11
.
TAK PERLU dua kali bagi Hermione untuk diberitahu, dia sudah mengerjakan apa yang harus ia lakukan. Terbilang datang ke sebuah acara bukan hal yang jarang, Hermione sudah mulai bersiap sebelum petang. Karena malam ini Draco akan mengajaknya ke sebuah acara di rumah Alfonso O'Conell, Kepala Auror yang baru.
Si Tua O'Conell mengadakan pesta perayaan besar-besaran, di dengar dari siapa saja yang akan hadir. Draco bisa dibilang telah memilih orang yang tepat. O'Conell adalah salah satu pengusaha terkaya di jajaran penyihir Inggris. Selama hidup sudah bergelimang Galleon dan emas membuatnya jenuh, sehingga ia ingin 'melakukan kegiatan yang lebih bermutu'di sisa hidupnya. Pria itu mempunyai banyak sekali mitra, diantaranya Menteri Sihir dari Bulgaria, Prancis dan Irlandia. Lengkap sudah komposisinya sebagai maskot pemerintahan yang baru nanti—begitu pengertian dari Draco.
Bisik-bisik masih mengiri hingga kini tentang pergantian jabatan itu. Terkesan ganjil saat Daily Prophet memberitakan Ludo Bagman—Kepala Auror yang lama—hilang dalam tugas kunjungan ke luar negerinya selama hampir satu bulan, dan ternyata ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa di Nigeria. Entah bagaimana tubuhnya bisa sampai pada negeri itu, padahal semua staf Kementerian tahu ia akan berkunjung ke Skotlandia. Namun puncaknya, ketika satu hari diumumkan kabar mengenaskan tersebut, pihak Kementerian telah menemukan calon baru dengan pemilihan secara prerogatif. Menteri Sihir langsung menunjuk Alfonso O'Conell tanpa saingan.
Sebagian penyihir yang tinggal di pedesaan atau pelosok tak akan tahu. Namun para bangsawan tak bodoh untuk sekedar mengabaikan skandal tersebut. Banyak yang sudah menebak bahwa ada oknum-oknum tertentu yang bermain di belakang semua ini.
Mereka memang tak sepenuhnya dungu, para bangsawan itu—pikir Hermione. Hanya mereka terlalu lambat dalam berpikir, atau sebagian tak mau peduli. Dia menatapi kerumunan orang-orang itu, di kastil megah milik O'Conell. Sibuk berlomba-lomba memerkan pakaian impor, perhiasan tiada banding dan memperkenalkan pasangan-pasangan mereka yang berketurunan ningrat dari satu ke yang lain. Bibir-bibir itu menghirup cerutu mahal, meminum champagne, dan tersenyum palsu saling memuji.
Mereka tak benar-benar tahu apa yang akan terjadi kelak, batin Hermione berdiri di salah satu kerumunan perempuan-perempuan muda. Ia dalam kerumunan selir—mantan budak, dibeli oleh bangsawan-bangsawan tua bangka yang terlalu jengah dengan keriput istrinya. Hermione tak merasa terganggu berada di perkumpulan itu, bergabung dengan mereka. Setidaknya ia tak perlu bermuka palsu di sini. Bahkan diantaranya blak-blakan menghina istri-istri dari tuannya.
"…tapi aku penasaran siapa yang menjadi gundik Tuan O'Conell. Kudengar ia simpan di kastil yang sama dengan istrinya…"
"Jangan ngaco. Tidak akan ada gundik yang tinggal dengan istri prianya, setidaknya jika ia masih sayang dengan wajahnya."
Begitulah kira-kira obrolan dari kerumunan itu. Hermione tidak benar-benar mendengarkan, atau ingin tahu siapa detilnya mereka. Matanya sibuk berkeliling. Pikirannya bekerja untuk mencerna apa yang ia lihat, dan ia satu padukan dengan opini. Saat suasana Aula Kastil sudah hampir sesak, Hermione melihat O'Conell naik ke atas podium yang telah disiapkan. Dia berbadan gemuk dan pendek. Kumisnya tebal dan jasnya terlihat kebesaran, atau memang ia pikir itu sebuah trend—hampir menyentuh lutut. Hermione melihat ia dengan gugup menarik secarik kertas kecil dari dalam sakunya, melirik sekeliling dengan mata bulatnya yang konyol. Dia tampak seperti ingin mementaskan komedi daripada berpidato sebagai Kepala Auror.
"Ehem, eh, yak—sudah benar mantra pengerasnya, Ern?—ups, oke. " dia menghela napas, menatap penuh harap pada kerumunan di depannya. "sebelumnya aku sangat berterima kasih dengan orang-orang yang bekerja keras di balik semua yang kudapat. Dekorasinya, jabatannya—eh" dia menunduk, mengintip kertasnya dengan cepat sebelum kembali memandang lurus. "aku ingin mengucapkan salam hormatku pada Menteri Sihir yang telah hadir, beserta semua Kepala Departemen—well, walau tidak semua. Dan kepada Draco Malfoy, bisa dibilang ia sahabatku, walaupun tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini."
O'Conell mengedipkan mata, beberapa orang tertawa hambar, menatap satu sama lain. Lalu ia melanjutkan pidatonya dengan lancar, berapi-api dan diakhiri tepuk tangan meriah. Hermione tidak tahu kapan ia berpisah dari kerumunan selir, namun Draco sudah ada di sampingnya. Tangannya melingkari pinggulnya. Kerumunan sudah mulai menyenggang, pemberitahuan akan pengosongan lantai dansa terdengar. Hermione bisa merasakan orang-orang yang bergerak minggir.
Beberapa orang menutup telinganya, beberapa orang merintih, beberapa lagi mengeluh keras-keras. Si Tua O'Conell lupa untuk menghilangkan mantra pengeras suara di kerongkongannya, sehingga tanpa sadar suaranya menggelegar luar biasa kencang ketika ia menyapa seseorang dan tertawa. ("…hei, Pak Menteri!—ups, sorry.") Hermione menutup telinganya, tapi tersenyum. Dia memandang Draco. Si pirang yang tampan itu tak memperhatikan, matanya sibuk berkeliling. Menilai seperti biasa.
"Draco, lupakanlah semua urusanmu sesaat." Kata Hermione, dia menangkup pipi Draco. Meminta dengan halus agar ia menatap matanya.
Mereka berdua tanpa sadar sudah melupakan perdebatan yang terjadi dua hari lalu. Hermione sendiri tidak ingin Draco menemukan kesalahannya lebih banyak lagi. Sudah cukup fakta bahwa dirinya kecanduan dengan ramuan-ramuan tidur dan penenang yang ia buat sendiri. Dan nampaknya Draco tengah banyak beban pikiran, ia tak mau menyulut api kemarahan lelaki itu jika ia terus-menerus menuntut. Ia juga dirundung penyesalan, karena seharusnya waktu-waktu yang singkat dengan Draco tidak dipergunakan untuk bersilat lidah.
Hermione sebenarnya ingin lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Draco, mengingat dalam waktu dekat ia bisa kapan saja mengalami persalinan. Kandungannya sudah menginjak usia Sembilan bulan, terlalu rentan. Ia ingin Draco ada di sampingnya ketika saat itu datang. Namun sebelum hal itu terjadi, ia ingin mendiskusikan banyak hal tentang calon anak mereka kelak.
