14
.
HERMIONE melihatnya ber-Apparate di luar gerbang dan memasuki pekarangan kastil yang megah. Dengan rumput-rumput liar yang mulai dibenahi secara manusiawi—seolah-olah berpenghuni—Wigby mulai menata bagian-bagian rumah yang jarang terjamah untuk lebih memumpuni.
Dia bisa merasakan aura itu, kuno dan sakral. Tak membuat suasana hatinya menjadi lebih baik setiap dia memandang ukiran-ukiran yang tertanam di dinding atau ornamen-ornamen indah yang ajaibnya semakin memancarkan aura kesuraman. Dia ingin bilang bahwa apa pun usaha yang Peri Rumah itu lakukan, tidak ada sepersen pun menambahkan hasratnya untuk nyaman menetap di sana.
Satu-satu hal yang bisa menjadi acuannya untuk bangun dari tempat tidurnya di setiap pagi adalah bahwa dia ingat tidak harus bertemu siapa pun di rumah itu. Setiap orang seperti itu. Orang-orang yang sekiranya hanya akan menambah kemarahannya merasuk ke dalam rongga-rongga kepalanya. Seperti dia melihat Draco.
Draco.
Dia tak melihatnya beberapa hari belakangan. Hermione tak mengingatnya, enggan untuk menghitung hari. Dia sama sekali tak melihat dampak positif ketika melakukan hal itu. Dia tahanan—sudah seharusnya bermuram durja.
"Menungguku?" Hermione tidak berbalik dari daun jendela ketika ia mendengar suara Blaise Zabini di belakangnya. Si orang-nomor-dua. Tidak heran ketika Hermione melihat dirinya ber-Apparate—tentu saja Draco tidak akan mengijinkannya tenang bersemayam dalam sarang yang suram ini, dia mengutus salah satu anteknya untuk menghancurkan harinya.
Tapi Blaise sedikit berbeda, Hermione agak mengoreksinya. Well, dia akan meralat asumsi itu nanti—setelah mereka terlibat percakapan bodoh dan berakhir saling mencemooh.
Hermione berbalik, tentu saja Blaise tidak lagi kaget dengan luka di sudut bibirnya dimana mencoba Draco menciumnya dengan paksa ketika dia pulang dari misinya beberapa malam lalu.
"Tampak sangat konyol untuk mengingatkan bahwa kau tersesat, Zabini." Kata Hermione. "Karena kuyakin kau sama sekali tidak demikian."
"Masih terlalu pagi untuk saling menghina, kan?" kata Blaise—mengalihkan pandangan dari bibir Hermione. Tampak berusaha sangat keras untuk tidak menyinggung hal itu. Dia menatap sekeliling seolah-olah menilai. "tempat yang bagus, Granger."
Hermione mendengus, menyipitkan mata pada lelaki itu. Menimbang dengan hati-hati tentang tujuannya datang. "Kita bisa berbagi kalau kau mau."
"Hati-hati, Granger. Banyak orang yang akan mengartikan tawaran itu dengan konotasi yang berbeda. Terutama jika hal itu datang dari…" Blaise melayangkan pandangannya dari ujung kaki hingga kepalanya—lalu menyeringai. "…perempuan sepertimu."
"Sepertiku?" Hermione mencoba untuk masuk ke dalam permainannya, walau dia tidak melihat keuntungan di dalamnya. "Budak sombong sepertiku ini?"
Diam-diam Hermione terkejut ketika melihat perubahan ekspresi Blaise, lelaki itu mengernyit, mulut cerdasnya tidak merespon beberapa saat. "Aku berniat untuk bilang 'perempuan yang berpakaian seperti dirimu'"
Hermione tanpa sadar menunduk dan menatap kedua lengannya, dia tidak mengharapkan obrolan yang mengundang teka-teki. "Kenapa dengan pakaianku? Apakah kau tidak pernah melihat seorang Darah Lumpur yang mengenakan gaun satin sebelumnya?"
"Untuk senilai ratusan galleon? Well, aku pertama kali bertemu dengannya di Malfoy Manor."
