5

.

SEONGGOK keberanian masih di sana. Namun cacatnya, menyisakan ruang bagi perasaannya yang lain. Dia tidak ingin mengangkat wajahnya, terpuruk di atas batu marmer hitam—dia tak bisa merasakannya, namun nalurinya berkata batu ini kokoh dan dingin. Entah sejak kapan tersungkur, tapi dia tak ingin menegakan pundaknya. Dia tak merasakan pegal—tubuhnya kebas, mungkin saja karena sangking lamanya berada dalam posisi itu. Tapi ada hal lain yang menggangunya, kesunyian yang tadinya menyelimutinya, tergantikan dengan derap langkah. Dia mendongak, menepiskan rasa takut. Namun pemandangan itu seperti menyayat matanya.

Harry dan Ron berjalan dengan darah berlumuran di sekitar leher. Langkah keduanya terseok-seok. Pandangan matanya kosong, namun lurus pada tempat Hermione tersungkur. Hermione melihat Harry mengangkat tangan, dimana letak tangan kanannya terdapat cicin perak bermata batu hijau zamrud. Hermione membeliak ngeri, terduduk dan saat bergerak mundur punggungnya menghantam sesuatu yang keras.

"Kau berjanji padaku, Hermione." Suaranya serak, seperti kerongkongannya tersumbat. "kau berjanji akan tinggal."

Hermione menjerit, melompat dari atas tempat tidurnya. Tubuhnya lembab diterpa banjir keringat. Dia membeliak, menatap sekeliling kamarnya yang hanya diteringai cahaya temaram. Mencari-cari dua sosok yang baru saja dilihatnya. Hermione meraba-raba sekeliling, bukanlah sesuatu yang pada dimana seperti dia berada tadi. Dia merasakan lembutnya seprai yang menggesek kulitnya—bukan batu marmer yang kokoh. Dengan napas yang tak sepenuhnya dilepas, Hermione menghembuskannya perlahan-lahan. Dia menekuk lututnya.

Sedetik kemudian tangisnya pecah.

.

Dua hari setelah cekcok—dan saat-saat itu tanpa teguran dan sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya—ketika Hermione mengantarkan sarapan pada Draco, dia melihat cowok itu telah bersiap dengan setelannya, baju lengan panjang dengan kerah tinggi namun tidak mengenakan jubah. Hermione menyadari rambut pirang itu berada dalam tatanan yang tidak seperti biasanya. Lebih pendek—mengingatkan perawakannya ketika di Hogwarts dulu. Dan dengan mendadaknya muncul bayangan itu, membuat Hermione merasa tidak nyaman sehingga dia menendangnya jauh-jauh dari ingatannya.

Silat lidah mereka bukanlah fokus utama dalam benaknya di pagi ini. Dia bahkan hampir mengindahkan perasaannya tepat saat keluar dari pintu kamar Draco. Dia lebih baik memikirkan kepulangan Lucius, yang ternyata diundur. Menerka-nerka apakah dia akan menengok Draco atau akan mengabaikan kamar anaknya lagi seperti biasa. Takut tiba-tiba saja informasi itu meleset lagi, takut kalau Lucius kali ini tidak menahan kepulangannyaa, tapi malah datang secara tiba-tiba.

Namun nampaknya, kantung mata Hermione yang menghitam dan matanya yang merah meradang serta wajahnya yang parah—membuat Draco tidak berpikir demikian. Sulit dicerna maksutnya, melihat keadaan Hermione, apakah sebaiknya membuatnya semakin kesal sebagai tindakan penghiburan atau memang Draco Malfoy hanya bajingan mutlak tidak berperasaan.

"Kukira kau tak akan berani datang lagi," ujarnya kelewat kalem, jelas tak bisa menyembunyikan kesenangan di suaranya. Dia memang telat antar sarapan di pagi itu, "aku sudah siap-siap untuk cari makanan di luar."

"Tutup mulut dan cepat habiskan makanmu sebelum ayahmu pulang!" sergah Hermione galak, yang entah kenapa membuat suasana hati Draco semakin membaik. Si pirang terang-terangan memerhatikannya. Makan dengan santai, duduk di kursi sebalah tempat tidur dengan kedua kaki bersilang ke atas meja. Sedangkan Hermione menyibukan diri dengan merapikan buku-buku dan baju-baju yang berserakan (yang selalu diselingi tanda tanya, kenapa pula baju-baju ini selalu berserakan). Dengan perasaan curiga bahwa Draco sengaja memperburuk keadaan kamarnya hanya untuk membuat Hermione makin kebakaran jenggot. Tapi tak bisa dikesampingkan fakta bahwa keduanya tak lagi mempunyai aura sepanas hari-hari sebelumnya. Dan Hermione merasa lega ketika Draco tak menjadikan wajahnya yang berantakan sebagai lelucon selingan—seperti hal yang biasanya dia lakukan jika bosan.

"Pukul berapa ayahku datang?"

Pertanyaan itu nampaknya menjadi hobi baru Draco. Karena sudah berkali-kali ditanyainya. Hermione mengerling sedetik ketika sedang memeriksa salah satu buku, wajahnya memberenggut. "Apakah aku kelihatan senang mengekorinya sehingga tahu segalanya?"

"Ya ampun, Granger, tidak bisa ya kau turunkan persentase sarkasmemu pagi ini?"

Hermione tidak merespon, dia melambat-lambatkan usahanya dalam memeriksa buku, walaupun tak perlu. Hanya agar dirinya melakukan sesuatu saja. Karena rasanya sangat menyebalkan melihat mata Draco terus-menerus menempeli semua gerakannya. Lalu ketika buku-buku itu telah rapi di rak, Hermione menatap tongkat sihir dan sapu yang telah siap di samping temat tidur Draco. "Aku akan membawanya ke kamarku, seperti biasa."