Saat lantai dansa dipenuhi oleh pasangan-pasangan yang mulai berpelukan erat, siap berdansa, Draco telah membawanya dalam pelukan. Musik mulai terdengar, O'Conell mengundang Calestina Warbeck sebagai bintang tamu. Sunggu luar biasa, di malam yang gemerlapan, Aula yang hangat—kontras dengan udara di luar—Hermione mencium bau kebahagiaan.
"Kau merasakannya? Dia bergerak…" gumam Draco, wajahnya penuh penasaran. Ternyata ia merasakan tendangan dari dalam perut besar Hermione. Mereka mulai bergerak bersamaan dengan irama musik, pelan—dan khidmat. Hermione memeluk leher Draco, matanya tak lepas dari mata biru-kelabunya.
"Ia sering melakukannya belakangan ini," ujar Hermione dengan senyum. "apa yang kau harapkan? Laki-laki atau perempuan?"
"Entahlah, semuanya baik. Tapi kau tahu, akan sangat menyenangkan mempunyai anak laki-laki."
Tentu saja, Draco, batin Hermione. Ia tahu betul bagaimana Draco mendambakan anak laki-laki untuk mereka. Draco tak pernah mengatakan hal itu, namun Hermione bisa menilai bagaimana cara ia mempersiapkan segala sesuatu untuk calon bayinya kelak. 'apakah tidak lebih bagus warna hijau? Lebih jantan?' atau 'tidakkah kaupikir akan bahagia dia jika lihat miniatur sapu terbang di atas keranjangnya?'
"Granger," kata Draco. "terima kasih kau telah memberikan banyak hal yang membuatku mempunyai alasan untuk pulang."
Rasanya hatinya telah dirampas oleh pemilik mata indah itu. "Aku mencintaimu, Draco." Katanya penuh ketulusan. "kau selalu menjaga kami dengan aman."
Dia hampir menangis ketika Draco membungkuk dan menciumnya. Dia tak lagi memikirkan kerumunan, perdebatan dan segala hal-hal buruk yang mengganderunginya. Ada rantai yang terbebas ketika tangan lelaki itu melingkari tubuhnya, membawanya lebih dekat dan menciumnya.
Dia ingin terus menerus berada di pelukannya.
Hermione terlena dengan suasana itu. Namun samar-samar merasakan perubahan yang terjadi, kerumunan menjadi ribut—yang tidak ada hubungannya dengan lagu atau dansanya—dan terpecah-belah. Hermione berbalik untuk melihat apa yang terjadi, melihat beberapa orang mengacungkan tongkat tepat pada mereka berdua. Tidak ada hal lain yang ada di pikirannya—ia berbalik, memeluk tubuh Draco erat-erat.
Lalu ia mendengar jeritan, dan semuanya menjadi gelap.
.
Mati tak mungkin sesakit ini.
Mati pastinya akan berada di suatu tempat yang hampa, jauh dari dunia dan kehilangan banyak beban pikiran. Namun ia tidak merasa seperti itu—sama sekali tidak. Hermione mengerjapkan matanya beberapa kali saat semua masih tampak buram. Ketika ia bisa menatap sekeliling dengan lebih jelas, ia tahu bahwa tak mungkin dia mati jika ia bisa mencium bau ramuan dan langit-langit kamarnya.
Hermione bersyukur ketika banyak kepala yang melongok untuk menatapnya, ternyata dia tidak ditinggal sendirian lagi. Seperti hari-hari yang lalu—tapi dia tidak melihat kepala Draco. Dimana Draco?
"…tolong berikan ramuan penghilang rasa sakitnya, dia sudah sadar!"
Hermione menoleh, mendapati seorang perempuan tengah menyodorkan segelas cairan hijau pekat. Dia mual bukan main melihatnya, ditambah ada rasa sakit yang menusuk-nusuk mulai timbul di dadanya.
"…Granger? Nona Granger? Tolong jaga kesadaranmu—" Hermione mengernyit, ia sedang mencoba! Tapi rasa sakitnya meradang sampai rasanya kerongkongannya perih ketika ia menelan air liurnya.
Lalu kerusuhan terjadi, dia mendengar pintu menjelebak terbuka. Hermione merasakan bau kayu manis, dia bisa meliat wajah Draco. Wajah tirus itu—Hermione mencoba tersenyum—namun nampaknya gagal karena lebih mirip ringisan. Draco menggenggam jemarinya, berlutut untuk mendekatkan wajahnya pada wajah Hermione. Wajah Draco serius, Hermione tidak menemukan keramahan di sana. Kenapa? Apa dia tidak senang melihatnya lagi?
Hermione hendak duduk—namun merasa janggal karena ia merasa lebih ringan dalam mengendalikan tubuhnya. Ia menunduk untuk menemukan bahwa tak ada lagi gundukan di perutnya, Hermione tersenyum lega. Dia tahu bahwa kini sudah waktunya, cepat atau lambat, sesuatu yang selama ini ia nantikan akan berada di pelukannya. Hermione menatap Draco lagi.
"Draco, aku ingin melihat bayinya…" katanya lemah. Susah payah ia berusaha duduk, Draco sejenak menahannya—namun membantunya karena Hermione berusaha keras. Hermione merasa suasana yang tadinya penuh dengan aktivitas tiba-tiba hening. Para Penyembuh menunduk, terpaku di pinggir tempat tidurnya.
Ia mendengar Tiny si Peri Rumah mulai terisak di sudut ruangan.
Hermione merasakan jantungnya bertalu-talu. Kenapa semua orang tidak tampak senang melihatnya lagi? Dan kenapa mereka harus memisahkan ruangannya dengan bayinya? "Draco, dimana bayiku? Aku ingin menyusuinya—" suara Hermione serak ketika tanpa terasa air mata telah bergerumul di pelupuk matanya. Dia menggeleng. "berikan bayiku, Draco. Aku ingin menyusuinya—aku ingin memeluknya."
Draco membawanya pada pelukan, tangisan Tiny semakin keras. Sedangkan Penyembuh berbalik untuk menemukan aktivitas yang lain, mereka memunggungi Hermione. Ini tak mungkin terjadi… Draco hanya mencoba mempermainkannya, ini tak mungkin terjadi.
"Granger," bisik Draco, Hermione mencoba melepaskan pelukannya. Pipinya sudah dibanjiri air mata, dia tidak ingin berada di tempat tidur, dia ingin pergi untuk membuktikan bahwa semua ini hanya permainan sialan. "Granger, dengarkan aku—Penyembuh telah mencoba, segala mantra dan ramuan telah dicoba. Namun tak ada yang bisa membawanya kembali—"
Hermione merintih memilukan. Dia tersedu-sedu, merasa menyesal karena telah membuka mata untuk mengetahui semua hal brengsek ini. "Draco, aku ingin memeluknya—" Draco mengeratkan pelukannya. "kenapa kalian tidak mengijinkanku untuk melihatnya barang sekali? Aku telah membawanya hampir Sembilan bulan—aku yang selalu bersamanya—kenapa kalian tidak mengijinkanku menyentuhnya?"
"Granger, maafkan aku—" kata Draco, mencium puncak kepalanya. "tidak ada yang bisa membawanya kembali."
