7
.
HERMIONE tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa keluar dari Malfoy Manor begitu menggelisahkan keadaannya. Dia mendalami pikirannya sendiri, membiarkan buku-buku yang telah disediakan untuknya bertumpuk sia-sia. Dan disinilah ia sekarang, duduk di sofa dalam ruangan sendirian, dengan jari-jari menopang dahi, menatap kosong pada permadani hias menawan di bawah kakinya.
Ia benci jadi orang bego begini. Hal yang paling dihindarinya selama dia hidup. Mencoba menerka-nerka, menggapai-gapai tapi dalam kegelapan pekat. Hingga hasilnya nihil dan membuat frustasi sendiri. Selama berbulan-bulan dia selalu disuruh menunggu. Bahkan seekor peri-rumah juga sering menyuruhnya menunggu. Dia ingat jika wajah Tiny muncul, kalau bukan bawa kabar buruk maka dia akan disuruh duduk manis dengan tolol. Tak diberikan peluang untuk sekedar bertanya apalagi protes.
Di luar sudah gelap dan hujan deras. Dia ingin tahu, apa perlunya hujan setelah hampir berbulan-bulan cuaca dingin bukan main. Toh juga makhluk mana pun sedang tidak butuh air sekarang, mengingat embun dan uap membuat lembab di mana-mana. Oh, konyolnya. Sekarang dia malah jengkel dengan cuaca. Yang benar saja.
Hermione menoleh ketika pintu di seberang terbuka. Bukan kepala cepak Blaise yang muncul—cowok itu tak kembali lagi setelah dia mengantar Draco, baguslah—namun lebih parah lagi. Hermione menegak sejadi-jadinya.
Theodore Nott, Demi semua milik Merlin. Hermione melihat cowok berambut brunette itu dengan perlahan menutup pintu di belakangnya—matanya tak lepas memandang Hermione sedari ia muncul. Dengan perlahan, seperti ragu-ragu apakah ke arahnya adalah ide yang baik, Theodore melangkahkan kakinya. "Lama tak bertemu, Hermione." Melihat Hermione sama sekali tak berniat membalas kata-katanya, ia berdiri jauh. Tangannya nampak kaku di kedua sisi tubuhnya. "aku lihat kau baik-baik saja."
Hermione tak tahu mau bereaksi seperti apa, tidak juga menguasai diri. Kedatangan Blaise tampaknya jauh lebih baik.
"Apa maumu?" sergah Hermione, menatapnya lekat-lekat. Ada rasa panas yang menjalar dari kepala ke seluruh tubuhnya, seperti sebuah akar dan kini rasa itu mencengkram jantungnya kuat-kuat. Setelah sekian lama, setelah waktu berlalu dengan berbagai kemungkinan yang buruk, bahkan setelah malam tanpa sepatah katapun dan berbalik pergi meninggalkan Hermione termangu-mangu dengan bodohnya. Dia tak pernah mendengar kabarnya lagi selama itu.
Dan sekarang tak mungkin dia datang hanya untuk bilang bahwa ia baik-baik saja.
Mereka diam saja, Hermione sendiri dalam hati berharap Theodore tak menjawab pertanyaannya. Sarkasme itu lebih mirip pengusiran, kalau cowok itu peka terhadap nadanya. Tapi Theodore memang bukan datang untuk berdiri seperti dungu di sana. Namun memang sifat itu tidak ada padanya, Theodore berotak licin dan berperangai cerdas, begitulah yang ia ingat. Dan nampaknya sekarang masih melekat semua itu dalam dirinya. "Aku datang ke sini segera setelah tahu ada kesempatan untuk menemuimu." Bibir Hermione terkunci rapat. "Blaise memberi tahuku bahwa Draco akan datang bersamamu. Tentu saja hal itu tak bisa tertutup rapat kan, mengingat siapa yang ia bawa jauh dari rumahnya? Maka aku pikir ini saat yang tepat, setelah semua."
"Apa Draco tahu kau menemuiku?"
"Apa salahnya dengan itu? Dia tak mempengaruhi apa pun."
"Oh, kau salah." Mata Hermione menyipit, dia tampak seperti rubah betina yang berbahaya. "kau salah, Theo. Pergi."
"Aku sempat mencoba mencari tahu bagaimana untuk ke Malfoy Manor, setelah malam itu! Aku tak bisa memikirkan hal lain, keadaan tak memberiku dukungan. Aku harus mengurus segala macamnya dan terlebih Manor benar-benar tak bisa menerima tamu kecuali diadakan pertemuan. Aku tak punya pilihan, Hermione."
"Apakah mereka memberi tahumu kalau aku akan ditelanjangi dan dikuliti?"
"Kau diperlakukan seperti itu?" mata Theodore mendelik padanya, nampak sangsi. Tentu saja dia tidak bego. Hermione menatap mata cokelat Theodore, rasanya sudah sangat lama sekali ingatan itu—dia sudah menguburnya dalam-dalam. Dan kenapa kini datang lagi, setelah semua perjuangan yang ia lakukan untuk melepaskan?
Semua itu menampilkan bahwa setitikpun ia tak pernah mempertimbangkan segala keputusannya. Apakah, Hermione membatin pedih, ketika dia menjualku pada Lucius ia berpikir bahwa Hermione mempunyai cukup sisa harga diri untuk memaafkannya? Hermione melihat rambut kelimis, serta setelan jubah yang rapi dan mewah di badannya. Membantu Hermione menjawab, bahwa ia tampak benar-benar—sialan—dan baik-baik saja. Padahal ia tak tahu apakah Hermione masih utuh atau tidak di rumah itu. Bahkan walaupun Malfoy Manor bukan tempat sembarang untuk dimasuki, pernahkah ia mencapai gerbang untuk berusaha?
"Hermione, aku… sama sekali tak tahu—"
"Sudahlah, jangan merendahkan dirimu seperti ini, Theo. Tidaklah cocok denganmu. Ingatlah sudah berapa banyak orang yang mengemis di bawah telapak kakimu, mencari kesempatan untuk belas kasih. Ketika kau mencoba menutupi betapa buruknya hal yang kaulakukan padaku, ingat saat-saat itu." Tatapan matanya melunak, Hermione menghela napas. Dia menatap jendela, demi Merlin, dia tak bisa membencinya. Dia tak bisa bahkan untuk mengusirnya dua kali. Hermione mencengkram sisi sofa.
Hermione pernah mengaguminya. Sangat dalam perasaan itu. Bahkan ia menggantungkan seluruh hidupnya. Walaupun Theodore telah memperlakukannya sedimikian hina, Hermione masih menunggu untuk dia bicara lagi. Hermione masih mau mendengar kata-katanya.
"Tahukah kau bahwa aku tak bisa berhenti menangisimu selama berminggu-minggu?" tanya Hermione setelah sunyi panjang. Hermione masih menatap jendela, menduga bahwa redanya hujan memberi ia kesempatan untuk mengeluarkan semua yang menggumpal di hatinya. "aku menangisimu, padahal kau yang membuangku pergi. Menyalahi diri sendiri seandainya saja aku tidak datang ke rumah bordil itu dengan status sebagai Darah-Lumpur, mungkin kau akan mempertimbangku untuk pantas di sisimu."
