13
.
HERMIONE harus menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Banyak yang menjadi beban pikirannya belakangan, namun inilah saatnya untuk bangkit. Beberapa hal harus dibuktikan, diantaranya menampar pikiran orang-orang bahwa ia mampu bertahan dalam keadaan ini. Tentu saja, ini bukanlah hal yang menganggunya. Tentang Malfoy dan berita tolol semacam itu. Banyak yang lebih parah, dan ia sudah terbiasa. Benar, kan?
Hermione berkaca, membenahi jas berpergiannya sekali lagi. Entah sudah berapa kali ia berdiri seperti itu, entah dalam hati kecilnya sedikit berharap bahwa cermin bisa langsung membawanya menuju Manor tanpa harus melangkahkan kakinya keluar pintu kamar ini. Pikiran berpamitan dengan orang-orang di The Heatcliff mampu membuatnya terjaga semalaman suntuk. Dia tidak sanggup membayangkan wajah Ron yang dengan sangat negatif memberikan komentar-komentarnya. Dia akan tahan, tapi Malfoy?
"Dia tidak datang, Nona." Tapi suara Falcone berbisik di depan pintu. Seolah-olah mampu membaca pikirannya. Hermione menoleh cepat, bernapas berat. Berita itu sama sekali tidak mengurangi rasa gelisahnya. Tapi ada perasaan panas familiar yang menjalar di kepalanya. Oh, memang siapa aku? Aneh, dia jadi semakin kesal.
Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi ia keluar. Dia sudah menentukan pilihan, ya, dia harus bertanggung jawab dengan apa pun yang ia ambil.
.
"Ke sini, peron 3 ada di sini, Sir!"
Hermione menengadah, melihat sesosok wanita gemuk dengan baju yang super ketat. Menampakan kancing-kancing yang sekarat karena harus saling merekatkan diri diantara kemejanya. Dengan cepat ia melangkah, mengikuti rombongan di depannya.
Saat ini ia dalam perjalanan dengan Draco menuju daerah di Albania, tempat yang tidak bisa ditembus dengan sihir. Karena Voldemort telah memasang sebuah sihir rumit yang tidak bisa ditembus oleh siapapun. Beberapa bulan terakhir telah menumbuhkan penyakit kepercayaan, kata Draco. Tentu saja, tidak heran karena memang benar secara gerilya telah banyak orang kepercayaannya yang menggempur bahtera kekuasaannya. Termasuk Draco sendiri. Namun karena kecerdikannya, tentu saja hal tersebut sama sekali tidak tercium—atau belum—di telinganya. Hermione tidak ingin menduga-duga. Dia tidak ingin memikirkan apa pun tentang perang.
"…Granger!" Hermione tersadar saat namanya dipanggil. Dia menoleh dan mendapati Blaise Zabini telah bertengger di pintu kompartemennya, mungkin hanya ingin mengolok-olok kesendiriannya.
"Apa maumu?"
"Kau harus menggunakan jubah ajaib milik Potter dalam radius terdekat. Pangeran Kegelapan tentu saja sulit untuk melupakan sahabat Potter yang tersayang."
Tentu saja, Draco tidak akan punya waktu untuk menyampaikan hal itu padanya. Si kacung satu ini akan dengan senang hati memberi kabar gembira.
Hermione tidak heran. "Ya,"
"Ya?—apanya yang 'ya'? Cepat angkat bokongmu dan ikut denganku."
Hermione memutar matanya dan akan lebih baik jika kali ini dia tidak usah buat masalah. Rasanya dia tidak punya energi jika harus berdebat kosong dengan Blaise.
Mereka berjalan menyusuri gerbong-gerbong. Kereta ini tentu saja memiliki perbedaan dengan kereta yang biasa ia gunakan di Hogwarts. Kereta ini di desain dengan gaya klasik dan mewah, fasilitas-fasilitas yang lebih istimewa dan lebih cepat. Hermione tidak pernah ke Albania sebelumnya. Dia juga tidak tahu kenapa Draco harus mengajaknya. Apakah ini salah satu penebusan akan kejadian yang terjadi pada mereka dua minggu lalu? Hermione tidak tahu. Namun dia berharap akan lebih baik jika Draco tidak mengikut sertakan dirinya dalam perjalanan ini. Menanam bunga di taman belakang tampak lebih menggiurkan daripada harus duduk di kereta seharian penuh—dengan perasaan gelisah karena musuh bisa menyerang kapan saja.
