8

.

"Nah, sekarang apa?"

Mereka telah sampai pada sisi kanan pintu utama, tempat yang agak jauh dari ingar-bingar dan musik hanya samar-samar terdengar. Hermione berdiri di belakang salah satu pilar besar, berkali-kali melirik sekitar, was-was kalau ada penjaga. Namun dia bersyukur, cahaya temaram telah menyamarkan keberadaan mereka, jika memang ada mata yang menangkap maka tidak akan jelas siapa dua orang yang terburu-buru menghindari keramaian. Dan dia tak terlalu suka jika para penjaga tahu itu adalah dirinya.

Theodore tidak diam di tempat—membuat Hermione semakin bingung—dia berjalan mondar-mandir. Jasnya yang panjang di bagian belakang berkelebat. Namun setelah beberapa menit dia berhenti, menatap Hermione. "Kau tidak pernah bilang apa tepatnya hubunganmu dengan Draco selama ini."

Hermione mengernyit. "Kupikir kau tidak akan peduli?"

"Well, mustahil untuk tidak," ujarnya. Theodore menghela napas dan mengusap bibirnya, tampak putus asa. "kenapa kita buang-buang napas pada malam itu untuk bicara omong kosong sedangkan kau punya banyak pernyataan yang jauh lebih penting?"

"Aku tak tahu apa maksutmu, Theo. Berhenti berputar-putar." Kata Hermione. "dan setelah mengetahui semuanya, kenapa kau harus repot-repot membawaku kesini? Ada lagi yang ingin kau tahu?"

"Kenapa kau tidak puas hanya dengan menolak permintaanku, tapi kau ingin membuangku jauh-jauh juga? Bisakah kau tidak membenciku?"

"Aku tidak pernah—"

"Yeah, kau membenciku, Hermione. Semua terpancar dari matamu." Sambar Theo, telunjuknya mengarah pada mata Hermione. "tapi aku membawamu ke sini karena aku mempunya dua pernyataan yang harus kuberi tahu di waktuku yang singkat."

Hermione tidak melihat Theodore di tubuh itu. Dia seperti melihat jiwa yang lain, karena Hermione tak pernah melihatnya gagal dalam mengendalikan perkataan. Theodore nampak kebingungan dalam menyusun kata-kata. Ada sesuatu yang hendak di sampaikan dari mulut itu, tapi dengan sangat kuat ditahan. Perangainya seperti orang yang kalut, berkali-kali mengusap pelipis dan menghela napas berat. Padahal baru beberapa menit lalu ia nampak cemerlang di lantai dansa.

"Yang pertama, aku benar-benar serius pada malam itu ketika aku bilang bahwa aku ingin kau kembali. Tapi kau selalu tahu aku, aku akan memberikan pilihan. Dan ketika kau memilih menolak, maka aku membiarkanmu—tidak melepaskanmu begitu saja—hanya aku mempunyai rencana untuk mendapatkan hatimu kembali, entah kapan—oh, yeah, aku sungguh-sungguh." Tambahnya cepat ketika melihat perubahan wajah Hermione yang siap untuk memberi interupsi, Theodore mengangkat tangan. "aku sungguh-sungguh, Hermione. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri tak akan membohongimu."

Theodore menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, nampak sangat frustasi.

"Jadi aku tahu kenapa kau menyuruhku untuk mencintai orang lain," ujar Theodore pelan. "aku tidak percaya ketika mendengar rumor, tapi malam ini, aku percaya. Kau hanya menyuruhku melakukan hal itu, karena kau sendiri sudah satu langkah lebih maju. Kau hanya ingin membuat dirimu paling benar sampai akhir. Kau adalah pembalas dendam yang sangat manis."

"Aku tidak mencintai siapa pun, jika itu yang kau maksut!" ujar Hermione, agak lebih keras dari yang seharusnya.

"Yeah, kau mencintainya, Hermione. Aku melihatmu menatap Draco malam ini," kata Theodore tak berdaya. "aku tahu, karena dulu kau melihatku dengan cara yang sama."

Kerongkongannya tersekat, Hermione tak tahu mana yang membuatnya merasa demikian—melihat keputus asaan Theodore atau menerima kata-kata itu tepat di muka. Hermione tidak tahu apakah itu sebuah kebenaran, dia tidak pernah berpikir demikian. Namun satu fakta yang ia yakini dari kata-kata cowok itu adalah; dulu Theodore tak pernah menyakiti hatinya, sehingga Hermione pernah sangat berharap dengannya, bermimpi untuk hidup dengannya. Dia tak menyangkal itu cinta. Tapi apakah benar, saat ini dia juga tengah merasakan hal yang sama?

Dia masih terlalu kalut dengan semua pernyataan itu, namun Theodore tak sedetikpun melepaskan mata darinya. Hermione tak berani membalas mata itu. Dia berharap lantai di bawahnya menelannya bulat-bulat, meninggalkan semua kebimbangan ini.

"Theo…" ujarnya, Hermione menggeleng pelan, dia kehilangan kata-kata. Namun rasanya dia harus tetap memanggil nama itu.

"Yang kedua," suara Theodore tidak berubah, mengindahkan Hermione. "aku ingin menyampaikan bahwa aku akan menikah besok."

Hermione kali ini tak bisa menahan diri untuk tak menengadah. Namun yang dilihatnya adalah sorot mata yang penuh dengan kegetiran. Theodore nampak lebih tersiksa menyampaikan pernyataan yang kedua dibanding yang pertama—dan Hermione mengantongi satu fakta, bahwa ia sama sekali tidak bercanda. Mereka terdiam lama, waktu seperti menciptakan ruang untuk momen itu.

Sayup-sayup musik, tawa dan suara-suara samar yang berada di Rumah Utama terdengar. Semua itu hanya keluar masuk ke dalam pikirannya, namun menembus begitu saja—dia menatap kosong pada Theodore. Mereka semua, yang ada di Pesta tidak tahu ada dua orang di sudut remang, menghindari suasana meriahnya, tengah membicarakan kelemahan dan keputus asaan.

"Kenapa?" suara serak keluar dari mulutnya. Hermione tidak bisa membaca gelagat cowok yang ada di depannya. Dia kehabisan ruang di otaknya untuk mengerti pula. Hal ini bahkan terdengar kering dan basi untuk sebuah lelucon—dan Hermione tidak terlalu senang mendengarnya. Tapi mata cokelat Theodore menyorot lesu, dia berdiri tak berdaya di hadapannya. Tidak bisakah mereka berdua menciptakan percakapan normal dan manusiawi?