Hermione merasakan Theodore melangkah dengan sangat perlahan. Lalu saat sampai di depan Hermione, dia berlutut. Hermione menoleh dan menatap matanya lekat-lekat. Hermione mampu membaca cerminan kesedihan di sana, seharusnya dia enggan mengakui, tapi Hermione yakin bahwa Theodore datang ke sini bukan sekedar hanya untuk menemuinya. Theodore menyentuh tangannya, Hermione bahkan tak menepisnya. "Aku berada dalam keadaan yang terjebak, Hermione. Aku tak bisa bergerak pada saat itu. Lucius Malfoy entah pada kesempatan yang mana pernah melihatmu di rumah bordil, keluargaku punya hutang besar dengannya—lebih dari harta—dan dia minta kau. Dia hanya ingin kau, bahkan menolak untuk digantikan dengan berharga yang lain. Dia bilang tak akan lebih parah apa pun yang kau kerjakan nanti dari tugas budak lainnya—" Hermione memejamkan matanya, namun ia tak bisa menepis jemari Theodore yang menggenggamnya. "—dan ia menepati kata-katanya, kau baik-baik saja sekarang. Aku sangat barsyukur.
Hermione, dengarkan aku. Kita bisa memulai semuanya dari awal, aku bisa minta Draco untuk melepaskanmu. Aku bisa memperbaiki semua yang telah kuperbuat, berilah aku kesempatan." Hermione merasakan pedih di hatinya. Serendah itu dirinya, sehingga Theodore dengan naif berpikir tak ada yang berubah, biarpun dia telah menendangnya dengan hina. "kita bisa pergi dari sini, memulai hidup baru. Aku—"
"Oh, Theo, hentikan. Aku tak bisa mendengar omong kosong ini lebih jauh lagi." Katanya, Theo berusaha bicara dan menyentuh pipinya. Namun Hermione menepisnya pelan, tindakan itu sekaligus membungkam mulutnya. "kenapa kau ini? Tentu saja kau mempunyai masa depan yang lebih baik dari pada itu. Kau bisa melanjutkan hidupmu dengan siapa pun, tanpa merusak reputasi keluargamu yang bangsawan. Namun yang terbesar, semua ini bukan hanya tentangmu, Theo. Ini juga tentangku. Aku tak bisa kembali padamu."
Wajah Theodore seperti baru saja ditampar setelah mendengar penolakan itu. Namun ia tidak menarik diri atau murka.
"Aku tidak bisa membencimu, Theo. Namun bukan berarti aku bisa melupakan yang terjadi."
Theodore menunduk. Hermione dulu pernah begitu dekat dengannya, sampai dia pernah membelai rambut itu. Yang halus dan menjadi favoritnya, tentu saja semua yang ada dalam diri cowok itu istimewa, namun Hermione paling suka dengan rambutnya. Hermione dulu pernah begitu sayang padanya, sehingga dia bersedia menunggunya datang dengan waktu yang tak terhingga. Hermione pernah memimpikan hidup dengannya, biar tak berstatus apa pun—asalkan benar-benar di sampingnya. Namun sekarang persaan itu meluap, bersatu dengan udara dan entah kemana perginya.
"Aku akan selalu mencintamu, Hermione."
Theodore menunduk, ketika mendongak ia memejamkan matanya—bernapas berat—sebelum memandang Hermione tepat di mata. Dia tak pernah melihat ada cairan merebak di sana seumur hidupnya. Dia melihat sebuah ketulusan yang tak diragukan. Namun bagi Hermione ini bukan sebuah pilihan, inilah jalan satu-satunya yang ingin ia lewati. Hermione melepas jemarinya dari genggaman cowok itu. "Cintailah orang lain, Theo."
Theodore sesaat hanya menatap, sorot wajahnya sulit ditebak. Namun ia bangkit, seperti jiwa yang perlahan-lahan meninggalkan tubuh, dia masih menunduk. Hermione bisa menarik tangan itu lagi, tangan yang dulu pernah didambakannya. Yang pernah membelainya.
Namun ia tak mau.
.
Bukan Draco yang menjemputnya saat tengah malam. Tapi dua orang yang belum pernah dilihatnya, dengan penampilan serba hitam dan berjubah. Salah seorang memakai topi bowler hitam, yang satu berambut kelimis. Hermione awalnya terheran-heran saat Blaise muncul untuk pertama kalinya setelah meninggalkan ia seharian, dan menyambut dua orang misterius itu untuk membawa Hermione pergi. Hermione sempat tak mau, namun Blaise mendorong pelan punggungnya dan menuntunnya menuruni tangga menuju tempat minum di lantai dasar.
"Sebenarnya aku begitu ingin ikut, Granger. Tapi Draco punya tugas lain untukku. Tak bisa bantah bos, kan?" katanya dengan sudut bibirnya, sembari menghisap rokok. Mereka menuruni tangga dengan terburu-buru. Hermione mengedarkan pandangannya pada tempat minum yang sudah kosong. Saat sampai di luar, Blaise memberi isyarat pada tangannya agar dua orang misterius itu mendekat. "kenal mereka, Granger? Tidak asing sih kalau kau lama habiskan waktu di bunker. Nah yang ini—coba lepaskan dulu topi bego itu, apa kau ngaca sebelum memakainya?—Falcone. Yang terbaik dimiliki oleh keluarga Malfoy, mereka sudah setia secara turun-temurun. Kalau dia—nampaknya baru potong rambut, jadi mungkin kau tak paham—Scabior. Bagaimana?"
Hermione menatap kedua orang itu secara bergantian. Ia belum pernah melihatnya—dan bukan itu yang paling ia pedulikan saat ini. "Kemana aku akan pergi?"
"Manor, tentu saja. Kecuali kau mau jalan-jalan dulu—bagaimana kalau ajak dia terbang lewat Greenland?" Hermione mendelik, Blaise tertawa. "tenang, Granger, aku bisa dibunuh kalau itu sampai terjadi. Nah, pergilah."
Lalu kedua orang itu membawanya ber-Disapparate, kembali ke gerbang Manor. Dimana mereka merapalkan mantra rumit dan untuk kedua kalinya, ia masuk kembali ke kastil megah itu. Dengan pikiran menerka-nerka mengenai apa yang sedang terjadi atau yang akan ia alami selanjutnya, Hermione memerhatikan beberapa kejanggalan yang terjadi. Malfoy Manor tak lagi seperti istana tanpa penjaga, karena saat ini dengan jarak yang tertata, berdiri orang-orang tegap berjubah hitam. Tubuh mereka hampir disembunyikan oleh kegelapan, namun Hermione dapat merasakan mata-mata itu dengan tajam menghujami setiap pergerakannya.
