10
.
HERMIONE tahu pasti hari itu akan datang dalam kurun waktu yang tak panjang.
Dan terjadi tepat pada hari ini—atau malam hari, tak ada yang tahu pasti—kapan tepatnya Narcissa Malfoy menghembuskan napas terakhirnya. Karena Draco tidak datang pada malam itu, atau beberapa malam sebelumnya. Ia dirundung dengan tugas-tugas yang menyebabkannya jarang untuk mengunjungi ibunya. Pada paginya saat Tiny si Peri Rumah datang untuk mengantarkan sarapan seperti hari-hari biasa, ia sudah menemukan Narcissa terbujur kaku, tubuhnya dingin. Sekali lagi, tak ada yang tahu kapan tepatnya ia berjuang menghadapi maut. Karena dia sendirian.
Sudah lebih dari satu tahun dia sendirian. Fakta itulah yang diyakini menjadi alasan akan kegetiran yang anak semata wayangnya rasakan saat ini. Sebelum jasad Narcissa dikebumikan, mereka menaruhnya di Rumah Utama, memberi kesempatan orang-orang untuk melihat sosoknya terakhir kali. Draco tahu ibunya mungkin telah dilupakan oleh sebagian orang. Bagaimana raut wajahnya, karena sudah tak cantik lagi akibat keriput dan daging yang hilang dari tubuhnya. Mereka sudah lupa dengan Nyonya Malfoy yang bangsawan itu. Tentu saja dengan mudah hal itu sirna. Dan Draco ingin semua orang yang datang diingatkan, dia ingin semua orang melihat bagaimana ia menjunjung tinggi ibunya—dan mereka harus melakukan hal yang sama.
Hermione tak mendengar kabar Lucius selama ia tinggal layak di Manor. Tak ada yang tahu pasti mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Banyak desas-desus mengenai dirinya yang selalu ingin hidup nyaman sendirian, namun kali ini nampaknya ia datang untuk sebuah konfirmasi. Dengan rambut panjang dan tubuh yang kurus, ia menyerahkan setangkai mawar ke peti di mana istrinya berbaring tanpa nyawa. Hermione berdiri di ujung, melihat bagaimana ia menatap Narcissa. Ia sangsi apakah kesedihan telah menguap ataukah memang ia lupa bahwa ia pernah mencintai wanita tersebut. Wajah kaku Lucius tak terbaca.
Dia memandang Hermione, lalu berjalan ke arahnya. Hermione tidak pernah mempunyai perasaan lain dengannya selain rasa kasihan. Menjadi orang buangan tidaklah mudah, ia tahu betul.
"Dimana Draco?" tanyanya pada Blaise, yang saat itu tepat berada di sampingnya. Hermione tak heran jika Lucius menganggap dirinya seperti udara.
"Berada di ruangannya." Jawab Blaise.
"Bisakah aku menemuinya?" tidak akan sampai logika orang lain jika mendengar seorang ayah yang meminta izin untuk bertemu dengan anaknya. Di tengah orang-orang yang berbisik-bisik dan berkabung, ia tampak seperti orang yang paling pantas dikasihani daripada kematian yang ada di kastil itu.
"Sayangnya, tidak, Tuan Malfoy." Kata Blaise. "dia berada di sana menunggumu untuk pergi."
Lucius tidak berkata apa pun lagi. Bahkan dia mundur teratur dan berjalan menuju pintu. Punggungnya bungkuk, mungkin runtuhan hatinya yang patah begitu berat mengganderunginya. Dan ia telah pergi sebelum jasad istrinya di kuburkan tanpa menemui siapa pun lagi.
Draco datang tengah malamnya setelah ia menerima banyak tamu yang menyampaikan belasungkawa. Tidak ada yang melihat kesedihan di matanya. Ia cukup tegar ketika mengecup kening ibunya terakhir kali, dan meletakan setangkai mawar di dadanya. Namun Hermione di sana. Ketika malam saat semua orang pergi—melihat Draco duduk memunggunginya di pinggir tempat tidur. Lelaki itu mengira pasti Hermione telah tertidur, karena ia bergerak tanpa suara. Mereka berdua membisu dalam gelapnya ruangan. Ya, Hermione ada di sana.
Draco tidak menunjukan ia merasa kehilangan pada semua orang yang telah datang, tapi mereka tak melihat betapa hampanya ia pada malam itu. Dengan perlahan Hermione bergerak, memeluk punggung Draco. Tangannya melingkari tubuhnya, mencium aroma kayu manis yang berada di tengkuknya. Draco tak bereaksi, tubuhnya kaku di bawah sentuhannya.
"Apakah hal yang memalukan bagimu untuk menampakan kehilanganmu, bahkan denganku?" bisik Hermione. Dia tidak bisa melihat wajah Draco, namun ia tahu ada perubahan yang terjadi dengan raut wajahnya. "aku adalah orang terakhir yang akan menceritakan segala rahasiamu, Draco. Aku pernah bersumpah untuk itu, kau ingat? Ketika malam kau memutuskan untuk kembali pada Pangeran Kegelapan…"
Keheningan sesaat menjalar diantara mereka. Tangannya semakin erat melingkari tubuh Draco.
"Jika kau tidak bisa berbagi kebahagiaan, aku rela jika kau hanya membagi kesedihanmu padaku, Draco." Ia menempelkan pipinya pada tengkuk lelaki itu. "sudah selesai tugasmu untuk membuatnya tetap aman. Kau dengan sangat baik melindunginya selama ini."
Hermione membalikan tubuh Draco. Ia hanya bisa secara samar melihat wajahnya, dibalur dengan kegelapan yang hampir pekat. Air matanya menetes ketika ia merasakan tatapan Draco padanya. Dia tak bisa melihat wajahnya—tidak bisa melihat bagaimana pancaran mata biru-kelabu itu—tapi ada kegetiran yang merambat perlahan, merasuk dalam tubuhnya.
Yang amat ia cintai telah pergi. Kesedihan yang tak terkatakan itu menjalar di sekeliling Manor. Hanya sekelumit orang yang memahaminya, ataukah mungkin hanya dua orang yang ada di ruangan itu yang tahu. Hermione tidak pernah benar-benar menyukai Narcissa, tapi kasih sayang yang Draco tanamkan pada wanita itu memberinya pelajaran paling membekas diingatannya. Seburuk apa pun ibunya, Draco tak pernah ingin membuangnya pergi. Hermione tahu betul bahwa kamar ibunya lah yang akan disinggahinya terlebih dahulu setiap malam, sebelum ia kembali ke kamarnya sendiri.
Hermione mengecup pipi itu, merasakan napas yang hangat menyapu wajahnya. Hermione lega ketika bukan air matanya saja yang jatuh pada malam itu.
.