"Yah, asal apapun yang membuatmu merasa senang deh." Balas Draco, sudut bibirnya terangkat. Hal itu malah membuat Hermioe was-was dan curiga. Biasanya cowok itu tidak senang mendengar Hermione meminta, walaupun berkaitan dengan kebaikannya sendiri.

"Pagi tadi Tiny mendatangiku. Dia menyampaikan malam ini akan ada pertemuan—" Draco mengendikan bahu, wajahnya mencerminkan kata-kata benarkan-yang-kubilang. "—dan sebaiknya kau tetap di atas tempat tidurmu, kecuali kau berniat untuk memberi kejutan menyenangkan untuk mereka dengan kehadiranmu yang tiba-tiba."

Hermione menggapai tongkat sihir Draco di meja, memasukan ke dalam kantong bajunya dan mengambil sapunya lalu membungkus sapu itu dengan kain yang telah diambil dari lemari. Dia mengerling untuk Draco, merasakan hal yang tak biasanya. Sebelum menyingkirkan segala prasangka—dia mengambil nampan di meja dan sosoknya hilang dibalik pintu.

.

Lucius tidak kembali sendirian ketika malam. Tapi membawa seperti pasukan ke Aula rumahnya, sekelompok orang-orang berperawakan congkak dan wibawa yang sama sekali bukan pada tempatnya. Mereka lebih mirip seperti bandit daripada bangsawan, mengingat siapa mereka dan untuk apa pertemuan ini diadakan. Hermione bertugas menyuguhi makan malam, meletakan lilin-lilin besar di meja makan dan mempersiapkan hidangan penutup.

Tiny yang memberinya kabar itu, bahwa dia akhirnya boleh menampakan diri dan muncul didepan hidung-hidung para Pelahap Maut di Manor.

Si peri-rumah membungkuk dalam ketika Hermione meliriknya. Namun tak ada dari mereka yang benar-benar peduli, sampai Hermione keluar dengan senampan penuh daging guling di tangannya.

"Komplotan si Potter dulu di Hogwarts, eh?" ujar seseorang, tampangnya sangar. Hermione berusaha keras untuk tak memandangnya ketika dia berbalik siap pergi.

"Begitulah—jangan buru-buru dulu, Granger. Perlihatkan rasa hormatmu pada tamu-tamu kita." Suara Lucius di seberang ruangan menghentikan langkahnya, dia menatap meja makan—gayanya congkak dan dilambat-lambatkan seperti biasa—dimana hampir dua puluh bangku yang mengelilingi mejanya penuh. Hermione membungkuk, membiarkan helaian rambutnya jatuh di sisi wajahnya. Saat berdiri, jari-jarinya meremas sisi gaun malam selututnya. "bagus sekali, langsung saja ambil minuman, sehingga tak perlu lagi ada kegiatan saat Pangeran Kegelapan datang."

Hermione berbalik patuh, meninggalkan kekehan dan siulan memuakan dibelakangnya. Dia mendorong troli yang berisi gelas-gelas, lalu Tiny—yang selalu siap siaga di pojok ruangan—menjetikkan tangan dan gelas-gelas itu telah terisi oleh minuman. Hermione mundur, meberikan ruang agar peri rumah itu menyelesaikan sisa tugasnya. Akhirnya, setengah jam kemudian, setelah semua hidangan disantap dan sisa piring-gelas enyah dalam sekali jentikan, ruangan sunyi senyap. Hermione bertengger di ujung ruangan, setengah menyembunyikan diri di balik tembok yang memisahkan antara ruangan itu dan ruang tengah. Dia tahu inilah saatnya.

Dengan sekali kedipan mata—Pangeran Kegelapan sudah muncul dengan Nagini di sisinya. Hanya desisan ular itu yang terdengar selama beberapa detik yang mencekam. Hermione tak sadar mundur beberapa langkah, tak bisa menahan beliak ngeri di wajahnya.

"Wah, wah," suaranya hampir seperti desisan. Ternyata mereka semua mengosongkan ujung meja untuk singgasananya. Ketika mata merah itu memandang seluruh penghuni meja—matanya tajam, mengintimidasi. "aku seperti dipermainkan oleh pengikutku."

Pangeran Kegelapan belum duduk, matanya menelusuri setiap wajah—yang seketika itu menunduk saat mata mereka bertemu. Hermione merapatkan diri ke dinding, membelakangi mereka semua.

"Aku tak habis pikir bahwa satu persatu dari kalian melarikan diri, tak terpikir olehku bahwa bukan saja kalian pergi saat kejatuhanku belasan tahun lalu. Yang mana kalian sama sekali tak mencariku, menganggapku mati, sirna seperti makhluk-makhluk keji. Tapi saat ini kalian juga merencanakan untuk lari dariku—dari dunia dimana aku telah memerintah?"

Gelengan panik dan gumaman protes menggema—yang paling keras melenguh adalah Bellatrix Lestrange, yang duduk menyondongkan dirinya tepat di samping Pangeran Kegelapan ("Yang Muliah! Aku siap mati untukmu!"), matanya melotot seperti orang gila—namun seperti tak menerima intrupsi, ia melanjutkan lagi dengan suara yang tajam berbahaya. "Aku sudah menjatuhkan Potter." Dia hampir berbisik, suasana kembali gegap gempita. "aku sudah menghancurkan tubuhnya berkeping-keping, sehingga bahkan seujung jarinya tak tersisa lagi untuk dikenang oleh budak-budak kotor."