"Sudah tahu kan, artinya tidak ada sihir berarti musuh juga tidak bisa menyerang kita secara tiba-tiba dengan sihir?" Hah? Memangnya tadi dia mengutarakan apa yang ada dikepalanya, ya?
"Apa aku kelihatan peduli?"
"Tentu saja—wajahmu pucat sekali. Demi Merlin, Granger."
"Yeah karena kau sudah membuka pembicaraan mengenai hal ini, aku ingin tahu kenapa Draco repot-repot membawaku." Kata Hermione, berharap pembicaraan ini tidak akan berakhir menyebalkan seperti biasa ia membuka percakapan dengan seorang Blaise.
"Kenapa kau tidak tanyakan sendiri padanya?"
Tidak kaget. "Aku hanya tidak ingin bicara dengan siapa pun beberapa hari belakangan."
"Nah, hal itulah yang membuat Draco beranggapan kau stres berat." Ucap Blaise. Kali ini dia berhenti dan berbalik. "Kau banyak mengunci dirimu di kamar sendirian, terus-terusan beralasan untuk memanggil Penyembuh—padahal kau minta obat-obatan tidur tanpa mimpi, kan?"
"Kenapa—"
"Aku tahu, Granger. Kau tidak perlu menyangkal apapun, aku tidak akan menghakimimu." Potong Blaise cepat—seperti biasa. Dan Hermione benci melihatnya seolah meraka sudah cukup akrab untuk saling mengakui kekurangan masing-masing. "Dan bisakah kau menghentikan kebiasaan itu, jika kau ingin Draco pergi jauh-jauh darimu?"
Hermione menyipit, dia salah bicara dengannya. Tanpa menunggu kata-katanya, Blaise berbalik dan kembali memimpin perjalanan singkat mereka. Sampai akhirnya pada sebuah kompartemen yang lebih luas ketika dibuka, benar saja, disana Draco sudah duduk. Dengan tangan bertautan di atas meja, menatap jauh ke luar jendela. Dia menoleh ketika Hermione menyembul di pintu.
"Sudah siapkan Jubahnya?"
"Pelayan akan membawanya ke sini nanti. Boleh aku pergi?" Tanya Blaise sarat dengen sindiran. Draco melambaikan tangannya. Dan saat itulah terakhir kali Hermione melihat Blaise di kereta.
"Sampai kapan kau akan berdiri di situ?"
Hermione mengambil tempat duduk dihadapan Draco. Semenjak kepulangannya dari The Heatcliff, inilah kali pertama ia benar-benar menatap matanya. Draco tidak lagi dengan aura aman dałam dirinya, bahkan mata biru kelabu itu menghujaminya dengan tatapan menilai. Memberikan kesan yang tidak nyaman—bahkan hampir terasa mengintimidasi. Hermione terpaku di tempatnya, namun dia akan tetap membalas mata itu. Rasanya dia tidak memiliki perbedaaan mengenai Draco sekarang ataupun saat di Hogwarts dulu. Dan dia selalu berani menatapnya balik.
"Apakah kau sudah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan di kepalamu?" Pertanyaan. Pertanyaan. Kenapa sih dia harus selalu bertanya?
"Jadi begitu aku dimatamu, selalu tampak seperti orang yang kebingungan." Kata Hermione. Dia berusaha sekuat tenaga untuk menaruh senyum di wajahnya—namun sepertinya gagal. "Dan kenapa kau tidak menjelaskan hal-hal kepadaku?"
"Tentang apa, misalnya?" Draco memajukan tubuhnya beberapa senti. Hanya untuk menciptakan kesan bahwa ia tampak antusias dengan pertanyaan yang tidak akan ia jawab. "Selama ini aku tidak melihatmu ingin benar-benar terlibat obrolan yang penting denganku."
