6
.
"Tapi, kenapa?" Hermione menatap Draco, mencoba mengorek yang sebenarnya dari mata itu. Namun yang dilihatnya adalah mata biru kelabu yang balas memandangnya dengan tajam dan yakin—memberi kesan padanya bahwa tak ada lelucon selain keteguhan di sana.
"Kupikir, sudah saatnya untukmu benar-benar mendampingiku." Ujarnya. "dan akan lebih berguna rasanya jika orang yang menempati posisi itu adalah penyihir yang bertongkat."
"Tapi jelas kau tak mempunyai kuasa seluas itu—memberi tongkat! Itu hanya Hak Kementerian, kau yang paling tahu itu, Malfoy."
"Oh, begitukah?" Draco mendengus pelan, namun tak mengurangi keseriusan di wajahnya. Responnya khas sekali jika seseorang mencoba membuat lelucon bego dihadapannya. "tepatnya, Kementerian di sebelah mana yang akan berani?"
Hermione menyipit, Draco sama sekali belum berubah. Apakah dia berpikir ayahnya akan membantunya soal ini? Memberikannya banyak dispensasi seperti yang pernah dia lakukan dulu, ketika di Hogwarts?
"Dengar, aku tak mau banyak membuang napas hanya untuk memberikan penjelasan tolol agar kau mau pegang tongkat—itu konyol. Kau bisa menggunakannya kalau kau mau, atau mematahkannya karena kepengecutanmu yang tak berdasar. Tapi kukatakan, kau akan membutuhkannya dan aku telah menjamin tak ada sepatah kata pun keluar untuk protes ketika aku sudah bersuara bersedia untuk menjamin." Kata Draco lugas.
Hermione beralih menatap tongkat di meja, batinnya yang bergejolak tak terelakan. Seorang budak yang memiliki tongkat sihir bisa dituduh melakukan pelanggaran sihir tingkat pertama, karena tuduhannya adalah mencuri dari seorang penyihir atau membunuh penyihir lain. Bahkan, jika seorang penyihir berdarah-Murni atau Campuran memberikannya secara sukarela, akan mendapat hukuman yang hampir sama. Dan hukumannya seumur hidup di Azkaban. Sudah banyak contoh-contoh berjatuhan, Hermione sering membacanya di Prophet ketika di Rumah Bordil dulu.
Matanya menatap penuh kerinduan pada tongkat itu. Warnanya cokelat, tidak lebih dari dua puluh lima senti—Hermione menerka. Dan ada ukiran melingkar disekujur tongkat itu, kecuali pada tempat pegangan. Sudah lama sekali—hampir satu tahun dia tak pernah lagi mengucapkan mantra. Selama itu juga dia menyerah, mencoba melupakan segala keajaiban yang pernah ia lalui di Hogwarts. Tahun-tahun paling berharga dimana dia pernah menjadi penyihir paling bersinar pada usianya, atau mungkin di Sekolah Sihir itu. Setelah beberapa saat, ia menghela napas, raut wajahnya hampir menangis. Dia menggigit bibirnya, akhirnya menggeleng. Matanya kembali menatap Draco. "Aku tak bisa," dia menatap Draco dengan nanar—dia tak sanggup menanam harapan dan menuai kekecewaan yang lebih besar. Terutama membuat sosok dihadapannya makin terjerembab ke dalam situasi yang lebih rumit. "aku tak mau membuat keadaan ini semakin parah. Aku tak mau kau semakin menderita."
Dengan gerakan paling cepat—sehingga Hermione bisa melewatkannya jika ia berkedip, Draco mendorong tubuhnya hingga mereka menghantam pintu. Sehelai roti ditangannya jatuh. Hermione mendelik, terkejut buka main hingga tubuhnya lemas dalam cengkramannya. Cowok pirang itu menciumnya. Mendesak bibirnya ke atas bibir Hermione, lalu menuntut untuk meberi ruang ketika lidahnya memaksa masuk ke dalam mulutnya. Sesaat tubuh Hermione mengejang di bawah sentuhannya. Namun ketika detik demi detik berlalu, ia terkulai lemas, memejamkan matanya. Dia tak sanggup menatap matanya—seolah Hermione berharap dengan ciuman itu, dia bisa menyedot seluruh gundah di hatinya. Menarik kesengsaraan yang selama ini terpikul di pundaknya.
Draco menciumnya lama, semakin menekannya ke pintu. Tangannya tak lagi mencengkram pundaknya, melainkan merosot pindah ke pinggulnya. Lalu menyelip pindah ke punggungnya, merapatkan tubuh Hermione padanya. Memeluknya erat, sehingga Hermione merasakan kakinya terangkat untuk mengimbangi diri. Tangan Draco yang satunya menahan pintu. Kepala Hermione menekan daun pintu semakin kuat, sampai akhirnya—seperti ia memulai, Draco menarik diri secara tiba-tiba. Menciptakan kehampahan yang tak dimengerti.
Mereka bertatapan lama, jarak wajah mereka hanya satu senti. Hermione bisa dengan sangat jelas mencium aroma napas Draco di wajahnya.
"Bisakah sekarang kau percaya padaku?" Draco bertanya padanya. Yang anehnya, sebuah perasaan yakin, terlindungi dan—percaya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ciuman mereka, muncul di hatinya. Lalu dia mengangguk, ya. Draco menciumnya lagi, kali ini pada dahinya. "aku akan melewati semuanya dan kau akan ada di belakangku. Saat ini adalah langkah awalnya."
.
Hermione termenung menatap tongkat itu.
Tongkat yang tak pernah dilihat, disentuh bahkan dimiliki sebelumnya. Draco tak mengatakan bagaimana ia mendapatkan tongkat ini—karena ia sendiri pun tak mau banyak bertanya. Dia terlalu ketakutan akan kebenaran yang nantinya ia dengar. Akankah Draco melakukan hal diluar batas untuk mendapatkannya? Akankah dia…membunuh si pemilik tongkat?
Hal itu yang salah satu dari beberapa komposisi yang menyebabkan ia enggan menerima tongkatnya. Yang paling besar—tentu karena ia tak mau ambil resiko, demi dirinya, Draco akan mendapatkan kesulitan yang lebih besar. Tapi sekali lagi, kenapa? Kenapa Draco rela menanggung beban ini, tanpa mencurigainya atau bahkan mengkhawatirkan diri sendiri? Apakah ia kebal di mata hukum, sehingga ia berani bertindak sedemikian jauh?