Matanya berhenti pada salah seorang yang menunduk dalam-dalam, nampak berharap lantai marmer hitam akan menenggelamkan tubuhnya saat itu juga.

"Barnaby," ujarnya.

"Ya, Yang Mulia?"

"Kuyakin kau yang bertugas pergi ke Rumania untuk menyebarkan luaskan jajahan?"

"Y—ya, Yang Mulia." Hermione tak tahu seperti apa dan yang mana si Barnaby ini. Namun hanya mendengar suaranya saja Hermione bisa membaca ketakutan yang teramat sangat bersarang di sana. "tapi saya tidak sendiri. Lucius datang beberapa hari setelahnya membawa pasukan."

Hening sesaat. Hermione menajamkan pendengarannya kali ini. "Jadi inikah yang kaulakukan, Lucius, pergi berminggu-minggu dan kembali dengan tangan kosong bahkan kehilangan beberapa orang kepercayaan?"

"Y—yang Mulia…"

"Kenapa kau bisa hidup seperti ini, Lucius?" rambut di tengkuk Hermione meremang ketika mendengar suaranya. "bagaimana kau bisa menjalani hidupmu yang menyedihkan, selalu bergantung pada anakmu?"

"Hilangnya Arnold dan Rectus adalah suatu kesalahan, Yang Mulia—"

"Tidak ada lagi keringanan, Lucius, tidak lagi." Suara Pangeran Kegelapan seperti sebuah alunan. "aku ingin Draco kembali, dia yang pantas mengemban tugas ini. Sudah saatnya kau untuk mundur. Dia harus membenahi semua kekacauan yang kaubuat, sebelum aku yang akan menghancurkan kediamanmu yang megah ini."

Tak ada intrupsi sedikitpun, maka ia melanjutkan.

"Bawa dia kehadapanku, dalam pertemuan selanjutnya. Yang akan dilaksanakan di rumah ini—tak peduli ilmu apa yang tengah dia pelajari sekarang, atau perguruan manapun yang ia lakukan. Aku ingin Draco kembali. Kupikir tak sulit bagimu untuk memahami hal ini, Lucius?"

"Y-ya, Yang Mulia."

Ada jeda di sana, Hermione menahan napasnya. Dia bisa membayangkan tubuh orang-orang yang membatu dan kepala yang tertunduk dalam-dalam akan satu hal; kemurkaan tuannya. Mungkin kesalahan satu orang bisa dibayar dengan leher siapa saja—tergantung seberapa sial hidup mereka. Maka ketika beberapa menit dalam keheningan yang mencekam, Pangeran Kegelapan melanjutkan dengan suara seraknya.

"Aku dengar kau akan membuat undang-undang baru, Pius?"

Hermione ingat itu—Pius Thickness adalah Menteri Sihir yang menggantikan Scrimgeour setelah bangkitnya Pangeran Kegelapan. Perubahan topik pembicaraan ini membuat aura sedikit berubah, Hermione mendengar gumaman dan bisik-bisik.

"Ya, Yang Mulia," suara yang seperti alunan menjawab. "saya di bagian pemerintahan, telah berpikir bahwa semakin kecilnya angka Darah-Murni akan menjadi faktor kuat dalam melemahnya sistem pemerintahan kita. Maka dari itu selain mendata status darah—membrantas bibit darah-Lumpiur—kementerian berniat untuk menikahkan seluruh Darah-Murni yang masih tersisa antara yang satu dan yang lain."

"Begitukah?" Pangeran Kegelapan bergumam, suaranya kedengaran seperti mengawang-awang. "sebarkan, kalau begitu. Apa pun yang memperkuat penyerangan dan pemerintahan di Era Baru ini. Aku akan menunggu laporan berkalamu mengenai ide-ide cemerlang selanjutnya, Pius. Kuharap kau memilikinya di pertemuan selanjutnya."

Dolohov—tetangga Pius di sebelah nampak kagum dengan ide itu. Dia menepuk bahunya, menyeringai keji. Gumaman setuju memenuhi ruangan. Namun dalam sekejap, hening ketika suara Pangeran Kegelapan bergema.

Hermione tak melanjutkan mendengarkan.

Dia sudah menghilang di balik tembok.

.

Pertemuan semalam masih terngiang-ngiang di otaknya. Hermione hampir terjaga semalaman, mengintip pintu kalau-kalau saja Lucius muncul dan berkunjung ke kamar Draco. Namun hampir semalaman suntuk—tertidur di depan pintu kamarnya—Hermione tak meihat batang hidung Lucius. Namun semua kewaspandaannya terjawab ketika pagi harinya. Dia mengunjungi kamar Draco tepat sebelum Hermione mengantarkan makanan. Yang jelas saja menimbulkan kewaspadaan akankah Lucius melihat Draco yang telah terjaga—ataukah Draco masih tertidur lelap di ranjangnya.

Hermione tak tahu dia berharap di kemungkinan yang mana. Jelas sekali walaupun Lucius belum memergoki sadarnya Draco, sampai tenggang waktu yang telah ditentukan, maka keluarganya akan dalam bahaya. Namun disatu sisinya, ada sebuah perasaan yang aneh menghinggapi hatinya—tepat ketika dia teringat bahwa Draco akan mengemban tugas, untuk menggantikan ketidak becusan Lucius. Jelas sekali saat ini harapannya terbagi. Namun dia belum mengerti hatinya condong kemana—sampai ketika dia membuka pintu kamar Draco dan mendapati bahwa Lucius ternyata sudah pergi.

Draco duduk di pinggir tempat tidur, punggungnya membungkuk, wajahnya menunduk menatap jari-jarinya yang bertautan. Mungkin secara sekilas, orang akan mengiranya sedang berdoa. Namun tidak mungkin ketika hal itu terjadi pada seorang Draco.