Hermione merasakan sesak di dadanya ketika ia mencoba untuk menghentikan tangisannya. Dia mencoba—tapi air mata tidak mau berhenti untuk mengalir, jatuh membasahi baju Draco. Hermione merasakan kepalanya pening bukan main—yang tidak ada hubungannya dengan rasa sakit yang diderita tubuhnya. Semua hal ini meluluh lantahkan kekuatannya. Dia lemah dalam pelukan Draco. Rasa sakit itu hilang, namun timbul sengatan baru—yang kini lebih tajam, lebih menyiksa—tepat di dalam dadanya.
Draco membisikan kata-kata penenang. Dia merasakan tangan lelaki itu bergetar ketika mengusap kepalanya, memeluk tubuhnya. Dia menghela napas, menghirup udara lebih banyak ke paru-parunya.
Tapi bagaimana bisa, ketika udara yang selama ini ia jadikan pacuan hidup, menghilang begitu saja?
Mereka berdua terpuruk dalam, sampai rasanya lehernya mati rasa karena terlalu banyak menunduk. Sudah berapa waktu yang ia lewati—ia tak peduli. Dia bersedia menangis lebih keras, asal bisa membalikan semua keadaan. Dagunya sakit ketika ia melepas pelukan Draco. Rasanya sesak itu belum hilang, dia masih sulit bernapas—Hermione bicara dengan suara parau dan tersekat.
"Bolehkan aku melihat tempat terakhirnya, Draco?" air mata bergelimangan. Hatinya hancur lebur saat mengatakannya. Draco memandangnya prihatin, mengusap air mata di pipi Hermione.
"Tentu saja. Dia akan senang."
"Apakah ia sempat membuka matanya—apakah kau tahu warna matanya?"
Draco memaksa diri untuk tersenyum—senyum yang getir. "Tidak, dia sudah tertidur panjang ketika Penyembuh mengeluarkannya." Hermione tidak bisa menahan isakan. "tapi dia adalah bayi laki-laki paling tampan yang pernah kulihat."
Hermione tidak bisa untuk mengeluarkan suara lagi—dia pun tak sanggup untuk menatap semua orang yang ada di Manor. Pada pagi itu, setelah ia tak sadar selama dua hari semenjak insiden di pesta perayaan, Draco memapahnya ke taman di belakang—dimana mereka menempatkan jasad kecil yang dulu pernah bersemayam di perutnya. Dia menatap batu yang telah menindih anaknya—putranya—kini dipenuhi salju. Akankah salju-salju itu membekukannya? Membekukan tulang-tulangnya yang rapuh dan kulitnya yang ranum?
Merlin, dia bisa saja melihatnya dalam beberapa hari lagi. Menatapnya untuk tahu sendiri seperti apa wajahnya—untuk tahu warna matanya. Dia bisa memberikannya kesempatan untuk tahu bagaimana rasanya mengirup udara. Hermione ingin dengar suara tangisannya…
Tapi Hermione telah gagal. Dia gagal melindunginya.
Hermione hanya menatapnya, tidak menyentuh batu itu. Karena hatinya pedih ketika ia menghabiskan lebih banyak waktu di sana—jadi ia berbalik. Draco masih merangkulnya, membungkusnya dengan kain tebal. Udara dingin ini tidak menganggunya, kulitnya mati rasa. Disetiap langkah yang ia ambil untuk meninggalkan batu itu, ada bagian-bagian dari tubuhnya yang jatuh berserakan.
Hermione melihat Nyonya Zabini di Manor, wanita itu mengecupnya dengan kesedihan yang telah menjalar ke seluruh sarafnya. Blaise bersama istrinya, kali ini Marietta datang dan memeluknya—tidak mengatakan apa pun namun wajahnya paling perihatin selama Hermione pernah mengenalnya. Dia bisa melihat beberapa orang di sana, Gregory, Adrian dan Marcus—mereka duduk di sofa Rumah Utama. Hermione tidak menyapa mereka semua, dia ingin menghindari orang sebisa mungkin. Untaian duka yang disampaikan hanya akan menambah beban di pundaknya.
Pagi menjelang malam, hari mulai berganti. Hermione sudah tiga hari berada di Sayap Barat, menolak untuk melangkahkan kaki keluar dari bagian kastil itu. Tangannya masih memegang berlembar-lembar surat yang dikirim oleh Burung Hantu beberapa jam lalu. Di mejanya tergeletak beberapa lembar surat yang lain. Surat-surat itu dari The Heatcliff—tempat kediaman Harry dan keluarga Ron yang pernah ia kunjungi.
Tulisan tangan Harry sebanyak dua lembar penuh masih di tangannya. Begitu juga dengan Ron, ditambah Nyonya Weasley. Mereka mencoba mengirim Hermione surat selama beberapa hari terakhir, namun ia sama sekali belum membalasnya. Dan tak heran, jika surat-surat yang ia terima hari ini adalah surat tuntutan untuk meminta balasan. Hermione bisa merasakan betapa mereka khawatir dengannya—Nyonya Weasley bilang akan kirim Howler jika besok tidak ada burung hantu yang datang dari Malfoy Manor ke The Heatcliff.
Hermione tidak ingin membalas surat. Dia ingin melihat wajah-wajah mereka—dia ingin mengunjungi The Heatcliff. Dia telah kehilangan sesuatu yang amat berharga di hidupnya, setidaknya dengan berada di sana dia bisa membawa kembali kenangan indah yang pernah ada. Bersama orang-orang yang pernah mengisi hari-hari terangnya dulu, Hermione mempunyai harapan besar luka ini dapat terlupakan barang sesaat.
Sesaat harapan itu muncul. Namun sedetik berikutnya sirna. Dia tidak ingin meninggalkan Sayap Barat, karena berada di tempat ini seolah membuat bayinya dan dia tak berjarak. Setiap sudut tempat ini terjamah oleh mereka berdua, semua hal dilakukan dengannya.
Tapi dia harus bangkit, hatinya kembali memberontak. Maka dari itu, Hermione meninggalkan surat-surat itu dan berjalan ke kamar mandi, menatap dirinya di cermin. Dia harus membenahi dirinya. Hermione melihat bayangannya, dia lupa kapan terakhir kali ia berkaca. Dia tampak sangat memperihatinkan—pantas semua orang menatapnya seperti itu. Dia patut di kasihani, tapi dia benci diperlakukan seperti itu. Hermione menatap shower yang menyala secara sihir dan bathup yang penuh dengan air—tanpa sadar dia sudah berdiri lama di sana.
Dorongan untuk masuk ke bathup sangat menarik. Bagaimana rasanya, dia ingin tahu. Hermione melangkahkan kakinya ke dalam bathup. Dia merasakan air hangat menjalar ke tubuhnya. Rambutnya yang digerai basah. Ia tak peduli dengan gaun tidur yang masih melekat di tubuhnya. Karena dia ingin tertidur di dalam bathup ini—dia ingin air itu membilas semua pedih di hatinya, membawa serta rasa sakit itu hanyut ke pembuangan.
Ia merebahkan diri di dalam bathup, Hermione memejamkan matanya. Meresapi setiap tetesan air yang jatuh di atas kepalanya. Air matanya bersatu dengan air itu, dia berharap hal yang sama terjadi dengan perasaannya. Hermione tidak tahu butuh berapa lama sampai semua pedih dihatinya merosot keluar dengan bilasan air—dia bersedia berada di sana sampai kapan pun.
Hermione mulai menyandarkan kepalanya pada bathup, secara perlahan memasukan kepalanya ke dalam air. Air yang hangat merendam otaknya. Apakah semua sarafnya akan meleleh sehingga pikiran-pikiran di kepalanya sirna? Hermione merasakan sesak di dadanya—tapi dia tidak butuh udara. Dia ingin membenturkan segala rasa itu bersamaan.