Hermione tahu kegunaannya dengan tongkat. Dia bisa melakukan segala hal—kalau-kalau Draco tak di tempat atau mungkin membantu dirinya sendiri dari segala macam bahaya. Tapi bahaya macam apa yang akan menimpanya, sedangkan ia berada di Malfoy Manor dengan baju nyaman dan tempat tidur yang hangat? Hermione terus berpikir, dia tak boleh lengah dalam keadaan apa pun. Maka, ia membuka lagi buku Mantra Pengobatan yang selalu Draco minta agar ia menguasainya. Dia juga kini mulai membaca mantra-mantra ringan yang pernah Draco praktekan, yang belum sempat mereka pelajari di Hogwarts. Akankah semua mantra ini berguna baginya ke depan? Mengingat sepasang mata lain, yang melihatnya menggunakan tongkat, akan langsung menjebloskannya ke Azkaban?
Hermione mengangkat tongkat itu. Begitu lentur, begitu halus kayunya. Sambil bertanya-tanya tentang komposisi tongkat ini, dia mulai melambaikan tongkat itu pelan.
"Priori Incantatem," bisiknya.
Semburat emas muncul, namun tak ada hal terjadi. Hermione terbeliak, menatap tongkat di tangannya seolah melakukan kesalahan besar di luar kuasanya. Tandanya tongkat itu belum pernah digunakan dalam kutukan apa pun. Mustahil jika seseorang sebelumnya yang pernah memiliki tongkat itu, tak pernah merapalkan mantra barang sekali. Hanya ada satu makna, bahwa tongkat itu tak pernah dimiliki. Hermione masih menatap tongkat itu, menilai dengan cermat, sampai bunyi tarr keras mengacaukan pemikirannya. Ia sontak menyembunyikan tongkat itu di bawah selimutnya. Ternyata Tiny—yang beruntungnya mengusap-usap matanya ketika ia berjalan ke arah Hermione. Jelas sekali tak sadar bahwa ia telah menyembunyikan sesuatu.
"Nona Hermione," ujarnya dengan suara nyaring. "Lama tak bertemu,"
Hermione tersenyum padanya, memang sudah beberapa hari ia tak melihat Tiny. Ia menyadari bahwa kini kehadiran Tiny hanya karena panggilan Draco. Lucius sudah menyerahkan semua kebutuhan di rumah padanya. "Halo, Tiny."
"Nona yang baik, maukah malam ini Nona membantu untuk mempersiapkan pertemuan?" kata Tiny. Ia memandang sekeliling gugup. "Tuan Lucius ingin Nona Hermione membantu,"
Tanpa disangka, air mata bercucuran dari mata Tiny. Ia melempar wajahnya pada telapak tangannya. Menutupinya dan mulai tersedu-sedu. Hermione sontak bangkit, bingung sekali. "Tiny! Ada apa? Kenapa kau menangis? Tentu saja aku akan membantumu!"
Tangisan Tiny makin keras, suaranya bergaung ke seluruh kamar Hermione yang kecil. Hermione berlutut, menatap Tiny yang penuh kesengsaraan. Air mata menetes dari celah-celah jarinya yang keriput dan berbonggol. Rupanya hal itu tak membantu. "Tiny peri-rumah yang kejam! Tiny jahat sekali, harus sampaikan hal itu pada Nona Hermione-nya yang baik dan sayang pada Tiny!"
Lalu Tiny jatuh berlutut, kedua tangannya masih menutupi wajahnya. Kini mulai menjatuhkan wajahnya pada lantai, membenturkannya. Kelihatannya seperti sujud berkali-kali, namun dengan cara yang brutal. Hermione dengan cekatan menghentikannya, menarik tangannya dan memaksa Tiny untuk bangkit berdiri. Dengan wajah yang bersimbah air mata, Hermione menatapnya. "Tiny, kenapa memangnya kalau aku membantumu? Bukankah hal itu tak jadi masalah terakhir kali? Tiny—" Hermione mulai susah payah ketika Tiny mulai meronta lagi. "—hentikan dong!" gerakan Tiny mulai melemah, biarpun masih tersedu-sedu. "aku kan baik-baik saja kemarin. Dan pekerjaan kita semakin ringan! Lihat, aku sudah bosan sekali tidak melakukan apa-apa di kamar ini."
"Oh, Tiny peri-rumah yang nakal!" lolongnya, mulutnya bergerak-gerak, tapi tak ada satu patah kata pun yang keluar. Hermione menatap cemas, biasanya tak jadi masalah jika ia membantunya—dulu mereka tak memiliki masalah mengenai saling bantu ini. Tapi kenapa secara tiba-tiba Tiny sedih sekali kalau Hermione membantunya? Adakah hal lain, yang ia sembunyikan berkat perintah Lucius, sehingga ia sebegitu menyiksa diri?
Menepis semua prasangka, karena tak mau terbebani dengan kemungkinan-kemungkinan buruk, ia berkata mantap pada Tiny. "Tiny, aku ingin kau berhenti lukai dirimu sendiri. Dan aku ingin—" Hermione menghela napas lega saat Tiny mulai menegakkan tubuhnya, masih seunggukan namun sudah berhenti meraung-raung. "kau beri tahu aku kapan pertemuan itu di mulai, sehingga kita bisa mengawali tugas."
Lalu dengan penuh pemikiran dan menimbang-nimbang mengenai kejadian apa yang akan menimpa nanti, Hermione mulai bekerja di dapur. Mempersiapkan segala sesuatunya dengan Tiny yang sesekali menatap Hermione dengan nanar. Hermione mencoba menghiburnya dengan bertanya beberapa pertanyaan, yang ternyata itu pun salah—karena Tiny nyaris saja memasukan tangannya ke perapian saat dirinya hampir membocorkan apa yang ia dan Lucius kerjakan selama ini. Maka Hermione dengan panik menarik kata-katanya dan mereka bekerja dalam diam.
Sangking kalutnya menghadapi tingkah Tiny, Hermione sama sekali lupa dengan Draco. Setelah kejadian tadi pagi, hingga hampir sore begini, Draco sama sekali belum menampakan diri. Bahkan makan siang yang ia siapkan tak tersentuh. Hermione mengira ia belum kembali—namun bagaimana bisa? Bukankah ia selalu tahu segalanya, secara misterius? Apakah ia melewatkan informasi super penting ini, bahwa pertemuan akan diadakan malam ini? Berkali-kali menjatuhi pisau dan panci, Hermione bahkan hampir membakar rambutnya—karena bengong di depan api—pikirannya berputar-putar, menggelisahi keberadaan Draco, lalu menghibur diri bahwa pasti ia punya rencana. Tapi, apa? Jika ia tahu, kenapa tak memberi tahu Hermione juga pagi tadi?