"Karena aku harus." Theodore memejamkan matanya. Berita ini sama sekali bukan berita yang disampaikan pada semestinya—dengan bahagia dan sambutan ceria. Baik Theodore dan Hermione sendiri tenggelam dengan kegetiran yang entah dari mana asalnya. Hermione yakin dia tidak memiliki perasaan yang tersisa pada Theodore, namun hatinya pedih ketika merasakan wajah seolah penuh penderitaan itu menghadapnya. "aku akan meninggalkan Inggris malam ini. Menikah dengan perempuan Prancis. Senang?"

Herannya, dia tak bisa menjawabnya. "Kau tampak tidak bahagia dengan hal itu."

Bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan. Hermione hanya mendeskripsikan fakta dari raut wajah Theodore. "Yeah, mungkin suatu saat nanti." Dia menatap Hermione lebih siap dari sebelumnya—perlahan-lahan membentuk diri seperti Theodore yang biasa, lugas dan cemerlang. "sekarang bagaimana aku bisa menatap seseorang yang kucintai dan memberi tahu diri sendiri bahwa inilah waktu untuk melepasnya pergi?"

Pipi Hermione sudah basah dengan air mata.

Dia tak sanggup melihat Theodore menelan semua kepahitan itu sendiri. Tapi di satu sisi yang besar, sisi kemanusiawian, dia tak tahu alasan kenapa cowok itu harus melakukan sesuatu yang menyiksanya teramat hebat.

Namun Hermione tak mau bertanya. Dia takut mendengar jawabannya. Dia tak tahu kata-kata apa yang patut dikeluarkan pada pemilik hati yang telah hancur berkeping-keping, mengingat dulu dia pernah merasakannya.

.

Apakah ada orang yang menyadari dia pergi, Hermione tak tahu. Dia menyelinap kembali ke dalam semaraknya Pesta. Semakin malam, semakin banyak pasang kaki yang datang, semakin cepat ritme musik yang dimainkan. Semakin banyak yang berdansa gila-gilaan. Dia mengambil tempat di sudut, yang entah bagaimana tak ada orang-orang yang tadinya ia bisa ajak bicara. Kerumunan anak-anak Slytherin nampaknya telah bubar, melebur dengan suasana. Dia tak melihat batang hidung Blaise, mungkin dia sudah nyangkut di rangkulan entah-perempuan-mana. Bahkan dia tak mendapati Falcone di punggungnya.

Hermione terpaku. Suasana demikian meriah, tapi dia merasa kesepian.

Theodore telah pergi, dan Hermione tak tahu kapan dia bisa melihatnya lagi. Hermione tak mencegahnya, atau bertanya sesuatu yang besar—yang mengganjal kerongkongannya. Berita itu seolah sebuah tragedi. Namun kesedihan yang timbul bukan dari dirinya. Dia gundah gulana melihat bagaimana Theodore bicara dan melangkah dengan berat menuju gerbang. Mata Hermione—walaupun remang-remang ia melihatnya, karena air mata mengaburkan pandangannya—terus mengekorinya sampai punggungnya hilang di jalan lurus yang gelap.

Tidak ada marah yang tersisa untuknya. Perasaannya hanya terlalu bersimpati pada dia. Cowok yang pernah mengisi penuh ruang di hati Hermione dan yang meninggalkannya begitu saja. Hermione memejamkan matanya, berharap saat dia membukanya, Pesta ini hilang dalam sekejap. Dia hanya ingin tenang, dia hanya ingin menghabiskan waktu di kamar. Persetan dengan semua ini.

Namun akhirnya dia melihat Blaise, cowok itu tengah berdansa gila-gilaan dengan seorang wanita berambut pirang yang tak Hermione kenal. Dia selalu gampang dapat perempuan. Memilih perempuan yang akan dirangkulnya seperti memilih buah-buahan di pinggiran. Di dalam pikirannya bergelut, hidup macam apa yang sedang di jalani kaum-kaum bangsawan sialan ini? Satu titik mereka menggengam semua yang mereka inginkan, di satu titik yang lain mereka luluh lantah dengan alasan yang tak dimengerti. Melihat tawa-tawa sinting, tembakau ratusan galleon, alkohol yang tinggi nilainya, Hermione rasanya ingin memuntahkan sesuatu yang menggumpal di dalam perutnya. Dia jadi benci dengan gaun bagusnya yang mahal, berlian yang Draco berikan padanya setiap minggu. Dia benci harus ada di sini.

Hermione menyandar pada tembok, dia melihat Falcone menyembul entah dari mana. Baru pertama kali selama dia mengenalnya, Hermione merasa lega melihatnya. Setidaknya dia tidak sendirian merasa tersingkirkan di sini. Falcone terbilang mempunyai derajat yang hampir sama dengannya, menjadi kaki tangan. Subyek figuran dari dunia ini. Tak akan seru jika isinya hanya yang bagus-bagus saja, harus ada yang buruk untuk melengkapi. Dia ingat istilah itulah yang dipakai Yaxley pada malam itu.

Hermione melihat Falcone menggerakan bibirnya, namun tak ada suara yang keluar dari sana. Bicara apa dia? Kenapa dia terburu-buru mendatanginya?

Dan kenapa sekejap ingar bingar ini berhenti, berubah jadi hitam sepenuhnya?

Dan seperti buku yang bersambung, Hermione sudah pada bagian bab yang berbeda. Dia tahu dia tak lagi ada di Pesta, karena saat ini yang memenuhi pandangannya hanya kristal mewah bergantung di langit-langit kamarnya. Rasanya dia bisa mencium kayu manis. Aroma yang menempel di tubuh Draco dan menjadi bekas bagi semua tempat yang selalu di singgahinya.

"Kenapa kau tidak mengatakannya, Granger?" Hermione memejamkan matanya, bahkan perasaan ini pun tidak lebih baik, walaupun bukan lagi di Pesta. "kau tidak bilang kau hamil. Empat bulan sialan dan kau menyembunyikannya tepat di depan hidungku."

Hermione menahan napas, rasanya enggan untuk melepasnya lagi. Ia mencoba bangkit dari tidurnya dengan susah payah dan bersandar pada kepala tempat tidur di belakangnya. Draco duduk di atas kursi—di samping tempat tidur—menyilangkan kakinya. Mata biru kelabu itu menatapnya tajam. Betapa khasnya. "Draco… aku sendiri pun meragukannya. Aku tidak yakin apakah aku benar-benar—dan aku pun jarang melihatmu sebulan belakangan. Aku tak berani mengambil kesimpulan yang belum jelas kepastiannya."

"Sulit percaya jika yang kutahu lembaran buku mantra pengobatan dan penyembuhan sudah menjadi bagaian dari otakmu." Katanya. Hermione memucat di bawah tatapannya. "apakah kau berencana untuk terus menyembunyikannya sampai perutmu membuncit atau kau berniat akan membuangnya?"