Namun belum sempat rasa sakit itu pergi—seperti diharapkan—pintu kamar mandi menjelebak terbuka. Sepasang tangan telah merengkuhnya, mengangkatnya dari dalam air. Hermione mendengar dia berteriak memanggilnya—tapi dia tidak mau membuka mata. Draco meletakannya pada lantai marmer kamar mandi yang dingin, bersumpah serapah.
"…Granger—diantara semua hal—aku tak percaya—" katanya dengan napas memburu. Hermione membuka matanya. Melihat baju Draco basah, mata itu menatapnya tajam. Sesaat tampaknya ia ingin menampar wajah Hermione kuat-kuat. Namun ia merengkuhnya dalam pelukan erat, menekan wajah Hermione ke dadanya. Hermione terisak sejadinya.
"Kau menghancurkan hatiku, Granger." bisik Draco, dia melepaskan pelukannya, menangkupkan wajah Hermione di kedua telapak tangannya. "sampai kapan kau akan menyiksaku? Beritahu aku—apa yang harus kulakukan?"
Hermione tidak menjawabnya—karena ia sama sekali tak tahu. Rasanya semua hal salah. Rasanya ia pun salah. Draco menariknya untuk bangkit, tangannya gemetar. Bisa dipastikan ia menahan amarah. Dia melepas gaun tidur yang menempel di tubuh Hermione, melemparkannya asal. Draco menarik handuk dan melilitkannya pada tubuh Hermione. Lelaki itu membawanya keluar kamar mandi, menarik sehelai gaun yang kering dengan lambaian tongkat. Lalu mengenakannya pada Hermione.
Draco membawanya pada tempat tidur dan merebahkannya. Dia berlutut di sisi tempat tidur, tak ingin membasahi pakian dan seprei karena bajunya. Ia menyodorkan botol ramuan, Hermione bisa merasakan cairan itu memasuki mulutnya dan mengalir ke kerongkongannya. Dia menatap langit-langit sampai jatuh tertidur tanpa mimpi.
.
"Draco tidak di Manor." Kata Hermione pada wajah Blaise Zabini yang menyembul di Rumah Utama. "kembalilah besok, dia tidak pulang malam ini."
"Aku memang tidak ingin menemuinya, hanya saja aku ditugaskan untuk berjaga." Kata Blaise, membuat nadanya hati-hati. Kajadian dua minggu lalu terhadap apa yang menimpa Hermione mungkin memberinya batasan untuk bertingkah serampangan. Hermione tidak berkata apa-apa lagi—dia tidak peduli.
Sebenarnya dia kesal dengan keadaan ini. Ada perasaan tak nyaman yang melingkupinya dengan penjagaan ekstra yang Draco terapkan dan kroni-kroninya bergantian untuk datang. Sebenarnya dia tak seharian penuh berkeliaran di Manor, sehingga tak perlu untuk bertatap muka dengan salah satu dari mereka. Namun dia hanya ingin marah.
Dia benci dengan saat-saat seperti ini. Dia benci dengan segala hal yang telah terjadi.
Akhirnya karena kesendirian sudah terlalu dalam menyiksanya—ia pun tak ingin bicara dengan orang di Manor—Hermione memutuskan untuk pergi menemui sahabatnya. Mereka adalah obat yang kemungkinan besar menyembuhkan sakit di pikirannya. Ya, dia yakin begitu. Maka tepat pada malam Natal, ia memutuskan untuk berkunjung ke The Heatcliff. Dia ingin menggunakan kesempatan sebaik mungkin karena absennya Draco di Manor. Dia pun tak keberatan jika lelaki itu tak kembali dalam jangka waktu yang lama, belakangan. Hermione hanya tak ingin bicara dengan siapa pun di kastil itu.
"Tidak bisa, Nona." Ujar Falcone, wajahnya agak menyesal. Hermione sudah dengan pakaian lengkap dan jubah berpergiannya, namun langkahnya dicegat di gerbang. "Tuan Malfoy tak ingin siapa pun keluar dari kastil sampai dia kembali. Terlalu riskan."
"Jadi aku terpenjara di tempat ini juga?" katanya panas, namun berbalik—kembali ke dalam kastil. Dadanya bergemuruh diisi oleh amarah. Ini sudah benar-benar keterlaluan. Dia pikir sudah cukup Draco pergi terus-terusan, tapi lelaki itu juga mencabut haknya untuk menyegarkan pikirannya.
Persetan dengan Barnaby. Hermione tak peduli walaupun mereka semua bilang orang suruhan pria itulah yang hampir membunuhnya di pesta perayaan. Dia pantas mendapatkan hal itu. Mungkin lebih baik jika aku mati sekalian, batinnya seraya membanting pintu kamarnya. Hermione menatap surat Harry, beralih ke surat Ron. Dia sangat ingin menemui mereka. Hermione sudah membalas surat-surat itu, namun dia harus bicara langsung dengan mereka. Namun untuk surat yang entah keberapa dari sahabat-sahabatnya, Hermione melihat burung hantu yang membawa surat itu lemas—bulu-bulunya berantakan persis seperti habis di cengkram. Hermione menyadari bahwa surat-surat yang ia terima segelnya terbuka, ada lembaran yang lusuh.
Dan setelah hari itu, ia tak pernah dapat akses burung hantu lagi di Manor. Draco menghentikan transaksi surat-menyuratnya tanpa kompromi dengan yang bersangkutan. Tentu saja, tak heran itulah sebagian kecil dari hal-hal yang biasa ia lakukan. Mencabut kesenangan seseorang adalah keahlian Draco Malfoy. Hermione tidak bisa protes. Namun saat mengetahui hal itu, Hermione membentak siapa pun yang bicara dengannya. Bahkan dengan Tiny yang menyuguhkan makan malam.
Di Awal Januari, Draco pulang dari perginya yang entah sudah berapa lama. Hermione melihat punggungnya dari ujung koridor. Dia berjalan gotai, menyusuri lorong remang dan tangannya sesekali menggerayangi dinding. Langkahnya sempoyongan sehingga sesekali bahunya menabrak pilar. Dia mulai terbiasa dengan kebaisaan baru Draco yang pulang dengan keadaan mabuk. Namun ia tak mengeluh. Bukan hal itulah yang saat ini menjadi masalah baginya, dia hanya ingin bungkam.
Dia tak ingin memapahnya, tidak juga mencoba menampakan diri. Saat lelaki itu masuk ke dalam kamar mereka, Hermione masih di tempatnya, sebelum berlalu memasuki kamar yang lain.
Dan dia terus dilanda malam penuh penderitaan. Malam ini dan sebelumnya. Dan hari-hari dirundung kesendirian. Hermione sama sekali tak akan membuka suara jika bukan untuk Tiny atau sapaan serampangan Blaise yang terkadang berjaga di Manor akibat perintah Draco. Hermione tak tahu apa yang mereka rencanakan, dan nampaknya Blaise juga mengalami hal yang sama dengannya. Lelaki pirang itu tampaknya sedang menyusun sebuah rencana yang hanya dia dan kepalanya sendiri yang tahu tujuannya.