Terpuruk bukanlah kata yang tepat untuk Draco. Tak butuh waktu lama untuk kembali bergelut dengan urusannya. Saat Hermione bangun lebih dulu untuk mengantarkan sarapan, ia melihatnya pagi ini Draco sudah bersiap dengan pakaian lengkap. Padahal baru lima belas menit yang lalu ia meninggalkan kamar, ia yakin Draco masih tertidur lelap.
"Bersiaplah, pakai jubah yang paling tebal." Ujar Draco seraya mengenakan jasnya. "kita akan pergi jauh."
Hermione tidak perlu disuruh dua kali atau mengeluarkan interupsi. Setelah meletakan nampan berisi makanan yang ia bawa dari dapur, ia segera memasuki kamar mandi dan berganti pakaian. Ia memakai dress panjang dan jubah tebal, menutup kepalanya dengan kain—mengikatkannya di dagu seperti biasa. Lalu Hermione menyelipkan tongkat di pahanya sebagai sentuhan terakhir.
Draco membawanya ke gerbang dan ber-Apparate. Falcone tidak ikut dengan mereka kali ini. Dalam jarak dua ratus meter, mereka melihat sebuah pondok menjulang tinggi di ujung tebing, dengan karang-karang tajam yang diterpa debur ombak di bawahnya, Hermione merasa sesuatu yang tak asing menjalar dalam perasaannya. Draco masih mencengkram tangannya, seolah menahannya untuk bertindak di luar kuasanya. Namun Hermione hanya berdiri terpaku, menatap pondok yang dipayungi luasnya cakrawala. Ia seperti bukan berada di Inggris.
Blaise, Adrian dan Gregory menyambut mereka, menyembul dari balik bebatuan. Tampak sudah bersiap dan masing-masing tangan mereka tersembunyi di balik saku jubah mereka.
"Perjalanannya oke, Granger?" Hermione tidak menjawab basa-basi serampangan yang keluar dari mulut Blaise. "nampaknya masih terlalu pagi, tapi sudah ada yang keluar memancing. Dua orang, entah kepala merah yang mana."
Draco mengangguk, memberi isyarat untuk berjalan. Mereka berlima berjalan kearah rumah itu, sesekali Blaise bergumam tentang betapa sengsaranya kalau ia jadi seorang Muggle dan tinggal jauh dari peradaban seperti kandang di hadapannya. Gregory tidak tertawa, hanya membuat suara seperti sapi mendengkur saat mendengar lelucon itu. Tak nampak seperti biasanya, wajahnya lebih kaku dan serius—malah menyebabkan efek kebodohan yang bertingkat-tingkat lebih parah. Sedangkan Adrian tak henti-hentinya menatap sekitar. Selalu menjadi orang yang paling waspada di antara yang lain.
Draco menggandengnya melewati karang-karang yang tajam. Hermione berpikir daerah aneh di bagian mana yang masih memiliki suasana seliar ini. Namun selebihnya, setelah ia hampir sampai di depan pintu, Hermione mulai mendengar hiruk pikuk dari dalam pondok itu. Hatinya mencelos ketika ia mendengar panci yang berdengung—menandakan apa pun yang dimasak telah matang—barang-barang yang berjatuhan, kedengarannya seperti sebuah perbotan yang dilemparkan asal. Dan yang meluluhkan hatinya—ia mendengar suara wanita galak yang nyaring "…bawa petasan sialan ini keatas atau akan kuledakan di laut!"
Blaise mengetuk pintunya sekali dan efeknya langsung terasa. Semua aktivitas di dalam sana rasanya berhenti seketika.
"…buka pintunya!"
"…intip dulu dari jendela, orang bego macam apa yang mau datang pagi-pagi ke laut—"
"…siapa tahu saja dia juga bermaksud untuk berjemur?"
"…berhenti bercanda—CEPAT BUKA PINTUNYA, HARRY!"
Sepasang mata mengintip dari jendela, lalu dengan bunyi klik pintu terbuka. Pertama-tama yang mereka lihat adalah kepala dengan rambut berantakan yang menyembul. Namun tidak ada yang menyangsikan ketika ada codet di dahinya, semua penjuru dunia sihir tak mungkin melupakannya.
Harry Potter dengan wajah yang tak berbeda dari terakhir kali Hermione melihatnya, berdiri kaku menghadap kelima tamu yang pagi-pagi berada di depan pintu pondoknya. Tangan kanannya mencengkram tongkat, matanya terpancang pada sosok Draco. Seolah ia telah berlaku kurang ajar, seolah Draco menghujami rumahnya dengan batu, bukan dengan ketukan. Tapi saat matanya beralih pada Hermione, tatapannya melunak. Hermione tahu cengkraman pada tongkatnya mengendur.
Ada yang bergerak di dalam dadanya, layaknya sesuatu yang menggumpal—telah sekian lama tertahan—meledak sejadinya ketika melihat mata hijau cemerlang itu. Dia masih mengenakan kacamata bego yang membuatnya terus-terusan kelihatan seperti orang yang kebingungan. Hermione tidak melupakan sejengkal pun raut wajahnya, bagaimana cara Harry menatap jika dia benar-benar kehilangan kata-kata. Dia masih pada perangai itu, setelah semua.
Dia masih tetap Harry, salah satu orang yang dulu pernah menghabiskan bertahun-tahun untuk berbagi rahasia, kebahagiaan sekaligus sedih di hari-harinya. Satu-satunya orang yang ia peluk ketika semua orang memusuhinya, menganggapnya permbohong liar yang suka cari perhantian. Dengan tatapan lurus yang tolol itu, Hermione masih dengan jelas membaca, bahwa kenangan-kenangan yang sama juga berputar di kepala Harry, sama seperti yang ia rasakan saat ini. Bahkan ketika hari terakhir mereka bersama, di Hutan Dean—tempat para Penjambret memisahkannya—sebelum semua keadaan berbanding terbalik dengan semua impian-impiannya.
"Tampaknya bukan hari yang tepat, Potter." Sapa Draco, Hermione tidak mengharapkan lebih dari nada itu selain sarkasme.
Harry tampak seperti orang yang baru disadarkan, ia kembali menatap Draco. "Kau tidak bilang akan datang pagi buta, Malfoy."
"Well, kalau kau sudah bisa melihat matahari, namanya bukan buta. Dan bisnis tentu saja tak bisa tuntas jika kau terus-terusan menunggu di pondok megahmu ini." Kata Draco. "jadi dimana tempat bicaranya?"
Harry tidak berkata apa pun lagi selain memiringkan badannya, memberi isyarat agar mereka masuk. Hermione mengekori Draco, melewati Harry tanpa membalas tatapannya lagi. Saat memasuki pondok, ia melepaskan penutup kepalanya. Dan ia bisa melihat pemandangan yang khas—dimana tempat ini terlihat begitu sempit dan tinggi dari kejauhan—namun ternyata mempunyai penghuni dan perabotan yang melebihi kapasitas. Seolah-olah mereka memindahkan The Burrow secara sihir ke tebing ini.