Hermione menatapnya tak percaya, tuduhan itu sudah benar-benar keluar batas. Dia tak mengerti kenapa Draco bisa berprasangka sedemikian hina padanya. "Kau tahu kau sudah benar-benar keterlaluan, Draco."

Draco hanya menatapnya. Tatapannya tidak melunak atau memberi ruang pada Hermione agar bernapas lega. Keduanya berada di kamar yang remang dan mencekam. Menimbulkan rasa sesak yang aneh di dadanya. Hermione tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—itulah momen yang terburuk. Dia sudah menjadi begitu paranoid selama tiga bulan terakhir mengenai situasi ini, dia takut akan reaksi dan keadaan yang akan berubah jika Draco tahu. Hal itulah yang menjadi alasan terbesarnya kenapa dia menutup mata dan telinganya, tidak mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya sendiri. Mungkin dengan kebodohan yang konyol, berharap semua yang ada di dalam dirinya hanya sebuah halusinasi dan menghilang dengan sendirinya.

Dan sekarang dengan fakta yang ada, Hermione tahu itu tak mungkin.

"Aku takut, Draco. Aku teramat takut." Katanya pelan, hampir berbisik. Dia tidak berani menatap mata biru-kelabu itu. "aku takut hal ini akan merubah semuanya, akan merubahmu. Jadi aku diam saja dan terus-menerus mencari jalan keluarnya—jika memang ini terjadi—karena kau tahu, aku berusaha keras menyangkal. Bahkan pada diri sendiri."

Dia kira Draco akan menarik rambutnya dan melemparnya keluar dari kamarnya saat dia bangkit berdiri dan berjalan mendekati. Hermione bahkan sempat merunduk saat tangan cowok itu terulur menyentuh puncak kepalanya. Draco mengambil tempat di sisinya, kini Hermione tidak mungkin menghindari matanya. Matanya sendiri sudah banjir air mata, namun Draco—dengan jari-jarinya—mengusap pelupuk matanya, menghapus tetesan air mata yang jatuh membasahi pipi Hermione. Baru beberapa detik lalu dia mengira mungkin tangan itu akan menamparnya kuat-kuat, namun kini sulit dipercaya bahwa orang yang sama tengah menyentuhnya dengan kelembutan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

"Tak ada yang harus kau takuti, Granger. Aku bukan marah padamu karena kau mengandung anaku, apakah kau pikir aku sebrengsek itu? Membuang ibu dari anakku sendiri?" Draco menyentuh kedua pipinya. Dan sekarang Hermione yakin dia berada di tangan yang benar—air mata semakin deras jatuh ke pipinya. "jangan menangis, Granger. Hatiku hancur melihatmu terluka. Kita akan melewati ini semua. Namun maukah kau berjanji satu hal?"

Suaranya tersekat di kerongkongannya, dia tak bisa bertanya.

"Hanya jangan pernah menyembunyikan apa pun lagi di belakang punggungku. Kau mengerti kan?"

Hermione mengangguk dan dia menenggelamkan wajahnya pada dada Draco. Tangan cowok itu melingkari tubuhnya, mendekapnya erat. Hermione rasanya ingin terus bersandar pada tubuh itu, menjadikan Draco tameng selamanya. Dia sungguh beruntung mendapatkan Draco di hidupnya, sekejap nampaknya dia telah mempunyai segala hal yang ia inginkan.

Hermione tak ingin melepas pelukan Draco, enggan untuk kehilangan bau kayu manis yang menempel di tubuhnya. Sampai tiba dua bulan berselang setelah malam Pesta itu, Hermione menjalani kehidupan yang agak lebih berbeda. Mengingat waktu yang tak sadar terkikis begitu cepatnya, Hermione sudah terbiasa membawa perut buncitnya kemana-mana. Dan sekarang Draco lebih sering pulang—mengingat terkadang dia mengahabiskan waktu berhari-hari atau minggu-minggu di luaran untuk tugas-tugasnya—menghabiskan waktu dengannya, atau sekedar mengapitnya ke sebuah acara.

Baru seminggu lalu dia menghadiri acara Pernikahan Pansy Parkinson. Sahabat Draco yang telah menikah dengan seorang pembisnis tempat perjudian kaya raya di dunia sihir. Hermione sudah terbiasa dengan banyak pasang mata melihatnya, berbisik-bisik dekat telinganya atau telunjuk yang dengan terang-terangan mengarah pada dirinya—atau lebih spesifik bagian perutnya. Hal ini sudah bukan menjadi hal menganggu, bahkan Hermione mulai menikmati saat para perempuan-perempuan bangsawan itu menatap mereka dengan frustasi. Suatu hal yang wajib dibanggakan dari darah-lumpur seperti dirinya, di tengah-tengah kaum bangsawan yang merajalela.

Menghadiri Pesta yang tak terhitung jumlahnya telah membuat kunjungannya pada tempat-tempat umum seperti jalanan Diagon Alley, toko-toko ajaib di Knockturn Alley dan kehadirannya di beberapa pertemuan resmi—misalnya pengangkatan Kepala Departemen Kementerian baru—menjadi begitu sepele. Melihat kembali nasibnya dulu, terkungkung pada dua buah pintu di Sayap Barat Malfoy Manor, rasanya melangkah dengan bebasnya ke daerah satu ke daerah lainnya—dengan salah satu penyihir bergengsi—adalah sebuah kemustahilan.

Namun inilah yang ia alami. Hermione Granger, Skandal sang Gundik. Begitu Rita Skeeter menulisnya pada kepala berita di Daily Prophet. Dengan foto besar yang bergerak, menampakan Draco yang mengapit tangannya, melangkah di Atrium Kementerian—dengan puluhan flash kamera sihir yang menembaknya—menjadi sampul pada Koran itu di suatu pagi. Hermione sempat menyemburkan tehnya pada wajah Falcone, bahkan Koran itu basah. Dia ingat kapan tepatnya foto itu diambil, yaitu saat pengangkatan Kepala Auror yang baru, menggantikan Kepala Auror lama yang mati secara misterius. Dibunuh di atas tempat tidurnya.