Hingga suatu pagi—setelah berminggu-minggu baik diantara keduanya tak terlibat dalam percakapan apa pun—Hermione terpaku di meja makan, menatap piringnya tanpa nafsu. Nampaknya ramuan-ramuan yang ia minum selamam membuatnya kenyang—atau ada hal lain yang membuatnya mual? Hermione tahu jawabannya kenapa semua perasaan itu datang ketika melihat Draco duduk di hadapannya. Suatu anugerah melihatnya setelah beberapa hari dia menggaibkan diri.
Hermione merasakan wajahnya merah, mendidih dipenuhi amarah. Sihir yang sangat luar biasa, hanya dengan menatapnya saja mampu menciptakan efek yang sedemikian hebat. Hermione ingin memuntahkan hal itu di atas piringnya daripada harus memakan sisa makannya. Apakah ia tahu, ada rasa panas yang menjalar di seluruh tubuh Hermione akibat keberadaannya?
Oh, mungkin dia tidak tahu. Tapi dia harus tahu.
"Aku ingin mengunjungi Harry, hari ini." Kata Hermione, memulai memasang bom waktu. Dia tak sabar menunggu ledakannya. Setidaknya dia tak ingin menjadi satu-satunya merasa terbakar di ruangan ini.
"Aku sudah dengar, dan kau sudah tahu jawabanku." Kata Draco tanpa mengalihkan pandangan dari piringnya. Nadanya tenang—dan Hermione benci melihatnya tenang. Kenapa dia selalu bisa mendominasi segala situasi?
"Tidak, aku tidak tahu." Saat mengatakan itu, cengkraman pada pisau di tangan Hermione mengeras. "kita jarang bertemu belakangan."
Draco kali ini menatapnya lurus, raut wajahnya menimbang—seperti biasa. Selayaknya ia menilai seseorang. "Jangan mulai lagi, Granger."
"Tidak, tidak. Aku tak akan protes dengan absennya dirimu—aku sama sekali tidak keberatan dengan semua itu. Aku hanya ingin keluar sebentar."
Draco tidak merespon, dia menyeruput tehnya. Ada yang meledak dalam diri Hermione pada saat itu. Dia meletakan pisau di tangannya ke meja—dengan bunyi yang keras. Lalu ia bangkit dan berjalan keluar ruangan. Rasanya dia butuh menenggelamkan kepalanya di dalam air, karena otaknya mendidih dengan kemarahan. Dia sudah menahan semuanya beberapa minggu terakhir. Itulah sebabnya ia menolak terlibat perbincangan dengan semua orang. Rasanya semua yang ada di dalam rumah itu salah.
Ketika sampai di Sayap Barat dan mencoba memasuki kamar, dia terhalang—pintu itu dikunci. Hermione mencoba menggerakan gagangnya, namun gagal. Dia meninggalkan tongkatnya di dalam—jadi dengan kesal dia menggebrak pintu itu. Ada apa dengan pintu sialan ini?
"Apa yang kaulakukan?" Draco sudah ada di koridor, tangannya di dalam saku dengan santainya. Hermione masih berusaha dengan gagang pintu brengsek itu.
"Draco—pintunya—kenapa dengan pintunya?"
"Kupikir kau datang ke kamar yang salah, jadi pintunya tak mau terbuka?" katanya. "kau memutuskan untuk memakai kamar yang lain, jadi aku menguncinya."
Hermione berhenti dengan napas memburu, menatap Draco seolah dia orang sinting. "Semua barang-barangku ada di sana, tongkatku—"
"Barang-barangmu? " katanya dramatis, mendekatkan wajahnya pada milik Hermione. "barang yang mana tepatnya, Granger? Maksudmu barang yang pernah kuberikan padamu dengan galleon-galleon kotor itu?"
"Bisakah kau membuka pintunya—tolong, Draco? Aku butuh sesuatu dari dalam kamar itu." Hermione merasakan pening di kepalanya. Bicara dengan Draco membuat semuanya bertambah buruk, efeknya hebat.
"Butuh apa? Ramuan sialan itu? Aku ingin tahu seberapa kecanduan kau, selama ini kau minta kuperhatikan, benar?" kata Draco, pundaknya bertumpu pada pintu dan tangannya terlipat di dada.
Demi Merlin—dia tidak suka bagaimana cara mata itu menatapnya. Hermione hanya ingin dia pergi sejauh mungkin, meninggalkannya sendirian seperti hari-hari lalu. Dia ingin Draco enyah, tidak bisakah hanya semudah itu? Tanpa harus menghabiskan banyak emosi, tanpa harus membuang banyak napas?
"Entahlah apakah ada hal lain yang bisa kulakukan untukmu, aku hanya penjahat, ingat? Itukan alasanmu tidak mau berada di ruangan yang sama denganku, menghindari tatapan mataku? Well, jika itu memang yang kauinginkan, akan ada banyak ruangan di kastil ini, kau tahu."
"Draco—"
"Draco, Draco, Draco. Oh Granger, adakah hal yang bisa kaulakukan tanpa menyebut namaku?" tanyanya di buat-buat. "apa yang bisa dilakukan oleh darah-lumpur sepertimu tanpa aku?"
Tangannya bergerak secara naluriah—telapaknya mendarat di pipi Draco. Hermione bisa merasakan kini kemarahan telah sukses sepenuhnya membakar habis sisa-sisa tameng yang mengkungkung emosi di dadanya. Napasnya memburu, Hermione berdiri dengan gemetar dari kepala sampai kaki. Draco tidak bergerak, seolah-olah tamparan itu sama sekali tak mengganggunya.
Dengan air mata berlinangan, ia berlalu meninggalkan Draco. Berjalan menyusuri lorong dengan langkah secepat yang ia bisa. Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, Draco telah menangkap pergelangan tangannya—menahannya. Hermione mencoba membebaskan diri. Dia sudah mengeluarkan seluruh tenaga, Hermione beringsut di lantai, mempertahankan dirinya sekuat yang ia bisa. Namun Draco sama sekali tak kesulitan menghadapinya, dengan enteng ia menyeretnya kembali ke depan pintu kamar. Dia mencabut tongkat dari dalam sakunya, melambaikannya dan pintu kamar tebuka. Hermione meronta-ronta ketika Draco menyeretnya ke dalam kamar—tapi usahanya gagal.
Saat sampai di dalam, Draco melemparkannya ke seberang ruangan dan membanting pintu di belakangnya. Dengan sekali lambaian tongkat pintu itu terkunci—Hermione beringsut di lantai, merangkak menjauhinya dan menuju pintu balkon. Namun Draco telah menarik pergelangan kakinya, Hermione menjerit pedih ketika Draco melemparkannya hingga membentur tempat tidur. Wajahnya mati rasa saat beradu dengan kayu yang keras. Hermione mencoba bangkit, namun kakinya serasa remuk tepat dimana Draco mencengkramnya tadi.
Hermione terpincang-pincang mengitari tempat tidur, menjauhi Draco sebisanya. Namun rasanya kemana pun ia berpindah—sedetik berikutnya cengkraman Draco sudah berada di tubuhnya. Hermione merintih ketika tangan Draco mencengkram rambutnya, menariknya kasar dan membantingnya ke atas tempat tidur. Draco berada di atasnya, menindihnya dengan mematri kedua tangannya—Hermione merasakan udara menyusut di paru-parunya.
"Ya, benar—tunjukan dirimu yang sebenarnya. Bunuh aku, Draco. Bunuh aku seperti kau membunuh ayahmu!"