Hermione merasakan tatapan Nyonya Weasley dari dapur, ia masih dengan celemek masaknya dan centong di tangan kanannya. Dia mematung menatap Hermione. Sedangkan sudah berbaris satu set Weasley—Hermione sekilas berpendapat begitu—di ruang tamu itu. Ron berada di jajaran yang paling dekat dengan pintu. Ia mengenakan setelan Muggle yang cukup sinkron, mengingat dulu ia begitu nyentrik saat memakai pakaian Muggle. Tongkat berada di tangannya. Dia menatap lurus, entah kepada Hermione atau kepada Draco di sampingnya. Namun, Hermione berharap, melihat pancaran matanya bahwa ia tengah menatap Draco. Karena tidak mungkin ia menatap Hermione seperti itu…
Lalu ada Fred dan George di barisan kedua—sebuah benda hitam bulat berada di tangan kiri, sedangkan tongkat dicengkram erat di tangan kanan. Berikutnya Hermione hanya memandang sekilas, namun ia menarik kesimpulan—dan ada kelegaan menjalar—bahwa mereka semua sehat dan utuh.
Suasana yang kaku itu tak berlangsung lama, sampai suara Nyonya Weasley memecahkannya. "Kamar atas, Harry."
Lalu seperti tersadar juga, ia meletakan centong masaknya dan berjalan kearah Hermione. Nyonya Weasley melihatnya seolah ia adalah sesosok makhluk yang bangkit dari kematian, begitu lekat dan penuh dengan kerinduan.
"Hermione?" panggilnya, seolah ingin tahu apakah yang ada di tubuh itu adalah gadis yang dulu pernah menginap di rumahnya, tak lolos dari kecupannya—seperti dia mengecup anak-anaknya. Hermione tidak bisa menahannya lagi, dengan gesit ia segera berhambur ke dalam pelukan Nyonya Weasley. Memeluknya erat-erat, bahkan tak mengizinkan perut besarnya menghalangi momen itu. Nyonya Weasley menangis tersedu-sedu, mencium pipinya tanpa ampun. "Oh, Nak… aku tahu kau baik-baik saja. Aku selalu tahu kau gadis yang kuat…" katanya disela-sela tangisannya. "maafkan aku, maafkan kami yang meninggalkanmu—"
"Dia hidup layak, Ma. Aku sudah sering mencarikan Prophet untukmu yang berisi tentangnya—"
"Oh, mana bisa aku percaya jika aku tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri?" ujar Nyonya Weasley, menangkup kedua pipinya dengan telapak tangannya. Wajahnya banjir air mata. "tahukah kau, bahwa Arthur sudah… Arthur—"
"Ma, sudahlah! Ingat inti pertemuan ini?" Ron menyela untuk kedua kali. Nyonya Weasley merintih keras, seperti suara hatinya yang terluka. Hermione tidak memahami kenapa nada bicara Ron seperti itu, namun dia melepaskan pelukan Nyonya Weasley, merasakan air mata juga telah membasahi pipinya. Dia tidak bisa berpikir lebih baik, karena terlalu banyak hal yang ingin ia sampaikan—terlalu banyak hal yang ingin ia pertanyakan pada mereka. Tapi sebelum ia mengeluarkan suara, Draco telah menarik pundaknya. Memisahkanya dengan Nyonya Weasley.
"Sikap, Granger…" bisiknya. Hermione juga tak mengerti kenapa Draco harus menginterupsi momen ini. Dia merasa jengkel, namun tetap menurut sampai Draco kembali menggandeng tangannya. Hermione mengapus air mata di wajahnya, ia melihat delikan tajam terarah padanya—kecuali Nyonya Weasley yang masih tersedu-sedu. Ginny datang untuk merangkul ibunya.
Harry menuntun Draco dan kroninya untuk menaiki tangga di sudut ruangan. Ron tanpa sepatah kata pun lagi mengikuti, bahkan tak membalas pandangan mata Hermione padanya. Begitu juga dengan anak-anak lelaki Weasley yang lain. Dia merasakan sebuah tangan melingkari bahunya. Fleur, yang sedari tadi keberadaanya tak disadari tengah menggendong seorang anak perempuan berumur tak lebih dari dua tahun. Yang diingat Hermione saat bertemu perempuan itu terakhir kali adalah ketika pernikahannya dengan Bill di The Burrow.
Mereka akhirnya mengambil tepat di sofa yang dengan segala usaha diletakan di tengah-tengah banyaknya barang dalam ruangan. Keempat perempuan itu terdiam beberapa saat. Ginny masih memandangnya tanpa suara, sampai ia bangkit dan memutuskan membuat teh untuk mereka.
"Aku membaca beberapa berita tentangmu di Prophet," ujar Nyonya Weasley, masih ada sisa-sisa air mata di pelupuk matanya. "setidaknya hal itulah yang menjadi patokan bahwa kau—kau baik-baik saja." Dia memandang perut besar Hermione. "…dan membawa kehidupan baru."
"Banyak hal yang telah kulalui," kata Hermione, dia membelai perutnya. "apakah kalian selama ini tinggal di sini?"
"Oh, dear, tentu saja tidak. Kami baru mendapatkan tempat ini semenjak Harry berhubungan dengan Draco Malfoy." Kata Nyonya Weasley. "walaupun sulit untuk dipercaya, tapi terima kasih pada Merlin karena setidaknya kami bisa menyatukan sisa-sisa dari Orde."
"Aku tak pernah mendengar kabar mengenai hal itu," ujar Hermione pelan. "aku tak pernah tahu…"
"Sulit ya, mencari tahu mengenai hal-hal di kastil megah itu?" Ginny menyambar, dengan nampan berisi empat cangkir teh. Ia meletakan nampan di meja, mengambil jarak di samping ibunya.
"Ginny!"
"Kenapa, Ma? Tentu saja kita semua penasaran dengan cerita mengenai kehidupan Hermione dari mulut pertama—"
"Kalau kau tidak bisa tutup mulut, sebaiknya kau naik ke kamarmu." Desis Nyonya Weasley, matanya tak lagi lembut. Dia menatap tajam anak perempuannya—Ginny memberenggut, tak menunjukan bahwa ia takut akan gertakan itu—namun ia menutup bibirnya rapat-rapat.
"Kami melewati lima bulan di sini, tadinya beberapa orang sudah membangun persembunyian bawah tanah—tepatnya aku dan Bill. Dan beberapa teman manusia serigala-nya yang masih setia. Mengingat tugasnya sekarang lebih sering berada di sana. Jadi Bill kelewat nyaman." Ujar Fleur masih dengan aksen Prancisnya yang samar, seolah tinggal di bawah tanah sama halnya seperti liburan asik ke luar negeri. "banyak yang harus berjuang untuk bertahan saat Harry dan Ron berkelana—meski belum tahu apa yang mereka kerjakan. Mama dan Ginny harus rela berpindah-pindah, dilindungi oleh Fred dan George. Percy bukanlah tipe petarung, tapi dia bertahan cukup baik saat ia harus meloloskan diri dari kejaran Penjambret dan hampir menghabiskan setahun penuh berada di hutan liar. Tapi tak ada yang melewatkan hal yang lebih parah dari Charlie—"
"Dia suka dengan habitatnya," gumam Nyonya Weasley, walaupun ia tampak tak yakin dengan kata-katanya sendiri.
