9
.
DI AWAL Musim Dingin yang dipenuhi suara ribut gesekan pepohonan serta daun-daun jatuh tertiup angin memenuhi jalanan, dan awan kelabu membingkai pinggiran Inggris, bukanlah soal bagi aktivitas para penyihir. Jalanan Diagon Alley sesak oleh orang-orang yang berlalu lalang dengan berbagai macam tujuan. Halaman setiap toko di pinggir jalan luber dengan penyihir yang asik membaca etalase atau memperhatikan barang-barang yang ada di display toko. Mulai banyak yang keluar-masuk toko-toko pemanas-alami yang disediakan di Toko Ajaib Serba Ada milik Keluarga Pucey. Para penyihir wanita dengan pakaian bagus tidak mengurangi gengsinya untuk berdesak-desakan memasuki toko Jubah paling moderen, was-was kalau saja mereka kehabisan stock yang paling terbaru untuk Gaya Musim Dingin tahun ini. Beberapa banyak yang asik berlindung di bawah rumah makan atau tempat minum, menghangatkan diri dari serangan udara dingin yang mulai meradang.
Namun Hermione punya cara sendiri untuk menyambut musim dingin. Dengan jubah hitam menutupi seluruh tubuh hingga membalut perut besarnya dan bulu-bulu halus di sekitar lehernya, kepala yang dibungkus dengan kain persegi hitam—diikatkan di bawah dagunya—ia berjalan cepat menyusuri jalanan Diagon Alley. Sesekali matanya melirik sekitar, penuh awas dan kehati-hatian. Di belakangnya, dengan tampang yang hampir sama seriusnya dengan sang Nona, Falcone mengekori. Mereka berdua berjalan dengan jarak satu meter antara satu sama lain.
Saat sampai pada sebuah gedung putih tinggi dan megah, yang paling bersinar di antara gedung yang lain di gang itu, Hermione melangkahkan kakinya ke dalam pintu tanpa ragu. Memasuki sebuah tempat minum yang ramai, dia sudah membulatkan tekatnya sedari ia meninggalkan Manor.
Hermione tidak memandang satu pelayan pun, melainkan langsung menaiki tangga besar dan tinggi di sudut lorong tempat minum. Rasanya dia baru kemarin berada di tempat itu, merasa sangat gelisah dan kini tak perlu diminta—dengan penuh sukarela ia kembali. Dan persis seperti bayangannya, Blaise Zabini sudah menyambutnya di ujung tangga.
"Granger?" tanyanya dramatis. Hermione tahu dia sudah melihatnya memasuki tempat itu—dari jendela besar di dalam ruangan—namun tetap saja dia tak mungkin menghilangkan keterkejutannya dengan mudah. Hermione Granger di Diagon Alley, sendirian, tanpa cengkraman tangan Draco Malfoy. Blaise menatapnya seolah dia makhluk ajaib yang baru pertama kali dilihatnya. "beruntung sekali tempat minumkuini dapat kunjunganmu yang tak terduga. Draco pasti sibuk—"
"Oh, tutup mulut." Sambar Hermione lugas, jengah dengan basa-basi. Dia melewati Blaise—seolah tempat itu sering terjamah olehnya—dia memasuki ruangan dimana dulu Draco pernah menitipkannya seharian suntuk. Dia sama sekali tak lupa. Hermione baru melepas kain yang menutup kepalanya. Blaise mengekori dan menutup pintu di belakangnya. Falcone menunggu di luar. "kau pasti tahu Draco tidak di Manor selama beberapa hari ini, Blaise. Aku yakin kau pasti lebih paham dimana ia berada sekarang. Dan kuharap, kau tidak membahas kunjungan kecilku ini padanya. Aku hanya mampir."
Hermione bisa membaca raut wajah Blaise. Mata hitamnya menyipit, seringai mengembang di bibirnya. Blaise sama sekali bukan orang yang dungu, Hermione tahu itu. Tapi dia sudah memutuskan untuk nekat, dan sekarang tak ada jalan untuk melangkah mundur. Sudah sebulan ini dia dihantui dengan berbagai macam pikiran. Dia amat tersiksa dengan terkaan yang terus menerus bergulat di kepalanya, dan Hermione memutuskan untuk mencari tahu dengan jalannya sendiri. Jadi dia berusaha kebal dengan respon apa pun yang akan dikeluarkan lelaki itu. "Well, kalau begitu duduklah, Granger."
Hermione melepas jubahnya, meletakannya dengan sembarang. Perutnya terbebas, namun dia tak merasa lega. Lalu ia mengambil tempat duduk di sofa—tempat itu tak asing baginya. Hermione menghela napas, menyumbat bayangan masa lalu yang pernah terjadi di tempat itu. "Apakah berjalan lancar, pernikahanmu?"
"Tentu saja. Istriku adalah perempuan terbaik, kan? Hanya saja dengan adatnya untuk terus-terusan menangis di pangkuan ibunya jika dia pikir aku tak cukup sempurna untuk menjadi suami." Ujar Blaise dengan sarkasme yang kental di dalamnya.
"Aku yakin ia butuh waktu untuk beradaptasi. Dan kau memang bukan laki-laki yang cukup baik untuk semua perempuan. Bahkan perempuan lembek seperti Marietta." Kata Hermione, dia menatap jendela. Memperhatikan lalu lalang orang di bawah sana. Meremas-remas jemarinya.
"Aku heran, kira-kira sebaik apa ya Draco, sampai kau pikir dia layak untuk seorang perempuan?"
Hermione menatapnya, ada sebuah tombol yang ia tekan saat itu. Tepat sekali momennya, hingga Hermione tidak bisa menahan hatinya lebih lama lagi untuk terus berada dalam percakapan normal pada umumnya. "Aku tak tahu, Blaise." Ujar Hermione begitu jujur, dia menatap Blaise lurus-lurus, raut wajahnya serius. Blaise sekilas tampak kaget dengan jawaban itu, namun dengan sangat cepat menguasai diri. "tapi yang aku tahu, kau paham untuk apa aku berada di sini. Aku tidak hanya sekedar ingin menghakimi bagaimana pernikahanmu berjalan. Aku tahu kau pasti bakal mengira suatu saat nanti akan tiba hari dimana si Granger itu datang, mempertanyakan hal-hal sinting yang mungkin kau pikir ini hanyalah sebuah lelucon. Dan hanya pada kau seorang. Bukan begitu, Blaise?"
Blaise tidak menjawab. Hermione tahu kepalanya dipenuhi dengan muslihat yang akan ia mainkan, namun Hermione tidak akan memberikannya ruang dan kesempatan. Dia ingin semuanya terkuak sekarang.