Ketika sampai pada pintu—yang kini di sisi-sisinya telah dijaga oleh orang-orang pula—Hermione segera menuju Sayap Barat. Ia tak sabar melontarkan pertanyaan terkait keadaan ini pada Draco. Namun Falcone memperingatkannya untuk mengikutinya ke Rumah Utama. Saat melewati koridor temaram, Hermione dihadapkan pada ruangan dimana Lucius pernah membawanya pada Yaxley. Namun kali ini bukan si brengsek itu yang di dalam. Saat Scabior membuka pintu, seingat Hermione, ruangan itu tidak seperti yang terakhir kali ia lihat. Ruangan itu memiliki desain yang berbeda dengan berjajar kursi-kursi berukir yang mewah, seolah disediakan untuk perkumpulan. Lalu matanya berhenti pada beberapa orang berpakaian jas rapi berdiri mengerumuni sebuah meja di seberang ruangan. Di belakang meja itu duduklah Draco.
Semua mulut yang berceloteh seru berhenti bicara seketika dan menoleh kearahnya. Beberapa hingga membalikan badan dengan wajah berkerut, tatapan spontan 'berani-sekali-kau' terlempar untuk Hermione dan dua kawan di belakangnya. Keheningan yang canggung merebak.
"Tuan," Scabior dan Falcone berucap bersamaan di belakangnya. Orang-orang itu secara bersamaan menoleh pad Draco. Cowok itu masih bersandar dengan santainya dan tidak menjawab, melainkan memberikan isyarat dengan mengayunkan tangannya seperti mengusir lalat yang membandel. Hermione mengira tindakan itu untuknya, namun ternyata orang-orang yang bergerumul—para parlente itu dan Demi Merlin, mereka semua nampak dua kali lipat dari umur Draco—melangkah menuju pintu, pergi dengan teratur. Hermione mendengar gumaman samar ketika mereka melewatinya. Kedua penjaga di belakangnya juga ikut enyah. Hermione berjalan mendekati meja.
"Bagaimana perjalananmu?"
"Tidak menarik." Jawabnya singkat, saat sampai persis di samping Draco, Hermione memberikan beban tubuhnya pada tangannya yang bertumpu pada meja. "Malfoy, apa yang terjadi? Untuk apa orang-orang di luar itu?"
Draco membuka bungkusan dan menarik sebatang rokok dari sana—hal baru lain yang patut dipertanyakan—namun Hermione masih menunggu jawaban pertanyaan pertamanya. Draco menyentuh ujung putungnya, seketika dari ujung sana nyala api membakar. "Aku membutuhkan mereka lagi." Berarti mereka pernah bekerja untuknya dulu, Hermione menyimpulkan. "mereka tak akan menganggu aktivitas, kecuali ada sesuatu yang benar-benar dilanggar."
Draco menghisap rokoknya, kakinya terlipat dengan nyaman. Kini dia memandang wajah Hermione dengan mata menyipit, mengurangi efek asap yang mengepul untuk masuk. Dia pasti membaca dengan jelas tipikal ekspresi wajah Hermione saat ini. Raut wajah yang sangsi dan kepala yang penuh dengan keingin tahuan.
"Aku pernah memberikan sebuah garis besar padamu mengenai apa yang akan terjadi setelah aku kembali, Granger. Aku harus melindungi banyak hal, kuberi tahu kau bahwa butuh mantra yang sulit agar sanggup menembus sebuah pelindung yang kuat. Itulah kekuasaan, dan sekarang aku tengah mencoba membangunnya kembali." Draco bangkit dari kursinya perlahan. "dan mulai sekarang Manor akan sering di datangi orang-orang, diantara mereka teman, namun tak menutup kemungkinan musuh. Aku memerintahkan Scabior dan Falcone berjaga di Sayap Barat, untuk membantumu memenuhi semua kebutuhan. Jadi biasakanlah."
Memang apa yang bakal dia lakukan, sampai harus dibantu? Hermione berpikir kecut, namun tak berani membantah. Dia tak lebih berguna dari seekor peri-rumah. Keputusan ini, lagi-lagi malah akan memberatkannya. Dia sudah cukup puas sendirian. Apalagi mempunyai penjaga bandit seperti mereka. Bisa-bisa kemungkinan buruknya lebih besar daripada perlindungan yang dimaksudkan. Namun Draco seolah selalu bisa tahu cara kerja otaknya. Dia menyentuh jemari Hermione dan mengusapnya. Perasaan kesalnya meluap. "Mengapa ada musuh, sedangkan kalian semua bahu-membahu membangun Era ini?"
"Oh, Granger…" sudut bibir Draco tertarik dengan samar. Dia menghisap rokok lagi dan membuang asapnya ke sisi, lalu mendekatkan diri dengan Hermione, sehingga dia bisa mencium bau tembakau dan alkohol tercampur di sana. Hermione menatap mata biru-kelabu itu menuntut jawaban. "karena pengkhianatan tak pernah datang dari musuh."
Hermione menunduk dan membawa tangan Draco ke pipinya. "Kapan semua itu akan berakhir?"
"Entahlah. Mungkin sepanjang hidup." Draco membawa tangan satunya untuk menangkup pipi Hermione, mengusapnya melalui jari-jari panjangnya dengan lembut. Asap rokok itu menerobos masuk melalui hidungnya, namun ia sama sekali tak terganggu. "yang perlu kau lakukan hanyalah tetap pada tempatmu, Granger. Sisanya adalah tanggunganku. Bagaimana kalau kita lihat kamar baru?"
Hermione nampak tidak puas dengan jawaban itu, namun dia tak mau merusak momen. Dia tahu jika Draco sudah mengalihkan sebuah topik, maka artinya ia ingin menghentikan pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang akan dilontarkannya. "Bagaimana bisa kausebut baru jika tetap berada di tempat yang sama?"
"Yeah, kau akan lihat."
Lalu Draco menciumnya, manis dan lembut. Ciuman itu dalam—menggoyahkannya hingga ke hati walaupun singkat. Mereka berdua saling mendekatkan diri. Hermione tidak menciumnya lagi, melainkan tersenyum—hampir beberapa mili lagi—di atas bibir Draco. Lalu Draco membawanya untuk menyeberangi ruangan dan meninggalkan ruangan itu. Setelah mereka berbelok dan melewati koridor-koridor, sampailah pada pintu kamar yang tadinya hanya milik Draco seorang. Hermione melihat tirai lukisan Abraxas Malfoy tertutup, menyayangkan kenapa dengan beberapa perubahan yang terjadi, Draco tak menyingkirkannya.
Saat memasuki kamar itu, Hermione lagi-lagi terpesona dengan perubahan yang terjadi. Nampaknya kamar yang tadinya begitu luas dan hampa—terlalu luas untuk Draco seorang diri, mungkin—kini nampak lebih hidup dengan barang-barang lain. Draco telah menambahkan lampu tidur kristal di masing-masing sisi tempat tidurnya, lemari yang lebih panjang (Hermione berjalan cepat menuju salah satu pintunya dan membukanya, terkagum-kagum dengan baju yang menggantung di sana—yang tentu saja sebelumnya tak pernah dimilikinya), guci-guci antik berisi seikat bunga yang hidup dan tempat tidur yang lebih lebar dengan tiang-tiang perak berbalut kelambu di setiap sudutnya. Sekarang mereka tak perlu lagi mengambil buku dari perpustakaan secara diam-diam, karena Draco telah membuat satu rak besar hingga ke atap berisi buku-buku. Dia menatap semua buku dengan penuh kasih sayang, lalu menoleh pada Draco, rasa haru membeludak di dadanya.