"Hampir diinjak raksasa dua kali di setiap malam? Tak ada yang nyaman dengan tangan yang patah."
"Intinya, kami semua menjalani tiga tahun terakhir melawan maut setiap harinya." Sambar Ginny. "ayah gugur dalam pelarian kami—oh, Ma! Tolong biasakanlah!—disambar kutukan oleh salah satu Pelahap Maut, sudah dua tahun yang lalu kejadiannya. Sedangkan Remus dan Tonks, tak ada yang tersisa darinya selain seorang anak laki-laki bernama Teddy. Tak ada yang menemukan jasadnya, nampaknya dihancurkan jadi abu. Dan kau tahu apa yang terjadi dengan Kingsley, pernah muncul di Kementerian dan berhasil kabur. Dia masih dengan rutin menjalankan tugasnya, mengumpulkan anggota Orde yang bersembunyi di berbagai belahan bumi."
Hermione menyentuh tangan Nyonya Weasley, menggenggamnya dengan penuh keyakinan. Tidak ada waktu lagi untuk meratapi semua kejadian itu, dia punya waktu untuk bersedih—atau mengenang mereka yang telah gugur. Tapi tidak sekarang. Hermione terus menerus meyakinkan diri sendiri—sedari Draco mengatakan segala hal tentang rencananya. "Draco akan membantu kita mendapatkan kembali segalanya yang telah direnggut. Draco akan membawa kita kembali pulang."
"Tapi kau tidak lupa, kan, berada di sisi yang mana Draco-mu sebelumnya?" tanya Ginny defensif. Hermione mempunyai perasaan yang kuat akan ketidak sukaan perempuan itu di setiap ia mendengar suaranya. Ginny berubah banyak, termasuk tatapan matanya yang lurus menilai, seolah menimbang apakah ia patut untuk berbicara dengannya. Tanpa peduli dengan bertahun-tahun yang mereka lewati,
"Ginny, jika kau—"
"Tidak apa-apa, Nyonya Weasley." Sela Hermione lugas, dia tak lagi mendengar suaranya penuh kelembutan atau memberi toleransi atas kearoganan yang dipancarkan oleh Ginny. Hermione melepas tangannya dari Nyonya Weasley, dia memandang Ginny. "aku memahami apa yang dirasakan, jadi aku siap mendengarkan segala hal yang ingin Ginny sampaikan."
"Tahu apa yang kami rasakan? Setidaknya kau tidak harus makan bangkai di tengah hutan, kelaparan sampai rasanya mati lebih baik. Mungkin makanan-makanan lezat, pakaian-pakain hangat, serta perhiasan mahalmu tak bisa menjelaskan itu semua. Bagaimana, Hermione?"
Nyonya Weasley sudah membuat posisi siaga seolah ia bisa kapan saja menampar Ginny, sedangkan Fleur menatap bergantian antara Hermione dan Ginny—dia terus menepuk-nepuk putrinya.
"Bagaimana rasanya berada di tempat tidur yang sama dengan musuh?"
Jika Hermione tidak menangkapnya, tangan Nyonya Weasley sudah mendarat mulus di pipi Ginny. Hermione belum melepaskan tangan Nyonya Weasley ketika ia berkata dengan anggun. "Tidak perlu kuceritakan bagaimana rasanya, Ginny. Karena kau mungkin tidak akan sanggup menjadi seorang budak yang dijual ke tempat pelacuran, tinggal dengan jeruji dan diludahi. Terombang-ambing di atas nasib yang tak tentu arah. Kau kehilangan ayahmu?"—Ginny mendelik menatapnya, begitupun Fleur dan Nyonya Weasley. "aku telah kehilangan keduanya, bahkan sebelum pelarian dimulai. Tidak ada salah satu dari kalian yang tahu, karena aku menyimpan semua itu sendirian. Ini adalah konsekuensi yang kutanggung, aku tak akan menyalahkan siapa pun."
Dia melepaskan tangan Nyonya Weasley, masih menatap Ginny.
"Lihat seberapa jauh era ini membawa kita? Berada di dalam hutan dengan kejaran tidak jauh lebih buruk dari berada di kastil megah dengan kabar kematian di mana-mana." Kata Hermione, dia menatap Nyonya Weasley dan Fleur, seolah kata-kata itu dimaksudkan memberi tahu mereka juga. "dan aku tak akan memberi tahu bagaimana aku bisa terpisah dari Harry dan Ron. Jika mereka tak mau menceritakan hal itu pada kalian, maka aku pun tak akan melakukannya."
Mungkin jika orang lain melihat, mereka pikir bahwa tangan Nyonya Weasley tak pernah dihalangi oleh Hermione. Karena wajah Ginny persis seperti habis ditampar kuat-kuat. Tidak ada salah satu dari mereka yang bicara lagi di sisa waktu itu, sampai semua laki-laki turun. Hermione tak heran saat melihat tampang Ron merah meradang, wajahnya memberenggut, melirik Draco penuh permusuhan. Harry tampak lebih berantakan dari sebelum ia menaiki tangga, Hermione tak perlu menerka-nerka apa yang terjadi di dalam ruangan. Ia sudah tahu pastinya.
"Kita pulang, Granger."
Tampaknya kata-kata itu seperti sihir mematikan, karena efeknya membuat Ron menggeram marah dan Harry maju beberapa langkah. Hermione tidak menyadari apa yang terjadi sampai Draco menghalanginya. Mereka berdua bertatapan dengan aura yang siap untuk membunuh kapan saja.
"Hermione akan tinggal,"
Draco mendengus, seperti mendengar lelucon paling tolol yang pernah ada. "Enyah, Potter."
"Kau bilang kami bisa melihatnya, Malfoy."
"Kau sudah melihatnya, rabunmu semakin parah ya?"
"Kaupikir dia siapa, terus-terusan di bawah perintahmu? Dia sudah berada di rumahnya!"
"Akan kuingatkan jika kaulupa—"
"Draco, Draco," sela Hermione, menengahi keduanya. Ia menyentuh tangan Draco. "izinkan aku tinggal sebentar, oke?"—Hermione melihat Draco mengernyit, namun dia sudah menyentuh pipinya untuk meredam emosi yang siap meledak. "hanya beberapa saat dan aku akan pulang—"
"Aku akan mengantarnya—"
"Tidak! Kau bisa ditangkap!" sambar Ginny keras.