Hermione berjalan ke meja, meletakan nampannya disana. Dia mengerling Draco, tak tahu apakah memulai percakapan adalah ide yang baik saat ini.

Dia menatap Draco agak lebih lunak. "Jadi, bagaimana rencanamu selanjutnya?"

Tak heran, bukan Draco Malfoy namanya jika tak menyebalkan. "Well, bukan urusanmun, sebenarnya."

Hermione mendengus dan melipat kedua tangannya di dada. Sungguh, ini begitu kekanak-kanakan. "Aku serius, Malfoy."

"Begitu juga denganku."

Hening sesaat. Draco tak menatapnya, nampak tak peduli dengan tatapan bombardir Hermione padanya—atau mungkin pura-pura—hanya untuk membuat Hermione kesal. Namun herannya dia tak pergi dari tempat itu. Hermione kehabisan akal untuk membuat pembicaraan mereka berfaedah.

"Kenapa kau peduli?" tanya Draco tiba-tiba. "menjauhlah sebelum terlambat, Granger. Aku sudah peringatkan kau dari awal untuk tak terlalu ingin tahu tentang yang kulakukan atau yang akan terjadi padaku."

Draco kali ini memandangnya, mata biru kelabu itu seolah meredup. Hermione seperti membaca ada sekelumit kesepian yang tak dipahaminya disana. Dia ingin memberikan sebuah balasan yang dimaksudkan bahwa apapun yang tengah dipikirkannya, bukanlah maksud Hermione demikian. Dia tak mengerti kenapa topik ini menyulut sarkasmenya. Kenapa setelah dia memerintah menjaga rahasia terbesarnya, kini dia mendepaknya dan bilang jangan ikut campur? Bukankah selama ini Hermione memang sudah tahu segalanya? Kenapa masih ada relung jarak diantara mereka?

"Aku tak ingin seorang pun tahu mengenai diriku lebih dalam lagi." Ujarnya, seolah perintah terselip di dalamnya. "jadi sebaiknya kau lakukan tugasmu pada porosnya, dan berhenti mencoba membantuku untuk keluar dari kekacauan ini. Atau mencari tahu. Kau bukan lagi di Hogwarts, Granger, sadarlah. Ini bukan sebuah teka-teki yang harus kau pecahkan dengan si Potter yang terkenal."

Hermione merasakan kesan dingin dalam suara itu. Namun ia tak tahu apa penyebabnya, yang jelas pancaran mata Draco tak lagi bersahabat. "Yah, dari awal memang aku tak seharusnya terlibat." Hermione memandangnya lekat-lekat, tak peduli bagaimana mata itu memandangnya. "tapi aku selalu disini, mengetahui setiap perkembangan yang kaulalui. Memberikanmu pakaian hangat di setiap malam, membawa nampan-nampan kotor keluar dari kamarmu, menyembunyikan sapu dan tongkatmu. Bisakah aku tak peduli? Seandainya aku bisa, Malfoy, aku begitu ingin! Tapi apa yang kuketahui tentang pertemuan itu selalu menggangguku, meresahkanku.

Lantas bisakah kau sedikit saja mengenyampingkan rasa benci yang membludak pada ayahmu, demi ibumu? Bisakah kau pikirkan dia, barang sekali saja, ketika kau bersikeras menyiksa ayahmu secara tak langsung kau juga melakukan hal yang sama dengan ibumu. Dan kuyakin hal itu juga menghantuimu selama ini—jangan kira aku tak tahu."

"Apa yang kauharapkan dari keluarga ini? Sebuah keluarga harmonis, penuh kasih sayang? Berjalan penuh gaya dan berkuasa? Kau mungkin pernah melihat hal itu, tapi kau sama sekali tak tahu apa yang harus kami lakukan untuk menggapainya. Sama sekali tak tahu, Granger."

Ada rasa pahit dalam suara itu. Hermione tak pernah berpikir apakah setelah pembicaraan ini mereka akan bisa menjalani hari-harinya seperti biasa—tapi dia tak peduli. "Dan inikah yang kaulakukan? Bersembunyi dari semua itu dan mengorbankan hal lainnya agar hidupmu lebih tentram?"

"Kubilang kau sama sekali tak tahu—"

"Well, ini tak ada hubungannya dengan apa yang kuketahui tentang masa lalumu atau apa yang telah kaulewati. Tapi aku akan bertanggung jawab dengan jalan yang kupilih." Lalu suaranya lebih pelan, seperti memohon. "Beranilah, Malfoy. Beranilah untuk menyelamatkan ibumu. Beranilah untuk menghadapi kenyataan."

"Kupikir kau bukan pada bagian untuk bisa memberi instruksi, Granger." Kata Draco, suaranya berbuha. Seolah Hermione tak pernah mengenalnya sebelumnya. Dia tak lagi memandang Hermione. "keluar."

Hermione dengan getir menatapinya, namun beberapa detik kemudian ia melangkah menuju pintu. Hermione telah menduga dan bersiap dengan kemungkinan bahwa Draco akan semakin membencinya setelah semua ini. Mereka telah melalui hari-hari yang panjang, sulit tertangkap logika, bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Setidaknya Draco memperlakukannya dengan manusiawi selama ini. Dan hal itu adalah hal langka bahkan tak mungkin jika mengingat latar belakang mereka dulu.

