu?"

"Kaupikir aku hanya duduk di ruangan ini dengan tololnya hanya untuk menantikan dia pulang?"

"Jadi memang benar itu yang kaulakukan?"

"Wah, apakah kini aku berkewajiban juga untuk melaporkan semua yang kuperbuat?"

"Seharusnya ya, mengingat kau tidak pernah tidak baik-baik saja saat pulang!"

"Kau tidak berada disini untuk ikut campur mengenai apa yang kulakukan, ayahku tidak membelimu untuk itu. Sebelum semakin pikiran cupitmu berkelana jauh, kau harus menyadari itu, Granger."

Hermione menyipitkan matanya berbahaya. "Dan seingatku dia pun tak beli aku untuk mematuhi perintah-perintahmu,"

"Tapi memang itu kan yang seharusnya kalian lakukan? Melayani kaum bangsawan, bahkan tanpa bersedia dibayar?"

Itu dia, Draco telah sampai pada titiknya. Napas Hermione berat, sungguh sesak saat menghembuskannya. Mereka berdiri berhadapan. Keduanya seolah mengeluarkan aura panas yang janggal. Hermione membalas menatap Draco, menantangnya. Rasanya dia pernah merasakan perasaan itu jauh dulu, begitu muaknya dia menatap wajah runcingnya.

Merlin, kebencian itu masih ada. Tertidur dalam relung hatinya dan kini meronta hebat di dadanya. Sebagaimana pun mereka telah melewati hari-hari yang tak terbayangkan logika, seberapa banyak mereka berbincang, Hermione masih mampu mengendus perasaan itu. Dia salah karena iba kepada Draco, dia meleset saat mengasihaninya.

Draco tetaplah bajingan seperti dulu, Hermione lupa itu. Seolah dia lupa bahwa jantung adalah bagian dari sebuah organ tubuhnya. Dia telah mengabaikan fakta-fakta bahwa mereka mempunyai dua sudut yang berbeda, tak dapat disatukan dan akan terus demikian hingga tak terukur waktu. Dia masih mendongak, memandang Draco lurus, sebelum benar-benar menebasnya dengan pandangan menyayat hati.

Namun sebelum Draco membuka mulutnya lagi—mengeluarkan kata-kata penarikan—punggung Hermione sudah hilang di balik pintu.