"Apakah kau selalu memberikan kesempatan padaku?" Tanya Hermione. "Kau bahkan tidak datang untuk membawaku pergi dari The Heatcliff."
"Ya ampun, Granger, berhentilah bersikap dramatis. Kita bedua tentu saja tahu apa yang akan terjadi jika aku datang ke sana hari itu."
Memang benar, tentu saja dia paham betul. Minimal Harry akan memantrainya dengan mantra penghancur yang meleset. Namun dia tidak yakin Draco akan menerima penghinaan itu. Maka dia tidak merespon pernyataan Draco, melainkan hanya bergelut dengan pemikirannya.
Dia selalu mempunyai ribuan pertanyaan di hidupnya, sebenarnya. Namun membayangkan untuk terlibat sebuah obrolan dengan orang lain saat ini tidak sebesar keinginannya untuk duduk diam sendirian di Sayap Barat. Hermione terpaku pada sebuah kenyataan bahwa dia sudah tidak benar-benar peduli. Jadi, kenapa dia memancing sebuah pernyataan yang jelas-jelas tak ia rasakan? Dia hanya ingin melawan Draco dengan segala cara. Dia tidak ingin berdamai dengan siapa pun sekarang. Semua orang harus merasakan betapa suram pikirannya sekarang.
"Granger, kau tidak mendengarkan." Hermione ditarik kembali oleh kenyataan, dia tidak bereaksi namun sadar bahwa Draco mulai jengah dengan tingkahnya. Dan ada sedikit kepuasan tersendiri memikirkannya.
"Maaf?"
"Mulai saat ini kau tidak akan tinggal di Malfoy Manor lagi." Kata Draco. Hermione tidak ingin mendengar kata-kata selanjutnya, karena dia yakin dia tak akan suka dengan apapun ide yang akan keluar dari mulut itu. "Kau akan tinggal di pesisir Albania. Masih terjamah sihir—kau tidak akan diberi tongkat—namun akan banyak orang-orang yang kau butuhkan di sana."
Sekuat tenaga Hermione menahan diri untuk tidak meraih segelas anggur yang ada di meja dan melemparkannya pada wajah Draco. Atau sekedar melemparkan pada jendela kereta juga tampak menggairahkan. Namun ia lebih memilih tercenung, beralih menatap bukit-bukit yang kini mulai dipenuhi dengan bangunan-bangunan kuno. Menandakan bahwa kereta mereka pasti telah memasuki area tujuan. Albania. Hermione menghembuskan napasnya—dia mencoba berpikir jernih. Namun berulang kali ia mereka-reka tentang semua tindakan yang Draco lakukan, dia tak menemukan jawaban yang menguntungkan baginya.
Hermione sekali lagi berargumentasi dengan pemikirannya sendiri. Hal yang ia butuhkan saat ini tentu saja ketenangan, toh selama ini dia selalu menghindari orang-orang. Namun ada hal yang dengan kuat mencubit ulu hatinya, sehingga tidak mudah untuk menerima. Apa pun akan dia lakukan, kecuali mendengar kata-kata Draco. Sekalipun hal itu adalah yang paling ia butuhkan.
"Aku tahu akan sulit bagimu menerima semua ini, Granger." Dia mendengarnya bicara, namun Hermione hanya tak ingin menatap matanya. "Tapi ini yang terbaik untukmu."
"Yang terbaik untuku." Ulang Hermione, sarat dengan ejekan.
"Aku tak suka dengan nada bicaramu."
"Kau tidak hanya tak suka dengan nada bicaraku, tapi kau juga tak suka aku berkeliaran di sekitarmu, Draco."
"Tampaknya kau terlalu jauh dalam salah mengartikan."
"Oh ya? Dan kau harus berhenti melakukan pengingkaran diri." Hermione bangkit berdiri. Matanya terasa sangat panas—sehingga ia berpikir mungkin bisa merebus kepalanya sedemikian rupa. "Bukan aku yang ingin kembali, bukan aku juga yang datang mengemis untuk di pulangkan. Kau selalu melakukan apa pun yang kauinginkan, Draco. Tentu saja—itulah keahlianmu. Memanipulasi, mengintimidasi dan memanfaatkan kekuasaanmu."