"Malfoy, bagaimana bisa begini? Bagaimana jika ayahmu tahu tentang semua ini?"
"Jangan merisaukannya, dia tak akan kembali dalam waktu dekat." Katanya, Hermione menunggu penjelasan lebih lanjut, namun Draco nampak tak berniat untuk memenuhi harapannya. "apa lagi yang kau butuhkan?"
Hermione tidak pernah berpikir untuk meminta lebih, jadi dia mendatangi Draco dan memeluknya kuat-kuat. Draco mencium puncak kepalanya. "Apakah aku sekarang bisa kemana pun?"
"Selama di penjuru kastil ini, ya."
Lalu Hermione mendongak dan mencium pipi Draco dua kali. Rasanya dia tak sanggup lagi merasakan kesenang yang membeludak. Selama kisah perjalanan panjang yang malangnya, dia tak pernah berhenti untuk menyesali keadaan. Namun kini Draco seperti seseorang yang meraihnya dari kubangan nasib buruk yang selama ini ia derita. Hermione memandang mata biru-kelabu itu, berharap bahwa mata itulah yang akan ia pandangi selamanya. Draco luar biasa sempurna dengan segala hal yang menempel di tubuhnya, bahkan helaian rambut yang jatuh ke dahinya. Hermione mengusap dahi Draco dengan jemarinya, menyingkirkan helaian rambut itu dari sana. Wajah Draco pucat, walaupun selalu tanpa senyum, matanya kini mencerminkan kehangatan.
Dia amat bahagia.
Namun hari ini ketika matahari masih belum menampakan diri, Hermione sudah terjaga. Dia berbaring miring, pelukan Draco menghangatkan tubuhnya. Saat membuka matanya lebih dari setengah jam—walaupun ia membelakanginya—ia tahu bahwa saat ini Draco juga telah terbangun dari tidurnya. Dia bisa merasakan napas Draco yang tak lagi teratur. Namun satu sama lain nampak tak ingin menodai sunyi yang khidmat ini. Dia bisa merasakan dada telanjang Draco yang menempel di punggungnya, bergerak lembut sesuai dengan tarik dan hembusan napas. Dagu Draco menyentuh puncak kepalanya.
Setelah malam itu dan mereka telah melewati beratus-ratus malam kemudian yang tak terlupakan, Draco telah memberikan bekas yang tak pernah orang lain berikan sebelumnya. Kini dia seperti telah merasakan keadaan yang berbeda dengan cowok itu. Musim sudah berganti, tidak ada lagi hujan di ujung hari—atau lembabnya udara yang pernah ia keluhkan. Malahan saat ini, Hermione sudah mulai merindukan dinginnya pagi dan tanah basahnya. Sudah enam bulan semenjak dia berbagi ruangan ini dengan Draco, seolah ia juga telah berbagi hidup dengannya. Walaupun bisa dibilang mereka sudah bersama lebih dari itu. Tak ada satu kata yang diingkari olehnya, bahwa Hermione kini memang telah memiliki rumah itu dan pemiliknya seorang.
Tentu saja Manor selalu mempunyai suasana yang berbeda dari hari ke hari. Dia kini tak hanya ditemani oleh seekor peri-rumah. Keluar masuknya langkah kaki, dengan wajah-wajah lama dan baru, bahkan dengan berbagai macam peristiwa yang Hermione sendiri tidak memahami. Dia mulai terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang kini di kepalai oleh Draco. Pangeran Kegelapan tak pernah datang lagi, kabar terdengar bahwa Draco telah membuat Markas baru di daerah Albania, dimana daerah itu kini sudah berhasil ditaklukan oleh Draco dan orang-orang kepercayaannya.
Hermione tak tahu pasti mengenai apa yang menyebabkan orang-orang itu datang ke Manor, mengingat pemimpin mereka yang sebenarnya tak lagi di daratan Inggris. Namun nampaknya ia bisa menyimpulkan bahwa Draco adalah semacam wadah pengaduan bagi kaum-kaum bangsawan lainnya dalam berbagai hal. Bukan hanya pada pemerintahan, namun kini Draco telah menerima banyak keluhan dalam perluasan bisnis dan daerah kekuasaan. Ternyata orang-orang itu bukan hanya mempunyai sifat menginjak kaum di bawah derajatnya. Namun mereka juga menyikut orang-orang yang sederajat dengan mereka. Dan permasalah ini lebih pelik dan tak berakar.
Namun Hermione tak pernah lebih tahu dari itu dan Draco tak mengijinkannya untuk menginjak garis yang telah ia buat dari awal dengannya. Hermione bisa melakukan banyak hal sekarang, namun Draco selalu punya peraturan dan keputusan yang tak bisa dibantah oleh siapa pun di rumah itu.
Draco bergerak, Hermione merasakan ia mencoba membebaskan tangannya tanpa mengganggu posisinya saat ini. Ketika Draco bangkit, menyeberangi ruangan menuju kamar mandi, Hermione duduk dan bersandar pada kepala tempat tidur megah di belakangnya. Draco kembali sepuluh menit kemudian, dengan pakaian lengkap—pakaian berkerah tinggi dan jas non-formal serba hitam—ia tak heran melihat Hermione terjaga.
"Siapa yang akan datang pagi-pagi buta begini?" kata Hermione, ia merangkak menyeberangi tempat tidur ke arah Draco. Saat sampai di depannya, Hermione merapikan kerah Draco yang terlipat dengan jari-jarinya.
"Blaise akan datang untuk sarapan bersama nanti. Namun sebelum itu, aku ingin kunjungi Ibu."
"Bolehkah aku ikut?"
"Yeah," Hermione mencium pipinya sekali, lalu segera melompat turun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. "pakai hitam. Kau tahu dia kan."
Hermione tak menyahut, melainkan keluar kamar mandi dengan beberapa menit kemudian dengan dress brokat hitam di bawah lutut yang mengembang. Dengan jentikan tongkat, ia mengeringkan rambutnya, dan seperti sudah sangat cekatan, menggelungnya hingga tengkuknya bebas untuk dipandang. Draco tak perlu lagi memberi instruksi, sebenarnya. Mengingat hampir semua yang dimilikinya adalah warna yang sama—hitam. Dia tampak seperti perempuan berdarah bangsawan sekarang.