Dia pernah sangat membencinya. Sampai rasanya kulit kepalanya terbakar oleh rasa marah dan muak ketika dekat-dekat dengannya—tapi perasaan itu dulu. Lampau dan bahkan Hermione tidak lagi ingat bagaimana membenci Draco sedemikian hebat. Dia tak bisa memahami pikirannya sendiri, dia hanya memuntahkan segalanya secara naluriah. Jauh dalam lubuk hatinya, dia mengasihani cowok itu. Sendirian dan penuh dengan prasangka. Namun yang paling menyedihkan, terbuang. Lalu ada sekelumit penyesalan yang hadir, pantaskah ia bicara seperti itu padanya? Ketika Hermione memang tidak benar-benar tahu apa yang telah dia lalui?

Mungkin dia benar. Mungkin Draco benar. Hermione sama sekali tak tahu apa-apa. Dia hanyalah si Malang yang terlibat, tanpa tahu mengapa.

Hermione merebahkan diri di tempat tidur. Matanya tepejam, membayangkan seandainya saja dia tak pernah melihat jatuh-bangun cowok itu selama ia ada disini, mungkin perasaannya tak akan serunyam ini.

.

Hari-hari selanjutnya membunuh Hermione begitu hebat. Ketika ia mengantarkan makanan secara rutin, keduanya tak saling bicara. Draco tampak begitu dingin dan acuh, sedangkan Hermione tak punya keberanian untuk memulai satu patah kata pun. Kadang ia melihat Draco berlatih dengan tongkatnya, atau bahkan cowok itu kembali pada kebiasaan buruknya—pergi dengan sapu. Rasanya sangat menjengkelkan berada dalam kondisi seperti ini. Lalu pikirannya jauh kebelakang, teringat akan lebih baik jika mendengar Draco mengolok-olok atau melempar ejekan seperti biasa sebagai sarapan pagi mereka.

Terlebih lagi dengan pikiran mengenai pertemuan Pelahap Maut selanjutnya. Hermione sudah berkali-kali memohon pada Tiny untuk mencari tahu, namun peri rumah itu juga belum mendapat informasi yang pasti. Rasanya ia tak bisa tinggal diam, namun apa yang harusnya ia lakukan?

Gundah gulana ini akhirnya berujung pada hari ketujuh setelah mereka saling diam. Pada pagi itu Draco dengan pakaian lengkap—bukan jubah tidur seperti biasa—duduk di ujung tempat tidurnya. Nampak penuh pemikiran.

"Aku ingin kau ikut aku ke Sayap Utara, Granger." Ujarnya, membuat Hermione mendelik—seolah dia sudah gila. "aku akan menemui ibuku."

Hermione ternganga, jelas keajaiban ini begitu mendadak. Hermione meletakan nampan di meja, dia masih bingung untuk merespon seperti apa. Namun tanpa sepatah katapun, Hermione mengekorinya keluar. Mereka mengabaikan sumpah serapah lukisan Abraxas Malfoy—yang kagetnya bukan main melihat kemunculan cucunya semendadak itu. Namun selebihnya mereka berjalan dengan tenang, beriringan. Bahkan Draco seperti tampak telah melupakan perdebatan yang terjadi diantara mereka beberapa hari lalu. Seperti sebuah sihir yang tak dimengertinya, keadaan ini juga menjalar pada diri Hermione. Menciptakan sebuah perasaan senang yang entah dari mana sumbernya.

Pada saatnya tiba di depan pintu kamar Narcissa—yang Hermione sendiri baru mengetahui letaknya, karena ia tak pernah memiliki keberanian untuk ke Sayap Utara—Draco berhenti sesaat di depan pintu. Menghela napas dan menegakan tubuhnya. Lalu ketika ia mendapati bahwa pintu itu terkunci, ia menarik tongkat dari saku jubahnya. Menggumamkan 'alohomora' dan pintu itu berderit terbuka.

Hermione yakin bahwa pemandangan yang mereka lihat sama sekali tak pernah terbayangkan oleh Draco. Karena ia juga bertanggapan demikian. Ruangan itu tampak berantakan—kain-kain yang berserakan dan lukisan yang miring disudut ruangan. Tempat tidurnya kosong melompong, karena sepertinya seprainya telah ditarik paksa beserta bantalnya sehingga teronggok di lantai tak berguna. Ruangan itu terkesan hampa dengan janggal, meja-meja dan dindingnya yang kosong—tampak sengaja banyak barang-barang yang tadinya ada disana disingkirkan.

Narcissa, dengan rambut pirangnya panjangnya yang menjuntai, tengah duduk di pintu balkon membelakangi kedatangan mereka—dan sepertinya juga belum menyadarinya. Maka ketika Draco maju lebih dulu menyebrangi ruangan, hingga tangannya hampir menyentuh pundak Narcissa, Hermione ikut mengambil beberapa langkah, hanya untuk memastikan kebenaran sesuatu yang tengah dilihatnya. Narcissa nampak tak merespon beberapa saat, sampai akhirnya Draco memutar kursi yang didudukinya, hingga mereka berhadapan. Draco bersimpuh di hadapan ibunya.

Sungguh, Hermione tak pernah melihat keadaan semenyedihkan itu sebelumnya. Nampaknya daging di wajah Narcissa menyusut, sehingga keriput tercipta lebih banyak di sana. Matanya menonjol dan semakin mengerikan ketika membeliak menatap sesuatu yang dilihatnya.

"Draco…?" suaranya serak, hampir seperti berbisik. Dia menginatkan Hermione pada saudaranya, Bellatrix Lestrange—nampak seperti orang gila. "kaukah itu?"