Dia bisa melihat mata Draco melebar, seperti ditampar dua kali olehnya. Namun Hermione tidak peduli, dia hanya ingin membuat lelaki di hadapannya merasa sakit—dia tidak mempunyai kuasa untuk melukai tubuhnya, tapi dia ingin Draco merasakan sakit yang sama dengannya. Dia ingin Draco tahu apa yang selama ini ia rasakan. Dia melihat cengkraman tangan Draco pada tangannya semakin kuat—mungkin sebentar lagi tulangnya remuk. Draco menatapnya penuh amarah.
Bagus, Draco, biar kautahu bagaimana rasanya sakit di bagian yang tak bisa disembuhkan.
Dia pikir Draco akan mencekiknya ketika tangan satunya yang bebas hendak menyentuh leher Hermione—namun tangis Hermione pecah menjadi jeritan memilukan ketika Draco merengkuhnya, membawanya erat ke dalam pelukan. Lelaki itu gemetar hebat, sama persis yang terjadi dengan Hermione. Draco telah melepaskan tangannya, dan entah bagaimana tubuh Hermione sendiri lunglai ketika memiliki kesempatan untuk melawan.
"Bukan hanya kau yang kehilangan dia—" bisik Draco. Hidung mereka bersentuhan, namun Draco masih bisa menciptakan jarak agar Hermione mampu menatap matanya. Napasnya memburu, dia tampak sekuat tenaga mengendalikan diri. "dia juga anakku, Granger. Dan aku yang menguburkan putraku sendiri. Bukan hanya kau yang merasa marah dengan semua ini."
Hermione tersedu-sedu, Draco menenggelamkan wajah ke lehernya. Keringat mereka bersatu padu, bersamaan dengan amarah yang meluap secara bersamaan. Dia menangis pedih, merasakan hatinya hancur berkeping-keping entah untuk berapa kalinya.
.
Hermione terpaku dengan bayangannya di cermin. Dia tak benar-benar peduli dengan memar biru di tulang pipinya. Pergelangan tangannya sendiri rasanya remuk ketika ia mencoba membuka gagang pintu dan berjalan pincang samar ketika menyusuri koridor. Dia tak bisa menyamarkan bekas luka atau rasa sakitnya, karena Draco telah menahan tongkatnya. Dia bahkan hampir menguncinya di Sayap Barat jika Tiny tidak datang dengan tangis tersedu-sedu di pagi harinya, saat mengantarkan nampan berisi makanan. Peri Rumah itu bersimpuh mencium ujung jubah tuannya, memohon agar Hermione tetap bisa bergerak bebas di Manor.
Hermione tidak ingin ikut andil, bagaimana pun juga. Dia tidak yakin apakah ia masih marah dengan Draco. Hal yang janggal mengingat hal gila yang mereka alami kemarin. Hermione tidak bicara dengannya, namun ia tak keluar dari kamar dan tetap mengijinkan tangan Draco melingkar di tubuhnya—memeluknya pada malamnya.
Hermione tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Ia bahkan tak tahu apa lagi yang tersisa, apakah semuanya sudah terbakar habis, ataukah meredam dengan sendirinya. Dia hanya tak ingin diganggu oleh siapa pun. Dan seperti saat ini ketika Hermione sudah terduduk di sudut Rumah Utama. Siang itu Blaise, Adrian dan Gregory datang. Dia bisa mendengar suara Draco dari sini walaupun mereka ada di ruangan yang berbeda. Perbincangan itu sarat dengan suara keras dan kasar.
"…di Albania dengan anak dan istrinya. Dia dilindungi beberapa para pengikut setia Pangeran dan Auror—kau tahu, Draco, walaupun O'Conell berada di bawah kaki kita, masih ada antek-antek yang bersedia terima uang kotor si Barnaby."
"Kalau begitu libas Auror-Auror sialan itu. Bantai istri dan anak-anaknya, tinggalkan tubuhnya. Bawa Barnaby ke hadapanku hidup-hidup. Biar aku sendiri yang menebas lehernya."
"Draco, tapi istrinya adalah seorang guru di Beauxbaton. Dia pernah mengajar istriku—Maureen bilang dia wanita yang berpengaruh, catatannya bersih dari ilmu hitam. Lalu Daphne, anak perempuan tertua, di tahun dan asrama yang sama dengan kita di Hogwarts, ingat? Terlebih Astoria—"
"Aku tak peduli, Adrian. Aku menyuruhmu untuk membawa si biadab itu ke depan hidungku."
"Sejak kapan kita mulai membantai satu keluarga utuh?"
"Sejak seorang perempuan yang mengandung anakku memasang badannya untuk melindungiku!"
"Oke, baiklah. Misi rahasia—semua ini soal misi-misi rahasia sialan itu. Tapi kau tak memberi tahu kami detil apa pun mengenai rencanamu. Kita tak lebih dari perkumpulan kacung dan bandit.' Lakukan ini dan itu, Adrian. Pergi ke sarang musuh, Blaise. Gorok leher pejabat ini, Greg. BANTAI GURU ISTRIMU DAN ANAK-ANAK PEREMPUANNYA, ADRIAN!'"
Hermione memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya pada kursi di belakangnya. Sedetik kemudian hening—hanya ada suara api yang melahap kayu bakar di perapian. Hermione menajamkan pendengarannya lagi, namun tak ada lanjutan dari perdebatan itu. Dia menebak bahwa seseorang telah melancarkan mantra kedap suara dan anti-curi-dengar. Beberapa waktu yang lama tak ada aktivitas yang terdengar dari dalam ruangan. Sebelum Hermione menebak bahwa mereka telah membunuh satu sama lain, terdengar suara pintu menjelebak terbuka. Langkah-langkah kaki berhamburan keluar di sepanjang menuju lorong.
Ada pikiran yang menghantuinya belakang—pikiran sinting yang tak pernah datang sebelumnya, segelap apapun hari-hari yang ia lewati. Dia selama ini bisa bertahan dengan kerikil-kerikil yang menghujaminya. Yang tak akan pernah hilang walaupun ia merendam dirinya di air yang panas atau meminum ramuan apa pun. Semua itu adalah bentuk dari perasaan berdosa. Dia tak tahu sampai kapan rasa bersalah itu menghinggapi hatinya, mendengar lebih banyak pembantaian dan kejahatan dari setiap sudut rumah ini—walaupun ia berusaha keras untuk tak ingin dengar.
Draco telah merampas sebagian kekuatan yang pernah ia berikan—kebebasan dan sihir yang selama ini mampu membantunya dalam beberapa kesulitan. Hermione tahu rasa sakit yang tertanam tak akan sembuh jika dia tidak membangun harapan baru. Tapi, apa? Hermione memandang salju di luar jendela, hamparan hutan yang luas dari Malfoy Manor yang megah. Dia bisa pergi, dia punya sahabat-sahabatnya. Tapi kenapa dia belum mengangkat kakinya?
Mungkin bisa dibilang dia adalah orang yang suka menderita.
Tapi setidaknya, pembicaraan-pembicaraan kasar, makian-makian di dalam ruangan dan skema yang terus-menerus dirombak adalah hal sepele. Kejadiannya di suatu malam, tepat ketika Draco pulang dari bepergiannya dan membawa satu set kroni ke Manor. Hermione tidak lagi terusik dengan kegiatan itu, keluar-masuk orang adalah salah satu bagian dari adat-istiadat yang tak akan bisa dihilangkan. Jadi ketika Hermione telah memerintahkan Tiny menyusun meja makan untuk dihuni enam orang, mereka menyantap makan malam mereka dengan khidmat.