"Aku bisa mengurus diriku sendiri, oke? Kumohon, Draco." Ujar Hermione, jantungnya bertalu-talu. Dia ngeri membayangkan efek yang akan dilakukan oleh Harry dan keluarga Weasley jika Draco menariknya dengan paksa pada saat itu. Namun butuh beberapa detik, hatinya lega saat melihat pandangan Draco melunak.
"Falcone akan menjemputmu. Dua jam dari sekarang."
Lalu ia pergi tanpa sepatah kata pun lagi, mengabaikan mulut Harry yang hampir terbuka untuk interupsi dan orang-orang yang lain. Blaise, Gregory dan Adrian mengekori di belakangnya. Namun Hermione seperti dengan samar menyadari—walaupun sangat samar—bahwa Blaise memberinya tatapan mengingatkan. Hermione menghela napas ketika punggung mereka menghilang di balik pintu.
Hermione berbalik menatap deretan Weasley, sebelum Harry memberi isyarat untuk mengikutinya keluar rumah. Draco telah menghilang saat ia sampai di luar. Harry terus menuntunnya sampai ke ujung tebing. Bebatuan tajam yang ia lewati menyulitkannya, berjalan normal dengan perut sebesar itu adalah hal yang sukar untuk dilakukan. Saat sampai pada ujung tebing, dia melihat hamparan lautan dengan ombak yang saling bertabrakan, menampilkan cakrawala membentang. Tempat ini mengingatkannya dengan Zabini Manor, namun di sana tak ada bebatuan liar dan bukanlah pondok tinggi yang mereka tempati. Matahari tidak nampak siang ini—bersiap untuk mempersembahkan hujan badai khas awal Desember seperti biasa. Angin kencang menerpa rambutnya.
Harry di sampingnya, disusul Ron yang ternyata sedari tadi mengikuti tanpa suara. Mereka bertiga berdiri mengadang hamparan lautan, menantang langit luas membentang. Mengabaikan udara dingin menyengat sampai ke tulang.
"Aku senang kau baik-baik saja, Hermione." Kata-kata itu yang pertama kali ia keluarkan, setelah tiga tahun kemudian, setelah ia terpisah dengan salah satu sahabatnya dengan segala tragedi yang menimpa mereka.
Dia tak sekalipun, bahkan dengan sebuah kode yang berarti, mendengar kabarnya. Hermione sama sekali tak tahu bagaimana keadaannya. Dengan kabar yang terus beredar bahwa ia sudah mati, Hermione terpaksa harus menanggung beban pikiran yang menyiksa batinnya selama sisa hidupnya. Dia tak pernah diizinkan untuk bahagia secara penuh selama ini, selain mengalami hari-hari penuh kesendirian, mimpi buruk tentang kedua sahabatnya kadang masih terus mampir di tidurnya.
Seperti biasa, ia tak pernah diberi kesempatan untuk mengetahui lebih. Ia tak pernah memenuhi kriteria itu, atau tak lebih berharga untuk sekedar dipedulikan dan diberi tahu.
"Kenapa kau kembali?"
"Aku tak pernah pergi, Hermione." Jawab Harry. "aku hanya mempersiapkan diri selama ini, kami semua mempersiapkan diri. Setelah hari itu, kami mencari segala cara untuk bertahan dan jika ada kesempatan—melawan."
"Setelah kau meninggalkanku." itu bukan sebuah pertanyaan. Hermione dapat mendengar kegetiran dari suaranya sendiri.
"Aku berusaha untuk mencarimu, setidaknya itulah yang kami lakukan di tengah-tengah kejaran. Aku harus memalsukan kematian agar setidaknya bisa bergerak bebas, dan aku mempunyai kesempatan untuk menemukanmu, membawamu kembali. Dan sekarang semua itu telah terpampang nyata, kita mempunyai kesempatan dengan keduanya; melawan dan membawamu kembali."
Hermione memejamkan matanya, secara mendadak ia menyesal tak ikut kembali bersama Draco. Dia merasakan angin berhembus melewati telinganya. Perasaan dingin yang tidak ada hubungannya dengan udara menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Kita bisa memulai semuanya dari awal, Hermione. Orde sudah bersatu kembali, aku dan Ron mempunyai rencana bagus yang bisa membawa kita kembali pada masa-masa dulu." Dia merasakan Harry bergerak, menghadapnya. "bisakah kau memaafkanku? Bisakah kau memaafkan kami karena harus meninggalkanmu pada hari itu, Hermione?"
Itu dia. Keluar sudah. Dosa yang selama ini Hermione pikir adalah miliknya, ternyata diakui sebagai dosa dari mulut yang lain. Dia membuka matanya, menatap mata hijau Harry. "Aku muak dengan kata-kata maaf dari orang-orang yang telah meninggalkanku, Harry." Ujarnya jujur. "dan menunggu orang-orang yang pergi untuk kembali. Aku tak ingin mendengar maaf lagi. Kita akan melangkah ke dapan, melupakan segala kehilangan, oke, Harry?"
Hermione menyentuh pundak Harry, membawanya pada pelukan. Dari sana ia menatap Ron. Dia tak bergeming dari tempatnya, sampai Hermione melepaskan Harry dan melangkah padanya. Memeluknya erat, menjalarkan kehangatan pada tubuh kaku itu—sampai Ron melingkarkan tangannya, membalas pelukannya. Hermione melepaskan pelukannya, menatap Ron.
"Aku minta maaf telah datang dengan keadaan seperti ini," ujarnya, perkataan itu juga untuk Harry. "banyak yang sulit ditangkap logika satu tahun belakangan."
"Aku banyak membaca tentangmu di Prophet. Mereka menceritakan dengan detil betapa bahagianya kau," kata Ron, setelah sekian lama membisu dan menolak untuk menatapnya. Namun kini dia seperti mendengar sahabatnya kembali. Dia bahkan merindukan sarkasme itu. "Malfoy bilang kau tidak pernah terlibat apa pun dengan segala operasinya."
"Memang tidak. Draco selalu punya orang-orang yang ia percaya untuk itu." Ujarnya.
"Jadi, bisa kau bisa jelaskan apa yang dilakukan si Drakie ini?" tanya Ron. Dia menatap Harry meminta bantuan. "aku menyampaikan kecurigaanku, apakah dia memperkosamu awalnya?"
"Tidak, Ron, tak pernah!" bentak Hermione, menatapnya galak. "aku tidak akan menjelaskan apa pun tentang hal itu, tapi Draco tak pernah melakukan hal buruk padaku."
"Aneh, melihat bagaimana kau memohon padanya untuk bisa bicara dengan kami." Katanya lagi. Dia menatap langit, tampak gugup. "kau tahu, aku sempat sangsi saat melihatmu tadi. Well, kau sudah berubah banyak, kan? Selain baju dan tampilan tubuhmu—maksudku."
"Aku tidak berubah, Ron. Apa maksudmu?"