"Kau adalah orang yang paling dekat dengannya, dia sudah menganggapmu seolah kau satu aliran darah yang sama dengannya. Dan aku tak pernah bisa sampai pada titik itu, Blaise. Aku nampaknya tak memenuhi kriteria itu. Aku tak tahu apakah Draco tidak mempercayaiku atau ada hal lain yang membuatnya tidak ingin berkata jujur padaku tentang segala hal. Jadi bisakah kau membantuku menghilangkan keruh di pikiranku sendiri? Aku bukan perempuan bodoh, Blaise—dan kau tahu itu. Kau tak perlu memberi penjelasan bego, kau hanya perlu untuk membenarkan atau mempersalahkan apa yang akan kukatakan."
"Kalau Draco menganggap aku seperti satu darah dengannya, apakah kau pikir aku akan mengkhianatinya?" tanya Blaise, seringai sudah pudar dari wajahnya. "kalau kau bilang begitu, mana bisa aku percaya kalau kau jenius, seperti yang orang gembar-gemborkan?"
"Pada intinya ini semua hanya tinggal waktu, aku akan mengetahuinya pada akhirnya!"
"Kalau begitu pendapatmu, maka kau hanya tinggal menunggu." Jawab Blaise enteng—namun tidak ada main-main dalam nadanya. "kau punya semua faktanya di dalam kepalamu. Yeah, aku tahu kau sudah memiliki segala terkaan di dalam otakmu yang cerdik. Kau datang ke sini hanya berharap bahwa aku menyangkal semua itu, berkata sesuatu yang bisa menenangkan pikiranmu. Kau tidak minta kebenaran, Granger."
Hermione menatapnya, seolah Blaise baru saja menghantamnya tepat di dagu. Dia ingin menepis semua kata-kata itu, namun dia tak berdaya. Hermione menyentuh perutnya, dia rasanya tak ingin lagi berada di sini. Dia ingin segera pergi, namun dia menyangsikan kemana arah tujuannya. Bahkan bicara dengan Blaise malah menambah beban di pundaknya.
Bagaimana bisa Blaise membaca hatinya seperti buku yang terbuka?
"Jadi itu semua benar," bisiknya, tidak pada Blaise—seolah pada diri sendiri. Dia seperti kehilangan diri sendiri. "semua insiden itu, mengenai apa yang telah dilakukan Draco pada Yaxley dan suami Pansy?"
"Kejadian itu hanya hal kecil yang kami lakukan, Granger." Hermione tidak berharap Blaise menjawabnya. Dia tidak ingin mendengar suara Blaise lagi. "banyak yang Draco korbankan untuk hal yang lebih besar."
"Dan pada Theo." Gumam Hermione. "kau tak mungkin tak tahu apa yang dia lakukan padanya,"
Jantung Hermione berdetak kencang. Ada dilema besar di hatinya, mengenai desakan akan kebenaran dan ketakutan dengan apa yang akan Blaise katakan. Blaise menghela napas, dia melipat kakinya, menatap Hermione lekat-lekat—seolah menilai dan menimbang, kata-kata apa yang sebaiknya ia keluarkan dari mulutnya. Hermione menunggunya—ia punya waktu seumur hidup untuk hal itu. "Kau harus bersyukur, Granger, setidaknya Draco adalah orang yang punya tata karma dalam memperlakukan orang lain. Dia selalu memandang hal-hal yang pernah orang itu lakukan padanya, atau memandang posisi orang itu di hidupnya. Setidaknya hal itulah yang ia pertimbangkan ketika ia memanggil Theo seminggu sebelum dia menikah."
Hermione masih mendengarkan dengan jeli, dahinya berkerut penuh keseriusan.
"Dialah orang yang merencanakan dan menyuruh Theo untuk menikah dan menetap di Prancis. Well, setidaknya itu adalah langkah paling bijak, melihat apa yang terjadi antara kau dan Theo. Namun Theo sempat menolak, dia masih ingin memberikan Draco tantangan untuk memberimu pilihan. Memilihku atau memilihmu, begitu setidaknya ia berkata di depan wajah Draco—dengan menunjuknya tepat di wajah—rasanya tak ada seorang pun di ruangan yang bisa menahan diri untuk tak menghajarnya pada saat itu. Aku, Greg dan Adrian menahan diri setengah mati.
tapi kau tahu apa, Granger? Draco diam saja. Si bejat itu hampir menancapkan telunjuknya di bola matanya, menyipratkan air liurnya di depan wajahnya, menantangnya dengan kearoganan tolol—tapi Draco diam saja. Itulah Draco, dia selalu memandang teman, walaupun kadang kelewatan."
"Tapi akhirnya Theo menikah dan pergi, kan?"
"Tentu saja, dia harus begitu. Bajingan tak tahu terima kasih itu memang harus begitu." Ujar Blaise, dia mulai mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya secara sihir.
"Apa yang terjadi? Apa yang Draco lakukan sampai dia mau menerima dan pergi dengan tenang?"
"Well, Draco membuat sebuah tawaran yang tak bisa ia tolak."
Hermione mendengus, menatap Blaise sangsi. Tapi Blaise serius dengan kata-katanya, hal yang sangat jarang dilihat selama ia mengenal seberapa tinggi tingkat keserampangan lelaki itu. Dan Hermione tahu seharusnya memang ia tak pernah datang ke sini.
Blaise melepaskan asap yang mengepul dari dalam mulutnya. Hermione memiliki kesan bahwa lelaki itu tengah menatap remeh dirinya. "Kau benar-benar tidak tahu dengan siapa tepatnya kau hidup, Granger." Ujarnya kalem. "tahukah kau bahwa Draco mempunyai kuasa yang sama dengan Pangeran Kegelapan di penjuru dunia sihir Inggris? Sedangkan keluarga Nott hanya salah satu dari pengikutNya yang lain. Kekayaan dan bisnis yang tengah dijalani oleh keluarga Theo hanyalah salah satu dari kemurahan hati Pangeran Kegelapan, karena kesetiaannya. Dan bayangkan, betapa mudahnya Draco membolak-balikan keadaan dengan derajatnya sekarang?
Draco bilang, jika ia pergi dari Inggris untuk sementara waktu dan menikah dengan perempuan manapun, maka Draco akan membiarkan semua usaha yang ada pada keluarga itu berjalan, bahkan memberi izin untuk memperluas kekuasaan di beberapa daerah. Namun jika tidak, Draco akan dengan mudahnya merampas semua miliknya dan membiarkan dia dan ayahnya menggelandang di jalanan."
Hermione terdiam sesaat, perlahan-lahan hatinya merasa hampa. "Dan kenapa bukan hal itu juga yang ia lakukan pada Yaxley dan suami Pansy?"
"Mereka telah melakukan kesalahan besar. Draco tak pernah memaafkan sebuah pengkhianatan." Jawab Blaise.
"Dan apakah pembunuhan adalah sebuah tindakan yang patut untuk dimaafkan? Dia hadir ke pernikahan Pansy, memberinya restu—beberapa waktu kemudian dia membantai suaminya!"