Hermione hendak pergi, namun dengan kuat Draco mencengkram pergelangan tangannya. Memakunya dengan paksa untuk kembali menatapnya. "Kau akan tetap di sinil, duduk denganku—dan berhenti menjadi pelacur sombong, Granger."
Hermione berusaha untuk melepaskan diri, namun Draco terlalu kuat. Merlin—dia hanya dengan menatapnya saja Hermione mampu merasakan kebencian itu merasuk ke dalam kepalanya sedemikian hebat. "Lepaskan—aku!"
"Kau akan di sini atau Falcone menyeretmu ke gerbong barang."
Dan Hermione berpikir tidak ada yang membuatnya untuk tidak memilih pilihan kedua. Hingga sampai malam tiba—ketika mereka sampai tujuan—ia duduk termenung di gerbong tempat barang-barang bertumpuk. Sampai akhirnya seorang pelayan menghampirinya, dan menuntunnya untuk menuruni kereta. Dia tidak menemui siapa pun saat itu. Sangsi apakah hanya dirinya sendiri yang turun di stasiun itu—dia terlalu marah untuk peduli. Sampai ketika dia harus menaiki kereta kuda pun dia tidak bertanya atau menatap siapa pun, dia bahkan rela ketika seorang Penjambret membawanya pergi.
Sampai ketika ia tiba di salah satu jalan yang gelap dan sepi, dimana kereta tersebut membawanya dengan ayunan yang lambat dan sendu—Hermione melihat sebuah rumah di ujung jalan dengan pagar yang tinggi menjulang. Dia tidak ingin membuang napasnya untuk bertanya pada pengawal di depannya. Ketika semakin jelas posisi rumah tersebut, Hermione menyadari bahwa bangunan tinggi, menjulang dan berkabut tersebut agak terlalu berlebihan disebut sebagai 'rumah'. Maka Hermione memutuskan bahwa mereka membawanya pada sebuah kastil yang suram, gelap dan mencekam. Apakah ini tempat Voldemort bersemayam? Tampat yang buruk, lembab dan jauh dari ingar-bingar kehidupan? Dia bergerak tidak nyaman di balik jubah ajaib milik Harry.
Saat mereka mencapai gerbang—yang membuka secara secara otomatis—dia dapat mendengar gesekan besi tua. Dia bisa merasakan panas merambat di kepalanya, bahkan ada sesuatu yang aneh merambat di kulitnya. Hermione tidak bisa lebih lebih membenci lagi malam itu—diantara semua malam yang ia lalui. Seperti de javu, dia ingat pernah berada di posisi ini.
Malam ketika Nott membuangnya pergi.
.
Tarr keras membuatnya terperanjat.
Ia menatap Peri Rumah yang tua, kelelahan dan tampak bosan. Peri Rumah itu tidak menatapnya ketika dia menunduk—hampir menekan hidungnya ke lantai—namun Hermione tahu dia akan mengharapkan tempat dimana pun asal tidak di sini. Dia bisa berasumsi.
"Wigby siap melayani Nona…" Hermione mendengarnya menggumamkan sesesuatu, namun pasti sangat buruk sehingga si Peri Rumah tidak bisa mengutarakannya. Namun dari gerak mulutnya dia bisa membaca itu berhubungan dengan 'kotor' dan 'sampah'.
"Jadi dimana aku harus tinggal?" Hermione berpikir tidak layak untuk mengutarakan rasa marahnya dengan seekor Peri Rumah. "…Wigby?"
"Nona saat ini berada di Manor milik Manor di pesisir Albania. Jauh dari Muggle dan—oh, sangat beruntung sekali seorang dar—" kata-kata itu tertelan di kerongkongnnya, seolah ada tangan maya yang mencekik leher Wigby. Lalu sesaat kemudian, Wigby terkesiap dan seolah mengingat dimana ia berada, matanya terbelalak ngeri. "—maafkan Wigby yang malang—Wigby harus menghukum diri karena melanggar perintah Tuan Malfoy—"
Sebelum Wigby sempat membenturkan dirinya ke lantai, Hermione sudah mencengkram kain yang dipakai oleh Peri Rumah itu. Hermione menatapnya dengan lelah, kesal, sekaligus kasihan. "Diam." Gumamnya. Wigby terdiam, matanya masih melebar manatap Hermione. "diam dan patuhi aku atau aku akan bilang pada Tuanmu untuk memindahkanmu dari sini."