Draco tak menjawab, alih-alih membekapnya dalam pelukan. Narcissa tak lagi mempertanyakan siapa sebenarnya dia—atau nyatakah yang telah terjadi saat ini. Yang terpenting, apapun yang ada dihadapannya, memeluknya sedemikian erat, Narcissa hanya akan menganggapnya sebagai seorang Draco. Tangan keriput itu menggapai-gapai di punggung Draco, mengelusnya dengan penuh kerinduan yang tak terbantahkan. Kata-katanya tenggelam dengan pecahnya tangis yang menyayat hati. Menjadi sebuah gumaman memilukan yang tak diketahui maksudnya.

Dia tak pernah menyukai Narcissa sebelumnya, namun ada rasa haru yang membludak dihatinya. Hermione tak bisa membayangkan betapa tersiksanya wanita itu, dikurung di istananya sendiri dengan anak yang paling dicintainya berbaring tak berdaya tanpa bisa ditemuinya. Dia mulai bisa memahami kenapa Draco membenci Lucius sedemikian kuat. Hermione tak bisa menepiskan rasa iba pada Narcissa, bagaimana dia bisa melewati hari-harinya yang begitu berat tanpa seorang pun yang bisa dijadikan sandaran.

Hermione berdiri mematung melihat kejadian yang terjadi dihadapannya. Hingga tak terasa pipinya basah oleh air mata.

.

Selang beberapa waktu setelah kejadian di Sayap Utara, Hermione dan Draco kembali. Narcissa nampak seketika telah kembali sepenuhnya pada kesadarannya. Sehingga ketika Draco membereskan kamarnya dengan sekali lambaian tongkat, menyuruh Hermione untuk merapikan rambutnya—yang ajaibnya tak disanggah satu interupsi pun oleh Narcissa—dan meletakan nampan berisi makanan di meja, Narcissa nampak sangat bahagia dan terlalu antusias. Dia tak banyak bicara selain menatap Draco lekat-lekat, seolah takut kalau saja anaknya akan hilang lagi jika ia lengah barang sedetik saja.

Draco tak menceritakan apa yang telah terjadi dengannya selama ini. Bahkan apa yang menyebabkan dirinya tak berdaya dalam jangka waktu hampir tiga bulan lamanya. Dia banyak memberikan kata-kata penenang pada Narcissa. Bahwa ia tak akan lagi membiarkannya sendirian dan menjaganya selama yang ia bisa. Akhirnya, ketika hampir separo hari berada disana, Draco pamit untuk kembali ke Sayap Barat. Dengan dalih bahwa dia mempunyai tugas penting lainnya, yang tak bisa diceritakan sehingga Narcissa tak perlu keluar kamar untuk menemuinya. Karena Draco telah berjanji akan berkunjung di setiap pagi atau malamnya.

"Mengenai kata-katamu soal aku yang menyalamatkanmu pada ibumu tadi, apa maksudnya itu, Malfoy?" tanya Hermione disela-sela langkah mereka. Ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk menahan dalam mengajukan pertanyaan itu, namun pertahanannya runtuh dengan rasa penasaran yang teramat sangat.

"Jadi kau sama sekali belum mengetahuinya, ya?" tanyanya, ada cemooh dalam suara itu. Tapi Hermione tak peduli. "Ingatkah kau, pada malam kau terlelap di kamarku terakhir kalinya, kau melakukan apa?"

Hermione tak menjawab, dia sama sekali tak ingat. Tapi bagaimana mungkin sesuatu yang sepele menimbulkan keajaiban yang luar biasa?

"Kau memotong rambutku, Granger." Kata Draco. Hermione mengerutkan dahinya, menganga. Dia seolah seperti baru saja dipermainkan dengan dilempari teka-teki berjawaban paling tolol yang pernah ada. Namun mau tak mau, logikanya tak bisa lagi meluas dengan kemungkinan yang lain. Toh memang benar begitu instruksinya, buku Kutukan yang Tak Seharusnya memang benar. Tapi, Merlin, dengan rambut? Yang benar saja, kenapa hal itu sama sekali tak terpikirkan olehnya?

Mereka dalam keheningan yang panjang, sampai pada akhirnya berbelok di koridor. Draco melambaikan tongkatnya, sehingga tirai pada lukisan Abraxas Malfoy menutup. Hal yang tak pernah bisa dilakukan tanpa sihir. Setelah mencapai pintu kamar Draco, Hermione ragu-ragu apakah keberadaannya masih dibutuhkan ataukah tidak. Dia bimbang, berhenti di belakang Draco, lalu cowok itu menoleh.

"Masuklah, ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Jantung Hermione berdegup lebih cepat, hal macam apa yang akan Draco bicarakan bahkan dengan memintanya? Kakinya terasa kaku saat melangkah mengekori Draco. Dan ketika sampai pada kamarnya yang temaram, suasana itu sama sekali tak mengurangi kegugupannya.

"Aku sudah memikirkannya," kata Draco. "mengenai apa yang kita bicarakan beberapa waktu lalu."

"Aku tak benar-benar—"

"Aku akan kembali pada pasukan Pelahap Maut." Ujarnya, seolah Hermione tak memberikan interupsi. "dan banyak kemungkinan yang terjadi. Aku sudah mengetahui dan melakukan banyak hal selama ini. Aku tahu cepat atau lambat aku harus kembali, namun belum terpikirkan kapan. Namun setelah malam itu, aku berpikir bahwa inilah waktunya."

Hermione hanya menatapnya, ada pancaran rasa bersalah dimatanya.

"Pangeran Kegelapan menginginkan aku untuk memperluas kekuasaannya di berbagai belahan dunia. Dan mungkin hal itu akan kulakukan disepanjang hidupku. Dan mungkin akan banyak pertikaian yang terjadi antara sesama Pelahap Maut untuk mengejar posisi itu. Ingatkah kau pada malam ketika pertemuan itu diadakan? Barnaby memojokan ayahku—yang sebenarnya kesalahan itu sama sekali tidak ada padanya. Aku hanya akan memberitahumu garis besarnya, dan harus kau ingat betul, dengan perkataanmu pada malam itu, secara tersirat bahwa kau telah bersedia menenggelamkan dirimu di Manor.