Saat mereka berdua menyeberangi koridor dan sampai di Sayap Utara, Hermione membiarkan Draco mendahului untuk memasuki kamar Narcissa. Dia tak ingin sesuatu di luar kendali terjadi tanpa persiapan, maka dia mengintip dari pintu. Saat ia melihat Draco mendatangi ibunya—yang duduk di kursi andalannya menghadap balkon—berlutut sembari berbisik di telinganya, ia baru berani masuk setelah Draco memberi isyarat dengan telengan kepala. Hermione perlahan-lahan berdiri di samping mereka. Narcissa nampak tak menyadari kedatangannya, entah tak peduli—atau memang pikirannya sedang melayang jauh, dia masih menatap kosong pada hamparan pepohonan luas di seberang kastil. Awan jingga terpapar luas di sana.
"Indah sekali ya, rumah kita, Draco?" ujarnya hampir berbisik. Draco menyentuh tangan ibunya, membelainya lembut dan penuh sayang. Dia masih berlutut.
"Ya, indah."
"Kau akan memiliki semua ini. Anakku yang berharga, satu-satunya." Dia masih menatap lurus, bahkan sekali pun tidak melirik Draco di sampingnya. "kenapa kau jarang sekali mengunjungi Ibu, Nak?"
"Aku selalu datang setiap hari, namun Ibu sudah terlelap di malam hari. Maka dari itu, karena ingin bertemu dengan Ibu, aku datang ke sini pagi-pagi." Kata Draco.
"Ibu dengar banyak hal dari Tiny. Dia bilang…" ia berhenti sejenak. Narcissa seperti orang yang kehilangan akal, kata-katanya seperti menerawang jauh. "…dia bilang kau telah melakukan banyak hal yang luar biasa. Apakah kau sudah berhasil menyelesaikan tugas-tugasmu? Pangeran Kegelapan tidak pernah murka lagi kan pada kita?"
Hermione membatu di samping mereka, melihat pemandangan dimana ia melihat Draco bertindak begitu halus dan hati-hati, hanya pada ibunya seorang. Narcissa, semenjak kejadian sakitnya Draco dan depresi beratnya sendiri, mengalami banyak perubahan besar. Hermione mengira ada banyak sel-sel otaknya yang telah mati—atau tak berfungsi—sehingga dia banyak mengalami halusinasi dan dilanda ketidak sadaran. Bahkan, dalam kondisi keluarga ini yang jauh lebih baik, Hermione tak melihat adanya perubahan dalam tubuh Narcissa. Dia masih sangat kurus dan tampak lemah seolah tak bertulang. Kesehariannya hanya menatap balkon dan satu-satunya yang ajak bicara, pikir Hermione getir, hanyalah seekor peri-rumah.
Lucius jarang kembali semenjak keadaan berubah. Hermione bisa mengingat kedatangannya—bagaimana tidak ketika ia harus menetap di Sayap Barat jika ia datang, dijaga oleh Falcone—hanya dua kali. Hermione tak tahu apa yang kini ia lakukan dan dimana ia berada ketika tidak di Manor. Dia tak mempunyai cukup keberanian untuk bertanya pada Draco, pembicaraan tentang Lucius adalah salah satu dari beberapa topik yang Draco tak suka. Maka dia bungkam, hanya mendengar kabar dari angin berhembus secara samar-samar. Banyak mulut bilang ia dapat tugas di pinggiran Rumania, namun ada juga yang bilang bahwa kini ia di istirahatkan dan menetap di salah satu rumah Malfoy di Yordania.
Hermione tahu Narcissa tak lagi terganggu dengan keberadaanya, mungkin bahkan wanita itu tak sadar bahwa ia ada. Namun berada di sini, walaupun terpaku di tempat, Hermione merasa telah membantu banyak bagi Draco, karena bicara dengan Narcissa sering menimbulkan kegetiran.
"Ibu ingin melihat anak-anakmu berlarian di halaman, Draco." Ujar Narcissa dengan suara yang lembut. Kali ini dia menatap Draco dengan sendu. "Ibu tak ingin kau terus-terusan bertarung dalam bahaya, melindungi keluarga ini sampai kau lupa kebahagiaanmu sendiri. Ibu ingin melihatmu dengan pakaian rapi berada di kursi yang berharga. Kepala Auror Draco Malfoy, Menteri Sihir Draco Malfoy…"
Draco menyentuh kedua pipinya ibunya, kini mata Narcissa berkaca-kaca. Draco mencium dahi Narcissa, lalu menatapnya tepat di mata. "Kita akan menggapainya, Bu." Draco mengulang lebih lugas. "kita akan menggapainya."
Narcissi tersenyum—jenis senyum yang sedih dan penuh haru. Hermione bisa merasakan betapa dalam dan bangganya memiliki anak seperti Draco. Walaupun dengan pikiran yang rusak dan badan yang lemah, Narcissa tak akan pernah lupa bagaimana Draco selalu berusaha menjaga nama keluarga. Draco memberi isyarat pada Hermione, lalu ia bangkit dan mereka pergi. Narcissa menoleh, melihat pintu ditutup di depan matanya.
Hermione menatap punggung Draco, membiarkannya jalan mendahului di koridor. Dia saat ini ingin memberikan ruang bagi Draco untuk menguasai diri. Mungkin inilah alasan Draco selalu menengok Narcissa di malam hari—ketika ia terlelap—karena Draco akan merasakan berkali-kali lipat perih serasa dicambuk tepat di punggung. Kelemahannya adalah melihat ibunya menderita, dan kini Draco tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya.
Saat keheningan terlalu dalam, Hermione melihat Falcone sudah menunggu di Pintu Rumah Utama. Dia berbisik pada Draco, dan mereka segera menuju balkon belakang. Hermione sudah menduga. Matanya menangkap Blaise dengan setelan jas dan celana putih rapi telah menunggu mereka di meja penuh makanan. Balkon tanpa atap ini sering digunakan untuk sarapan, mengingat tempatnya yang asri dan teduh di pagi hari.
"Well, kebetulan sekali peri-rumahku sedang cuti." Sambut Blaise, rokok tertanam di bibirnya.
"Seperti mendengar keajaiban," komentar Draco. Dia menarik bangku dan duduk di seberang cowok berkulit gelap itu. Hermione mengambil tempat di sisi kanannya.
"Tidur nyenyak, Granger?"
Hermione melirik. "Masih terlalu pagi kan, untuk memulai perdebatan?"
"Jahat sekali mulut cantikmu, demi Salazar. Tak bisa ya menerima keramah-tamahanku barang sekali?"
"Ramahnya kau adalah diam, Blaise." Setelah waktu yang cukup lama untuk mengenalnya, Hermione sudah memutuskan untuk memanggilnya dengan nama depan. Dia beralih pada Draco. "jadi, kapan Tiny akan cuti?"
"Kau percaya dengan si brengsek ini?" tanya Draco sambil lalu, tanpa menatapnya. Dia menuang teh ke cangkirnya. Lalu mengambil beberapa helai roti panggang dan selai kacang. Favoritnya di pagi hari lebih dari apa pun. Hermione beralih menatap Blaise, tapi dia tak tahan melihat seringainya. Maka dia segera menatap piringnya, merasa bego. Dengan bingung, dia mengambil dua helai pancake dan menuangkan madu di atasnya. Mereka makan dalam diam.