Hermione hanya menatapnya, melipat kedua tangannya di bawah dada dan memiringkan kepalanya.
"Dan sangat cocok di tubunya."
Hermione menyipitkan matanya, seolah menilai apakah Blaise sangat mabuk—sehingga dia lupa dengan siapa dia bicara—tapi dia tahu bahwa lelaki ini tak pernah begitu. Hermione bisa dikatakan banyak mengetahui adab dan tata cara bagaimana seorang Blaise Zabini hidup, mengingat bahwa dialah orang yang sering keluar-masuk ke pekarangan tempat dia tinggal. Hampir setiap hari, Hermione berpikir, jika tidak mengenal Blaise sebaik dia mengenal Draco—maka dia benar-benar bodoh.
Berpikir bahwa Blaise telah memujinya dengan caranya sendiri adalah peristiwa yang langka di hidupnya. Dia tahu selalu ada sesuatu di setiap tatapan Blaise—dan Hermione bisa memastikan kebenarannya mengingat pengalamannya dengan pria-pria beringas yang sering ia temui. Menjadi sahabat terbaik Draco tak bisa mencegahnya untuk menaruh perhatian yang khusus dengan gundiknya, Hermione berpikir logis. Dan dia setuju akan teori itu sepenuhnya. Sebuah pertemenan dengan satu orang tak akan bisa menghilangkan hasrat dengan orang yang lain. Tak peduli apa pun hubungan diantara semuanya.
Namun Hermione tak menyangka pada akhirnya, Blaise akan memunculkan kejelasan itu di permukaan.
Blaise masih menatapnya. Hermione menyadari arti tatapan itu, dan pikiran sinting melintasi otaknya.
"Bicara tentang Manor, aku yakin kau tidak ingin menjelaskan apa pun tentang hal itu." Kata Hermione, memecah keheningan yang aneh.
"Kau sedang berada di Manor sekarang, Granger."
"Malfoy Manor yang lain, maksutku." Koreksi Hermione, memutuskan tidak ingin menciptakan celah kesalahan karena dia ingin mencoba memanfaatkan keadaan sebaik mungkin. "tidak mungkin seorang Blaise Zabini terjebak dalam ketidak tahuan."
"Draco tak mengatakan apa pun padamu?"
Hermione mendengus sebagai respon. Dia tidak benar-benar bertanya, kan?
Dan ternyata Blaise serius akan pertanyaan itu, karena saat ini dia menilai raut wajah Hermione. Dan tampak tak yakin dengan keadaan—Hermione bisa menyimpulkan. Dia sudah bersiap akan mendengar jawaban semacam loyalitas, integritas dan hal-hal bodoh lainnya yang sudah menjadi sebuah maskot setiap Hermione meminta informasi terkait keadaan yang rahasia.
"Sudahkah kau membaca Prophet belakangan?" tanya Blaise tanpa diduga. Hermione menatapnya bingung.
"Aku tidak—Wigby!" bunyi tarr keras dan Wigby membungkuk dengan amat sangat terpaksa di hadapan Hermione dan Blaise. "bawa Prophet. Sekarang."
Hermione mengalihkan pandangannya ke jendela, walaupun tahu dia tak akan melihat jawaban apa pun di sana. Dia bergerak gelisah dan menyadari bahwa Blaise sudah mengambil tempat di sofa—tempat dia duduk sebelum lelaki itu datang—dan mengangkat buku yang ia baca belakangan dari atas meja. Alis lelaki itu mengernyit sebelum meletakan buku itu tak acuh ke tempatnya. Dia mulai menyalakan sebatang rokok secara sihir.
Dia tahu tatapan Blaise sudah kembali padanya—dan kali ini dia tak mau repot-repot peduli. Jantungnya berdegup kencang. Dia sudah tak melihat Prophet sejak meninggalkan The Heatcliff. Dan itu hampir tiga bulan yang lalu. Apa yang sudah terjadi di luar sana—Hermione mengutuk kebodohannya—bagaimana bisa dia begitu egois?