"Yeah, kau tahu, aku seperti tidak melihatmu lagi. Sangat bukan dirimu ketika melihatmu melaksanakan perintah seseorang, terlebih dia adalah musuh—"
"Sudahlah, Ron." Sambar Harry dengan suara lelah.
"Tidak, Harry. Hal ini tak akan berkesudahan untuk dibahas." Kata Ron bandel. "aku sudah katakan padamu tentang semua hal, mengenai prasangka dan kemungkinan. Apakah tidak ada satupun yang kaupertimbangkan?"
"Oh, jangan mulai lagi, Ron."
"Tidakah kau berpikir bahwa hal ini terlalu mudah untuk kita? Setelah neraka yang kita lewati?"
"Ron, aku sudah bilang padamu, ini adalah kesempatan yang paling baik untuk saat ini. Kita harus membiasakannya suka atau tidak."
"Kupikir kau akan tetap pada prinsipmu, Harry? Tidak akan bekerja sama dengan penjahat model apapun. Kau selalu memegang teguh hal itu dulu, kau benci cara-cara mereka. Aku masih ingat kata-katamu di Hutan."
"Tapi sekarang sudah berbeda, Ron. Jumlah anggota Orde jauh lebih sedikit daripada dulu, bahkan kau bisa mengingat wajah-wajah mereka. Banyak yang tak mau lagi menampakan diri. Namun dengan Malfoy kita bisa menambah banyak kroni. Kita punya harapan, setidaknya kita bergerak. Bukannya terus-terusan berlari di gorong-gorong atau mati di tengah hutan."
"Dia itu kriminal, Harry. Si Malfoy itu penjahat berdarah dingin—kau tahu itu. Dan kita semua sudah terlibat dengannya." Kata Ron, tidak peduli dengan tatapan Hermione.
Suasana hening, hanya deru angin serta pikiran Hermione yang berkecamuk.
"Kali ini dia mencari kita, membuat kita bekerja dengannya untuk membantai Tuannya sendiri. Orang yang membawanya berkuasa di penjuru Inggris. Menjatuhkan era kaumnya, untuk kejayaan yang lebih besar. Dan bagaimana jika semuanya berjalan lancar, setelah semua yang kita lakukan bersama dengannya, dia mempunyai permintaan padamu—atau padaku—untuk membantai salah satu diantara kita? Apakah kau oke dengan itu? Karena aku tidak, mate."
Hermione seperti dihajar oleh gondam mendengar kata-kata sahabatnya. Ron menganggapnya seolah dia tak jauh bedanya seperti udara yang berhembus, mengabaikan tatapannya. Dia merasa seperti orang lain dalam kelompok kecil ini. Ada kesal yang membuncah mendengar bagaimana cara Ron mendeskripsikan Draco—dan dia tak suka. Kemarahan bangkit dari dalam dirinya, namun Hermione tak sanggup untuk mengutarakannya.
Ron masih sama dengan terakhir kali ia melihatnya, dia masih keras kepala dan memegang teguh apa yang ia yakini benar. Dia tidak berubah. Namun jika ia merasa tak sependapat dengannya, apakah kini ia yang berubah? Seperti kata Ron tadi? Hermione mengurungkan segala perasaan. Ron hanya penuh dengan prasangka, Draco tak mungkin bertindak di luar batas dengan sahabat-sahabatnya. Setidaknya itu yang Draco katakan, membawa sahabatnya kembali—menolong mereka, demi dirinya.
Tapi, benarkah?
Hermione awalnya marah dengan perkataan Ron. Namun lama-kelamaan takut dengan pemikirannya sendiri. Tentu saja, Draco telah berkorban banyak hal untuk dirinya. Untuk anak mereka. Dia akan menciptakan era baru, menghapuskan segala sistem yang ada, digantikan dengan peraturan yang baru. Lebih memanusiakan penyihir seperti dirinya. Peraturan dimana mereka bisa berdiri berdampingan, dimana ia mempunyai kesetaraan dengan Draco. Draco-nya. Dia percaya dengan Draco, dan hal itu cukup.
"Apa pun yang akan terjadi, biarpun mereka harus menebas leherku sekalipun, aku tak akan pernah bersedia mengkhianatimu, Ron." Kata Harry pelan, dia menatap karang di bawah yang terhantam ombak. Akan selalu ada kontra untuk menimbulkan rencana ini. Pihak Orde memang sudah sepantasnya merasa curiga dengan tawaran mobster seperti Draco. Namun kali itu Ron diam saja. Baik ia dan Hermione menyadari diantara ratusan fakta akan cacatnya rencana mereka, bahwa kata-kata Harry yang satu itu tak dapat dibantah.
.
Hermione baru saja melipat Prophet yang diselipkan Falcone pagi itu setelah sarapan paginya. Dia tidak bisa pergi ke balkon karena hujan mengguyur Manor. Jadi di depan jendela besar, menghadap ke hamparan hutan, ia menyeruput tehnya. Mencerna ulang pengetahuan baru akan berita-berita yang ditulis Skeeter pada setiap baris kolomnya. Ada banyak perbahan signifikan yang terjadi. Dia sudah tahu bahwa Draco telah memberi akses pada Alfonso O'Conell—pria tua yang pernah ia ceritakan di tempat minum Blaise—menjadi Kepala Auror yang baru. Dia juga membaca beberapa rentetan perubahan yang sepele, namun jika dicermati lagi, cukup halus Draco merubah tatanan pemerintahan dengan orang-orangnya.
Dia bisa merasakan betapa bahagianya Narcissa di kuburnya—hal ini yang selalu wanita itu impikan. Draco memang tak menjadi pejabat pemerintahan, tapi mereka semua berada di bawah telapak kakinya. Bersedia mengemis untuk pertolongan dan perlindungannya.
Harry sudah menghancurkan beberapa Hocrux, dan Draco ikut andil menghancurkan satu-dua, begitu menurut penjelasan Harry kemarin. Harry, Ron dan Hermione dalam usaha mencari Hocrux dulu, sebelum para Penjambret menangkap Hermione dan mengawali apa yang ia dapat hingga kini. Namun ia tak tahu lagi kabarnya, ia tak ingin mencari tahu. Namun ternyata setelah Draco sadar dari penyakitnya, ia mencari tahu banyak tentang Ilmu Hitam yang digunakan Pangeran Kegelapan untuk mengabadikan diri. Hal itulah sekarang yang Hermione pahami, bahwa Draco sering pergi dari kamarnya—membawa sapu—kadang ia datang dengan keadaan setengah sadar. Ternyata ia tengah berburu Hocrux, persis seperti apa yang tengah dilakukan Harry. Yang pernah diimpikan ia dan kedua sahabatnya.