"Aku tidak ingin dengar bagaimana kau menghakimi Draco, Granger. Aku bukan dia. Dan kuharap setelah ini kau tidak bertindak gegabah lagi untuk datang jauh-jauh, mengendap-endap keluar dari Manor, hanya untuk bicara omong kosong dengan orang lain. Sebaiknya kau memegang teguh apa yang selama ini ia percayakan padamu. Draco bukan orang sembarangan untuk bisa kau kelabuhi."
Namun belum sempat Hermione membalas kata-kata itu, mereka berdua sudah melempar pandangan ke pintu. Mendadak suara keributan terdengar dari luar. Sontak baik Hermione dan Blaise mendatangi pintu, ketika Blaise membukanya, Marietta sudah berada dalam cengkraman Falcone.
"Oh, aku tak tahu kalau di dalam ada tamu!" katanya tajam, penuh dengan sarkasme. Falcone langsung melepaskan cengkramannya. Perempuan itu mengusap-usap bagian tangannya yang masih terjiplak telapak tangan Falcone di sana. Marietta menatap Hermione sengit. "aku pikir kau selalu di sembunyikan, di bawah pengawasan Draco! Berani-beraninya kau datang ke tempat suamiku—"
"Marietta, sayang, apakah ibumu sudah menghapus air matamu dengan benar, karena aku masih melihat bekas cairan di bawah hidung—"
"Jangan bicara!" bentak Marietta pada Blaise, tatapannya lebih liar dari sebelumnya. Namun dia mengusap dengan kasar hidungnya. Hermione menahan diri untuk tak mendengus.
"Aku datang bersama Draco, Marietta." Kata Hermione anggun dan lancar. Ternyata status sosial sama sekali tidak memihak, mana yang berpendidikan dan mana yang tak memiliki jalan pikiran. "namun dia sudah pergi lebih dulu—urusan mendesak, kau tahu. Nah, baru saja aku mau pamit. Kalau begitu—" dia menoleh pada Blaise. Blaise—yang selalu mahir dalam berperan—menganggukan kepalanya penuh pengertian, seolah dia sudah merencanakan aksi ini dengan Hermione sebelumnya. Hermione beralih pada Falcone. "ambilkan jubahku, Falcone."
Falcone masuk ke ruangan dengan patuh, sedangkan Hermione berjalan melewati Marietta yang terbakar api emosi tanpa sepatah kata pun lagi.
Setidaknya kali ini Merlin masih berpihak padanya.
.
Sudah beberapa hari terlewat semenjak kunjungannya pada rumah minum Blaise, Hermione berusaha mengubur bayang-bayang akan percakapan itu dengan aktivitas kesehariannya. Walaupun ia tahu akan gagal karena pikirannya berkecamuk. Kehamilannya telah memasuki usia ke delapan bulan. Semakin hari, Draco menolak untuk membawanya keluar karena alasan keselamatan. Toh juga ia sering mendapatkan tugas luar, yang memakan waktu berhari-hari.
Hingga pada suatu malam dengan hujan badai khas di bulan November, Hermione mendapati Draco yang kembali dengan darah bercucuran di tangan kanannya. Wajahnya pucat pasi, seolah semua darah yang ia miliki telah merembes pada bajunya. Hermione hampir pingsan ketika ia mengikuti para penjaga membopong tubuh Draco dari Rumah Utama, sangking paniknya. Namun kejadian menggemparkan itu tak berlangsung lama. Pelajaran yang ia dapat dari bertumpuk-tumpuk buku di perpustakaan membuatnya dengan mudah mengatasi hal itu—Draco mengalami splitsing saat ber-Apparate.
"Demi Merlin, Draco, apa yang terjadi?" tanyanya pada Draco yang terbujur kaku menahan sakit di atas tempat tidur. Ada tangan maya yang meremas-remas jantungnya pada saat itu, sehingga dia sulit untuk berpikir jernih dan bernapas dengan stabil. Draco tidak bergerak—bahkan nampak tak sanggup menggerakan bibirnya untuk menjawab setiap panggilan Hermione dalam menyebut namanya. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk memeriksanya apakah ia tetap hidup.
Draco. Draco-nya.
Di sela-sela tangannya yang bersimbah darah, Hermione mengambil tongkat sihirnya, merobek baju Draco dengan sihir dan merapalkan beberapa mantra pengobatan yang bisa ia ingat di kepalanya. Dan dengan gemetar, berusaha mengumpulkan sisa-sisa akalnya, Hermione mengambil dittany dengan mantra pemanggil di lemari lalu mengucurkan ke bagian lengan Draco, dimana daging merah segar terekspos. Engselnya hampir patah dan terpisah dari tubuhnya.
Dengan tangan bersimbah darah, Hermione memeluk tubuh Draco. Menahan jerit tangis yang rasanya hendak meledak di kerongkongannya. Draco tak bergerak, tubuhnya lebih dingin dari udara di luar. Rasanya hal itu menjalar pada tubuhnya sendiri, membekukan otaknya. Hermione menunduk, membisikan namanya di hadapan wajah Draco yang mengernyit menahan sakit. Hermione mencium hidung Draco di sela-sela air matanya. Merasakan dinginnya wajah itu, berharap dia bisa menghantarkan rasa panas dari dadanya.
"Draco, Draco…"
Bibir Draco rasanya tampak kaku, seperti pahatan dari batu. Pedih rasanya melihat kelopak mata itu terpejam, menahan sakit yang ia tak tahu batasnya. Hermione mencium dada Draco, mengabaikan amisnya sisa-sisa darah yang membalut tubuhnya. Hermione rela mengorbankan apa saja asalkan ia bisa mengurangi setiap rasa sakit yang ia derita. Tak mungkin jika hanya splitsing sialan saja bisa meluluh-lantahkan Draco. Tak mungkin jika hanya salah ber-Apparate bisa mengambil nyawa Draco-nya. Draco adalah petarung terkuat yang pernah ada… tak mungkin…
Dan Draco memang akan terus menjadi yang terkuat.
Kepercayaan itu terbukti setelah dua hari kemudian lelaki itu telah duduk di tempat tidur. Telah mengenakan pakaian lengkap. Hermione telah membantunya merapikan baju kerah tinggi yang ia kenakan dan bersiap memberinya jas.
Hermione tidak heran ketika Draco tetap bungkam, tak memberi tahu hal gila apa yang terjadi padanya. Bahkan sampai saat ini, setelah dua hari kemudian. Luka pada engselnya sudah menutup, daging telah tumbuh merapatkan bagian yang hampir terpisah. Namun ia tahu Draco belum pulih sama sekali, Hermione masih mencoba mencari tahu apakah ada kutukan lain yang menghantam tubuhnya—karena Draco masih pucat pasi—bahkan perutnya menolak untuk diisi. Hampir sepanjang pagi Draco terus memuntahkan sarapan yang Hermione coba sodorkan ke mulutnya.