Hermione ingin menanyakan apakah Draco sudah tahu mengenai hal ini, namun ia takut Tiny akan bertindak brutal lagi. Sedangkan waktu mereka tak banyak, Lucius bisa muncul kapan saja. Dan Hermione tak mau melihat seorang budak dan peri-rumah bergulat saling memisahkan. Pasti dia akan curiga, dan hal itu akan melibatkannya dalam kesulitan besar. Dia melirik Tiny, terkadang peri-rumah itu mengeluarkan suara seunggukan.
Hari menjelang malam, Hermione melirik celah dari dapur—sudah gelap. Tapi ia tak mendengar gaduh apa pun, yang menandakan kedatangan Draco atau Lucius. Ada yang tidak beres, batinnya. Karena saat beberapa anggota datang ke Manor, kali ini mereka tampak lebih ribut dan memuakan. Lucius belum menampakan diri semenjak datang, nampaknya bersiap. Sehingga para tamu berserakan di Rumah Utama. Bertingkah menyebalkan ketika Hermione datang, mulut mereka bersuara serampangan. Mengeluarkan kata-kata kurang ajar atau siulan yang membuat Hermione menahan diri tak melemparkan sup daging mendidih di tangannya ke wajah mereka.
"Yeah, terus saja menggerayangi meja, seperti Muggle kotor," ujar salah satu yang diujung dengan keji, Hermione menatapnya. Dia Avery, salah satu pengikut yang wajahnya sering muncul di Prophet karena nilai plus, untuk kebrutalannya. "lebih rendahan dari peri-rumah, ya kau?"
Bellatrix Lastrange yang ada di seberangnya tertawa sinting, menampakan gigi kuningnya. Matanya yang berpelupuk tebal menatap tajam Hermione—membuatnya menjauhkan diri secara refleks, takut kalau-kalau ia melompati meja makan dan meraihnya. Segala kemungkinan buruk rasanya bisa terjadi saat itu. "Rendahan! Jelek! Busuk!"
Hermione berbalik, menahan napas saat tawa mulai memenuhi ruangan. Kepalanya panas dengan kebencian yang menggelegak. Buku-buku jarinya mulai terasa sakit karena kukunya mulai menusuk telapak tanganya saat dia mengepalkan tangan. Ini bukan kali pertama ia menjadi bahan hiburan untuk dicemooh. Namun dia sendiri heran kenapa perasaannya belum kebal dengan semua ini. Keinginan ingin meremukan wajah Avery dan Bellatrix membludak. Ternyata harga diri itu masih bersarang di sana. Tersimpan dalam di hatinya.
"Terlalu kasar, si Avery." Hermione merasakan seseorang di belakangnya ketika di lorong hampir mencapai dapur. Dia berbalik dan mendapati Lucius sudah beberapa langkah di belakangnya. Wajahnya pucat, nampak lebih tua dari terakhir kali Hermione melihatnya. Seberapa kuat ia menampakan kearoganannya, Lucius tetap tak bisa menyembunyikan bahwa ia kini tengah berada di bawah tekanan. "Granger, serahkan sisanya pada Tiny. Aku punya sedikit—" dia menelengkan kepalanya,"—urusan denganmu."
Hermione mulai merasakan pertanda. Dia terpaku beberapa saat menatap Lucius, namun mata biru kelabu itu—yang persis seperti milik Draco, namun Draco sudah lama sekali tak pernah memandangnya seperti itu—menatapnya seolah-olah ia melihat sekantong sampah terbengkalai. "Ada apa?"
"Kau akan tahu. Ikuti aku." Lucius berbalik dan Hermione mengekorinya. Mereka berdua berjalan dalam diam, mengingatkan Hermione pada hari dimana pertama kali Lucius mengantarnya menyusuri Manor dan membawanya pada Draco. Dan pikiran itu sama sekali tak disukainya saat ini. Berdua dengan Lucius tak pernah menyenangkan bagi Hermione.
Mereka berbelok ke kanan, menjauhi Rumah Utama di koridor kiri. Perasaan resah semakin menghantuinya ketika Lucius membuka sebuah ruangan. Ruangan itu bukan Sayap Barat, bukan juga ruangan yang pernah ia jelajahi selama ia di Manor. Tapi ruangan itu megah, dengan arsitektur rumit yang mewah, berlatar hitam dan permardani hijau gelap. Hanya sebuah lampu kristal indah yang menerangi. Hermione mengedarkan pandangan, ada sofa di sana, dimana sesorang sudah duduk santai dengan kaki bersilang. Nampak sudah menunggu kedatangan mereka.
"Agak lama ya, Lucius?" Hermione menatap Yaxley lekat-lekat, waspada. "sedang merapikan sesuatu, kukira? Agar lebih rapat?"
"Kau tahu seluruh penjuru rumah ini, Yaxley. Kau menggeledahnya hampir sebulan sekali." Balas Lucius tak sabar, tak ingin repot-repot beramah-tamah. Dia membalas seringai Yaxley dengan tatapan dingin. "sesuai janji. Hanya malam ini."
Anehnya, Hermione malah menerima tatapan mata Yaxley. Kenapa si pirang itu menatapnya dari ujung kepala hingga kaki—seolah laser, Hermione tak tahu. Namun dia dapat merasakan sebuah pertanda buruk yang tak dimengertinya. Dan yang membuat bulu-bulu di tengkuknya berdiri, Yaxley bangkit dan mulai berjalan perlahan kearah mereka. Hermione menatapnya tajam. "Sesuai janji, malam ini." Ulang pria itu pelan, menatap Hermione dengan puasnya. Saat dia melewati Lucius, Yaxley berhenti beberapa langkah dari dimana Hermione berdiri. Wajah orang itu luar bisa pongah, sorot matanya selalu menampakan tatapan seolah tak ada yang setara dengan dirinya. Hermione benci menatap matanya. Dia ingin pergi. Namun suara dalam Yaxley bergema lagi di ruangan, Lucius berputar menghadap mereka. "yang paling kotor memang biasanya juga menjadi yang paling mengganggu. Kau tahu, Lucius?"
Lucius tak menjawab beberapa saat, rahangnya mengeras. "Sama sekali tak kusadari."