(16/08) Pada hari Minggu malam, salah satu penyihir perempuan palin bergengsi sejagat Inggris telah menggelar resepsi Pernikahan mewah. Pansy Parkinson, 21, menolak untuk memberi tahu kepingan Galleon yang sudah ia raup dari lemari besinya.
"Yah, bisa dikatakan kau harus bekerja seumur hidup untuk memperkirakan jumlahnya." Ujarnya dengan manis pada penulis legendaris Daily Prophet, Rita Skeeter. Namun bukan hanya pernikahan berkelas itu saja yang yang menjadi pusat perhatian. Sekali lagi, Draco Malfoy, penyihir terkaya seantero Eropa, Pewaris Tunggal Keluarga Malfoy yang paling disegani bangsawan, kedapatan membawa
salah satu gundiknya sebagai partner acara itu. Penulis Prophet yang professional telah beberapa kali berhasil meminta pendapat dari penyihir-penyihir termashur mengenai hal itu.
"Tak heran, Draco punya bergunung-gunung emas di Gringotts. Tinggal tunggu saja siapa lagi yang akan ia bawa di acara selanjutnya—kalau kau mau tahu pendapatku." Ujar Jeremy Perkins, Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir. "aku kenal anak itu sejak ingus masih menempel di bawah hidungnya…"
"Si Granger itu tidak cantik-cantik amat, tapi dia pintar—itu sih rumor yang kudengar. Jadi dia punya rencana spektakuler untuk menjerat Draco dengan insiden kehamilannya
(pada bagian ini Hermione mengernyit jijik membaca) tapi perempuan mana yang tidak akan berbuat begitu pada Draco Malfoy?" ujar Naomi Belfort, pemilik Belfort & Dine, rumah minum paling bergengsi di Diagon Alley.
"Ya ampun, kehamilan itu cuma omong kosong. Kementerian harus memeriksa Malfoy Manor apakah Granger itu punya tongkat
(yang ini tidak sepenuhnya salah, batin Hermione geli) untuk melancarkan transfigurasi pada perutnya dan Kutukan Imperius pada Draco." Ujar Daphne Greengrass, putri salah satu pengusaha paling termashur di dunia sihir.

Itulah induk dari anak-beranak berita yang diciptakan oleh Rita Skeeter berbulan-bulan ke depannya. Hermione tidak pernah diizinkan membaca Daily Prophet oleh Draco. Mengandung kata-kata sampah dan informasi dibuat-buat, katanya. Namun Falcone yang sudah mulai bersahabat dengannya, sering menyelipkan lembaran Daily Prophet yang disobek serampangan—dimana jika Prophet menampilkan berita tentang dirinya—dan hal itu menjadi semacam makanan penutup pada sarapan paginya.

Hermione tidak menerima kabar apa pun pagi itu, dan herannya, malah dia agak kecewa. Setidaknya efek mual dari perutnya membutuhkan sebuah hiburan dan akan tepat jika itu adalah tulisan Skeeter mengenai dirinya. Mungkin Hermione pikir dia akan murung jika saja hari ini Draco tidak berjanji untuk mengajaknya ke Diagon Alley untuk membeli keperluan sang bayi. Sebenarnya mereka sudah mempunyai satu ruangan penuh peralatan bayi beserta pakaian-pakaiannya. Namun Hermione selalu senang membeli barang yang baru, tidak peduli apakah dia sudah mempunyai jenis atau warna yang sama.

Hermione menuju koridor Rumah Utama, dimana ruangan kerja Draco terletak. Cowok itu tidak sarapan dengannya di balkon belakang, karena pagi-pagi sekali beberapa orang sudah datang mencari. Hermione, yang sudah terbiasa dengan semua hal itu, tak lagi mengeluh. Dia mencoba tabah dengan menjadikan Falcone tempatnya berkeluh kesah, terus-menerus mendengar ocehannya pagi hingga malam betapa menyebalkannya melihat orang-orang yang keluar masuk Manor dan betapa Hermione mendambakan sebuah privasi.

Falcone hanya menjadi pendengar yang baik. Dan itulah yang membuat Hermione mulai menyukainya. Namun suatu pagi, Falcone menjawab dengan suara yang enteng, bahwa jika dia senang privasi, maka Hermione tak akan menikmati bagaimana cara Rita Skeeter terus-terusan membicarakannya. Dan setelah itu, selama dua hari Hermione tak mau bicara dengannya.

Hermione mengetuk pintu dua kali, lalu kepala cepak Blaise muncul dari balik pintu. Hermione cemberut melihatnya. "Kenapa di setiap pertemuan selalu ada kau?"

"Nampaknya pertanyaan itu kini sudah menjadi hobimu, Granger. Dan aku mulai bosan menanggapinya."

Hermione melangkah masuk, melewatinya tanpa merespon. Dia melihat Draco duduk pada kursi di belakang meja kerjanya, bersandar dengan nyaman dan dua kakinya bersilang. Dia sudah terbiasa melihat jari-jari cowok itu mengapit rokok—dan menghisapnya.

"Kukira kau tidak lupa bahwa siang ini kau berjanji padaku untuk pergi ke Diagon Alley?"

"Apakah aku kelihatan lupa?" tanya Draco, dia memainkan putung rokok di tangannya—memutar-mutarnya. Hermione tak bisa untuk tak melirik Blaise, yang kini duduk di salah satu kursi. "apakah kau tahu jika Blaise akan menikah minggu depan?"

Bahkan untuk rasa kesal di setiap momen ia menatap tampang serampangan seorang Blaise Zabini, Hermione tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya dan senyum di wajahnya. Dia menoleh pada Blaise, yang tidak tampak tertarik dengan topik ini. "Kau? Menikah? Perempuan mana yang berhasil kautipu?"

"Well, sulit untuk mengakuinya. Namun undang-undang sialan itu tak bisa terus-terusan di kesampingkan, kan? Jadi aku harus pilih salah satu dan mencoba apakah hal keparat ini juga berhasil padaku. Menikah… Demi Salazar. Aku tak pernah membayangkan ada sebuah upacara yang diadakan untukku dan seorang perempuan. Ini konyol."

"Memang kenapa kalau kau terus-menerus menunda pernikahan?"

"Entahlah, kenapa tidak tanya saja pada teman hidupmu tersayang. Aku tak cukup berpengetahuan untuk menjawab hal-hal bego seperti itu."

Hermione beralih menatap Draco, si pirang menarik sudut bibirnya dengan samar. "Akan sangat penting bagi orang-orang yang ingin memperluas kekuasaan atau menaikan reputasi bisnisnya. Kenapa kau masih terus-terusan rewel, Blaise? Kupikir Marietta Edgecombe tidak terlalu buruk pada tahun kita di Hogwarts. Kecuali bisul jelek yang pernah tumbuh di wajahnya."

Lalu Draco mendengus, Hermione menatap tak percaya—ada sesuatu yang meledak di dadanya, hampir menjadi tawa terbahak-bahak. Namun walaupun dia selalu sebal dengan Blaise, dia masih mempunyai perasaan untuk tak melukai harga dirinya. Dengan batuk yang dimaksudkan untuk menyamarkan tawa, Hermione menelan ludahnya dengan susah payah. "Marietta yang pernah kena kutukanku, Marietta si pengadu?"