Blaise, Greg, Adrian dan Marcus datang malam berikutnya. Hermione menganggap suatu hal yang wajar ketika ia melihat mereka pun tak tampak baik-baik saja. Ada luka sayatan yang baru di leher Marcus—terlihat bagaimana luka itu baru dirapatkan secara sihir. Blaise mengalami luka memar di wajahnya, ada lingkaran biru di sekitar matanya. Wajahnya juga pucat. Sedangkan Hermione tidak tahu luka apa yang dialami oleh Adrian, namun ia berjalan terpincang-pincang dan mengernyit penuh penderitaan di setiap pergerakan.
Hermione melewati beberapa waktu yang berat kedepannya. Dia ingin mencari kesempatan untuk bicara dengan Draco. Namun ia menjadi jarang sekali kembali, hanya menyisakan sedikit waktu bagi Hermione menatap wajahnya. Beberapa kali jika Draco benar-benar pulang, Hermione ingat betul bahwa ia tertidur di dalam pelukannya. Masih merasakan belaian lembut lelaki itu pada perutnya. Namun ketika ia tak sengaja terjaga saat tengah malam, ia melihat di sisinya tempat Draco berbaring tadi kosong. Dan ketika Hermione mengusap kain seprei di sebelahnya dingin, ia menyadari bahwa Draco telah pergi tepat ketika ia jatuh terlelap.
Waktu-waktu itu memberinya beberapa bekas. Seperti kebiasaan Hermione yang mulai sulit tertidur hingga menjelang pagi, bahkan ia mulai meminum Ramuan Tidur Tanpa Mimpi jika malam-malam yang ia lewati disertai rasa gelisah parah. Atau alsanan yang lain karena mimpi-mimpi buruk tidak bisa pergi walau Hermione sendiri tak menghendaki. Bayangan Draco berada di halaman dengan luka selalu menghantuinya. Dan dia merangkul semua itu sendirian di kamarnya.
Pada suatu hari, di penghujung bulan November—memasuki bulan kesembilan pada kehamilannya—Hermione mengalami momen di puncaknya, ketika pada malam hari Draco berhasil meluangkan waktunya untuk mengajaknya keluar untuk ke rumah minum Blaise. Dia tidak kembali hampir sembilan hari saat itu, Hermione menghitung di setiap paginya, ketika ia memulai kegiatan rutinnya menjahit dengan sihir—karena berkebun tak dapat lagi dilakukan akibat hujan dan udara tak berjeda. Ia selalu menghitung dengan jeli hari-hari dimana Draco pergi. Ya.
Semuanya berjalan normal ketika mereka berbagi meja berdua, hanya ada dia dan Draco. Walaupun suasana penuh sesak dengan orang-orang berlalu lalang, suara penyanyi sihir Calestina Warbeck yang menyanyikan lagu berirama jazz mendayu-dayu di panggung menjadi latar khidmatnya malam itu. Dari seberang meja, Draco menggenggam jemarinya. Menatap kedua matanya dengan kedua bola mata biru-kelabu yang luar biasa sempurna. Kedua pancaran itu tidak mengalahi lampu kristal yang gemerlapan, atau cahaya bulan di luaran.
Dia bisa mengobati segala kerinduannya, dengan menatap wajah tirus itu, dibingkai dengan rambut pirang yang selalu tertata rapi. Hanya dengan keberadaannya saja, dia bisa menghapus segala ketakutan yang selama ini menghantuinya setiap malam. Draco bisa membuat Hermione lupa betapa bencinya ia ditinggalkan, menghitung hari demi hari sampai ia kembali. Betapa ia benci melewati malam yang sunyi dimana ia terjaga dan Draco telah pergi. Hanya dengan satu kali pertemuan, hal itu bisa membayar hari-hari penuh derita yang ia timbulkan.
Hermione menatap mata itu. Mata Draco. Merlin, rasanya bahagia ini tak akan berujung. Dia telah memiliki segalanya yang semua perempuan inginkan.
Draco mengambilnya dari tempat sampah, kata mereka. Tapi mereka pun putus asa, memandang iri darah-lumpur ini. Status sosial dan kekayaan orang tua mereka tak akan mengobati semua ini. Tak ada yang lebih digilai lagi dari penerus kaya raya, tangan kanan pemimpin era ini. Draco. Namanya seperti sihir, memikat banyak telinga yang mendengarnya.
Draco banyak memberinya pelajaran baru. Seperti membisikan kata-kata bagaimana dia mengdeskripsikan seseorang yang ada di sekelilingnya. Ia memberi tahu Hermione bahwa di ujung meja Millicent Bulstrode baru saja patah hati karena Gregory telah mendapatkan perempuan lain—ia selama ini mengira bahwa Greg memiliki perasaan yang sama dengannya, menyukainya. Jadi dia mendeklarasikan tak akan jatuh cinta lagi—tolol, komentar Draco. Draco membuat lelucon mengenai teman-temannya, bahwa saat ini Blaise mungkin akan membuat ruangan bawah tanah akibat Marietta. Bukan karena ingin mengurung istrinya, tapi ingin menyelamatkan diri sendiri. Hermione bisa membayangkan betapa benarnya Draco, mengingat sikap Marietta. Blaise tidak sepenuhnya salah saat ini.
Draco mendekatkan mulutnya di telinga Hermione, memberi tahu bahwa orang tua yang duduk di meja paling ujung adalah calon Kepala Auror—yang akan segera dilantik—betapa orang itu frustasi meminta Draco untuk membantunya memijak jabatan itu, menawarkan berkantong-kantong emas.
Hermione diberi tahu bahwa kini dia bisa dengan bebas melenggang kemana pun ia mau, di berbagai jenis pesta, bahkan acara Kementerian tanpa peduli dengan Skeeter dan buku-catat-otomatis sialannya. Karena ia tak akan lagi menulis tentang dirinya. Hermione masih ingat berita terakhir yang Skeeter tulis di kolom utama Daily Prophet, mengenai kehamilannya. Skeeter berusaha mencari komentar dengki di kalangan bangsawan penyihir mengenai hal itu. Hermione tidak terganggu—ia telah terbiasa dengan hal-hal kotor yang ia tulis semenjak di Hogwarts. Ia pikir begitu pun dengan Draco. Masih ada sisa tawa pada Hermione ketika Draco mulai menceritakan Rita Sketer.
"Kenapa dia? Apakah saat ini Kementerian mulai memberi peraturan baru untuk animagus sehingga dia harus hati-hati dalam bertingkah?" tanya Hermione seraya meneguk minumannya, masih mengharapkan lelucon lagi dari Draco.
"Well, tidak. Kementerian tidak akan mempan ganggu animagus seperti dirinya, kau paling tahu tentang dia yang bisa bertransformasi menjadi kumbang kan. Agak merepotkan."
"Bukan Kementerian yang membuatnya berhenti kalau begitu." Itu sebuah pernyataan, dan Hermione mulai merasakan pertanda. Tanda yang selama ini dikenal betul. "apa yang kaulakukan padanya?"