"Selalu mau yang bersih, kau ini." Gumam Yaxley, dia menyeringai keji. Hermione tak berkedip, takut hanya satu detik saja—sedetik—ada kejadian buruk yang akan menimpanya. "tapi kau tahu aku kan, Lucius, tak pernah keberatan untuk sesaat. Tapi, entahlah, dia tampak sangat baik. Kau yakin tak pernah sentuh dia, Lucius?"
Rasanya seperti baru saja dipukul tepat pada dada. Hermione beralih menatap Lucius, ini tak mungkin. Lucius balas memandangnya, wajahnya tanpa belas kasih. "Persis seperti yang kaukatakan."
"Lantas bagaimana kalau kita ubah perjanjiannya—" tangan Yaxley maju menyentuh pundak Hermione, merabanya sampai ke dagu, memaksanya untuk mendongak. "kubawa dia. Yah, setelah dipertimbangkan ada ketimpangan di sini. Butuh sesuatu yang lebih banyak dan lebih besar kan, untuk mempertahankan sebuah rahasia yang berharga Malfoy?"
Kali ini Hermione gemetar. Dia tak berani menatap mata Yaxley, alih-alih membatu dengan mata terus tersorot pada Lucius. Bibir Hermione bergetar. Mata Lucius memandangnya—Hermione tahu bahwa bukan harga dirinya lah yang Lucius pertimbangkan. Tidak, sedikitpun Lucius tak akan sudi memikirkannya. Tapi Yaxley telah mempermainkannya, memerasnya. Dan Hermione tahu Lucius sangat tidak suka direndahkan dengan ancaman semacam itu. Jadi dengan perang batin yang bergejolak, ia terdiam. Nampak murka.
"Aku pikir tak sulit bagimu, tak sedikitpun kehilangan. Kau selalu punya banyak penyimpanan untuk membeli budak baru, yang mana saja. Tak peduli tampang mereka seperti apa, asalkan bisa gosok lantai dan menggerayangi meja. Tapi aku—" Yaxley membelai pipi Hermione, membuatnya mual. Suaranya lebih lembut seolah saat ini dia tengah berbicara dengan Hermione. "—aku agak pemilih, Lucius. Dan aku jarang sekali menemukan yang seperti ini di pasaran. Kau tahu, semakin punah saja yang bagus-bagus."
Lucius belum memberi respon. Hermione tak bisa menahan panas di matanya, api kemarah rasanya telah membakar isi kepalanya dan merebak menjadi air mata. Hermione ingin menepis jari-jari hina itu, tapi tubuhnya seakan membatu. Kerongkongannya tersekat.
"Kenapa kau menangis?" kedua telapaknya menyentuh pipi Hermione, suaranya bersimpati palsu memuakkan. "setidaknya kau akan hidup layak, kau akan tidur di tempat yang nyaman dan tentu saja—aku akan memberikan pakaian yang kaumau. Kau bisa mendapatkan semua yang kauinginkan, ya—tentu saja kecuali kebebasan. Karena kau sudah tepat dengan dimana sekarang kau berada—"
"Dan kau akan memerahnya setiap malam, Yaxley, seperti ternak perempuan jalangmu yang lainnya?" ada yang mencabut paku di badan Hermione, hingga dia bisa berbalik dengan cepat. Yaxley telah menurunkan tangannya, bahkan Lucius tak lagi berdiri seperti dungu. Mereka bertiga membeliak pada pintu—siapa pun pasti akan melakukan hal yang sama. Jantung Hermione seperti merosot pindah ke perut.
Draco berdiri di ambang pintu. Dengan pakaian rapi dan jubah hitam panjang menyapu lantai, dia luar biasa sehat dan cemerlang. Wajahnya tanpa ekspresi.
"Interupsi tampaknya tak jadi masalah, pintunya terbuka, karena seluruh penjuru tempat ini adalah miliku, maka kurasa aku berhak untuk memberi komentar dengan segala aktivitasnya." Yaxley nampak belum kembali pada kesadarannya untuk memahami kata-katanya, terlebih membalas. "apa yang kau lakukan di sana, Granger? Bukannya aku memerintahkanmu untuk selalu di tempatmu?"
Hermione tergeragap, dia menyeka beberapa air mata di pipinya dengan gemetar dan berjalan menuju pintu. Draco memiringkan tubuhnya, memberikan ruang agar Hermione bisa melewatinya. Namun pundaknya tertahan, dipaksa berhenti dan berbalik.
"Aku ingin kau juga mendengar ini, Granger." Hermione kali ini bisa menatap wajah Lucius dan Yaxley di seberang ruangan. Ekspresinya seolah tak pernah melihat makhluk seperti Draco sebelumnya. Namun Yaxley-lah yang pertama menguasai diri, dia menegakan diri, membenahi jubahnya dengan angkuhnya.
"Nampaknya kau menikmati pelajaranmu, Draco."
"Aku tak akan kembali tanpa hal yang kalian perbuat, tentu saja. Terima kasih untuk itu." Lucius kali ini tersadar, dia bernapas lebih cepat, namun tak bisa berhenti mendelik menatap putranya. Seolah dia seorang yang bangkit dari kuburnya.
"Kukira ada kesalah pahaman di sini." Kata Yaxley, matanya menyipit. "tak ada yang lebih buruk daripada apa yang ayahmu lakukan, mungkin kau tak tahu? Mengingat kau sibuk belajar beberapa bulan terakhir?"
"Aku sulit untuk menimbang mana yang paling buruk, karena Pangeran Kegelapan pun tak mempercayakan tugas itu padamu, Yaxley. Dan kita semua tahu kesetianmu sama dengan yang lain. Tapi bagaimana Dia bisa mengabaikanmu begitu saja?"
Yaxley merah padam, wajah angkuhnya berubah marah. Tampangnya persis seperti orang yang habis ditampar keras-keras. Dia mendengus menghina, namun tak ada sepatah kata pun keluar dari sana. Tapi nampaknya hal ini menjadi sebuah kesempatan bagi Lucius, ia maju mendekati Draco. Raut wajahnya nampak hati-hati dan seolah menahan sesuatu. Dia tak berkedip sekalipun.