Blaise, Adrian, Gregory dan Marcus bergabung di meja makan malam ini. Draco seperti dalam perayaan suksesnya suatu misi. Hermione sendiri tampak tidak tertarik untuk membuat suatu keributan apa pun—walaupun dia lebih memilih menyantap makan malamnya di Sayap Barat sendirian, atau tidak makan sama sekali—karena alasan yang paling mendasar adalah; dia tak ingin terlibat interaksi apa pun—dengan siapa pun. Dan sayangnya, Draco berada di urutan pertama dalam daftarnya.
"Bagaimana dengan Hogsmeade, Blaise? Kudengar banyak pemilik rumah minum yang minta perlindungan kita?" kata Draco, setelah mereka selesai menyantap hidangan utama. Tiny mulai menyajikan makanan penutup.
"Yeah, penduduk di Hogsmeade bilang saat ini Barnaby dan kroninya mulai brengsek. Mereka menghancurkan beberapa bangunan dan membakar beberapa rumah penyihir." Kata Blaise.
Sesaat hanya gesekan garpu dan piring yang terdengar. Hermione telah meninggalkan tangannya dari meja, mual bukan main saat obrolan tentang bisnis mulai dibuka.
"Mereka tahu, Draco. Barnaby tahu kalau kita sedang membangun gerakan bawah tanah yang memiliki unsur menggempur kejayaan Pangeran Kegelapan."
Draco tidak merespon, seperti tenggelam dengan pemikirannya sendiri. Lalu tiba-tiba suasana di ruangan itu berubah, ada rasa dingin yang aneh menyelubungi. Greg telah berhenti memakan sisa pai-nya, menaruh garpunya dengan hati-hati. Semua mata tertunduk, keheningan janggal tidak dapat dihindari. Draco bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja makan dengan tangan di pingang.
"Marcus," yang disebut namanya seperti baru saja disambar petir. "kau bekerja sangat keras belakangan. Apakah benar kata Blaise—menurutmu Barnaby tahu?"
"W—well, Barnaby tidak bodoh. Kurasa apa yang dia tahu hanya prasangkanya saja."
Draco berhenti tepat di belakangnya, kedua tangannya menyentuh pundak Marcus. Cicin perak berlambang ular gemerlapan di jari kelingkingnya. Wajah Marcus pucat pasi. "Bagaimana kau bisa bilang begitu, sementara mulutmu sendiri yang menyampaikan segala yang kautahu padanya, mate?"
Kini titik-titik keringat mulai bermunculan di dahi Marus, tubuhnya bergetar ketika Draco menyentuh pipinya dan memaksanya mendongak untuk menatapnya. "D—Draco, a—aku—"
"Tak akan cukup jari-jarimu untuk menghitung seberapa sering aku memaafkan keteledoranmu dalam tugas-tugasmu, Marcus. Aku tetap merangkulmu karena aku tahu kau hanya ingin terlihat berguna, kau hanya ingin dirimu dipandang—semua orang memiliki sifat seperti itu. Hanya tergantung dari cara mereka mengimplementasikannya."
"Aku tak akan melakukan hal itu, Draco. Aku tak mungkin berani mengkhianatmu—"
"Marcus, Marcus, temanku," ujar Draco tenang—kontras dengan lelaki yang ada di cengkramannya. "kau tahu seberapa sering aku memaafkanmu, apakah kaupikir aku tidak akan memaafkanmu kali ini? Apakah aku tega membunuh sahabatku sendiri?"
Marcus tampak ragu-ragu, moncongnya gemetar. Dia sama sekali tak tampak menyeramkan saat ini.
"Benar, aku tak akan tega melakukan hal itu, Marcus. Kau akan dikeluarkan dari rencana, dan akan dikirim ke pelosok Albania—itu adalah hukumanmu. Tapi sebelum itu, kau tahu apa yang harus kaulakukan untuk mempererat tali persaudaraan kita?" Marcus tidak menjawab, pucat dari kepala sampai kaki. "hanya jangan pernah katakan kau tidak bersalah. Karena hal itu sama saja seperti kau menghina kepandaianku—dan akan membuatku benar-benar marah. Kau paham, Marcus?"
Napas Marcus memburu, dia mendongak kaku menatap Draco. Dia tampak seperti ingin menangis dibawah sorotan mata biru-kelabu yang mungkin saja—bisa jadi—telah masuk mengebor pikirannya dan membongkar segala apa yang ia simpan di dalam tempurung kepalanya. "B—barnaby ingin membantai orang-orang kita, sehingga dia bisa kuasai Inggris seperti dia kuasai penuh Albania. Beberapa Auror sudah bekerja sama."
"Bagus—kau teman yang baik." Draco menepuk bahunya dua kali dan melepas cengkramannya dari pundak Marcus, dan napas lelaki itu lega ketika ia bisa menatap lurus. Marcus menyeka keringat yang membanjiri dahinya dengan tangan gemetar, bernapas cepat seperti ia baru saja berlari puluhan kilometer jauhnya. Namun belum sempat udara masuk lebih banyak—hanya sepersekian detik waktunya—ketika Draco mencabut tongkat dari saku dalam jubahnya, menebas tengkuk Marcus dengan kilatan hijau—belum sempat ia mengeluarkan sepatah katapun, kepala Marcus jatuh di atas meja makan.
Hermione menjerit sejadi-jadinya.
.
Hermione menahan pintu sekuat tenaga.
Malam awal Februari ini diisi dengan hujan badai. Dari kamarnya yang gelap, dia bisa melihat kilat-kilat petir menyambar dari jendela. Dia berada di salah satu kamar di Sayap Timur, dimana tempat bagian itu jarang terjamah oleh seisi rumah. Dengan tubuh menyandar ke pintu, kaki yang menahan seluruh berat tubuhnya mendengarkan was-was gerendel pintu yang berusaha diputar dengan paksa.
"Buka pintunya, Granger!"
Hermione mendengar suara berat Draco dari balik pintu. Entah sudah kali ke berapa lelaki itu pulang dengan keadaan mabuk. Kebiasaan yang baru adalah dia berusaha untuk tidur dengannya—tanpa kesadaran—sehingga Hermione tak suka bagaimana tangannya secara serampangan menyentuh tubuhnya. Dan dia memutuskan untuk mulai membuat antisipasi.
"Buka—kau pikir aku Muggle bego yang tidak pakai tongkat—oh, ingin coba lihat aku memakainya? Lihat jika kutangkap kau," Hermione memejamkan matanya. Akhirnya saat itu tiba—pintu menjelebak terbuka—Hermione terlempar ke seberang ruangan.
Hermione belum sempat menyapu rambut dari wajahnya, namun Draco sudah melakukan hal itu untuknya. Dia mencengkram rambut Hermione dengan kekuatan yang jauh dari batas wajar. Hermione meringis ketika wajah mereka berhadapan. Dalam ruangan yang gelap, dia mampu melihat wajah Draco dari cahaya yang masuk lewat jendela.