Setelah berhenti menguatirkan diri sendiri dari bahaya, pikiran Hermione jadi bercabang jauh. Dia mulai membaca buku seperti kerasukan, dan berpikir bahwa Hak-Hak atas Peri-Rumah mulai menarik lagi. Namun selalu runtuh harapan mengingat jika ingin menuntut hak, dia harus lebih memikirkan para budak. Peri-rumah masih terbiasa dengan ketidak-manusiawian, pikirnya getir. Setelah selesai dengan makanannya, Tiny muncul. Menghilangkan piring-piring kotor dengan jentikan, tersenyum sumeringah pada Hermione, dan pergi.
"Falcone, ajak Granger untuk melihat bunga-bunga." Hermione menatap Draco dengan dahi berkerut.
"Tapi aku sedang tak mau melihat bunga-bunga."
Namun bukan Falcone namanya jika tidak menyebalkan. Dengan kepatuhan yang tidak manusiawi, dia telah berdiri di samping Hermione, seolah menunggunya bangkit—kalau tidak, kedua tangannya bisa menariknya kapan saja—Hermione toh akhirnya berdiri. Dia menuruni tangga menuju halaman belakang, dimana bunga-bunga yang baru bermekaran—dia ingat telah memberikan mantera penyubur tiga hari lalu—berdiri dengan cantiknya. Hermione melirik Falcone di belakangnya, berdiri membututinya kemana pun dia pergi.
"Aku sekarang pelihara Jerat Setan, asal kau tahu. Mungkin aku bisa diam-diam letakan di dekat sini, agar beri pelajaran pada orang yang tukang menguntit." Kata Hermione keras. Dia merasakan efeknya, Falcone mundur beberapa saat dengan ragu-ragu, tampangnya bloon dengan waspada mencari-cari di bawah kakinya. Hermione mendengus.
Dia sebenarnya tidak benci Falcone. Hanya dia tidak senang dengan betapa kakunya dia—seperti anjing penjaga yang hanya mendengar perintah tuannya. Hermione tahu Falcone sangat setia pada Malfoy dan itu sama sekali bukan salahnya. Sejarah bilang mereka mempunyai hutang yang tak akan lunas turun temurun dengan keluarga ini, walaupun Hermione tak tahu apa tepatnya. Namun setidaknya dia butuh bernapas…
Saat setengah jam mengelilingi jajaran tanaman, Hermione memutuskan untuk kembali ke balkon—tak peduli Falcone menariknya, dia tinggal akan memanterai. Hermione berjalan menaiki tangga, heran sendiri kenapa penjaga itu tak menghentikannya, namun dia puas. Saat sampai di tangga, dia mendengar Draco bicara dengan suara rendah.
"…jadi sekarang Avery yang kaupercayai?"
"Mengingat dia selalu minta jatah, Draco. Walaupun dia beringas, tapi orang seperti kita tetap tak bisa mengenyampingkan kesetiaan."
Hermione berhenti pada beberapa anak tangga, dia yakin badannya belum terlihat dari atas. Berpura-pura sibuk mengamati tanaman yang menjalar di pegangan tangga.
"Kalau kau mempercayainya, maka aku akan percaya padanya juga." Dia mendengar Draco bicara dengan suara yang rendah dan berat. "hanya ingat, bahwa kesetiaan dan bisnis seperti air dan minyak."
"Kapan kau ke Yordania?"
"Tak akan dalam waktu dekat." Jawab Draco.
"Kenapa kau menanyai Ayahmu? Apakah kau merencakan sesuatu yang lain untuknya?"
"Tidak," ada jeda. "jangan sentuh dia sejengkal pun selama ibuku masih hidup."
Hermione tak mendengar respon apa pun. Hingga beberapa detik kemudian, karena dia takut kepura-puraanya terbongkar oleh Falcone—bunga layu di depannya tak cukup berharga untuk ditatapi lebih dari dua menit—maka dia menaiki tangga. Hermione melenggang masuk tanpa menoleh pada mereka, berharap keberadaannya tak disadari walau tak mungkin.
.
"Letakan bunganya di sudut,"
Hermione berdiri di tengah ruangan, dengan belasan orang berlalu-lalang di sekelilingnya. Masing-masing dari mereka mendekap benda di pelukan. Draco pada dua malam yang lalu telah memberi tahu Hermione bahwa mereka akan mengadakan Pesta di Malfoy Manor. Pesta ini sejenis pesta yang terbuka untuk penyihir di daratan Inggris. Demi memberikan kesan kemurahan hati dan keakraban. Hanya mereka yang berdarah murni, Hermione berpikir kecut. Tak perlu menyulut api keakraban, mereka sudah mencapai tujuan.
Bisa dibilang pesta ini adalah ide Blaise. Draco bukan tipikal orang yang senang mencari kerepotan dan beramah-tamah dengan orang-orang yang tak terlalu penting dan jarang ia butuhkan di hidupnya. Selama ini jika Draco menemui seseorang—berbicara dengannya—pasti memiliki tujuan tertentu. Namun, semenjak nama Draco melejit di kalangan para elit hingga bandit, dia membutuhkan sedikit reputasi. Pelebaran sayap cantik, Blaise bilang. Dan Hermione memang tak membantah ide itu, karena pesta itu tak dibuat tanggung-tanggung. Draco telah memesan beberapa pemasak paling handal dari penyihir Italia. Dia memesan beberapa permadani hias mewah yang baru dari Turki. Bahkan dia memesan beberapa kerajinan seni es—yang disihir secara luar biasa—agar terus membeku dan menimbulkan air mancur, yang terukir berbentuk lambang Malfoy.
Siapa pun pasti akan terkesan. Tak heran jika keluarga Malfoy adalah jajaran penyihir paling kaya di daratan Eropa. Inilah salah satu dari beberapa hal yang mereka perbuat.
Hermione sudah sangat lelah terus-terusan mengayunkan tangannya, menunjuk dari sudut ke sudut, memberi tahu satu orang dan orang yang lain untuk meletakan benda-benda. Bunga-bunga kiriman dari beberapa penyihir besar berdatangkan tiada henti. Beberapa keluarga besar mengirim sebuket bunga mawar perak raksasa yang indah, bahkan dari jajaran pemerintahan. Kepala Departemen, Menteri Sihir…
Saat menjelang sore, setelah menilai bahwa Rumah Utama sudah cukup dalam dekorasi, Hermione kembali ke Sayap Barat. Dia sudah bekerja keras dari kemarin. Dan malam ini puncaknya. Hermione sudah mencoba bicara serius pada Draco, tentang sebaiknya dimana dia berada. Namun Draco nampak tak senang dan menyuruhnya harus tetap ada di dalam Pesta.