Hermione yang tahu keadaan sebenarnya diantara mereka—mengawasi Draco dengan lekat. Dia takut kalau saja si pirang lepas kendali. Dia berharap Lucius menenggelamkan diri di lantai dan tak mengeluarkan sepatah kata tolol apa pun. Karena bisa saja, hanya dengan keberadaannya, mampu menimbulkan reaksi yang tak terduga dari Draco. Dan kalau pun hal itu terjadi, Hermione ingin menjadi satu-satunya saksi mata. Orang seperti Yaxley akan menyebabkan keadaan beratus-ratus kali lipat lebih buruk. Draco menatap dingin, sama seperti ia menatap Yaxley. Seolah mengenyampingkan fakta—walaupun selama lima bulan mereka tak berinteraksi—Lucius tetap ayahnya.
Namun nampaknya bukan seorang Lucius Malfoy namanya jika bukan orang tolol tak berperasaan. "Draco, bisakah kita…bicara?"
"Tentu, kau akan mendengarku di meja nanti, Ayah." Ada penekanan dalam kata terakhirnya. Dan nampaknya Lucius menyadarinya, seperti tersiram air yang panas, dia berjenggit. Menghela napas berat. Namun Draco mengacuhkannya, dia menatap Yaxley lagi. "tapi aku disini untuk bicara denganmu, Yaxley."
Yaxley tak merespon, nampak siaga.
"Setelah malam ini kau meninggalkan Manor, aku tak pernah lagi mengijinkanmu untuk menginjakan bagian manapun di rumahku selain ruang pertemuan. Kau akan berhenti meraba-raba untuk mencari tahu apa yang kami lakukan dan menyentuh apa pun milik kami." Suaranya berbahaya, Draco menatapnya tajam. "jika kau melanggarnya, kau tak pernah bisa menyentuh perempuan manapun lagi dengan jari-jarimu."
Setelah melemparkan pandangan penuh menghina, ia berbalik, meninggalkan kedua orang di ruangan itu yang melongo dengan tololnya. Draco sempat menabrak pundak Hermione, membuatnya goyah namun langsung mengekori kepergiannya. Mereka berdua berjalan di lorong yang remang dan panjang—tempat yang ia dan Lucius lewati tadi. Hermione memandang punggung Draco, masih tampak shock dan terkesima dengan kejutannya—ia belum bisa memastikan perbincangan apa yang pantas untuk memulai percakapan mereka, walaupun ada ratusan tanda tanya di dalam kepalanya. Draco tentu saja sudah kembali ke kamarnya, mengingat bukan ini pakaian yang ia pakai ketika pergi pagi tadi. Namun kemana dia dan apa yang dia lakukanlah yang saat ini begitu amat penasaran ingin diketahuinya.
"Tiny beri tahu aku tidak pada waktunya, sebenarnya. Dia tentu saja harus menyiksa diri lebih banyak daripada menyampaikan kata-kata." Kata Draco, seolah bisa membaca pikirannya. Mereka berbelok di koridor, sebentar lagi mereka akan mencapai koridor menuju ruang pertemuan. "hal tadi cukup untuk menampar si bangsat itu dan mendiamkan sementara, tapi aku tak yakin dia akan tinggal diam kedepannya. Selalu rela lakukan yang paling keji, si Yaxley."
Akhirnya mereka sampai pada pintu besar dimana ruang pertemuan berada. Draco berhenti dan berbalik, menatapnya. "Aku mulai tak suka melihatmu berkeliaran di tengah para brengsek itu. Setelah malam ini, semua akan berubah. Kau harus menunggu. Dan dimana tongkatmu?"
"Kau gila ya, menyuruhku bawa-bawa benda itu sementara aku berada di kerumunan orang-orang yang melaknatnya?" katanya.
"Mulai sekarang sembunyikan di selipan pahamu. Itulah mengapa aku mempelajari mantra dengan kau yang harus membacakannya untukku—gunakan saat keadaan mendesak. Aku tak setiap detik ada di punggungmu untuk ancam mereka."
"Tapi mana bisa aku berpikir dari sudut pandang itu—" sebelum Hermione sempat menyelesaikan kata-katanya, Draco sudah menutup mulutnya dengan telapak tangan dan mendorongnya menjauhi pintu ke koridor yang lain, mereka merapat pada pintu yang menjorok ke dalam di sepanjang koridor. Ada langkah-langkah mendekat—nampaknya Lucius dan Yaxley memasuki ruang pertemuan. Untuk kali ini, Hermione bersyukur koridor selalu bercahaya remang. Saat keadaan sudah stabil, Draco melepaskan tangannya, Hermione mendelik. Dia berkata sinis."kelihatannya rencana memakai tongkat bukan ide yang disetujui siapa pun, kan?"
"Tetap menjauh dari bahaya. Kau tahu yang kumaksud bahaya, kan?" katanya seolah Hermione tak bicara. Sosoknya yang tinggi menutupinya dari cahaya, sehingga wajahnya hanya berupa siluet. Dia tak bisa melihat ekspresinya, namun dari suaranya terkesan bahwa ia serius dengan kata-katanya. "dan kau dengar apa yang kukatakan pada Yaxley soal mencari tahu lebih dari yang seharusnya tadi."
"Apa ada hubungannya denganku?" sambar Hermione kenes.
"Hanya mengingatkan bahwa siapa pun akan bernasib sama jika dia bertingkah bego seperti itu."
Hermione menampilkan wajah seolah ia baru saja dihina. Dia sama sekali tidak senang dengan cara Draco mengajarinya—menyamai tindakannya dengan brengsek seperti Yaxley. Tapi tak ada selaan atau protes.
"Nah, sekarang pergilah ke Sayap Barat. Jangan munculkan pantatmu dengan sembarang kepala pirang."
Hermione benar-benar menatapnya dengan marah. Namun ia tetap pergi dengan patuh.
.
Sebenarnya ia ingin sekali tahu apa isi dari Pertemuan itu. Hermione punya kesempatan untuk menguping, mengingat ia pernah melakukannya. Draco memang tak sepenuhnya menyindir—dia memang benar soal keingin tahuan Hermione yang berlebih. Namun ia kesal mengingat bagaimana cara cowok itu memperingatkannya, seolah ia yang menawarkan diri pada Yaxley, diujung pembicaraan mereka. Tentu saja Draco tahu apa yang terjadi, tapi rasanya tipikal sekali jika ia selalu menyelipkan kata-kata tak pantas untuk sesuatu yang bisa dikatakan lebih baik.
Mengenyampingkan semua itu, Hermione membersihkan tubuhnya dan membaringkan diri di tempat tidur. Dengan tongkat di tangan dan buku di pangkuan, ia mulai mempraktekan mantra sederhana untuk menajamkan kembali memorinya. Mantra-mantra yang ia rapalkan berhasil. Dia bertekad akan mencoba yang lebih sulit besok—di kamar Draco.