Ketika Wigby kembali dengan Prophet di tangannya, Hermione mengucapkan terima kasih singkat dan Peri Rumah itu pergi dengan bungkukan yang tak layak untuk di apresiasi.
Matanya teralihkan dengan kolom-kolom yang besar di halaman. Dia melihat wajah seseorang yang tak asing—dan jantungnya seperti merosot pindah ke perut ketika Hermione membaca beberapa bait kata-katanya.
KEMENANGAN LIECHTENSTEIN SECARA TELAK
Oleh Rita Skeeter
(22/05) satu bulan sudah Pasukan Pelahap Maut menyerbu Negara pertama di Eropa Barat—akibat dari penolakan akan tawaran untuk beraliensi membentuk Dunia Sihir Baru, ribuan penyihir memutuskan untuk meninggalkan negara itu dan ribuan lain merenggang nyawa di tangan-tangan pahlawan kebangsaan Pelahap Maut.
Dunia Sihir bagian Liechtenstein memutuskan secara de jure untuk menyerahkan wilayah teritori pada Jenderal yang bertanggung jawab di bawah kuasa Pangeran Kegelapan. Jenderal Barnaby Greengrass, memimpin pasukan dan dibantu oleh Augustus Rookwood—
Hermione mengerling pada wajah Barnaby—dan Rookwood di samping—tidak banyak yang berubah darinya terakhir Hermione ingat. Dia tentu saja menggunakan jubah bertugasnya, tanpa senyum menghadap kamera di hadapannya. Hermione membaca beberapa bait kata dengan seksama, benar-benar memainkan peran yang bagus seolah dia adalah pahlawan perang. Dan ketika Hermione sudah mulai muak, dia beralih pada kolom yang agak lebih kecil.
Undang-Undang Pernikahan Sihir Terbaru
Akankah?
Oleh Rita Skeeter
(22/05) Margaretta Crouch mengadakan jumpa pers di balik kesibukannya menyun undang-undang yang berkaitan dengan Penyihir Darah Murnin dan Berdarah Campuran.
"Tidak banyak tersisa Darah Murni sekarang ini, bisa dikatakan." Katanya. "Kementerian akan memberikan beberapa jaminan jika Darah Murni mau menikah dan menghasilkan anak—"
Hermione mengernyit—dia sudah pernah membaca hal-hal semacam ini. Dia segera membalik halama-halaman berikutnya. Yang tersisa hanya berita-berita tentang asumsi penyerangan selanjutnya Pasukan Pelahap Maut ke negara-negara terdekat. Hermione menyempatkan diri membaca beberapa bait, sampai pada lembar terakhir. Dia menengadah, Blaise tidak pernah mengalihkan pandangan darinya.
Hermione menghela napas, dia mengernyit, masih dengan enggan menatap koran itu. Barnaby berulang-ulang melambaikan tangan dan menatap sekeliling dengan tatapan tajam.
Setidaknya tidak sekalipun tentang Order disebut di sana.
Draco belum menunjukan sikap akan kata-katanya waktu itu. Dan Hermione tidak bisa meminta yang lebih baik lagi.
"Untuk orang sepintar dirimu, Granger, kau terlalu bebal untuk menyadari bahwa apa yang Draco lakukan padamu sebagian besar bisa kau cari alasannya dalam Prophet."
"Pangeran Kegelapan mulai menyebarkan kekuasaan ke sekitar Eropa, Undang-Undang Pernikahan omong kosong—katakan sesuatu yang tidak kutahu, Blaise!"
"Barnaby Greengrass, Granger." Suara Blaise seperti senandung. "familiar dengan hal yang terakhir kali ia bawa ke Malfoy Manor? Dan ingat apa yang kukatakan tentang 'bermain api dengan tangan kanan yang lain' pada Draco?"
Hermione merasakan angin lembut berhembus membawa pergi sesuatu yang penting di tubuhnya. Dia melihat Blaise dengan seksama, namun pikirannya berkelana jauh dan sibuk saling menghubungkan.
Kerja sama. Sekutu. Pernikahan.
Tapi, kenapa? Bukankah Draco selalu mempunyai kekuasaan untuk menolak?