Yang kumaksudkan adalah arti sebenarnya, Granger. Bahwa ketika Manor bangkit, kau aman. Dan ketika Manor jatuh, kau akan tertimbun dengannya. Pengertian ini mutlak, tak bisa kautarik lagi. Maka dari itu dengan posisimu saat ini, kau harus bersedia menjadi pelayanku yang setia."

Ada intimidasi dalam sorotan mata Draco padanya. Seolah mendesak, bukan meminta namun memerintah. Dia tahu seorang Malfoy tak pernah ada dalam posisi memohon, tapi dia akan memberi instruksi—suka atau tidak. Dan Hermione terheran, menyadari semua fakta itu dan kata-kata Draco mengenai semua kemungkinan terburuknya, dia tak menemukan kegentaran di hatinya untuk melangkah mundur atau bahkan berpikir untuk menarik kata-katanya.

Dia menatap mata biru itu lama, bukan karena dirinya bimbang mengatur perkataan yang akan keluar dari bibirnya. Namun dia hanya ingin membukti dirinya sama sekali tidak takut. Wajah Draco kontras dengan cahaya temaram, bahkan dengan rambut pirang yang tertata mantap.

"Aku telah mengabiskan beberapa tahun terakhir dengan amat hina. Hal ini tak bisa lebih buruk lagi kan?" matanya memandang cemerlang. "kau bisa mempercayaiku seluas yang kaumau."

Keyakinan ini seperti sebuah dogma. Dia tak tahu kapan timbulnya keberanian itu—yang jelas dia saat ini mantap dengan apa yang telah ia janjikan. Tatapan Draco menembusnya lama, seperti laser. Yang bahkan seolah bisa menjalar sampai ke hati. Hermione harus mendongak untuk menyeimbangkan posisi itu, karena layaknya seperti sebuah uji coba—dia tak ingin kalah dalam sistem penilaian ini. Sudah cukup puas, akhirnya Draco berkata dengan masygul. "Kita lihat nanti apakah perkataan sesuai dengan perbuatan."

Tentu saja dia tidak lupa tengah berhadapan dengan siapa. Mungkin kaum seperti mereka tidak bisa sepenuhnya menurunkan kearoganan, barang hal itu menyangkut kepentingan mereka sendiri. Hermione tak heran. Maka setelah janji itu, mereka memutuskan untuk menjalani rutinitas seperti biasa.

Beberapa hari setelahnya, Draco tampak lebih giat berlatih. Kali ini Hermione membacakan buku dan memberitahu rapalan mantra yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Draco menyuruh Hermione membaca beberapa buku tentang obat-obatan untuk dirinya sendiri—karena dia tak harus membaca keras-keras. Kadang Draco pergi dengan sapu—untuk mencari informasi yang tak Hermione tanyakan apakah gerangan. Dia memutuskan jika Draco tak memberi tahunya, maka hal itu tidak ada hubungannya dengan dirinya. Kebersamaan mereka tak berjeda setelah Hermione kini punya tugas ekstra.

Pada suatu malam, ketika Draco kembali dari bepergiannya, dia uring-uringan karena tak mendapati Hermione di kamarnya. "Jadi sekarang aku yang harus mengetuk kamarmu?"

Hermione tak tahu kenapa hal ini menjadi sebuah masalah baginya, karena biasanya dia tak mengharuskan Hermione untuk siaga disetiap kepulangan. Maka alhasil dari perdebatan receh itu, Draco memberi peraturan bahwa Hermione harus memakaikan jubah bepergiannya di setiap keberangkatan dan melepasnya di setiap kepulangan.

"Aku pikir ini adil, mengingat kau yang tidak peka dengan apa yang aku butuhkan." Sungguh, sangat menggelikan. Hermione tertawa—dengan terselip kemarahan di dalamnya—namun tetap saja menaati perintahnya. Seringnya mereka bersama, sering pula cekcok terpercik. Namun karena sudah terbiasa dengan hal itu, Hermione mulai memaklumi betapa rewelnya Draco.

"Kenapa kau harus berlatih sampai pagi jika kau sudah merapal mantra itu seharian?" tanya Hermione jengkel pada suatu malam, ketika Draco menghentikan langkahnya saat sudah sampai di depan pintu. Dia sudah kelelahan, hari itu Draco tidak pergi kemana pun. Jadi mereka benar-benar menghabiskan waktu seharian dengan mantra yang diulang-ulang dan buku yang dibaca keras oleh Hermione sehingga dia merasa pita suaranya hampir iritasi.

"Aku masih belum menguasainya," kata Draco dengan santainya. Memutar tongkatnya dengan jari-jarinya. Hermione keheranan kenapa dia masih segar bugar lewat tengah malam.

"Maka kau membutuhkan waktu seumur hidupmu untuk menguasai semua mantra." Gumam Hermione penuh dengan sarkasme, namun akhirnya kembali duduk di depan pintu balkon. Menaruh buku di pangkuannya dengan tangan menahan dagunya.

Draco mempelajari banyak kutukan. Dari kutukan yang sederhana, hingga sampai pada kutukan hitam. Namun masih ragu-ragu dengan efeknya, dia tak berani terlalu banyak merapalkan mantra itu secara cuma-cuma. Karena di keterangan tertulis setiap Sihir Hitam mempunyai efek samping yang sulit diketahui oleh si penyihir yang menggunakannya.