Dia tentu senang Draco memintanya, siapa yang tidak? Namun Hermione tak yakin bakal tahan dengan tatapan dan sterotipe orang-orang mengenai dirinya. Dia mungkin bisa saja bersatu dengan para pelayan, tapi apakah mungkin? Hermione menatap dirinya di cermin, telah mengenakan gaun hijau tosca yang membentuk lekuk tubuhnya. Ujung gaun itu panjang di belakangnya, menyapu lantai. Dia mempunyai belahan dada yang sangat rendah—sehingga Hermione bisa melihat dua gumpalan buah dadanya dari atas sini. Hermione telah menggelung tinggi rambutnya. Ia membuatnya tetap seperti itu dengan mantera. Dia menghela napas. Mengenakan anting berlian yang Draco berikan sebulan lalu atas hadiah, dia meninggalkan lehernya terbuka begitu saja. Ingin memberikan kesan kesederhanaan. Tapi siapa pun yang melihatnya tak akan berpikir demikian.
Karena dia luar biasa anggun dan cantiknya dalam balutan semua pakaian dan perhiasan itu. Tak ada kata sederhana atas sesuatu yang diberikan oleh Malfoy, Hermione tahu itu.
Saat dia melangkah menuju Rumah Utama, Hermione sudah disuguhi pemandangan yang jauh berbeda dari yang ia tinggalkan sore tadi. Malam telah memayungi, sehingga dia bisa melihat sayap-sayap Peri Hutan berpendar, mengelilingi atap—tanpa menyentuh kepala siapa pun, mereka mungil sekali—dan terbang menuju halaman. Warna perak di atas permadani hias itu berkilauan, ditambah dengan kristal di atas kepala mereka. Sebuah air mancur betingkat tinggi dan besar—airnya merupakan anggur berusia puluhan tahun, simpanan keluarga Malfoy—menciptakan pemandangan luar biasa yang sampai pada klimaksnya.
Hermione mendengar alunan musik lembut sayup-sayup, di Rumah Utama yang semegah Aula ini, sudah hadir grup band sihir dari Norwegia di ujung. Mereka memainkan alat musik bermelodi indah, tanpa nyanyian.
Lalu mata Hermione menangkap sosok Draco di seberang, yang juga tengah menatapinya. Cowok itu berada dalam kerumunan, nampaknya tengah terlibat percakapan seru. Dia membawa segelas anggur di tangan kirinya, dan tangan kanan melinting sebatang rokok. Hermione sudah terbiasa dengan hak tinggi semenjak di Manor. Namun kakinya seperti terpaku di tempat. Hermione tersenyum, dia ragu-ragu apakah ide baik untuk mendatanginya sekarang. Saat matanya masih terpancang pada Draco, beberapa cewek lewat di hadapannya, berbisik-bisik seru. Dengan warna pakian mencolok dan dandanan—yang Hermione sendiri bersumpah tak akan meletakan hiasan seperti itu di kulit wajahnya—mereka menatapi Hermione secara terang-terangan.
Darah murni brengsek, batin Hermione geram. Tapi dia diam saja, tetap mengangkat dagunya ketika seseorang menarik tangannya. Hermione mengerutkan dahi, seperti melihat sesuatu yang benar-benar tak pantas.
"Sekarang kau berani pegang aku juga?" dia mendelik pada Falcone. Si bertopi bowler dan berwajah datar itu menatapnya.
"Nona sebaiknya tak pergi jauh-jauh."
"Kau pikir, aku bisa kemana? Hutan di seberang kastil?" ujarnya ketus. Dia belum mengambil satu langkah sialan pun, pikirnya. Dan sekarang sepertinya bernapas di suatu tempat pun salah?
"Sudahlah, Falcone, sekarang Hermione denganku saja. Kau bisa menunggu di sudut." Blaise sudah muncul entah dari mana. Hermione menatapnya, lalu pandangannya pindah pada Draco. Dia merasa baru sedetik lalu merasakan pandangan dari cowok itu padanya. Tapi Draco sudah terlibat obrolan dengan kerumunan. Hermione memandang Blaise.
"Jangan berpikir kau akan lebih baik." Dia tak tahu kenapa dia kesal begitu, entah karena kemunculan Falcone atau karena Draco yang tak lagi menatapnya. "boleh aku tahu kenapa aku di sini sedangkan aku tak boleh pindah satu jengkal pun dari tempatku?"
"Yah, kau bisa tanyakan langsung pada Draco setelah Pesta. Tapi tidak sekarang, terlalu banyak media."
Alasan itu membuat suasana hatinya jauh lebih buruk. Hermione berkata di balik giginya yang gemeretak. "Lantas aku tak perlu repot-repot—"
"Nah, baiklah, karena kau ingin sekali mengenal orang-orang, bagaiman jika mengucapkan 'hai' pada beberapa teman lama?"
Hermione menatap bingung, dia tak pernah merasa punya satu teman lama pun di era ini. Tapi Blaise telah memberi isyarat untuk mengikutinya, Hermione menatap Falcone dengan tatapan puas dan menantang. Mereka akhirnya sampai pada sisi kerumunan yang lain. Draco tak tampak dari sini, dan Hermione bertanya-tanya apakah dia baik-baik saja jika Blaise membawanya.
Dalam langkahnya, Hermione ditawari segelas champagne oleh salah satu pelayan yang membawa nampan berisi gelas-gelas kosong—dan terisi penuh secara sihir—ia mengambilnya. Masih mengikuti langkah Blaise. Dia seperti dilempar batu tepat di kepala ketika melihat siapa yang ada dalam kerumunan itu.
"Wah, wah, lihat apa yang kita punya…" Pansy Parkinson bicara dengan suara nyaringnya yang menyebalkan, diulur-ulur dan mengejek. Dia menatap Hermione dari kepala hingga kaki, seperti laser yang mendeteksi virus. Saat menemukan kejanggalan, ia meringis. "ternyata benar, Draco memungutnya dari tumpukan sampah!"
"Draco bisa mendengar itu, Pansy. Hati-hati kalau kau masih ingin menikmati pesta." Ujar Blaise kalem. Ia tampak tenang, namun suaranya mampu membuat Pansy mengalihkan pandangan padanya.
"Yah, setidaknya kata sambutan itulah yang bisa aku keluarkan. Menikmati hidupmu, Granger?"
Hermione tidak menjawab, melainkan hanya memasang tatapan tajam pada Pansy. Cewek itu berambut hitam, disanggul dan menyisakan beberapa helai di kedua sisi wajahnya yang tak ramah. Dari sekian banyak renovasi dari peradaban dunia sihir, wajah Pansy adalah salah satu dari beberapa hal yang tak jauh berubah. Dia masih bersuara cempreng bego dan bertutur kasar. Mungkin beberapa cewek akan lari berhamburan ke kama mandi, menangis sejadi-jadi. Tapi itu sama sekali bukan tipikal Hermione.
Alih-alih fokus pada Pansy, mata Hermione bergeser pada beberapa orang di sampingnya. Dia melihat Gregory Goyle—masih besar dan dungu, dia juga tak memiliki perubahan yang berarti—Marcus Flint dengan moncong sangarnya yang seolah siap mencaploknya kapan saja, Millicent Bulstrode—nampak seperti baboon betina—dua cowok yang Hermione tak ketahui namanya—mereka nampak memandang Hermione dengan penasaran, seolah dia binatang ajaib yang belum pernah dilihat—namun sepertinya berada pada tahun di bawahnya ketika di Hogwarts. Dan seorang cewek dengan rambut hitam dan gaun delima yang mengembang. Cewek ini sebenarnya cantik—memiliki tulang pipi yang tinggi dan hidung runcing—kalau saja dia tidak terus-terusan mengernyit seolah ada bau busuk di depan hidungnya. Dia nampak seperti tokoh-tokoh antagonis dalam cerita khayalan anak-anak.