"Kali ini membutuhkan banyak usaha bagi Draco untuk berkelit, Granger." Ujar Blaise, suaranya tenang. "aku sudah mengatakan padanya untuk bersikap lebih baik. Barnaby adalah orang yang sepadan. Dan jangan lupakan kesetiaannya pada Pangeran Kegelapan yang lebih unggul."
Tapi Draco adalah salah satu Occlumens terbaik yang pernah ada! Bahkan melebih Harry—
"Dan banyak lagi hal-hal yang menjadi pertimbangan. Draco harus setuju bahwa Barnaby mengunggulinya dari barbagai aspek." Ujar Blaise, dia meniupkan asap rokok dari mulutnya. Matanya membacanya seolah buku yang terbuka, "mulai bisa mengambil kesimpulan?"
Hermione sudah mengeluarkan beberapa hipotesis. Bibirnya ternganga ketika mulai menarik sebuah kesimpulan—akankah? "Apakah Draco akan menikahi Astoria Greengrass?"
"Tidak," kata Blaise, namun dia membaca ada keraguan di sana. Dan anehnya lelaki itu mengangkat bahunya. "Tapi akan lebih baik jika kau berada di sini, tempat dimana Barnaby dan antek-anteknya tidak bisa menemukanmu."
"Draco bilang semua ini karena Order. Benarkah? Bahwa dia tak berniat untuk membantu Order?"
Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Hermione tidak pernah mempercayai kebenaran, namun dia membutuhkan kepastian. Dia butuh seseorang yang bisa ia percaya untuk mengurangi rasa takutnya.
"Blaise?" desak Hermione.
Menyadari tak ada respon yang ia inginkan, kini Hermione maju beberapa langkah, ketika sampai di hadapannya, Hermione menunduk untuk melihatnya. Blaise masih bergeming, matanya lurus menatap tubuhnya. Ada pikiran sinting yang terlintas di benaknya—pikiran yang tak seharusnya ada.
Hermione mengenyampingkan keraguan. Keputus asaan sudah habis meluluh lantahkan harga dirinya. Dia akan melakukan apa pun untuk mendapat informasi tentang Order dan mempertaruhkan hidupnya untuk Order.
Maka dia beralih ke sisi Blaise, dengan tekad yang bulat meletakan tangannya pada bahu lelaki itu. Hermione masih bisa melihatnya dari sisi ini—Blaise menahan napas di bawah sentuhannya. Hermione menggeser tubuhnya lebih dekat di belakang Blaise. Kain satin yang ia kenakan bergesek pada jubah berpergian milik Blaise. Sebatang rokok masih bersarang di jemarinya.
Hermione menunduk, menempatkan wajanya di sebelah telinga kanan Blaise. Ikal rambut menjuntai pada pundak lelaki itu. Hermione mendekatkan bibirnya pada telinganya. Walaupun dia duduk membelakanginya—Hermione bisa merasakan bahwa Blaise menegang di bawah sentuhannya.
"Katakan sesuatu yang tidak kutahu, Blaise." Bisik Hermione panas di telinganya.
Blaise memjamkan matanya, sesaat seperti tembok pertahanannya akan goyah. Namun dia menghembuskan napasnya secara perlahan. Blaise tampak bimbang dan tak berdaya. Namun keteguhan hatinya tak dapat diragukan. Dia tampak berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan diri.
Dalam posisi seperti itu, Hermione memiringkan wajahnya dan menatapnya. Dia akan menyesalinya nanti, namun semua ini akan sepadan.
"Jangan pertaruhkan persahabatanku dengan Draco, Granger." Kata Blaise tenang. Namun Hermione bisa merasakan kuatnya tangan yang terkepal di sisi sofa.
Hati Hermione mencelos, selalu dengan cara yang sempurna,Blaise.
"Kau sudah pernah mempertanyakannya dan aku tak akan menjelaskannya lagi." Kali ini Blaise membalas tatapannya. Hanya beberapa senti jarak—sepersekian inci—kedekatan mereka saat itu. Hermione terpikir akan sangat menarik kalau dia memiringkan wajahnya dan mulai membuktikan kata-kata lelaki itu.