"Oh, diam kau, Granger. Jangan membuat semua ini semakin buruk." Dia baru pertama kali melihat Blaise merana di seumur hidupnya. Hermione tidak tega untuk senang dengan pemandangan ini. "aku sudah coba katakan dengan Mama bahwa aku punya pilihan sendiri, namun kau tahu dia. Mama memilihnya bukan karena dia yang paling kaya—atau bergengsi. Ayahnya orang Kementerian, Kepala sebuah Departemen. Mama selalu menyuapnya untuk melancarkan bisnis barang-barang sihir ilegal, dia pikir akan lebih mudah jika aku menjadi menantunya. Jadi yeah, disinilah aku. Tampak seperti rongsokan bego yan dijual."

Hermione sudah terbiasa dengan hal-hal itu. Dia tak menutup mata mengenai undang-undang yang ada, bahwa seorang darah-murni diharapkan menikah dengan darah-murni atau darah-campuran. Namun beberapa diantaranya sering menggunakan kesempatan ini untuk memperkuat kekuasaan dan melebarkan sayap bisnis dunia sihir. Dia sudah banyak mendatangi pernikahan yang dulunya teman seasrama Draco. Biarpun dia tak menyentuh Prophet, dia diam-diam tahu kabar baru dari mulut-mulut orang yang bergosip di Pesta.

"Aku sudah mau ajak Daphne, tapi nampaknya Mama tidak suka dengan gaya pakaiannya. Apa yang dia pikirkan, apakah baju-baju sialan itu yang akan aku tiduri—"

Blaise belum menyelesaikan kata-katanya, namun tiba-tiba saja pintu ruangan itu menjelebak terbuka. Pansy Parkinson—diekori beberapa penjaga di belakangnya—menyerobot masuk dan dengan tampang tak karuan, bersimbah air mata dan pucat pasi, dia mendatangi meja Draco dengan langkah berapi-api.

"Oh, bangsat kau, Draco!" raungnya. Para penjaga dengan sekejap telah berlari dan menjagal kedua tangannya, mencegahnya menerjang Draco. Namun mereka nampak kewalahan saat tubuh Pansy mulai menggila, kakinya menendang-nendang meja dan menghentak-hentakannya pada permadani di bawahnya. "kenapa kau melakukannya? Kenapa kau melakukan ini padaku?"

Hermione membeku diliputi rasa bingung, Falcone sudah di belakangnya, seolah siap memasang badan kapan saja. Pansy menangis tersedu-sedu.

"Kenapa kau lakukan ini, Draco? Kau bajingan tak berperasaan…" desisnya penuh amarah, gerakannya mulai melemah. Pansy tersekat dengan tangisannya sendiri. Draco bangkit dari duduknya, ia memberikan isyarat pada kedua penjaga yang mencengkram Pansy untuk melepaskannya. Draco menyentuh pundak Pansy, namun perempuan itu menepisnya. Dia menutup wajahnya dan terisak-isak hebat.

"Hei, Pans. Pansy… tenangkan dirimu. Semua akan baik-baik saja—"

"Kaupikir setelah semua ini hidupku akan baik-baik saja?" teriaknya, namun Draco sama sekali tidak menarik diri atau pun terganggu dengan hal itu. Hermione menatap keduanya secara bergantian. Pansy mengatakannya dengan lebih pelan dan sendu, suaranya diiringi dengan isakan. "tahukah kau, Draco, bahkan anakku sudah menjadi seorang yatim sebelum dia sempat lahir di dunia? Kenapa kau membunuh Carmine, Draco? Tidak bisakah kau memaafkannya, membiarkannya pergi?"

"Pansy, tenangkan dirimu."

"Aku tidak bisa lagi tenang dan aku membencimu, Draco! Aku selalu mendukungmu, aku selalu menghormatimu! Bahkan di era ini, aku berada di jajaran yang setia padamu. Aku bahkan hadir ketika malam kau bangkit!"

"Pansy, hentikan. Kau mulai di luar kendali—Scabior, panggilkan Penyembuh."

Lalu secara tiba-tiba, dan amat mengejutkan, Pansy beralih pada Hermione. Wajahnya sukar dikenali, melihatnya pucat pasi dan tak ada riasan di sana. Matanya bengkak. "Tahukah kau, siapa dia, Granger? Tahukah kau siapa orang yang hidup denganmu, siapa ayah dari anak yang kau kandung?"

Hermione menatapnya lekat-lekat, mulutnya terkunci rapat. Dia merasakan Falcone siaga di belakangnya. Namun Draco telah mencengkram lengan Pansy, memancangnya untuk tak melangkah lebih jauh kearahnya. Tangan Pansy yang bebas telah merampas Koran yang tergeletak di atas meja Draco, melemparkannya ke bawah kaki Hermione.

"Baca Koran-koran itu! Lihat berapa banyak pembunuhan misterius dan semua itulah yang telah dilakukan olehnya!" raung Pansy. Draco kini sudah dibantu dengan seorang penjaga untuk menahannya. "bagaimana rasanya Granger, satu atap dengan penjahat keji—bahkan dia membantai Yaxley dan komplotannya saat dia mengundang mereka makan malam di Manor, mengutuknya di meja makan!—kau disembunyikan di tempat Blaise pada saat itu! Tidakkah kau tahu? Bahwa pria ini adalah bajingan paling berbahaya demi menyebarkan kekuasaannya—"

Pansy belum sempat menyelesaikan kata-kata, namun dia sudah merosot ke lantai. Kesadaran telah direnggut paksa darinya. Hermione menoleh panik, Blaise masih mengangkat tongkat—sisa-sisa perbuatan yang dilakukannya dengan melayangkan mantra pemingsan pada perempuan itu. Hermione melihat Pansy yang telah dibopong oleh penjaga yang tadi mencengkramnya. Draco masih menatapi kepergian mereka, ruangan itu mendadak sepi. Bahkan Blaise ikut menyelinap pergi.

Hermione menatapnya, namun Draco lama tak membalas tatapannya. Mereka terdiam beberapa detik.

"Benarkah itu, Draco?"

Draco berjalan membelakanginya, menuju jendela besar menghadap hamparan hutan yang luas di belakang Manor. "Sudah kukatakan padamu—jangan pernah tanyakan apapun mengenai bisnisku, Granger."