"Yeah, aku hanya bilang padanya jika dia masih masih memikirkan anak-anaknya, maka seharusnya dia berhenti menulis berita seperti itu." Ujar Draco santai. "setidaknya anaknya bukan animagus—begitu kata sumberku—cukup mudah kan melakukan sesuatu pada seorang anak?"
Senyum di wajah Hermione menghilang, digantikan dengan raut wajah yang kaku. Tiba-tiba ia kehilangan selera untuk bicara, bahkan menatap mata Draco kala itu. Dia tidak pernah tahu Skeeter punya anak selama ini—nampaknya semua orang di dunia sihir pun tak tahu. Namun Hermione tidak heran jika Draco akan dengan mudah mendapatkan informasi ini, Hermione percaya dengan kemampuan antek-anteknya. Tapi rasanya ada sesuatu yang hampa ketika Draco menyampaikan hal itu dengan santainya, seolah ia hanya mengingatkan Skeeter dengan santun mengenai perbuatan-perbuatannya.
Dia ingin mengatakan bahwa mengintimidasi Skeeter dengan cara seperti itu, bukanlah cara yang baik. Selama ini Skeeter selalu menutup diri dengan kehidupan pribadinya—tentu saja bayaran yang sangat mahal karena sepanjang hidup yang ia lakukan adalah mengungkap aib orang lain. Hermione pernah bermain-main dengannya dulu—akan menyampaikan pada Kementerian bahwa ia animagus tak terdaftar jika ia tidak menulis berita kebenaran tentang Harry—namun Hermione tak akan pernah berpikir akan berlaku demikian walaupun Skeeter menolak permintaannya sekalipun.
Skeeter jelas sekali menganggap bahwa anaknya adalah harta yang berharga di dalam hidupnya.
Dan tidak ada orang di dunia ini yang akan senang jika anaknya digunakan sebagai ancaman.
Dia ingin berkata seperti itu pada Draco—dia ingin memberikan pengertian yang bisa ia rasakan. Namun ia tak bisa. Dia hanya menelan bulat-bulat perasaan takut akan bayangan, jika hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Draco tidak memperhatikan perubahan ini, matanya berkeliling, memperhatikan hiruk-pikuk.
Namun momen seru itu bertambah ketika Adrian datang. Dan akan bertambah lagi kengeriannya di malam ini, dia membatin. Adrian berkata di telinga Draco. Lelaki berambut hitam itu berpikir dengan suaranya yang keras akan mengimbangi musik, tapi malah kedengaran seperti ia berteriak.
"Draco, bisakah kau urus yang satu ini?"
"Tidakkah kau lihat aku sedang punya urusan lain?"
"Oh, Draco, tolonglah." Hermione menatap Draco lekat-lekat, menanti reaksinya. Tidak menunggu jawaban, Adrian melambaikan tangannya, memberi isyarat pada entah siapa. Dan Hermione tak heran ketika segerombolan orang mendatangi mejanya. Adrian telah menarik tongkat sihir dan melambaikannya, beberapa kursi yang bebas bergeser cepat untuk menjadi kursi tambahan pada orang-orang yang baru datang.
Hermione kenal wajah-wajah itu yang tak lain adalah Marcus, Avery dan Carow. Blaise sudah bertengger di sisi kiri Draco. Adrian tetap berdiri, seolah menjadi penjaga yang baik dalam pertemuan mendadak itu.
"Well, duduklah. Hargai keramah-tamahan teman kita Adrian." Ujar Draco, dia mulai mengambil sebatang rokok dan menyalakannya secara sihir. Dia menghisap rokoknya dan bersandar pada kursi dengan nyaman. Kursi-kursi yang disihir Adrian mengelilingi meja dimana tadinya hanya untuk Draco dan Hermione, kini penuh. Ketiga orang itu mengambil tempat duduk dengan cepat, namun mereka mengosongkan satu tempat di sisi kanan Draco. Berpikir nampaknya menjaga jarak aman dengan si kepala pirang adalah langkah yang baik. "jadi kenapa Blaise duduk di sebelahku dan bukan dia yang bicara dengan kalian?"
Beberapa detik tak ada yang berani mengeluarkan suara. Wajah-wajah tegang itu saling melirik satu sama lain. Namun tidak ada yang membalas tatapan Draco.
"Benarkah yang kudengar bahwa kau berjalan-jalan tengah malam, keluar dari The Meadow, dan mengacung-acungkan tongkat sihirmu, Marcus? Mengancam akan membunuh lusinan orang di sepanjang Diagon Alley?"
Raut wajah Marcus seperti orang yang baru saja dipukul perutnya kuat-kuat. "Aku tidak mengacungkan tongkatku pada siapa pun, Draco. Kau tahu tidak ada satu korban pun—mereka hanya berkali-kali bilang bahwa akan membawa para Auror bangsat itu jika aku berkeliaran mabuk—"
"Kau memang mabuk, brengsek." Sambar Adrian.
"—dan kalau benar aku mabuk, mereka tak sepantasnya mengancam! Mereka bilang akan membawa Auror, dia pikir kita takut dengan Auror banci?"
"Kau memang tidak takut dengan Auror, Marcus, aku percaya melihat kau menyambarkan kutukan pada salah satu dari mereka di jalanan itu sampai kaku." Ujar Draco kalem. Hermione terpesona melihat bagaimana reaksi dari wajah Marcus ketika mendengar kata-kata Draco—persis seperti orang yang baru saja tersambar petir. Dia menatap ngeri pada Draco, namun wajah Draco tak berubah. "tentu saja, kau belum tahu kan? Mengingat orang-orangku telah membereskannya secepat itu terjadi. Bersih seperti semula, yeah, bahkan sebelum kau sadar dari telermu."
"Draco—"
Draco mengangkat tangan, berkata dengan rokok di ujung mulutnya. "Tenang, mate. Tenang. Semuanya kelihatan mudah, kan? Nah, kemarilah—kenapa kau sisakan kursi kosong ini di sebelahku? Kemarilah, biar aku berikan kau sebatang rokok dan menyalakannya,"
Draco mengeluarkan sebatang rokok lagi, menawarkannya pada mulut Marcus—yang takut-takut namun tetap bergeser tepat ke sebelah Draco—lalu ia menyentuh ujung rokok itu dan api menyala dari sana. Namun belum sempat Marcus mengeluarkan kata-kata terima kasihnya, Draco sudah menghantamkan tinju tepat di hidungnya. Marcus terpental, meniban Carrow dan Avery lalu jatuh ke lantai seperti barang tak berguna. Hermione bahkan membatu di kursinya, menutup mulutnya—shock—kakinya terpatri. Terdengar pekikan terkejut dari sekeliling. Namun Draco sudah berdiri dan mengangkat tangan, menatap semua orang seolah meminta maaf. Ia membenahi jasnya.