Draco tidak pernah menceritakan apa yang ia alami. Bahkan kutukan apa yang menimpanya, menyebabkan ia tak bisa menguasai kesadarannya dalam waktu kurun dari tiga bulan lamanya. Dan baru terungkap setelah Harry bilang, Draco pernah berduel dengannya. Dia pernah melancarkan kutukan itu—tepat di dadanya—dan yakin bahwa Draco mati setelah beberapa orang mengangkat tubuh lunglainya. Dan itulah awal dari pelarian Harry, dimana dia harus memalsukan kematiannya. Dia meminumkan Ramuan Polyjuice pada salah seorang Pelahap Maut yang tertangkap oleh perangkap Orde, memberikan Kutukan Imperius agar ia menyusuri jalan Diagon Alley. Tak sampai dalam hitungan jam, orang yang menggantikan Harry tersebut ditangkap dan dikutuk sejadi-jadinya oleh puluhan tongkat sihir. Jasadnya hancur. Persis seperti yang tertulis di Prophet dan diyakini semua orang. Tanpa tahu bahwa selama ini Harry yang asli masih berkeliaran bebas, menyusuri tempat-tempat paling terlarang.
Dia membaca kolom terakhir, sebuah berita dimana Lucius Malfoy ditemukan tak bernyawa pada kastil milik keluarga Malfoy di Yordania. Itulah yang menyebabkan Draco harus pergi pagi-pagi buta. Sebelum semua orang menyadari bahwa ayahnya sudah mati, dia sudah ber-Apparate ke Yordania.
Naas, berita itu menuliskan. Baru beberapa hari yang lalu pewaris tunggal itu menguburkan jasad ibunya, kali ini harus dirundung kesedihan dengan menguburkan jasad ayahnya juga. Mengenai penyebab kematiannya, Prophet tidak memberikan penjelasan lebih detil. Mereka hanya mendekripsikan betapa malangnya keluarga Malfoy, dengan beban yang bertubi-tubi harus ia tanggung.
Draco sendiri tak mengizinkan Hermione untuk ikut. Usia kehamilannya dan udara adalah faktor utama, namun Hermione yakin bahwa Draco berpikir keselamatan calon anaknya tak akan pantas dipertaruhkan dengan penguburan seorang kakek yang tak akan pernah menganggapnya. Hermione tidak bisa berbuat banyak. Dia masih dalam ucap syukurnya pada Draco, karena telah mengizinkannya untuk bertemu sahabat-sahabatnya kembali. Dan tak ada yang lebih berharga dari itu.
Sorenya Draco kembali, membawa selusin perlente ke rumahnya. Hermione kali itu diizinkan untuk duduk di ujung ruangan—tempat dimana Draco biasa menemui tamu-tamunya. Dia bisa melihat dengan jelas ketegangan dalam ruangan itu, sehingga salah seorang yang tampaknya paling memegang kendali, duduk di seberang meja Draco. Dia memakai jas panjang, serta topi bowler cokelat. Pria itu nampak dua kali lebih tua dari Draco, menghisap cerutunya dan memandang Draco dengan matanya yang menyipit.
Semua orang membisu. Pertemuan ini tak bisa dibilang pertemuan sembarang, melihat berapa banyak orang yang ia bawa dan bagaimana perangainya.
"Draco, Draco, anak sahabatku." Ujar pria itu dengan suara serak dan aksennya yang kental. "aku turut berduka dengan apa yang terjadi pada Lucius. Sungguh sebuah tragedi, mengingat betapa bugarnya ia terakhir kulihat. Bagaimana pun ia adalah orang yang cukup—berpengaruh di era ini."
Draco tidak bereaksi lama. Matanya menatap lurus pada pria itu, seolah menilai. Yang harus dipahami adalah, mungkin semua orang bisa berperan, menipu lawan bicaranya. Namun Draco tidak akan sudi berlaku demikian. Dia mulai menyalakan rokoknya, melipat kakinya. Tidak tampak terganggu dengan status apa pun yang pria itu miliki. "Perjalananmu cukup jauh untuk sekedar menyampaikan hal itu, Barnaby."
"Draco, dimana sopan santunku jika aku hanya menulis secarik kertas kepada pewaris paling bergengsi di daratan Inggris?" ujarnya dengan luwes. "bukankah sudah seharusnya partner selalu mendukung satu sama lain? Aku mewakili Pangeran Kegelapan dalam mengucapkan kesedihan atas perginya salah satu abdi yang setia. Kurasa kau tahu itu, Nak?"
"Tentu saja aku tahu. Posisimu dalam pemerintahan dan kekusaan tak bisa dikesampingkan, kan?" ujar Draco. "jadi jangan buang-buang napas lagi. Apa yang kaumau?"
"Yah, kau tahu, aku adalah orang yang terbuka, Draco. Kau sering dengar bagaimana aku menyampaikan pendapat di setiap pertemuan." Ujarnya dengan senyum miring di wajahnya. "aku dengar kau mengganti beberapa kepala di Kementerian dengan orang-orangmu. Dan jika Prophet tak salah, banyak sekali kematian-kematian misterius orang-orang lama, kau tahu, seperti wabah. Dan beberapa dari mereka yang jasadnya bergelimangan adalah pengabdi setia."
Barnaby berhenti sesaat. Draco memutar-mutar putung rokok di jari-jarinya, menunggunya.
"Mungkin Pangeran Kegelapan tak sudi untuk memperhatikan hal-hal recehan seperti ini, mungkin kita para petinggi pun berpikiran demikian. Tapi sekali lagi, kau tahu aku kan Draco, selalu memperhatikan kecacatan bahkan yang paling kecil. Aku mempunyai kebiasaan untuk meneliti hal-hal yang jauh dari perhatian orang-orang. Karena biasanya dari sanalah lubang besar terbentuk—gerogotan kecil dan halus itu."
Lusinan orang yang berada di ruangan membisu, memasang telinga mereka. Beberapa diantaranya menganggap suasana mencekam itu memiliki aura berbahaya. Blaise bergerak tidak nyaman di tempatnya. Pengawal-pengawal Barnaby saling melirik.
"Dan maumu adalah?" tanya Draco, masih dengan putung rokok di jari-jarinya.
"Bukan sebuah permintaan sebenarnya, mengingat ini adalah janji yang pernah Lucius buat. Sangat sederhana, Draco. Bahwa kau bersedia untuk menikahi putriku, Astoria."
Tidak ada respon beberapa saat. Hermione merasakan jantungnya bertalu-talu. Dia menatap Draco lekat-lekat, menunggu jawaban. Bahkan seisi ruangan diyakini juga demikian. "Dan kenapa harus kutanggung janji yang tak pernah kusepakati sebelumnya?"