Hermione tahu ancaman itu merupakan sebuah penghinaan yang amat keji dan menakutkan bagi seekor Peri Rumah tua yang malang. Mereka mungkin saja sudah menggosok-gosok setiap sudut lantai kastil ini di sepanjang hidupnya, hampir terikat sampai mati di tempat yang suram ini. Namun dia sudah terlalu jengah untuk bersikap bijaksana. Dan saat ini bukan lagi saatnya.
"Tunjukan aku dimana aku harus tinggal, Wigby." Hermione menatapnya lurus dan tajam. Wigby bergidik, berurai air mata. "tunjukan."
Hermione tidak sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun ketika mereka sampai pada sebuah ruangan yang besar—kelewat besar untuk dirinya sendiri. Bahkan tempat ini tidak sanggup menandingi ruangan manapun yang pernah ia sambangi di Malfoy Manor. Semua sudut rumah itu gelap dan dingin. Ada beberapa bagian yang terlapisi marmer dan granit. Hermione bisa merasakan betapa hampanya tempat itu. Mungkin saja sudah tak terjamah bertahun-tahun. Ia merasakan barang-barangnya secara sihir berada di sisi tempat tidurnya. Dia mengindahkannya.
Hermione berjalan mengitari tempat tidur, meraba permukaan meja di sampingnya. Dia mempunyai balkon yang luas dan megah. Mungkin dia bisa melakukan semacam acara minum kopi dengan sepuluh orang di sana, pikirkan kecut.
Menyadari bahwa dia tidak dibawa ke sarang Voldemort tidak mengurangi rasa sendu di hatinya. Hermione bertanya-tanya—
Apakah ini tempat yang akan ia tinggali?
Kemarahan menjalar lambat di kepalanya—namun sangat intens dan menyakitkan. Dia bisa merasakan buku-buku jarinya yang kebas karena ia sudah lupa sejak kapan dia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Hermione manatap hamparan hutan yang gelap dan hitam—pemandangan ini tak berbeda dengan Malfoy Manor. Namun dia merasa sesuatu yang menyakitkan merambat di perutnya.
Samar-samar dia merasa mual—dia ingin muntah.
Jadi ini Draco, maksudmu, 'tempat yang lebih layak'?
Hermione sekuat tenaga membuang bayangan Draco di tebing pagi itu—ketika dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa 'pulang' adalah pilihan terbaik dalam kondisi ini.
Pulang?
Dia tidak merasakannya di tempat ini. Bahkan ia sulit untuk mengenali suaranya sendiri ketika ia bicara dengan Wigby. Dia memejamkan matanya, melihat sebuah guci porselen di atas meja—yang mungkin menjadi saksi bisu tempat seperti apakah ini sebelumnya. Sudah berapa penyihir yang bersemayam di sini, Hermione bertanya-tanya. Namun sebelum dia mendapat jawabannya, dia mengambil gerakan cepat untuk mengambil guci itu—melemparkannya ke dinding.
Hermione melihat kepingan yang berserakan—berkilauan dan menyedihkan.
.
Hermoine menatap dirinya sendiri di cermin ketika melihatnya masuk. Draco Malfoy—setelah beberapa hari kedatangannya di tempat itu—dengan jubah Pelapap Maut, memasuki kamarnya. Hermione hampir bergidik, dia sudah lama sekali tidak melihat pakaian itu berkeliaran di depan hidungnya. Dan terlebih dengan Draco yang memakainya. Dia bertanya-tanya, terperangah ketika melihat betapa cocoknya ia dengan setelan itu. Gelap, suram dan—jahat.
"Sudah mengenal tempat ini, Granger?"
Hermione berpendapat bahwa ia tak harus menjawab pertanyaan itu. Dia masih membelakangi Draco yang duduk di sofa. Menyandarkan punggungnya dengan nyaman dan mengangkat sebelah kakinya.