Namun dia sudah kembali kepada akal sehatnya. Hermione tidak kecewa dengan apa yang ia katakan, tapi dia tidak ingin berusaha lebih jauh. Jadi dia bangkit, hendak menjauhkan diri dari sisinya. Namun Blaise menangkap lengannya.
"Kau tidak akan punya kesempatan untuk mundur jika ini sampai terjadi lagi, Granger."
Hermione mengernyit, berusaha menarik lengannya. Blaise menyeringai padanya dan melepasnya.
"Bertingkahlah seperti gadis baik, Granger. Kau membutuhkan hak istimewa sekarang."
Hermione menegakan tubuh, merapikan gaunnya dan berbicara dengan nada yang sarat dengan sarkasme. "Terima kasih sudah mengingatkan. Tapi aku sudah memilikinya, tak peduli bagaimana pun sikapku."
"Betapa arogannya engkau, Granger. Tipikal."
Hermione mengangkat alisnya. "Kenapa kau bicara begitu setelah sekian lama?"
Blaise bangkit, sudah menghilangkan putung rokok yang tersisa di telinganya secara sihir. Dia membetulkan kerah bajunya. "Oh, kau akan mengerti ketika malam nanti."
Hermione hanya menatapnya.
"Senang berbincang denganmu, Granger. Seperti biasa—kau memang selalu ahli dalam membuat udara lebih panas." Blaise mengedipkan matanya dan berjalan menuju pintu.
Hermione masih terperangkap dengan pikiran-pikirannya. Sampai dia tak menyadari bahwa Blaise masih berhenti di daun pintu.
"Oh ya, Granger?"
Hermione menoleh.
"Kau harus menguasai Occlumency—harus menandingi Draco—jika setidaknya kau ingin menyembunyikan sesuatu darinya."
Dan Hermione tahu bahwa dia tidak benar-benar serius akan hal itu.
Dan persis seperti teka-teki yang lengkap, Hermione melihat Draco berjalan di lorong yang temaram.
Kali ini dia tidak sedang menggerayang-gerayangi tembok dan sempoyongan. Hermione bisa memastikan bahwa dia sadar sepenuhnya. Sebelum dia rasa Draco menyadari keberadaannya di ujung lorong, Hermione menyembunyikan diri. Segera pergi ke ruangannya dengan jalan yang memutar.
Tapi tentu saja, Hermione tidak terkejut ketika melihat pria yang baru saja dihindarinya di lorong sudah berada di kamarnya. Draco dengan tenang duduk di sofanya—masih dengan jubah Pelahap Maut yang lengkap—dan sepatu kulit naga yang khusus digunakannya ketika ia bertugas
Hermione bertanya-tanya kenapa dia tidak pergi bersenang-senang dengan kawanannya di waktu ini?
"Kemarilah, Granger." Hermione mendengarnya. Ia tahu Draco merasakan keragu-raguannya. Namun dengan langkah yang tenang dan penuh pemikiran, Hermione melangkah masuk. Mendekat dimana tempat Draco duduk.
Hermione melihat mata biru kelabu itu dengan lebih jelas—entah sudah berapa lama Hermione mengabaikannya—mengalihkan pandangan darinya. Bukan karena dia takut Draco akan membaca apa yang ada di pikirannya. Namun hatinya sakit ketika dia harus menghadapi orang yang selalu menyisakan penderitaan dalam hatinya.
Hermione belum pernah bicara lagi dengannya semenjak hari kedatangannya ke Manor ini. Dia tak menemukan alasan yang kuat akan hal itu. Bayang-bayang akan malam-malam yang suram dan penuh pertikaian yang hebat selalu menghantuinya.
Namun malam ini tidak seperti malam-malam yang lain, dia tahu itu.
Dan dia sudah meneguhkan hatinya.
"Berlutut, Granger."
Hermione tidak membantah dan bertumpu pada lututnya. Seolah menahan seringainya, dengan mata yang lapar akan penjelasan dan keterkejutan yang berusaha ia tahan, Draco memajukan tubuhnya. Kakinya terbuka lebih lebar akan Hermione bisa maju untuk lebih dekat dengannya.