"Draco—"

Draco meninju rak buku di samping jendela, menciptakan bekas ringsek di sana. "Jangan—" dia menghela napas, memejamkan matanya, seolah dengan seluruh kekuatannya mencoba mengendalikan diri. Hermione mematung, tak berani bergeser sesenti pun dari dimana ia berdiri. Dia mengira Draco akan mengutuknya. Cuping telinga Draco memerah, ia menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. Setelah beberapa saat, dia menatap Hermione. Tatapan matanya berubah. "Kemarilah, Granger."

Rasanya ada beban yang tak diketahui dari mana asalnya, menolak permintaan itu. Hermione dengan berat melangkah pada Draco. Cowok itu membuka tangannya, membawa Hermione ke dalam pelukannya. Dia merasakan napas Draco di puncak kepalanya, hidungnya yang tenggelam di sana. Namun dia tak berani bergerak, terpatri dalam sentuhannya. Semua kejadian ini menabrak akal sehatnya.

"Jangan biarkan aku menyakitimu. Aku tak akan menyakitimu lagi."

Hermione terdiam, memejamkan matanya. Dia menelan semua kata bulat-bulat di kerongkongannya.

.

Hermione tidak pernah secuil pun mengungkit kejadian di ruangan Draco, walaupun hanya hal itu yang seminggu ini mengganderungi pikirannya. Namun sepertinya semua itu bukan apa-apa bagi Draco. Ia bertindak sewajarnya, beraktivitas seolah tak pernah ada seorang perempuan yang meraung-raung atas kematian suaminya di dalam rumahnya.

Hermione bisa menanyakan beberapa hal pada Tiny—tidak langsung pada inti, hanya poin-poin tertentu untuk membawanya sedikit ke jalan kebenaran—namun ia tak mampu. Hermione sendiri takut dengan segala fakta yang kelak akan ia tahu.

Jadi disinilah dia, dengan gaun biru pastel yang mengembang, menggesek lantai pada bagian belakang. Draco selalu senang melihat pundaknya terbuka, jadi Hermione menggelung rambutnya, menyisakan beberapa pilinan rambut di sisi wajahnya. Dia tampak luar biasa berkilauan, kalau saja dahinya tidak terus-terusan berkerut merusak seni ini. Hermione menatap diri di cermin, Draco telah menunggunya di ruang kerja. Dan dia tidak suka datang terlambat ke pernikahan sahabat terbaiknya.

Draco selalu memberikan segalanya. Membuatnya menjadi penyihir paling cantik dan tiada dua jika mereka menghadiri sebuah acara. Hermione tahu itu—dia sering melihat juluran leher-leher telanjang para perempuan untuk melihatnya atau dengusan cemburu setiap dia melangkah dengan lengan Draco dalam cengkramannya. Bahkan kini Hermione mengelus lembut perutnya, seolah ingin menciptakan perhatian baru untuk mereka.

Sorenya saat tiba di Zabini Manor, dimana kastil itu terletak di pinggiran pantai Utara Inggris, Hermione mengamati pernikahan di gelar pada halaman belakang—yang ternyata tebing tinggi—dengan dibawah tebing itu ombak tak henti-hentinya menghantam. Nyonya Zabini merupakan janda kaya raya sepenjuru Inggris, membuat pernikahan anak semata wayangnya tak hanya disaksikan oleh penyihir-penyihir bangsawan. Namun cakrawala jingga dan laut yang membentang luas menyaksikan dengan damainya.

Hermione dari kursi hadirin melihat Marietta Edgecombe diapit oleh lengan ayahnya, Tuan Edgecombe menyusuri altar. Saat sampai di depan altar, mereka mengucapkan ikatan janji sumpah penyihir, disusul dengan isakan dan bersitan hidung Nyonya Zabini dan Nyonya Edgecombe. Hermione ingat, dia dulu sering menghadiri pernikahan-pernikahan teman ayah atau ibunya, bahkan saudara-saudaranya. Jenis pernikahan di dunia sihir tidak jauh berbeda dengan pernikahan di dunia Muggle—hanya saja tak ada tali sihir transparan yang mengikat tangan kedua mempelai saat berhadapan mengucap janji. Hermione tidak pernah membayangkan rasanya berdiri di tempat itu, dengan pakaian putih gemerlapan yang bagus, berjanji dengan seorang pria bahwa ia akan menghabiskan sisa hidup dengannya. Dia tak pernah berharap.

Saat Blaise mencium Marietta—menandakan bahwa upacara ini selesai—Draco menggenggam jemarinya. Tangannya yang lain mengelus pelan perutnya. Hermione menoleh dan menatapnya, dia bisa melihat dari mata biru-kelabu itu terpancar kebahagiaan. Draco tersenyum padanya—hal yang sangat jarang dilakukan pada siapa pun. Namun Hermione selalu paham rasanya, senyum itu tak pernah tampil secara sia-sia. Senyum yang diciptakan Draco adalah jenis yang paling menyejukan hati. Sepadan dengan harga mahal yang harus ia bayar untuk melihatnya.

"Bagaimana dengan bayinya?" tanyanya di tengah ingar bingar orang-orang yang mulai bangkit dari kursi dan menuju lantai dansa.

"Ikut bahagia." Jawab Hermione dengan senyum. Draco mencium keningnya. Lalu mengajaknya untuk bangkit dan menuju keramaian yang sebenarnya. Hermione melihat Blaise bicara dengan Nyonya Zabini di dekat altar. Sedangkan Marietta masih tersedu-sedu di pundak ibunya.

Banyak orang menyapa dan menepuk pundak Draco—mencoba membuatnya bersatu dengan kerumunan. Namun Draco membawanya ke lantai dansa, menuntunnya bergerak pelan mengikuti irama. Mereka bertatapan dalam diam. Hermione menyunggingkan senyum yang tulus. Tak ada yang lebih menyejukan dari mata Draco yang menatapnya seperti ini. Agak sulit bagi Hermione untuk berdansa, mengingat perutnya kini menjadi penghalang antara mereka berdua. Namun Draco seakan tahu situasi ini. Hanya beberapa menit mereka berpelukan di lantai dansa, ia menyelesaikan satu lagu dan membawa Hermione pada salah satu meja di pinggiran, dia menarik bangku untuk Hermione dan mengambil dua gelas minuman. Dia tak heran ketika Gregory Goyle tergopoh-gopoh berjalan ke arahnya. Ketenangan bukan kata yang tepat jika bersama Draco.

"Draco, hei mate." Sapa cowok gemuk itu, dia banjir keringat. Draco menggendikan kepala seraya menyerahkan segelas air pada Hermione—dia tak boleh menyentuh alkohol. "sudah tahu jika Kementerian kirim Auror ke sini?"

"Apa katamu?"

"Dan beberapa wartawan bangsat yang berderet di gerbang. Aku sudah remukan lima kamera sialan milik mereka—dan pelindung anti animagus. Si Skeeter katanya bisa bertransformasi jadi kecoa."