"Yah, demi lancarnya segala usaha apapun yang tengah kaujalani, itu adalah langkah terbaik. Kau kenal dia. Kau tahu betapa terhormat anakku, dan aku tak keberatan untuk membiarkannya bersanding denganmu." Ujar Barnaby, keramah-tamahan telah menghilang dari nadanya. "aku tahu yang kaulakukan, Draco. Menjadi pelindung untuk beberapa pembisnis dan menyebar luaskan kekuasaanmu secara pribadi tanpa sepengetahuan Pangeran. Dan aku bisa melihat bagaimana kau menyimpan gundik di tempat tidurmu, memberinya makanan dan pakaian yang sama dengan kita. Aku bisa mempertimbangkan dia untuk terus memelihara anak haram itu di perutnya. Karena kaum rendahan seperti dia tak akan berdampak apa pun. Kau harus mempunyai penerus sah, yang dianggap oleh dunia kita."
Draco menghisap rokoknya lalu menghembuskannya perlahan. Dia menatap Barnaby dengan mata menyipit. "Kau bisa mengatakan tentang kotornya hal telah kuperbuat, Barnaby." Ujar Draco. "tapi jangan pernah menghina anakku."
"Well, baiklah. Persetan dengan hal itu." Kata Barnaby mengangkat tangannya, ia bangkit dari duduknya. "aku ingin mendengar jawaban dan kedatanganmu ke Manorku dalam kurun waktu satu minggu ini. Dan satu hal lagi; aku tidak ingin melihat satu darah-lumpur pun hadir di sana."
Lalu ia berbalik, diikuti dengan para pengawalnya. Scabior sudah membuka pintu untuknya, namun sebelum mencapai pintu, suara Draco menghentikannya. "Kau bisa mendengar jawabanku sekarang, Barnaby. Jawabanku adalah; tidak. Tidak untuk keturunan Greengrass mana pun yang kautawarkan padaku. Selamat sore."
Barnaby menatapnya dengan mata menyipit, sebelum mendengus penuh penghinaan dan pergi.
Blaise melompat dari kursinya, tampak hendak meledakan segala sesuatu yang ia tahan selama pertemuan. "Kau sudah bermain dengan cara melancarkan mantra peledak, Draco. Tinggal tunggu waktu ia mengibarkan bendera perang di depan hidungmu."
"Kau tahu apa yang harus dilakukan, Blaise."
"Tidak, aku tidak tahu!" seru Blaise. "dia adalah tangan kanan yang lain, Draco. Barnaby mempunyai beberapa titik, tergantung ia mau menyerangmu di bagian mana. Dengan mudahnya ia memilih dan semua rencana kita hancur lebur, kau tahu itu."
"Blaise, kenapa kau ini? Kenapa kau jadi lembek begini? Apakah ancaman Barnaby banci itu telah meluluhkan mentalmu?"
"Dia tak pernah mengancam, Draco. Dialah yang merobohkan ayahmu, dia yang menguasai Albania. Dia orang kepercayaan Pangeran yang lain. Selama ini kita tidak pernah melawan orang yang setara dengan kita, kan? Karena kita ingin bermain cantik. Kau sudah sepakat untuk bermain dari bawah tanah, gempur akarnya dan kita tinggal urus sisanya. Tapi berperang dengan Barnaby saat ini sama saja memantek kerusuhan sebelum kita siap!"
"Blaise, kau adalah sahabatku. Aku menganggapmu seperti saudaraku sendiri, kau tahu itu." Kata Draco pelan, tapi matanya dengan tajam terpancang pada Blaise. "tapi jangan pernah kau mengambil sisi yang lain dan membantahku. Kau mengerti?"
Blaise tidak mengatakan apa pun lagi. Menelan bulat-bulat apa pun yang hendak ia muntahkan. Dengan tembakan terakhir, ia berbalik dan pergi menuju pintu.
Hermione bermaksud melakukan hal yang sama, namun belum sampai pada pintu, suara Draco menghentikannya.
"Jadi bagaimana reuni dengan Sang Terpilih?"
Hermione menoleh dan tersenyum padanya. "Brilian. Seperti biasanya—brilian." Kata-katanya tersekat di kerongkongan, padahal ia punya banyak pertanyaan. Hermione tahu Draco mencoba memecahkan pertarungan batinnya setelah pertemuan itu, dia ingin memeriksa apakah Hermione masih baik-baik saja.
Hermione melewati pintu ketika merasakan Draco menyusul di belakangnya.
"Jadi ini efeknya, setelah kau menemui mereka barang sekali?"
"Aku tidak tahu apa maksudmu," kata Hermione, masih tetap pada langkahnya.
"Seharusnya aku tahu cepat atau lambat mereka akan menggerogoti pikiranmu, mengubah hal-hal yang seharusnya—"
"Ini tak ada hubungannya sama sekali dengan Harry dan Ron," Hermione berbalik, berkata panas. "semua ini masih tentang usahamu, Draco. Bagaimana kau menghadapinya dan bagaimana kau membahas cara-cara kotor itu di setiap ujung pembicaraan!"
"Dan kau mengerti kenapa aku tak pernah memberi tahu atau melibatkanmu dalam hal apa pun, kan, sekarang?"
"Yang kuharapkan kita melangkah lurus, Draco…"
"Hidup tidak selalu seperti apa yang kita inginkan, Granger."
"Dan tidak juga terus-menerus tentang apa yang ingin kaukuasai. Kau pernah bilang bahwa kita hanya bertahan, aku masih ingat, Draco. Tapi tampaknya tujuanmu sudah jauh melesat melihat semua yang telah kaulakukan." Kata Hermione. "cukup, Draco, jangan lagi ada hal-hal buruk yang menimpa rumah ini. Kau hanya perlu mengabaikan mereka."
"Dan menikahi perempuan yang ayahnya mencoba merebut kekuasaanku? Atau menunggu mereka di sini, sampai mereka membantai orangku satu persatu?"
"Semua itu tidak perlu kaulakukan, cukup hanya mengikuti rencanamu dengan Harry. Setelah Pangeran Kegelapan jatuh, kau tak perlu menyingkirkan mereka. Mereka semua akan meredam dengan sendirinya, Draco. Berjalan mundur, pergi dengan teratur. Seperti yang Blaise pikirkan, dan kau sadar itu."
"Aku tidak akan menerima gertakan apa pun dari kelompok lain, karena hal itu akan melukai harga diri orang-orangku. Aku mempunyai kesetiaan besar terhadap mereka."
"Dan bagaimana tentang kesetiaanmu padaku?"
"Apa yang kaukatakan? Kau mulai banyak bicara sekarang. Oh, yeah, lihat ini—lihat pupil matamu!—kau masih meminum ramuan-ramuan sampah itu, kan? Membuatmu jadi terlalu banyak berpikir yang bukan-bukan."
"Siapa yang membuatku begitu?"
"Dengar, Granger, dengar." Draco mencengkram pundaknya, suaranya rendah. "aku tak akan pernah mengijinkan orang lain untuk membantah apa yang kuyakini—seperti yang kaulakukan. Kau bisa bicara semaumu. Puaskan selagi kau membawa anakku."
.
.
.
(A/N : have a nice weekend, everyone! I'll be back for couple of days…)