"Kenapa kau ini? Kenapa—kenapa kau terus-terusan meningalkan kamar?" Hermione mencium bau alkohol dan tembakau dari mulut Draco, membuatnya mual. Lehernya sakit karena dipaksa untuk mendongak. Draco mencoba menciumnya, tapi Hermione menggeleng sekuat yang ia bisa. Ketika akhirnya tangan Draco mencengkram rahangnya, sehingga Hermione terpatri—napasnya memburu, bukan main gemetar tubuhnya dengan kemarahan.
"Kau tak akan pernah bisa menghilangkan dia dari hidupmu, Draco." kata Hermione dengan suara bergetar. Dia telah mendapatkan respon yang ia mau, Draco menghentikan usahanya dan kini mata biru-kelabu itu menatapnya. Mata itu jauh dari mata yang pernah ia kenal, bukan lagi gemerlapan dan menawan. Mata itu gelap, seolah hal-hal jahat terputar di sana. Siapa pun bisa memutarnya, bisa membaca segala hal keji yang si pirang lakukan selama hidupnya. "tidak peduli berapa kali kau membunuhnya—dia tak akan pernah mati. Karena Lucius ada dalam dirimu!"
Hermione menjerit ketika telapak tangan Draco menghantam pipinya. Kepalanya pening bukan main, Hermione dibiarkan tersungkur di lantai. Dia tahu dia sudah melebihi batas, dan sekarang dia harus menerima balas. Dia merasakan tangan Draco mencengkram lengannya, menariknya untuk bangkit sebelum melemparnya di atas tempat tidur.
Draco mencoba membuka pakaiannya sendiri, dan Hermione tak ingin menyia-nyiakan jeda itu. Ia tidak ingin menyerah, ia merangkak ke sudut tempat tidur. Berharap dapat menemukan apa pun untuk bisa ia lemparkan padanya agar dapat menghentikannya, menjauhkan diri darinya. Namun di kamar itu tidak seperti kamarnya—tidak memiliki barang-barang apa pun, dan Hermione putus asa ketika pergelangan kakinya di tarik paksa. Draco yang bertelanjang dada kini menindihnya.
Dia menarik gaun yang Hermione kenakan, merobeknya paksa sehingga kini ia sama telanjang dengannya. Hermione bisa merasakan bibir Draco di lehernya, turun hampir ke dadanya—dia terisak, menjerit dan gemetar hebat ketika merasakan Draco masuk jauh ke dalam dirinya.
.
Hermione bisa merasakan siksaan di dalam dadanya ketika ia menatap gerbang Manor di depannya. Ada sesuatu yang membuncah ketika ia akan melewati gerbang itu, ber-Apparate dengan orang paling janggal di sisinya. Blaise Zabini tak pernah datang sepagi ini jika bukan karena misi yang diberikan oleh pemimpinnya. Falcone mengekori di belakangnya, menjaga jarak dari mereka berdua. Ketika sampai di luar gerbang, Blaise menawarkan lengannya, Hermione mencengkram lengan itu. Dan mereka ber-Apparate.
Ketika mereka bertiga berputar dan sampai pada tebing tinggi dan curam, serta mulai terdengar suara deburan ombak, Hermione merasakan udara benar-benar dapat memasuki paru-parunya setelah berbulan-bulan di dekap dengan kegelapan. Hermione menatap cahaya jingga di cakrawala yang terbentang luas. Entah kapan terkahir kali dia melihat cahaya matahari, dia selalu dirundung atap rumah dan salju yang hanya bisa ia tatapi dari jendela.
Dia bisa melihat The Heatcliff dari radius tiga ratus meter, tinggi menjulang dengan segala kesederhanaan yang khas. Hermione baru sekali melihat pondok itu, tapi dia sudah sangat merindukannya dari terkahir kali ia datang.
"Jadi, berapa lama kau akan menetap?" tanya Blaise, membuat Hermione mengalihkan pandangan padanya.
"Bagaimana kau tahu jika aku tidak akan kembali hari ini?"
"Hanya cukup melihat bagaimana caramu memandang pondok itu. Kau tidak pernah melihat bagian mana pun di Manor seperti ini."
Hermione tersenyum—heran sendiri dia masih ingat bagaimana caranya.
"Aku tahu Draco sudah benar-benar kelewat batas." Ujar Blaise, menatap memar yang mencolok di bawah mata dan tulang pipinya. Hermione masih bisa merasakan perih sudut bibirnya yang terluka—kelihatan hampir pecah saat kemarin ia melihatnya di cermin. Dia sudah melakukan sesuatu yang ia bisa tanpa sihir, mengompresnya dengan handuk yang direndam air hangat, agar luka-luka di wajahnya samar. Namun tampaknya tak berhasil. Dia bisa membaca pancaran perihatin dari mata Blaise. "itulah sebabnya aku bersedia mengantarmu ke sini, setidaknya aku bakal punya otak untuk memperbaiki ini semua—sehingga teman-temanmu tidak membakar kami hidup-hidup."
"Dan itulah sebabnya kenapa dia memberikanku izin untuk menemui mereka? Karena merasa bersalah?"
Blaise tidak menjawab, namun mencabut tongkat sihirnya dan mengarahkannya pada wajah Hermione, dia melancarkan beberapa mantra. Hermione merasakan sesuatu yang sejuk menyapu wajahnya. Rasa perih dan sakit di sana perlahan-lahan seperti ditarik dan hilang. Hermione menyentuh sudut bibirnya, tak ada permukaan kasar di sana.
"Dan sekarang mereka bakal mengenalimu saat kau mengetuk pintu." Ujar Blaise dengan nada yang coba dibuat jenaka.
"Terima kasih, Blaise." Kata Hermione tulus.
"Cuma mantra sepele, semua penyihir dapat—"
"Terima kasih selalu menetap disisinya walaupun kau sama tidak sukanya seperti aku dengan semua ini." Kata Hermione, angin berhembus kencang, dia luar biasa kedinginan—tapi ia tidak ingin peduli.
"Kadang-kadang, untuk mencapai sebuah kehebatan, kau harus memotong sebagian kecil dari dalam dirimu tak peduli seberapa sakitnya, untuk tumbuh agar dapat terus maju. Memang butuh pengorbanan dan keberanian, tapi aku sangat menghargai prinsip itu."
"Orang Draco luar-dalam ya, kau, Blaise?"
Blaise menyunggingkan senyum miring, persis yang Hermione kenal betul. Lalu mereka bertiga mulai berjalan menuju pondok. Banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya, yang bisa saja ia tanyakan pada Blaise. Namun rasanya sudah cukup dengan segala pengetahuan yang ia tanggung saat ini. Rasanya ia tak bisa untuk menyimpan lebih banyak memori.
"Sampaikan salamku pada Sang Terpilih dan Weasel Raja Kami, oke?" saat mereka sudah di halaman rumah.
"Harry dan Ron akan senang mendapatkannya," kata Hermione, meletakan sedikit sarkasme di dalamnya.
"Jangan pernah usir Falcone—dia jaminan bagi Draco agar kau bisa datang ke sini, ingat? Dan tulis surat lewat burung hantu apa pun yang akan kauputuskan pada Draco. Kau tahu dia tak pernah suka menunggu dan kau pun tak ingin ada keributan."
Hermione tersenyum dan berbalik. Berjalan memasuki pekarangan The Heatcliff. Dia tahu Blaise masih menatapi punggungnya, dia hanya tak ingin menoleh lagi barang sekali. Saat sampai di depan pintu pondok itu, Hermione menarik napas panjang sebelum mengetuknya dua kali.
.
.