"Kumbang," koreksi Hermione, mengingat pengalaman di tahun kelimanya dengan wartawan penyihir itu. Dia pernah mengancam Rita Skeeter akan mengadukan bahwa dia animagus tak terdaftar ke Kementerian, kalau wanita licik itu tak mau menulis berita kebenaran tentang Harry di Quibbler.

Gregory beralih menatapnya, lalu mengangguk. "Yeah, persetan. Campuran kotor rendahan mereka. Kementerian sudah mulai bertingkah pula. Sudah sepantasnya kau mulai turun tangan, Draco."

Draco tak menjawab beberapa saat. Dia mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya dengan sihir. Gregory nampak menunggunya bicara, namun dengan santainya Draco menghisap rokoknya. Lalu segerombolan parlente datang, dia melihat wajah Marcus Flint, Tracey Davis dan Adrian Pucey—komplotan yang sering mengekor pada Draco di setiap kesempatan. Mereka semua mengangguk pada Draco penuh kehormatan. "Kenapa kalian berkumpul di sini? Kau tidak membawa istrimu, Marcus?"

Hermione pernah datang ke Pernikahan Marcus, bukan jenis yang paling mewah. Namun setidaknya cowok itu mempunyai perempuan yang mau menikahinnya dan moncong kejamnya. Hermione tidak teralu suka dengannya. "Tidak terlalu penting, Draco. Hanya saja sekarang kita perlu urus—"

Draco mengangkat tangan, Marcus menelan suaranya kembali ke kerongkongan. Pandangan Draco berkeliling, menatap satu-persatu wajah yang mengerubunginya. "Kalian ajak istri dan perempuan ke pesta kan?"

Mereka melirik satu sama lain. Hermione tak bisa menganggap pemandangan ini tak menarik. Lalu jajaran itu mengangguk.

"Bagus. Karena lelaki yang tak meluangkan waktu untuk keluarga bukanlah lelaki sejati." Ujar Draco. Mereka semua tampak seperti bocah nakal yang baru saja dihajar oleh seorang guru. Draco tidak menampakan emosi, dia menghisap rokoknya dengan santai. "nah, sekarang nikmatilah Pesta ini. Aku tak ingin kalian mengkhawatirkan satu hal lain pun. Berdansalah, kita bahagia untuk Blaise. Jangan kotori pernikahannya dengan kabar-kabar recehan. Dan setelah menginjakan kaki keluar dari sini, baru kita urus Auror sialan dan wartawan itu."

Mereka semua nampak tidak terlalu puas dengan keputusan ini, namun tidak bisa bertindak lebih. Akhirnya mereka semua menyeruput gelas masing-masing dengan mata yang terus mengintimidasi keadaan sekitar. Masih was-was kalau saja wajah salah satu Auror terselip di kerumunan, atau buku-catat-otomatis Skeeter bergerak bebas di udara. Hermione sendiri dari tadi berusaha keras agar keberadaannya tidak disadari. Dia tak mau menarik perhatian siapa pun.

Beberapa saat berselang, setelah suasana kembali normal—Marcus mulai mengeluarkan lelucon keji dan suara tawa bego Gregory yang seperti orang batuk berdahak memenuhi kerumunan—Hermione mulai bosan dengan Pestanya. Namun dia tidak bisa mengeluh, karena pasti Draco akan tetap tinggal sampai pesta selesai. Nyonya Zabini baru saja pergi dari hadapannya, mencium pipinya dengan penuh kerinduan dan melambaikan jari-jarinya yang buntek dipenuhi cincin perak dan bermata berlian kepada Hermione—disertai dengan ungkapan betapa ia menunggu kelahiran bayinya dan sudah mempersiapkan kado luar biasa untuknya kelak.

Hermione di beberapa kesempatan telah bertemu dengan wanita itu—berbadan gempal, berkulit gelap dan berpakaian nyentrik namun berkelas. Tak lengkap rasanya jika ada sebuah acara atau pesta semarak tak disertai dengan kehadirannya. Dengan suara nyaring yang bersahabat, disetiap beberapa detik sekali selalu disapa atau menyapa orang lain. Hermione sempat takjub dengan kelebihannya dalam mengingat nama setiap penyihir. Nyonya Zabini adalah salah satu penyihir yang bisa dibilang tidak memihak. Dia tak pernah memandang status, namun keadaan lah yang membawanya pada tempat ini—dia sudah kaya turun temurun, sehingga bergaul dengan darah-murni (dia dan mendiang suaminya pun berdarah-murni) merupakan suatu gaya hidup—jadi tak peduli dengan era apa pun yang sedang berlangsung, ia akan tetap berjaya.

Blaise sendiri tidak benar-benar bergabung dengan Pelahap Maut. Bahkan dia tak pernah berhubungan langsung dengan Pangeran Kegelapan. Dia berada di kelompok karena status sosialnya dan persahabatan dengan Draco yang amat kuat. Jadi, tidak heran jika keluarga itu tak pernah membeli budak atau tidak mencerca darah-lumpur seperti kaum bangsawan lainnya. Namun bukan berarti mereka fanatik Muggle seperti Tuan Weasley. Nyonya Zabini hanyalah wanita bijaksana yang berkelas.

Saat langit mulai gelap, dan lampu-lampu kristal yang disihir dengan indahnya mulai memenuhi hamparan penjuru Pesta, Hermione sudah merasa mual. Draco dan kroninya telah bergeser ke tempat yang lebih ramai. Dia tadi sudah bertemu dengan Marietta, bukan tipikal perempuan yang berperangai ramai dan menyenangkan. Terlebih mengingat masa lalu mereka di tahun kelima, dimana dia terkena efek kutukan bisul parah Hermione, saat ia mengadukan tentang perkumpulan Laskar Dumbledore pada Umbridge. Tak heran, ketika Blaise memberikan lelucon tentang betapa manisnya hubungan mereka berdua di Hogwarts, Marietta tampak sangat terhina dan enggan menjabat tangan Hermione. Dia geli sendiri melihat perempuan itu ikut merajuk pada cowok yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya.

"Baik sekali kan, perangai istriku itu? Mama selalu tepat memilihkanku sesuatu." Ujarnya masam, ketika melihat punggung Marietta mulai menjauh meninggalkan kerumunan.

Mungkin Pesta ini akan berlangsung semalaman suntuk. Jadi dia memutuskan beberapa saat lagi akan minta dipulangkan pada Draco. Namun belum keluar permintaanya, Draco telah mendatanginya. Cowok itu membungkuk, menyentuh tangannya.

"Kau baik-baik saja?"