Draco menatap ke balkon, mendengus.
Hermione sangat terganggu, namun tidak ingin membuang napasnya sia-sia di pagi itu. Dia hampir selesai dengan sanggulannya.
"Terlalu pagi untuk sebuah percakapan, eh?"
Diam. Diam. Diam. Hermione mampu merasakan panas di kepalanya yang menjalar dengan cepat dan mengagumkan.
"Bawa bokongmu kesini dan tatap aku ketika aku bicara denganmu, Granger." Hermione berbalik dalam satu gerakan—memutar tumitnya dan menatap mata biru kelabu yang jauh di hadapannya dengan tatapan yang terbakar hebat.
"Apa maumu?" katanya dalam, namun mereka berdua tahu Hermione menaruh emosi yang amat sangat di sana.
"Well, setidaknya beri sapaan yang layak, Granger." Kata Draco mencemooh. Hermione mengerutkan dahinya, masih terlalu bebal untuk berpikir jernih. Permainan sialan macam apa yang dia mainkan?
"Aku tidak ingin membuang tenagaku sia-sia dengan membuat obrolan bodoh." Sergahnya seraya menyebrangi ruangan. Dia bisa merasakan bau alkohol dan tembakau yang pekat ketika Hermione melewatinya, lalu ia membuka lemari dengan geram. "pergilah. Saat ini adalah waktu yang tidak tepat, Malfoy."
"'Malfoy'?" Draco mengulanginya, seolah dia menikmati amarah perempuan itu. "sudah kembali dengan akalmu, rupanya."
"Oh, seharusnya aku tahu bahwa keberadaanmu saja akan membuat ini jauh lebih sulit." Kata Hermione, sekarang dia sudah menghadapinya. Dia tidak berminat lagi untuk memilah baju yang tepat di hari itu. "enyahlah, Malfoy. Tidak hari ini."
"Maaf? Apakah kau terlihat ada dalam posisi yang pantas untuk mengusir tuan rumah?" kali ini Draco bangkit, buku-buku jarinya terkepal di sisi tubuhnya.
"Ayolah!" sungut Hermione. "kenapa kau tidak tinggal lebih lama lagi di ranjang pelacur-pelacurmu? Oh—aku tahu alasannya. Karena mereka mungkin sudah hampir mati gemetar karena berada di dekatmu—"
Hermione tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena tangan Draco sudah berada di lehernya, mendorongnya dengan kuat sampai punggungnya menabrak lemari di belakangnya. Dia bisa merasakan bunyi kayu tua yang protes akan gerakan dahsyat itu—namun mereka berdua tidak mau peduli. Karena saat ini, sulit membedakan mata siapa yang paling panas dalam membakar—dipenuhi emosi, kemarahan dan satu kali saja—mungkin beberapa patah kata saja, pikir Hermione—dia akan meledakan sebuah vulkano.
"Sebaiknya kau menjaga mulut jalangmu, Granger. Kau tidak pernah tahu—dan tidak pernah mau tahu—sudah berapa kepala yang terpisah dari lehernya karena beberapa patah kata saja."
"Haruskah saat ini aku memohon belas kasih dari Draco Malfoy yang Agung?" gumam Hermione. Dia bisa merasakan jari-jari Draco yang semakin menguat di lehernya. Merlin, rasanya sangat memuaskan. Dia senang melihatnya sama marahnya dengan dirinya.
Inilah yang aku rasakan, Draco. Kau harus mengetahuinya.
Bahwa hanya dengan kehadirannya saja mampu membuat otot-otot di tubuhnya menegang menahan amarah. Hermione memejamkan mata, tersenyum kecil ketika keheningan mencekam terjadi diantara mereka.
"Kau akan belajar bagaimana cara bertingkah, Granger. Tempat yang aku berikah selama ini padamu ternyata membuatmu lupa siapa kau sebenarnya."
"'Siapa aku?'" Hermione mengulanginya, berusaha membuat tawa—namun Draco tak akan pernah membiarkannya. "katakan siapa aku, Draco."