Lalu perhatiannya kembali pada Marcus yang masih tersungkur di lantai. Hidungnya berlumuran darah dan—yakin betul—patah. Draco melihat punggung tangannya sendiri yang penuh darah, ia menunduk dan mengusapkannya pada baju Marcus. "Jika lain kali kudengar kau bunuh orang tanpa izinku, lehermu akan bernasib sama dengan hidungmu, Marcus. Aku yakin kau tetap ingin mempertahankannya untuk tetap tegak."
Draco menghampiri Hermione, menggapai tangannya dan menariknya berdiri. Seolah dia tak pernah mematahkan bagian tubuh manapun dari seseorang, ia merangkul pinggang Hermione dan melangkah menuju pintu keluar. Blaise mengekor di belakangnya.
"Kau tahu jika Albert Meadow telah mempercayakan keamanan klubnya pada kita, Blaise. Alihkan Marcus dan kroninya untuk menjaga daerah lain."
"Kuingat, Draco." Jawab Blaise. Mereka sampai di luar, Hermione bisa merasakan perbedaan udara yang kontras. "hei, mate, bisakah—"
"Tidak, Blaise, tidak." Draco berhenti, melepaskan Hermione dan mendekatkan wajahnya pada Blaise—hanya menyisakan beberapa senti jarak. "Aku selalu yakin padamu, percaya dengan orang-orang yang kaupilih. Dan kita semua tahu bahwa orang-orang Marcus adalah orang yan kaupilih. Dia itu tolol, tapi tidak dengan kita, Blaise. Jika kau memisahkan Marcus dengan Avery dan Carrow—atau membantai salah satunya—maka yang hidup mengacaukan segalanya. Marcus sudah banyak masuk dalam rencana, kau cukup pintar untuk menyadari seberapa besar efeknya jika dia bertingkah. Bertanggung jawablah dengan orang-orang pilihanmu, oke?"
Terhitung momen-momen dimana Blaise Zabini harus melepaskan sikap serampangannya dan membuat ekspresi yang persis seperti dipaksa menelan batu bulat-bulat. Tidak ada kemaharan dalam nada bicara Draco, namun sepertinya kata-kata itu telah menekan tombol yang tepat dari dalam diri Blaise, sehingga dia harus menelan keinginan akan sesuatu yang sangat hebat.
Namun Blaise selalu bisa memainkan perannya. Dia terjatuh—namun bisa dengan cepat dan mudahnya ia bangkit. Begitulah Blaise, waktu-waktu yang terlewati membuat Hermione paham akan kepribadiannya. Dengan helaan napas, dia menelengkan kepalanya. "Hanya demi kata-kata bos, kan?"
Lalu ia berbalik dan kembali ke dalam rumah minumnya. Memberikan seluruh suasana dingin dan hampa Diagon Alley pada dua sosok yang memendam emosi yang berbeda satu sama lain.
Jalanan Diagon Alley sudah hampir kosong, waktu menunjukan hampir tengah malam. Tiba-tiba saja keadaan jauh lebih buruk daripada malam-malam di Manor pada saat itu. Hermione selalu mendambakan pergi keluar, melewati gerbang Malfoy Manor yang suram dengan orang yang selalu ia tunggu kepulangannya di setiap detiknya. Menyelamatkannya dari kesendirian yang begitu ingin membunuhnya. Tapi momen ini tidak seperti yang ia harapkan, jauh dari kata-kata normal—dimana seharusnya sepasang orang yang saling mengasihi menghabiskan waktu. Dengan percakapan-percakapan sinting yang ia tak tahu maknanya, pekikan ngeri pengunjung tempat minum dan bagaimana cara Draco pergi seolah dia hanya menyenggol bahu orang lain, bukan mematahkan sebuah hidung—tanpa meminta maaf, tanpa ada orang yang menghalangi tindakannya.
Seolah semua yang ada di tempat itu berada dalam area kekebalannya. Seolah semua tempat yang disinggahinya adalah daerah kekuasaannya. Seolah lingkungan ini berada di bawah kakinya.
Ditambah keheningan meradang ini dan pikiran berkecamuk, Hermione melangkah janggal di samping tubuh jangkung Draco. Saat sampai jarak beberapa meter, seolah baru saja menyadari satu hal, Draco menghentikan langkahnya.
"Demi Merlin, Granger, kenapa kau pucat pasi begini?" Hermione tidak menyangkal saat menyadari dia butuh kekuatan untuk menghirup udara ke paru-parunya, jantungnya masih bertalu-talu dengan kencang. "oh, sialan, dan kenapa kita lupa membawa jubahmu juga?" Draco segera melepaskan jasnya, memakaikannya di tubuh Hermione. Dia berusaha mengancingkannya, namun gagal akibat perut yang menyembul. "Blaise akan membawa jubahmu besok, oke?Nah, apakah ada yang ingin kau—"
"Aku ingin pulang, Draco." Ujar Hermione hampa, uap mengepul ketika ia bicara. Dia mendengar suaranya sendiri gemetar. Udara seolah hampir membekukan mulutnya.
"Hei, hei, Granger," Draco menyentuh pipinya, Hermione menolak untuk menatap matanya. "itu tadi hanya masalah sepele, tidak perlu kau cemaskan. Oke? Jangan buat malam untuk bayi kita rusak, oke?" Draco memaksanya untuk menatap matanya, dia mencium pipinya. "semua akan baik-baik saja. Tidak perlu kaucemaskan."
Hermione merasakan udara menyusut di dadanya, kaki gemetar ini tidak ada hubungannya dengan udara dingin. Namun ia mengangguk dan memaksa diri untuk tersenyum. Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan kosong Diagon Alley, mengabaikan angin dingin yang berhembus membekukan tulang. Draco menggenggam erat jemarinya—rasa hangatnya seolah bisa menjalar ke seluruh tubuhnya.
Tidak ada hal lain di jalan itu selain suara langkah kaki sepatu Draco dan hak Hermione yang berbenturan dengan aspal jalanan. Terkadang pada beberapa langkah sekali, Draco berhenti di depan toko yang tutup, untuk menciumnya dalam-dalam. Lelaki itu membawanya lebih dekat, mendekapnya sehingga mampu mengalahkan jenis dingin apa pun yang menerpa tubuhmu. Memberikannya sensasi luar biasa menangkan, penawar bagi gundah-gulana. Mereka menikmati momen itu dengan bermandikan cahaya bulan.
Hal ini sekejap saja menghapuskan ketakutan yang baru saja terjadi dan seluruh gelisah yang bermalam-malam ia alami. Hermione tidak bisa membayangkan bagaimana lengkap kebahagiaannya jika Draco bisa setiap malam berada di sampingnya dan wajah tirusnya lah yang ia lihat di setiap pagi, pertama kali ia membuka mata. Namun Hermione tidak meminta lebih, dia bersyukur untuk bisa menghabiskan sebuah malam panjang dengan satu-satunya pangeran di hidupnya.