Dia tak mengerti kenapa Draco dengan gigih menyuruhnya untuk terus waspada dan memerintahkannya membawa tongkat kemana pun ia pergi. Mereka punya resiko yang lebih besar daripada menghalang-halangi orang-orang itu untuk memantrainya. Hermione mengira-ngira, yang paing parah adalah Kutukan lelucon—hanya untuk membuatnya tampak terhina dan menjadikannya hiburan bagi yang lain. Sedangkan jika dia mengacungkan tongkat di salah satu dari mereka, atau bahkan di kerumunan orang sinting itu, dia akan mendekam seumur hidup di Azkaban. Nasib yang sama kemungkinan akan terjadi pada Draco.
Saat hampir tengah malam, Hermione mengintip di balik pintu, mengawasi pintu kamar Draco. Bertanya-tanya dalam hati kenapa ia belum kembali. Apakah mereka melakukan suatu hal sejenis penyambutan? Atau bahkan sebaliknya? Hermione tak bisa menahan diri, ia keluar dari kamarnya, mengendap-enda pada lukisan Abraxas Malfoy yang tertidur pulas (lukisan itu terbuka, Hermione sangsi apakah lukisan bisa membuka sendiri tirainya, namun Draco pun sepertinya bakal enggan membukanya) dan memasuki kamar Draco.
Cowok itu belum memasuki kamarnya. Bahkan makan siangnya masih belum tersentuh, serta pintu ke balkon masih menjelebak terbuka. Hermione menutup pintu di belakangnya secara perlahan. Dia berjalan kea rah balkon, menimbang-nimbang mungkinkah Draco akan muncul dari sana, kembali seperti hari-hari yang lalu. Namun hatinya sendiri menjawab dengan masam, tentu keadaan akan berbeda kedepannya. Draco tak perlu lagi mengendap-endap, bersembunyi di rumahnya sendiri. Sekarang ia bisa melenggang bebas, melebarkan jubahnya kemana pun dia mau. Lalu perasaan yang aneh datang menyelubungi hatinya. Yang selalu ditepisnya, namun kini semakin kuat.
Dia bukan lagi satu-satunya orang yang akan diandalkan oleh Draco, bukan lagi yang hanya mengetahui rahasianya. Setelah semua ini, Draco akan kembali pada barisan yang menimbulkan jarak antara mereka. Tentu saja posisi apa pun yang akan ditempatinya, mereka akan merasakan perbedaan itu. Bahwa Draco akan kembali menjadi Pangeran dan Hermione menjadi Budak tak berharganya. Lalu ada yang menyumbat kerongkongannya, yang taka da hubungannya dengan dinginnya malam yang merasuk hingga ke tulang.
Draco sudah bersamanya, setelah semua. Hanya mempercayainya seorang, dan besok mungkin dia akan membawa orang lain ke Manor—yang lebih dipercayai, yang lebih mempunyai kemampuan untuk membantunya. Hermione akan dikesampingkan. Seperti yang dikatakan Yaxley, menggosok lantai dan menggerayangi meja.
Tapi ini yang paling baik untuk Draco, kata hati kecilnya. Dengan begitu dia akan aman, terhindar dari kemurkaan Pangeran Kegelapan. Seharusnya dia mengabaikan pemikiran mengenai diri sendiri. Egois, begitu sebutan yang tepat. Dia sungguh egois jika masih mengkhawatirkan diri sendiri, dibanding keselamatan Draco. Saat jauh sudah lewat tengah malam, Hermione hampir terpejam di tempat tidur Draco, dia dikagetkan bunyi tarr keras sehingga hampir melompat. Hermione geragapan mencari sumber suara, dia sudah berharap melihat keajaiban, namun yang dilihat hanya seekor peri-rumah kecil menciut. Menatapnya dengan dua bola mata menonjol dan senyum sedih. Pikirannya terlalu sibuk pada Draco, sehingga dia lupa bahwa tak ada siapa pun yang bisa ber-Disapparate di dalam Malfoy Manor.
"Nona Hermione!" Tiny berlari, matanya merah sembab. "Tiny peri-rumah yang jahat—"
Hermione sudah menggapai tangannya, menghentikannya untuk melukai diri sendiri. "Sudahlah, Tiny. Tak apa, aku sama sekali tak marah padamu. Draco datang tepat pada waktunya."
Tiny berhenti bergerak, namun matanya agak berubah cerah. Dia memandang Hermione memuja dan penuh sayang. "Oh, baik sekali hati Nona Hermione, Tiny benar-benar tak pantas menerimanya. Apa yang harus Tiny lakukan untuk menebus kesalahan pada Nona-nya?" dia meremas-remas jari tangannya, lalu berkata lagi. "Tiny harus sampaikan berita untuk Nona. Sepertinya Tuan Muda Draco tak bisa kembali untuk waktu yang tak bisa ditentukan, tapi setelah ia kembali, Nona diperintahkan untuk ikut dengannya."
"Ikut dengannya? Kemana?" Hermione membeliak tak percaya.
"Oh, Tiny pun tak tahu. Sepertinya Tuan Muda hanya ingin menyimpan rahasianya sendiri." Tiny memandang kearah lain, masih meremas-remas jemari tangannya yang berbonggol. "Nona diharapkan untuk bersiap dan diperbolehkan untuk menjelajahi Manor secara bebas. Sehingga bisa keluar asal tak melebihi gerbang—" saat melihat kerutan di dahi Hermione, Tiny mengangguk-angguk meyakinkan penuh semangat. "—oh ya, tentu saja! Nona tak perlu khawatir dengan Tuan Lucius, karena Tuan tak akan kembali, kepergiannya sama dengan Tuan Muda."
Kerutan di dahu Hermione perlahan-lahan memudar, dia tersenyum hangat. Dia tak bisa membayangkan dengan keadaannya yang sulit, Draco masih memikirkan kenyamannya. Tapi masih ada rasa keingin tahuan di sana. "Apakah…apakah Draco tak bilang kapan tepatnya ia kembali atau kemana ia pergi?"