Draco tak menjawab, melainkan dia mendekatkan wajahnya, Hermione bisa merasakan napas yang panas di wajahnya. Lelaki itu menyipitkan matanya.
"Darah Lumpur inikah yang selalu kau bawa di tempat tidurmu? Oh, aku bisa merasakan suramnya tempat ini. Dalam radius sejauh ini aku bisa merasakan bahwa Pangeran Kegelapan sedang bergeliat, mengamati antek-anteknya—mengamatimu. Dan ketika dia tahu bahwa Darah Lumpur rendahan ini berada di daerah yang sama dengannya—apa jawabanmu, Malfoy yang Agung?"
"Takut, Granger? Takut dia datang dalam tidurmu, membunuhmu dan memburu Potter?"
Senyum di wajah Hermione hilang. "Jangan kau bawa-bawa dia dalam kegilaan ini, Malfoy."
"Dan apakah aku harus tunduk pada kata-kata Darah Lumpur yang malang?" balas Draco tangkas. Kata-katanya seperti sebuah pedang di perut Hermione. Dia melepaskan tangannya dari leher Hermione, membawa bibirnya ke telinganya. "mungkin kau harus lebih mempertimbangkan keberadaan teman-temanmu sekarang."
Hermione terperanjat, melihatnya dengan mata melebar, sebelum mendorong Draco sekuat tenaga. Napasnya memburu ketika ada jarak yang cukup diantara mereka, Hermione melayangkan tinjunya pada dada Draco—namu gagal karena Draco sudah mencengkram lengannya. "Sialan kau—" Draco memutar tubuhnya, mendorong Hermione ke lemari. Hermione terpatri—pipinya menggesek permukaan kayu dengan menyakitkan. "—kau tidak layak—jangan pernah, Malfoy, jangan berani-berani untuk melibatkan mereka—"
"Oh, kaulah yang melibatkan mereka, Granger." Draco merapatkan tubuhnya ke punggung Hermione. Satu tangannya mencengkram kedua pergelangan tangan Hermione, dan yang lain menarik rambutnya ke belakang. "ketika sesuatu terjadi pada teman-teman tersayangmu, maka kau akan bertanya pada dirimu sendiri—'apa yang telah kulakukan'? Karena, Granger, kendali ada padaku. Bukan lagi pada mulut kotor ini."
Hermione menggeliat ketika tubuh Draco semakin menekan tubuhnya, dia bisa merasakan pergelangan tangannya yang berdenyut menyakitkan di bawah sentuhannya. Namun semua itu tak sebanding dengan amarah yang bagai tornado memporak-porandakan isi kepalanya.
Jadi inilah artinya?
Hermione memejamkan matanya. Jantung berdebar kencang ketika momen itu berlalu. Draco membalik tubuhnya, masih dengan kekuatan yang sama besarnya. Dia tak bisa menyembunyikan ekspresi kemenangan ketika pipi Hermione mulai basah dengan air mata.
Tidak sulit baginya untuk membuat remuk hatinya—
Inilah yang kauinginkan, Draco?
"Kau tidak bermaksud membantu Orde." Kata Hermione lemah, menunduk. "kau menjebak mereka, Malfoy."
Draco mendengus—dan Hermione berharap dia menyangkalnya. Dia berharap Draco membantah tuduhan itu. Namun lelaki pirang di hadapannya diam saja.
"Teganya kau—" Hermione menengadah, tatapannya terluka. Dia tidak ingin tampak lemah di hadapannya, namun untuk kali ini dia tidak bisa. Kenyataan telah menyeretnya dengan luka yang dalam—terlalu menyakitkan.
"Apakah kau pikir semudah itu aku menyerahkan loyalitasku, Granger?" tanya Draco yang tidak dimaksutkan untuk mendengar jawaban.
"Aku pikir ada sesuatu—ada satu hal—sehingga kau berubah—"
Draco meringis, seolah kata-kata itu membuatnya jijik.
"Kau bilang kau akan memulai hidup baru—"
"Hidup baru tanpa orang-orang Potter dan tanpa Pangeran Kegelapan, ya."