"Nah, tentunya kalian sudah tahu siapa yang bersamaku ini," kata Blaise dengan seringai lebar. Dia memandangi satu persatu wajah, mereka tak merespon. Namun hal itu sama sekali tak mengurangi antusiasme pada dirinya. "Hermione Granger, Gryffindor, Ratu-Sok-Ta—" Hermione menyikut rusuknya kencang. "aw! Oke, oke, baiklah. Dia sudah berada di rumah Draco beberapa waktu. Untuk mengurus err—beberapa keperluan."
"Memang apa gunanya dia tanpa tongkat, jangan anggap kami tolol, Blaise." Sambar Millicent.
"Tapi kau memang kelihatan begitu." Kata Blaise, dengan nada suara serius dibuat-buat. Namun sedetik kemudian, seringai kembali pecah. "yah, intinya aku yakin kalian bisa bersikap sewajarnya satu sama lain. Mengingat pesta ini diadakan untuk—HEI! Theo! Bajingan brengsek, kau!"
Hermione menoleh seketika, persis dibelakangnya dan kini Theodore telah mengambil tempat di sisinya. Hermione mendelik menatapnya, dia lupa kalau Theodore adalah satu satu bagian dari mereka.
"Kukira pestanya belum dimulai?"
"Tentu saja tidak, kami sengaja menunggumu. Armour masih pakai musik cengeng." Armour merupakan nama band yang mereka undang. "semua oke?"
Theodore menelengkan kepalanya, melebarkan bibirnya namun tidak tampak seperti tersenyum. "Yah, lupakanlah. Kita di sini untuk senang-senang, kan?"
"Ambil gelas, kalau begitu! Hei, kau cebol, kau tidak lihat dia minta anggur seribu galleon?" teriak Blaise pada salah satu pelayan—yang kini dengan takut-takut mendatangi mereka.
Theodore mengambil segelas. Hermione diam-diam meliriknya, menyibukan diri menatap gelas di tangannya. "hei, Pansy. Kudengar kau sekarang punya usaha bagus di Diagon Alley."
"Semenjak Madam Malkin tersingkir, hanya jubah-jubah hasil impor keluargaku yang paling pantas menggantikan. Oh, kau bahkan belum melihat cabang kami yang lain, Theo. Kemana saja kau, jarang sekali datang ke pertemuan. Kudengar kau banyak tugas rahasia, ya?"
"Well, akan semalaman suntuk jika kuceritakan." Theo tersenyum. Dia mengangguk-angguk pelan, mengikuti irama musik. Hermione seperti bagian lain, yang tak disadari oleh siapa pun dalam kerumunan itu. Dengan adanya Theodore, makin menjadi saja buruk keadaannya. Dengan tidak nyaman dia menghela napas, meneguk champagne-nya.
"Apakah kabar itu benar, Theo, bisnismu mendapat izin di penjuru Eropa?" kali ini si perempuan cantik-yang-terus-mengernyit itu memandang Theodore. Saat mata birunya memandang Theodore, ekspresinya jauh berbeda dari melihat Hermione datang tadi.
"Tak bisa menutupi fakta," jawabnya. Masih cerdas mulutnya, batin Hermione. Dia meneguk minumannya dengan gugup. Theodore bergerak di sampingnya, bahunya besentuhan. "tapi kurasa aku telah mendapat pengganti selama absen. Kita kedapatan anggota baru?"
Tentu saja basa-basi itu palsu. Theodore hanya benar-benar mencari alasan agar ia bisa menatap Hermione tanpa disadari siapa pun maksut dan tujuannya. Hermione tak bisa mengelak, dia menoleh, menatap mata cokelat Theodore. Hal ini tak akan membunuhnya. Tidak lagi.
"Hanya sesuatu yang dibeli Draco." Suara Pansy yang menjawab. "baik sekali dia, mau kirimkan hiburan sebegini jelek di hadapan kita. Tidak tahukah bahwa saat ini ada hiburan yang lebih seru untuk para budak? Kau tahu, Blaise, yang sedang marak di pinggiran Diagon Alley. Kurasa tempat minumu dekat situ."
Blaise menggeleng-geleng, mengikuti irama musik. "Bukan untuk itu yang satu ini, Pansy."
"Tapi tentu saja Draco sudah punya cukup peri-rumah untuk menggosok lantai, kan?"
"Oh, entahlah," jawab Blaise, dia mengedipkan mata. "kenapa tidak nikmati musik saja, daripada memikirkan hal yang bukan seharusnya menjadi beban?" Blaise maju beberapa langkah, tangannya terulur. "Astoria?"
Ternyata nama perempuan cantik itu. Hermione melihatnya menerima tangan Blaise, mereka bergandengan, menuju lantai dansa. Musik tanpa terasa sudah berubah, Hermione menatapi mereka dari kejauhan. Rasanya dia ingin selamanya berada dalam posisi itu. Karena dia kini merasakan beberapa pasang mata menatapnya. Dia tak mau tahu.
"Berharap cari cowok yang sudi ajak kau dansa, Granger?"
Dia tak merespon atas kata-kata Pansy. Hermione menatap tajam pada sosok Blaise, bersumpah serapah dalam hati atas perbuatan meninggalkannya.
"Yah, baiklah. Jika tidak ada yang ingin ajak kau dansa, bagaimana dengan aku saja?"
Hermione melihat tangan Theodore terulur untuknya. Dia ragu-ragu sesaat. Jauh dari Pansy adalah hal terbaik, dia bersedia menebus apa pun agar hal itu terjadi. Tapi nampaknya tidak termasuk dengan pertolongan Theodore. Hermione tahu sekarang Pansy dan Millicent sedang ternganga ngeri, memandang temannya seolah kerasukan. Namun dia tak tahu kenapa tangannya membalas uluran tangan itu. Theodore tersenyum. Senyum itu gemerlapan—dan menenangkan.
Dia menarik Hermione—namun agak ke sisi dari lantai dansa. Dia masih merasakan pandangan mengecam dari bekas kerumunannya tadi. Namun, seperti tak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini, Theodore menariknya menjauhi lantai dansa. Hermione kaku di bawah sentuhannya. Mereka berdansa, perlahan-lahan bergeser hingga menuju pintu keluar.
"Ikutlah denganku. Aku ingin bicara."
.
.
.
A/N : waw, such a long chapter. Saya mengapresiasikan bab ini untuk para pembaca budiman, dan terima kasih banyak untuk review. Setelah dibaca satu-satu, saya terharu masih ada yang suka dengan cerita ini… hehe. Sampai ketemu segera!