Dan ketika menjelang pagi, setelah semalaman suntuk Draco membawanya menyusuri Diagon Alley yang sepi, mereka kembali ke Manor untuk menghabiskan sisa gelap pada awal hari itu. Hermione bisa merasakan tangan Draco yang menyelinap melingkari perutnya, memberikan dia usapan lembut—yang selama ini ia rindukan. Dia masih bisa merasakan hembusan napas Draco di puncak kepalanya, sesekali menciumnya. Semua momen itu terjadi, berputar lagi hingga Hermione lupa kapan tepatnya ciuman terakhir di lancarkan karena ia jatuh tertidur.
Sampai Hermione tersentak, terbangun dari tidurnya, ia tahu fajar belum menyingsing karena kamar itu masih gelap gulita. Namun ia merasakan kehampaan. Tidak perlu menengok untuk menyadari Draco telah pergi dari sisinya. Lalu pikirannya berpusat pada bandit-bandit semalam.
Dan bagaimana cara Draco menghancurkan wajahnya.
.
Hermione tidak melihat Pansy selama tiga bulan terakhir, namun waktu sesingkat itu telah merubah dirinya begitu banyak. Pada malam ini ia datang ke Manor dengan baju yang terbuka—berbelahan rendah—mungkin orang lain akan sulit membedakan apakah ia bangsawan ataukah salah satu budak dari tempat pelacuran—Pansy telah pada riasannya yang biasa. Ia tak tampak terganggu dengan udara dingin yang melanda.
Hermione menerima laporan dari Falcone bahwa ia menunggu di depan pintu Manor. Tak membiarkan waktu terbuang, Hermione segera menemuinya, menyuruh para penjaga pergi. Hermione membawanya pada sofa di Rumah Utama. Tiny telah menyuguhkan secangkir teh untuk mereka, sedangkan Hermione dengan santai mengeluarkan tongkat, melambaikan pada perapian dan mereka berdua sesaat terdiam menatap api yang menari-nari.
"Tak butuh kabar dari Prophet untuk meyakininya, kan?" gumam Pansy, sebatang rokok bermain-main di jarinya. Hermione bisa melihat cat kukunya merah darah di jemari lentiknya. "Granger dengan Tongkat, mungkin Skeeter bisa gunakan keunggulannya dalam menjelaskan lebih detil hal itu? Lima paragraf cukup untuk menggemparkan Inggris, kurasa."
"Aku tahu kau tak akan membuka mulutmu pada siapa pun, Pansy. Kalau kau berniat demikian, maka aku sudah di seret ke Azkaban sejak delapan bulan lalu."
Pansy menghisap rokoknya, matanya menyipit. Ia menyunggingkan senyum. "Bagaimana kira-kira reaksi kita di tahun keenam, ketika kita berdua tahu kelak akan duduk dengan secangkir teh dan berbicara seperti layaknya teman lama, di tempat yang tak terduga ini, Granger?"
"Kau akan membunuhku pada saat itu? Selagi kau punya waktu." Jawab Hermione, Pansy tertawa.
"Masih pintar, masih tahu segalanya." Ujar Pansy. "kudengar Draco kirim Theo pergi? Kabar basi untukmu, kukira?"
"Sayangnya, otakku memang masih bekerja dengan sempurna, Pansy. Dan ya, aku sudah tahu."
Pansy berdecak kagum. "Dan kau masih hidup dengannya? Berbagi tempat tidur, membawa anaknya di dalam perutmu?" ujar Pansy dramatis. "ternyata ada banyak hal yang aku tak tahu tentangmu, Granger. Selain mempunyai sifat yang satu itu, kau juga mempunyai sisi kejam yang sama. Sampai aku lupa bahwa kau Sahabat Potter tersayang."
Hermione tidak ingin merespon kata-kata itu. Dia tidak ingin merusak momen saat Draco tidak ada, terlalu riskan. Beberapa saat mereka dibalut keheningan, Pansy terus menatapinya, seolah menilai dengan kedua mata hitamnya yang berkilat. Lalu Hermione mendengar langkah kaki dan Draco diiringi Blaise memasuki Rumah Utama. Dia tak tampak heran melihat Pansy menginjak ubin-ubin rumahnya lagi—mengingat hal terkahir yang ia lakukan bukanlah kenangan yang baik.
Draco tidak berkata apa pun, melainkan memberi isyarat untuk mengikutinya ke ruangan. Baik Pansy maupun Hermione mengekorinya. Setelah mereka berempat masuk, dan seorang penjaga siaga di luar, Blaise menutup pintu. Draco sudah bertengger nyaman di kursinya—dengan kaki bersilang dan siap menyalakan sebatang rokok.
"Nampaknya butuh waktu lama bagimu untuk menenangkan diri, Pansy." Kata Draco. Pansy mengambil tempat duduk di depan mejanya, mereka tampak seperti orang yang sedang berkonsultasi.
"Butuh pengorbanan untuk mengatasi hal besar, kan?" jawab Pansy.
"Singkirkan rokok itu dari mulutmu, Pans. Kau bisa membunuh bayimu."
"Persetan dengan bayiku, Draco." Kata Pansy, mendengus. "aku akan menikah lagi. Dengan orang Italia—bulan depan."
"Sisa-sisa tangisan untuk kematian suamimu saja belum kering, dan sekarang kau mau meniduri pria lain?" tanya Draco. "buka matamu, Pansy. Laki-laki keparat itu hanya datang untuk memanfaatkanmu, seperti yang Carmine lakukan padamu. Mereka hanya ingin masuk ke dalam persekongkolan kita—ingin terlibat dengan hal-hal besar yang kita kerjakan."
Pansy hanya menatapnya dengan sorot menantang.
"Kau tidak boleh menikah dulu. Tidak dengan orang Italia sialan itu, tidak juga dengan bajingan brengsek mana pun."
"Kau bukan ayahku, Draco!"
"Dan untuk apa kau datang ke sini, kalau begitu?"
"Aku butuh izinmu untuk mengaktifkan lagi beberapa bisnisku. Aku butuh banyak Galleon untuk membangun kembali kehidupanku!"
"Aku tidak ingin semua yang kita lakukan ini sia-sia, Pansy, hanya karena seekor tikus got yang kaupungut dari gorong-gorong. Ingat tujuan kita? Jangan hancurkan lagi, Pansy. Aku bisa menjadi tamengmu di waktu yang lalu, namun kita tidak tahu bahaya macam apa yang akan datang ke depannya. Aku selalu peduli padamu, Pansy. Aku menyayangimu seperti saudara perempuanku sendiri—dan kau tahu itu." Ujar Draco. "aku tak pernah melupakan bagaimana pengorbanan ayahmu saat Perang—dan jangan buat dia mati sia-sia dengan drama konyol ini."
Pansy menghisap rokoknya lagi, tangannya gemetar. Namun dengan kegesitan yang tak terduga—Draco telah mencabut tongkatnya dan dengan satu lambaian, rokok itu melayang dari jemari Pansy, hancur menjadi debu di udara—sehingga Pansy dengan kesal mengepalkan tangan membentuk sebuah tinju. Dia menggigit bibirnya.