"Aku akan membunuh diriku kalau sesuatu terjadi pada mereka, Malfoy, kau tahu itu." Hermione mendesis. Air mata masih mengalir di pipinya—dia masih mempunyai sisa kekuatan.
"Oh, kau tidak akan pernah berani mencobanya, Granger," Hermione menunduk, menggelengkan kepalanya, namun Draco memaksanya untuk menengadah dan menatap matanya. "kau harus melihat perjuangan mereka sampai akhir, sahabat baik kan, kau ini?"
Hermione tidak bisa lagi menahan semua beban itu. Maka ketika Draco melepaskannya, Hermione beringsut—jatuh tersedu-sedu. Dia tidak bisa memberontak ketika Draco berjongkok, mengangkat dagunya.
"Jadilah anak yang baik, Granger," bisiknya. "karena hidup Potter dan Weasley bergantung pada hal itu."
"Kau hanya membawaku pada mereka agar aku bisa merasakan bagaimana rasanya kembali. Agar membentuk kenangan baru—" kata Hermione di sela-sela air matanya. "agar semakin mudah mengendalikanku dan Harry secara bersamaan. Walaupun pada akhirnya aku dan mereka akan mati di tanganmu."
"Kenapa aku harus membunuhmu, Granger?" tanya Draco, dengan nada terkejut yang palsu.
"Tidak ada guna lagi keberadaanku jika kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Kekuasaan—tahta, apalagi, Malfoy? Kau bisa mengatakan semuanya padaku sekarang." Hermione kali ini menatapnya. "kau hanya menggunakan Harry sebagai pion. Untuk membantumu mengalahkan Pangeran Kegelapan—kau akan membunuh mereka. Genosida berikutnya."
"Harus kuakui bahwa predikat penyihir bersinar di Hogwarts tidak pernah meninggalkanmu, Granger." Kata Malfoy dengan senyum memuakan.
"Dengan membawaku ke sini—menjauhkanku dari Orde—kau pikir apakah hal itu akan menimbulkan perbedaan?"
"Kaupikir Potter yang Termasyur mempunyai kehebatan itu? Kau membayangkan akan diselamatkan?" Draco mengerutkan dahinya, mencemooh.
Hermione hanya menatapnya.
"Aku tidak ingin main-main lagi sekarang. Kejayaan yang lebih besar. Ingat?"
Draco melepaskan cengkraman pada dagu Hermione. Dia mendengus dan bangkit berdiri. Melihat ke bawah dengan acuh sampai tubuhnya berbalik menuju pintu. Hermione masih terpatri dengan kenyataan.
Kenapa?
"Kenapa kau berubah, Draco?"
Pertanyaan itu mengehentikan si pirang dari langkahnya. Hermione tahu bahwa jawaban apa pun yang akan dikeluarkan oleh mulut itu—tak akan pernah menjawab dan memuaskannya. Namun dia hanya ingin bertanya—dia ingin mendengar suara lelaki itu menjawabnya.
Hermione terlalu putus asa.
"Aku tidak pernah berubah, Granger." Dia diam sesaat. "Pansy memang benar—kau hanya tidak mengenal dengan baik siapa aku sebenarnya."
.
Author's Note : Hello, I'm back. It's been long time, since...2019? Wow, dalam 3 tahun mungkin fict ini sudah banyak ditinggalkan pembaca. Banyak juga yang kehilangan selera untuk lanjut baca, but then, here I am. Untuk readers baru, perkenalkan fict usang ini. Dan untuk readers lamaku, maaf sudah nunggu terlalu lama. Aku kena writer's block gila-gilaan, mood swing, dan banyak kendala dalam real life. Tapi selebihnya, semoga chapter ini mengobati rindu. Btw mungkin di chapter ini singkat. Aku sudah pernah bilang ya kayaknya fict ini bakal agak panjang. Aku kasih warning di chapter-chapter selanjutnya akan terkontaminasi dengan ke toxic-an hubungan, depresi, sexsual assault dan tindakan-tindakan kekesarasan lainnya. So, be strong. Atau kalau kamu mudah ke trigger dengan sesuatu yang seperti itu, aku sarankan untuk berpikir ulang ketika mau membaca. So, see you. : )