"Aku agak mual, Draco." Draco berlutut di hadapannya, menyentuh pipinya. Wajah Hermione memerah karena suasana mulai lembab dan panas. "bisakah kau panggil Falcone dan membiarkan dia membawaku pulang?"

Draco tampak ragu. Jelas dia tak ingin Hermione meninggalkan Pesta secepat ini, karena biasanya Draco akan membawanya pergi dan pulang. Draco mengelus perutnya. Beberapa saat kemudian dia membawa Hermione bangkit. "Setidaknya kau akan pamit dengan Blaise."

Draco merangkulnya serta membawanya membelah kerumunan. Beberapa orang yang sadar menyingkir, namun beberapa yang gila menari menabrak pundaknya. Sampai akhirnya mereka tiba di kerumunan. Ternyata komplotan itu tengah mengerubungi si mempelai pria. Dia tak melihat Marietta di sana. Namun Hermione menyipitkan mata, dia tak mungkin salah lihat walaupun kepalanya pening. Rasa mual tak akan juga menyebabkan halusinasi sedemikian ngaco.

Dia melihat Blaise merangkul seseorang, tengah tertawa terbahak-bahak—diikuti dengan tawa yang pecah di kerumunan. Draco membawanya semakin maju, semua orang beralih menoleh kearahnya. Rasanya tubuhnya seperti disiram air dingin.

"Dia tak akan hilang, Draco. Suruh Falcone untuk jaga." Kata Blaise saat melihat Hermione, masih dengan sisa-sisa tawa.

"Aku harus pergi, Blaise."

"Oh, man, apa-apaan ini? Kita bahkan belum mulai Pesta yang sebenarnya…" ujar Blaise dengan kecewa yang berlebihan. Namun Draco sudah maju untuk memeluknya, Blaise menerimanya tak berdaya. Suara kecewa orang-orang disekitar menyusul.

"Kukira kau kenal Theo, Granger?" Hermione membatu—dan sedari tadi dia begitu. Hermione hanya berani melihat cowok yang tadinya dirangkul oleh Blaise itu selama dua detik. Tangan Draco melingkar di pinggangnya. "Granger?"

Hermione kembali pada kesadarannya. Theodore tak menampakan ekspresi bahwa dia pernah mengenal Hermione sebelumnya. Cowok itu menggendikan kepalanya dan mengangkat gelas pada Hermione. "Ya, tentu saja."

Draco menatap Hermione lekat-lekat, mata itu seperti laser yang mengintimidasi. Dia tak membalas menatap mata itu lama-lama. Hermione segera beralih pada Blaise, menutupi kegugupannya. Ia bersyukur ketika Blaise menyambar tangannya—namun dia merasakan tangannya sendiri lembab—dia berharap Blaise tidak menyadari kejanggalan itu. Dia lemas ketika Blaise menariknya dalam pelukan singkat, sembari mengatakan sesuatu tentang hidangan yang masih siap ia habiskan dengan perut buncitnya, namun tak tahu pasti bentuk kata-kata itu, ia sulit untuk mencernanya.

Hermione tidak menatap siapa pun lagi. Dia menatap tanah di bawahnya sampai Draco membawanya meninggalkan Pesta. Ketika sampai di tempat yang disediakan untuk ber-Disapparate, mereka telah kembali ke gerbang Malfoy Manor.

Mereka berdua melangkah dengan diam. Draco masih menggenggam jemarinya, sampai memasuki pintu Rumah Utama. Rasa pening dan mual sudah meninggalkan dirinya—digantikan dengan pikiran baru yang mengepul. Dia tak sanggup mengurungnya. Di tengah megahnya ruangan, di sela-sela langkah mereka, Hermine kaget sekali mendengar Draco bicara dengan suara yang berat dan dalam.

"Apakah masih sulit bagimu untuk melepaskannya?"

Hati Hermione rasanya mencelos, ada yang membakar dadanya. Draco telah meghentikan langkahnya, perlahan-lahan melepaskan jemarinya dari milik Hermione. Ia menyisir rambut pirangnya, menatap Hermione tepat di mata. Hal itu seolah mencacah tubuhnya menjadi berkeping-keping. Mereka terdiam lama, dengan keheningan mencekam dan menyesakan.

Dia berharap demi apa pun agar Draco tak menatapnya seperti itu.

Ada gumpalan menyakitkan yang menyumbat kerongkongannya, membisukan mulutnya. Hermione membatu dengan kebodohan yang entah berapa kali ia alami.

"Aku tahu, Granger. Aku selalu tahu. Bukankah konyol jika kau telah mengenalku selama ini, dan berpikir bahwa aku buta akan apa yang terjadi antara kau dan Theo?" ujar Draco, suaranya tanpa emosi, namun bulu di tengkuk Hermione berdiri karenanya. "aku diam saja karena aku menunggumu bicara atau karena aku tak ingin melihatmu kesulitan dalam mengungkit semua ini kembali. Jadi aku membiarkannya. Namum nampaknya kau menikmati ketidaktahuanku yang kurencakan."

Hermione diam seribu bahasa. Rasanya semuanya serba salah, dia bahkan membenci dirinya sendiri berdiri disini, melihat lelaki di hadapannya ini menatapnya seolah orang lain. Hermione pernah melihat Draco menatap orang seperti itu. Tatapan Draco sama dengan tatapan yang diberikan kepada orang yang tak ia percayai. Dan hatinya pedih menyadarinya.

"Aku selalu bilang padamu untuk tak pernah menyembunyikan satu apa pun di belakang punggungku."

Hermione menggeleng, semua ini sama sekali bukan seperti yang ada di pikirannya, tapi kata-kata apa pun tak sanggup ia keluarkan. "Draco…"

"Jangan," Draco mengangkat tangannya. "kembali ke Sayap Barat. Beristirahatlah."

.

.

(A/N : hai, hai. Saya dapat tumpukan pendapat dari pembaca di bab lalu, ternyata sebagian udah banyak banget yang nebak-nebak dan ngimajinasiin sendiri kelanjutan dari fic ini. Waw. Makasih untuk review-nya, saya ngga bisa jawab di note, langsung saya jabarkan di bab-bab selanjutnya. Sabar ya. By the way, mungkin kedepannya saya sepakat sama diri sendiri untuk kedepannya bakal lebih dari 6000words perbabnya. Selebihnya, yah, saya ngga bisa kasih spoiler atau menanggapi nanti yang review "Seneng banget sih buat Hermione bunting ni Author..." but, I actually dunno, man. Di pikiran saya, bukan jamannya lagi menceritakan mereka yang remaja yang masih malu-malu pacaran. Huhu. I miss Harry Potter series anyway. )