Raut wajah Tiny berubah sendu. "Oh, apakah Tiny haus terpaksa bicara?" Lalu seperti ada yang menyumbat kerongkongannya, Tiny mendelik, mencengkram lehernya. Hermione kembali menggapai tangannya, Tiny tersenyum lega. "Tiny tak bisa berhenti menyiksa diri jika hampir mengatakan sesuatu." Ia berhenti sesaat. "Tapi Tiny sangat sedih ketika setelah pertemuan tadi, Tuan Lucius dan Tuan Muda Draco terlibat perselisihan. Oh, keadaannya panas sekali. Tuan Lucius sudah mengangkat tongkat…"
"Apa yang mereka perdebatkan?" Hermione sudah menduga jawabannya, namun meleset ketika ia mendengar suara Tiny yang bergetar menjelaskan.
"Suatu keputusan yang dibuat Tuan Lucius atas Tuan Muda Draco. Dan Tuan Muda sama sekali tak senang dengan itu, sehingga ia meninggalkan Tuan Lucius yang sudah mengancamnya dengan tongkat. Namun Tuan Muda mengindahkannya dan pergi bersama pasukan. Tuan Lucius marah sekali."
Jika perkiraannya benar, tak mungkin Lucius yang marah dengan Draco. Pasti akan sebaliknya, mengingat bagaimana ia diperlakukan dan dendamnya selama ini. Lalu prasangka akan suatu hal yang lain sangat kuat. Apa yang sekiranya diperdabatkan Lucius dan Draco di malam pertama mereka bertemu, setelah semua? Hermione tak berani menanyakan hal itu secara mendetil pada Tiny. Dia tak ingin melihat reaksi dari peri-rumah itu, juga sangat enggan untuk menghalanginya melukai diri. Maka saat Tiny pamit pergi akan tugas yang lain, Hermione menghenyakan diri ke tempat tidur.
Pikirannya bergulat dengan berbagai kemungkinan.
.
Pada hari kelima, Draco kembali.
Dia membawa beberapa pakaian baru untuk Hermione, dengan dalih bahwa dia harusnya memuaskan diri memberikan seorang budak pakaian. Setidaknya, mereka tak akan terbebaskan. Hermione yang mendengar lelucon itu mengerucutkan bibir, sama sekali tidak senang. Namun setelah melihat bentuk baju yang diberikan, Hermione yakin sekali bahwa itu mempunyai nilai. Dia sangat berterima kasih sampai-sampai tak sengaja mengalungkan lengannya pada leher si pirang. Namun dengan merah padam, sedetik setelahnya ia melepaskannya.
Kejadian itu bukan berarti Hermione melupakan momen dimana mereka pernah beradu bibir—tidak sama sekali mengingat sebagian pikirannya selalu dipenuhi sekelebatan kejadian itu. Seolah-olah terulang kembali. Hermione awalnya berusaha menepisnya. Ia malu pada dirinya sendiri. Terlebih, ketka Tiny pernah mengunjunginya dan bicara panjang lebar mengenai masa lalu Draco. Dia ahli dalam banyak mantra, namun yang paling jago adalah mantra Pengendalian Ingatan. Hermione tak mau Draco menggunakan Legillimens—dia lebih baik bunuh diri.
Pada pagi itu, sesuai dengan apa yang pernah Tiny sampaikan, Draco akan mengajaknya pergi. Alih-alih bertanya, Draco telah menyuruhnya untuk bersiap dengan baju dan jubah bepergian yang dibelikannya. Draco sangat pucat, seperti biasa. Dan nampaknya suasana hatinya tak begitu baik, karena ia lebih diam dari biasanya. Hermione hampir mengenalnya, gejala ini dialaminya jika Draco benar-benar punya sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Sudah siapkan tongkat di selipan pahamu?" tanyanya saat mereka mencapai gerbang. Hermione mengangguk. Draco mengangkat tongkatnya, merapalkan mantra yang rumit. Lalu mereka melangkah melewati gerbang—ajaibnya gerbang seolah maya, dapat ditembus. Draco menggenggam jemarinya, lalu mereka ber-Apparate.
Hermione berdiri kelimpungan, merasa mual dan baru fokus beberapa detik setelahnya. Mereka sudah berada di tengah hiruk pikuk keramaian, dimana banyak toko-toko suram di pinggir jalan, mata-mata orang-orang yang melihat secara tajam (beberapa menunduk dan menyapa dengan suara rendah "Selamat pagi, Tuan Malfoy.") dan jeritan-jeritan menyakiti telinga. Hermione menengok pada sebuah toko, beberpa langkah dari ia berdiri. Sumber suara itu dari sana, saat hendak melihat etalasenya, Draco telah menariknya berbalik menjauh. Mereka berjalan lurus hingga berbelok pada sebuah lorong.
"Masih di sana, Granger?" gumam Draco. Dia berjalan tegap di sampingnya. Nampaknya, si pirang membaca kebingungan di wajahnya. "tempat tadi hiburan, Darah-Lumpur yang dipertontonkan. Beberapa hanya dipajang, beberapa ditelanjangi. Kalau benar-benar sial akan dikuliti."
Hermione mengerutkan keningnya, dia takjub dengan nada santai Draco. "Dan kenapa mereka melakukan hal itu?"
"Kau tahu, Granger, mungkin sebagian orang mempunyai selera humor yang berbeda." Jawabnya singkat. Hermione ternganga, tempat sialan macam apa itu? "merasa sangat beruntung kan sekarang?"
Dia tak menjawab. Namun sama sekali tak merasa beruntung atau senang dengan keadaannya sekarang. Hermione pikir, semua Darah-Lumpur mengalami nasib yang tak jauh berbeda darinya. Menjadi budak dan yang paling buruk menjadi pelacur. Namun ditelanjangi hingga dikuliti sama sekali jauh dari perbuatan yang layak dilakukan kepada manusia. Terakhir kali dia menghirup udara luar dan masih bisa mendapatkan Prophet, keadaannya tidaklah separah ini. Lantas di bagian bumi yang mana dia? Apa maksud Draco membawanya ke tempat hina macam ini?
Saat sampai pada sebuah bangunan bertingkat yang lebih bersinar daripada bangunan yang lain, Draco membawanya masuk. Ternyata sebuah rumah minum yang cukup manusiawi. Dengan jendela-jendela besar dan tempat yang kelewat bersih. Pelayan di sana memakai pakaian dan bercelemek. Saat melihat Draco, pelayan yang paling dekat dengan jarak pandang, menghampirinya.