"Kau akan aman di bawah pengawasanku, kupastikan kau akan kembali bermandi Galleon. Dan aku akan mengizinkanmu menikah—bahkan mencarikanmu yang terbaik—jika kau mengikuti kata-kataku." Kepalan tangan Pansy mengendur, Draco berkata lebih pelan namun teramat jelas. "Pansy, jika kau mengabaikanku, aku akan sangat kecewa."
Tidak butuh waktu lama bagi Draco untuk mendapatkan respon yang ia inginkan, sehingga baik Blaise maupun Hermione yang sedari tadi hanya menjadi pendengar setia, menghela napas ketika Pansy berdiri. Ia berbicara dengan nada yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Dan aku membutuhkan tokoku kembali di Diagon Alley, mengingat banyak waktu luang yang akan kuhabiskan dengan calon bayiku."
Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan berjalan kearah pintu. Draco memberi isyarat pada Blaise untuk mengikutinya. Sehingga kini, untuk kesekian kalinya—hampir berada di momen yang sama—Hermione hanya berdua dengan Draco.
"Sudah berapa lama dia di sini sebelum aku datang?"
"Tidak cukup lama untuk membeberkan semua rahasiamu, Draco." Ujar Hermione, dia kaget dengan suaranya sendiri. Namun untuk menutupi semua itu, dia sudah berjalan kearah meja.
Hermione menyentuh wajahnya lelaki yang amat disayanginya itu dengan kedua telapak tangannya, menatap matanya lekat-lekat. Seandainya saja dia mempunyai kemampuan sihir tak terbatas sehingga bisa mengebor jauh ke dalam pikirannya, menggali semua hal yang ia lakukan di balik punggungnya. Dulu ia bisa mengatasi kebodohan ini sendirian, namun dia tersiksa dengan kejadian-kejadian terkahir yang menyebabkan ia menghabiskan waktu di tempat tidur dari malam hingga menjelang pagi menatap langit-langit kamar, atau terpaksa meminum segala macam ramuan.
Hermione bisa menahan diri untuk tidak tahu, namun dia tidak bisa mencegah mimpi buruk itu datang.
"Draco, banyak hal yang kaulindungi di dunia ini. Kau adalah petarung yang tangguh, kau selalu menjagaku dan ibumu." Ujarnya lembut. Jari-jarinya menyusuri wajah tirus itu. "tapi aku tidak ingin hidup seperti ini lagi. Menunggu sementara kau melawan maut di luaran sana. Terjaga di setiap malam hingga hampir pagi untuk memikirkanmu diantara hidup dan mati. Atau terbangun di tengah malam dan mendapati dirimu datang bersimbah darah. Aku tak ingin lagi, Draco."
Draco menyentuh tangannya, mencium tangan itu dengan ketulusan. Hermione merasakan kerapuhan yang ada di dalam dirinya telah mencapai puncak. Dia tak bisa menggoyahkan perasaan yang timbul untuk lelaki yang ada di hadapannya ini. Draco Malfoy tak peduli dengan berbagai macam stigma tentang dirinya, tak peduli cemooh orang-orang yang berkata betapa kotornya Hermione ketika ia memungutnya dari tempat rendahan. Dia menjadi tameng sekaligus payung hidupnya. Dan Hermione tak pernah bisa membayangkan apa yang akan membuat perasaan ini berakhir, walaupun perbuatan keji apa pun yang telah ia lakukan.
Draco tidak pernah marah padanya. Bahkan ketika dia tahu rahasia terbesar yang pernah ia alami—yang Hermione pikir dia berhasil untuk menutupi hal itu darinya—namun Draco tetap menjaganya. Menempatkan dirinya di tempat tidur yang sama dengannya, membelikannya pakaian dan perhiasan paling bagus dan menyuruh peri-rumah untuk memberikannya makanan hangat di setiap harinya.
Hermione tahu semua larangan yang ia lakukan semata-mata demi keselamatannya sendiri dan Hermione adalah perempuan yang cukup pintar untuk sekedar memahami bahwa Draco tak ingin Hermione memandangnya dari sudut pandang buruk—tempat selama ini ia berada. Tak ada orang lain seperti Draco pernah datang ke dalam hidupnya. Mempunyai status sosial yang tinggi, menanggung beban rasa malu yang tak tahu kapan akan berujung, dengan mengambil resiko untuk memelihara anaknya dari rahim seorang darah-lumpur. Hermione tidak bisa meminta lebih dari ini, dia tak layak.
Dan dia tak sanggup untuk kehilangan laki-laki yang kini memiliki seluruh jiwanya.
Hermione tidak membayangkan di suatu pagi, ia melepaskan Draco pergi dan ketika malam—baik Blaise, Adrian atau Gregory—membawa jasadnya tanpa nyawa. Dia tidak ingin kejadian yang pernah menimpah Pansy tejadi padanya. Membuat anaknya menjadi yatim sebelum ia lahir ke dunia, kata Pansy tiga bulan lalu. Saat Draco membantai suaminya. Hermione tidak mempunyai cukup kekuatan jika dia mengalami hal yang sama.
"Apa yang harus aku lakukan untuk berhenti memikirkanmu—yang sampai hampir gila rasanya?" katanya getir. "tidak bisakah kita hidup normal, seperti orang lainnya, Draco?"
"Kita telah menjalani hidup yang seharusnya, Granger. Namun kita harus bertahan hidup, dan ada beberapa hal yang harus aku lakukan untuk itu."
"Apakah jalan satu-satunya bertahan hidup ini adalah menyingkirkan hidup orang lain?" Hermione menatap nanar. "mereka semua takut padamu, apalagi yang kita butuhkan? Yang kaubutuhkan?"
"Masih banyak yang aku butuhkan, banyak hal yang harus kutanam untuk menuai impian, Granger." Draco menyentuh pundaknya. "dan kau berada di dalam impian itu. Kau salah satunya."
"Rasanya sudah cukup menyiksa untuk seperti ini, Draco. Dan kau akan melakukan sesuatu yang lebih besar?"
Draco membungkuk, hampir menciumnya ketika ia berkata di depan wajahnya—berbisik pelan—"Granger…" Hermione memejamkan matanya, ia tak sanggup menatap matanya. "lihat seberapa besar perasaanku padamu. Kau akan lihat apa yang telah kulakukan untukmu."
Hermione tidak memahami apa yang dimaksudkan, namun ia membiarkan Draco memeluknya. Membawanya pada kehangatan yang selalu ia dambakan. Dia bisa merasakan napas Draco dengan lembut menerpa telinganya, menyebabkan bulu di tengkuknya naik akan hal itu.
"Aku telah menemukan Potter, Granger." Bisiknya. "aku menemukan Potter."
.
(A/N : and the real story begin… see you next week! I hope so.. )