Saat hampir pukul dua pagi, ketika mereka sama-sama tenggelam dalam keadaan, Hermione termangu menatap sosok Draco di balkon—mengarahkan tongkat sihirnya ke langit, menyebabkan timbulnya berbagai cahaya disetiap kutukan. Cowok itu selalu dengan pakaian yang sama—baju lengan panjang dengan kerah tinggi hitam. Namun kali ini dia melipat lengan bajunya hingga ke siku, menyebabkan otot-otot tangannya timbul dalam setiap usaha melempar kutukan.

Draco selalu bisa memberikan kesan. Dia selalu punya kesombongan disetiap kalimat, namun semua itu tertata dengan rapi dan perbedaannya, kini tak lagi menyakiti hati. Dia selalu memiliki tatapan mengintimidasi, namun kali ini Hermione tak melihat ada unsur menjatuhkan. Draco masih punya ambisi—mengingat tahun terakhir mereka di Hogwarts digunakannya untuk menyusun rencana membunuh Dumbledore—membara di dadanya, seolah menimbulkan badai disetiap Hermione mendengar setiap kata-katanya.

Hermione tak tahu kapan tepatnya pikiran tentang Draco berakhir, sampai akhirnya ia jatuh tertidur.

.

Keesakon paginya, Hermione butuh beberapa saat untuk menyadari kondisi yang ia alami. Rasanya dia tak mengalami kejadian aneh sebelumnya, tapi janggal rasanya saat ia memerhatikan lampu kristal di atasnya—yang jelas tak ada di kamarnya dan hamparan dinding hijau bercorak rumit perak. Tapi yang lebih mendebarkan, tempat tidur dimana ia berbaring saaat ini, sama sekali bukan miliknya.

Hermione membeliak sempurna, dia ingat terakhir kali ia dimana, dan tak mempercayai ingatannya sendiri akan hal itu. Matanya mencari-cari, namun Draco tak ditemukan dimana pun.

"Wah, sudah bangun ya putri tidur kita?" Hermione hampir lompat sangking kagetnya, ia menjulurkan kepala untuk melihat balkon lebih jelas. Konyol sekali.

Ternyata Draco ada di pinggir balkon, sulit untuk menyadarinya jika dengan pandangan gugup sekilas—seperti yang dilakukan Hermione tadi. Cowok itu muncul dengan sapu di tangan kanan dan tongkat mencuat di saku celananya. Dia tak berjubah, nampaknya menjadikan terbang sebagai olahraga paginya. Hermione turun dari tempat tidur, gerakannya gelagapan. Tak berani mengintip pada cermin yang terletak di seberang ruangan. Dia merapikan rambutnya secara asal. "Kenapa kau tak membangunkanku?"

"Terima kasih kembali," cibir Draco, dia berjalan ke meja di samping tempat tidur, dimana ada sebuah nampan berisi teko dan sepiring roti isi. Dia menyeruput minuman di gelas, lalu menatap Hermione dengan datar, membuat salah tingkah. "jadi begitu ya, cara tidurmu, tak memberikan ruang untuk yang lain?"

Hermione membuka mulutnya, mulutnya bergerak lemah tanpa suara. Wajahnya memanas.

"Tak heran, mengingat seperti apa kau di Hogwarts. Tak pernah memberi kesempatan pada yang lain untuk setara denganmu—" Hermione mendengus, dia terlalu berlebihan dalam berumpama, mengingat siapa yang paling menguasai sifat itu diantara mereka berdua. "—tapi untunglah aku bijaksana, jadi aku menyihir tempat tidur ini agar ekstra, dan kau—"

Hermione mendelik.

"Berhenti untuk memegangi kancing bajumu, aku sesentipun tak pernah berpikir untuk menyentuhnya." Hermione sendiri tanpa sadar ternyata meraba-raba tubuhnya, diam-diam memeriksa seolah apakah masih utuh seperti semula atau tidak. Namun nampaknya hal itu membuat geli Draco.

"Well, setidaknya aku pernah tidur di kamarmu dulu, jadi untuk apa sekarang aku merisaukannya?"

"Yeah, kenapa ya?" balas Draco, sinis luar biasa. Namun akhirnya Hermione memutuskan untuk pergi dari kamar itu, merapikan diri dan memungut sisa-sisa harga dirinya yang berceceran di dalam kepalanya. Sampai akhirnya suara Draco menghentikannya untuk menyentuh gagah pintu. "kau melupakan sarapanmu,"

Kalau tadi Hermione mendelik dan mendengus, sekarang ia menganggapnya semacam terkena efek dari kutukan-kutukan hitam yang selama ini ia pelajari. Jadi dengan kernyitan yang dalam, dia menatap nampan di meja dan Draco secara bergantian. Rasanya dia ingin bertanya kenapa, namun dia tak mau tingkahnya kelihatan lebih konyol lagi daripada ini di depan Draco. Maka dengan sesantai mungkin, ia berjalan menuju meja, dan mengambil sehelai roti di sana. Namun dia membeku beberapa saat.

"Malfoy," dia masih menatap benda kurus, panjang dan padat di samping piringnya. "adakah orang lain yang mengunjungi kamar ini?"

"Yeah, Tiny pagi tadi mengantarkan makanan."

Namun Hermione sudah menatapnya. "Peri-rumah tak perlu tongkat sihir."

Draco saat itu di seberang ruangan, membuka lemarinya, dan mengambil jubah berpergian di dalamnya. Kemudian berjalan kearah Hermione, berhenti tepat beberapa senti dari keberadaannya. Ia menatap mata Hermione, memberi kesan menjelajahi mata itu dalam-dalam. "Betul." dia memberi jeda, sudut bibirnya hampir tertarik. "karena tongkat itu milikmu."