"Ah, Tuan Malfoy. Sudah sangat ditunggu kedatangannya. Silahkan." Si pelayan ini kecil dan kurus ini membungkuk dalam-dalam, rambutnya hitam kelimis. Dia mengantarkan mereka jauh memasuki rumah minum, hingga sampai pada pintu diujung. Ketika pintu itu dibuka, mereka dituntun untuk menaiki tangga yang besar dan tinggi. Diujung tangga, seseorang sudah berdiri menyongsong.
"Draco, Draco!" Hermione mengenalnya, Blaise Zabini di tahun yang sama dengannya saat di Hogwarts dulu. Namun tentu saja ia Slytherin. Si cowok jangkung berkulit gelap itu menyambar tangan Draco dan membawanya pada pelukan singkat. Melalui punggung Draco, ia menatap Hermione dengan seringai. "kau benar-benar berniat, kan?"
"Aku tak akan membahasnya lagi." Kata Draco, Blaise menuntunnya ke sebuah koridor. Draco memberi isyarat Hermione untuk mengikuti. Saat ia memasuki sebuah ruangan, Hermione tahu kenapa Blaise bisa menunggu kedatangan mereka. Seluruh jalanan bisa dilihat dari sini. Pasti ia telah melihat Draco dengannya memasuki rumah minum ini. "kau punya beberapa buku?"
"Well, tak sebanyak di rumahmu, tentu saja." Katanya sambil berkedip. Dia terus menatap Hermione. "baik-baik saja, Granger? Belum lupa caranya ber-Apparate, kan? Atau kau naik sapu?"
Hermione menyipit. "Sudah mencoba membetulkan otakmu, Zabini? Terakhir kali kuingat kau sering membenturkan kepalamu ke tanah dari atas sapu."
"Nampaknya memang tak ada satu hal pun yang bisa mengubahmu, ya? Walaupun era kini telah berubah…"
"Nampaknya kalian sudah melakukan salam hangat dengan baik. Jadi aku tak perlu khawatir." Kata Draco. Ia berjalan pada salah satu sofa dan duduk bersandar dengan kaki bersilang. Tangannya nyaman pada sisi-sisi lengan sofa. Ia menatap jendela sebelum menangkap mata Hermione dan memandangnya lekat-lekat.
Hermione menatapnya mencela. "Maaf?
"Aku harus meninggalkanmu di sini untuk beberapa waktu." Ujar Draco, memandangnya datar. Seolah ia baru saja memberi tahu Hermione bahwa ia kini di bebaskan dari status budaknya. Hermione menatap dengan bingung.
"Tapi kenapa?"
"Bukan hal yang harus dikhawatirkan. Aku hanya meninggalkanmu beberapa waktu—" ia menatap ekspresi Hermione dan menambahkan. "—tentu saja aku sudah menyiapkan teman agar kau tak terlalu kesepian."
"Teman?" dia lebih baik dikurung sendirian daripada harus berteman dengan siapa pun saat ini. "Tunggu dulu, Malfoy. Kau sama sekali tak menjelaskan apa yang terjadi dan kenapa aku harus di sini—"
"Dan aku pun tak mempunyai cukup banyak waktu untuk mendengar lusinan protesmu akan hal ini." Ia mengecek arlojinya. "dengar saja. Kau akan baik-baik di sini, tak kurang satu apa pun. Tentu saja Blaise akan—" Hermione hendak bicara namun Draco menyumbat kata-katanya. "—menjadi teman yang baik selama kau di sini. Tak akan lama."
Hermione menatapnya tak percaya. Bagaimana Draco bisa mengambil keputusan tanpa membicarakan terlebih dahulu dengannya? Hermione rasanya ingin menampar wajah tentramnya saat itu.
"Ya ampun, manis sekali perpisahannya. Apa aku boleh muntah?" kata Blaise diulur-ulur, lalu bersiul-siul tanpa melodi.
"Jangan bertingkah, oke?"
Hermione tak sudi menjawabnya. Maka dengan dengusan, ia mengalihkan tatapannya menatap jendela. Kerongkongannya tersekat, permainan bego apa lagi yang akan dilakukannya? Meninggalkan Hermione dengan salah satu orang yang dibencinya dulu, apakah Draco mengharapkan Hermione dibawa paksa untuk disiksa dan ditelanjangi di depan umum, persis seperti yang ia jelaskan tadi?
Namun nampaknya Draco tak mau bersusah payah untuk mendapatkan persetujuan. Dia beralih pada Blaise. "Persis seperti yang kubilang, Blaise."
Blaise berhenti bersiul-siul. "Semua sudah kucatat di buku harianku, Draco." Katanya dengan nada manis dibuat-buat.
Draco masih mengawasi Hermione dengan tatapan yang sulit di tebak. Dia menggoyangkan kakinya dengan santai, dan Hermione jengkel melihatnya begitu. Draco selalu mempunyai rencana rahasia sialan, tapi apakah dia benar-benar tak boleh tahu biarpun hal itu tentang dirinya? Hermione melipat tangan dan terus memberengut menatap jendela, dia merasa dua pasang mata menghujaminya dengan penilaian konyol akan dirinya.
"Kemarilah, Granger." Kata Draco pelan, Hermione meliriknya. "kemarilah agar Blaise tahu siapa kau ini."
Hermione kebingungan dengan maksud kata-kata itu, namun akhirnya mendatangi Draco dengan dahi yang berkerut masih mempertahankan kemarahannya. Sampai ketika tepat di depannya, Draco menyentuh lengannya, menariknya untuk berlutut di depannya. Ekspresi Draco belum berubah, dia memandang wajah Hermione lekat-lekat seolah hanya dialah yang bisa ia tatapi di ruangan itu. Jari-jarinya yang panjang menyentuh pipinya Hermione, membelainya perlahan hingga turun sampai ke dagu. Draco mengangkat wajahnya.
"Setelah malam ini, aku akan berjanji padamu bahwa kau akan mendapatkan hidup yang lebih layak. Kau akan tidur di tempat tidur yang sama denganku, menikmati semua yang ada di Manor seolah kau memilikinya. Tapi aku hanya minta setelah malam ini. Maukah kau untuk mengerti?" Mata Hermione melebar, Draco ternyata tak membutuhkan jawaban. Ia membungkuk dan mencium dahi Hermione. "bagus."
Draco meremas pundaknya dan bangkit, ia mendatangi Blaise dan mereka berdua berdampingan menuju pintu. Mata Hermione mengekorinya, Blaise dengan erat merangkul Draco, berbisik dengan ritme yang cepat di telinganya. Saat sosok mereka menghilang di balik pintu, Hermione maih berlutut dan termangu.