Ketika Draco mencoba meraihnya, Hermione bergidik. Merasakan sentuhan yang sampai pada kulitnya yang dingin. Tangan Draco begitu hangat—dia ingat rasanya. Dan sudah lama dia melupakannya.
Draco menyentuh pipinya dengan punggung jemarinya. Merasakan bahwa kulit Hermione yang selama inilah yang bisa menghilangkan dahaganya. Hermione memejamkan matanya ketika jemari itu mengusapnya-menyusuri hingga menyebabkan kejutan ke setiap sel-sel otaknya—dan beralih ke dagunya. Hermione membuka mata.
Mata itu gelap ketika Draco menatap bibirnya.
Gadis baik, ia ingat kata Blaise. Seperti sebuah nyanyian, ia melantunkan di atas akal sehatnya.
"Begitu banyak Darah Lumpur di luaran sana," ujar Draco di tengah keheningan yang pekat. "dan membuatku bertanya-tanya mengapa aku tetap terus kembali padamu?"
Hermione menahan napas, memejamkan matanya dengan kegetiran. Dia tidak boleh lengah.
"Aku diracuni, Bella bilang." Jemarinya berhenti pada lehernya jenjangnya, seolah tergoda untuk mencengkramnya dengan kekuatan yang ia miliki. "benarkah kau telah meracuniku, Granger?"
Hermione tidak menjawabnya. Melainkan meletakan kedua telapak tangannya pada paha Draco. Lelaki itu menegang di bawah sentuhannya, Hermione membuka matanya ketika kedua mata mereka bertemu—seolah seperti sebuah gondam yang menghancurkan—Draco memajukan wajahnya. Bibirnya hampir menyentuh miliknya, namun belum sempat Hermione memainkan permainan ini, Draco beralih ke telinganya dan berbisik panas di sana.
"Usaha yang bagus, Granger." Hermione termangu. Draco meletakan bibirnya pada cuping telinganya, dan bergeser hingga ke leher dan berbisik. "tapi tidak malam ini."
Draco menarik diri, Hermione tidak bisa mengindahkan fakta bahwa lelaki itu dengan sekuat tenaga menahan gairah dalam dirinya. Sebuah tanda tanya besar muncul di pikirannya.
"Bersiaplah, Granger. Kita akan ke tempat yang kausukai."
Hermione tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya. Dan pada sentuhan terakhir pada dagunya, Draco bangkit. Membetulkan celananya sebelum benar-benar berjalan menuju pintu.
Hermione masih pada apresiasi bahwa dia mampu menahan diri sendiri untuk tak meluapkan emosinya malam itu.
Dan ketika mempunyai tujuan, akan lebih mudah untuk mencapai sesuatu. Gadis baik. Walaupun amat membenci fakta bahwa ia menyetujuinya, dia mematri kata-kata itu di kepalanya.
Hermione mengenakan gaun satin yang berwarna sage malam itu. Ia berusaha untuk terus menahan lambaian gaunnya ketika mereka ber-Apparate di sebuah halaman yang luas. Angin malam berhembus—Hermione bergidik ketika pundak telanjangnya disapu oleh desirannya. Mereka memasuki pekarangan yang dijaga oleh orang-orang yang menggunakan topeng Pelahap Maut berbahan perunggu. Berbeda dari topeng yang sering digunakan Draco—emas—dan cara mereka membungkuk hormat ketika Draco melewati sebuah pembatas sihir agar bisa memasuki bangunan.
Draco sering mengajaknya ke pesta-pesta—sebelum kejadian itu menimpa mereka. Hermione sering bertemu dengan orang-orang berjasa di Era Baru.
Namun ia merasakan perbedaan yang mencolok, ketika tengah memasuki sebuah pintu yang besar dan megah, mereka disuguhi dengan pemandangan yang gemerlapan. Bibirnya terpisah sebagai tanda bahwa ia terkesima—dia tak pernah melihat pesta yang seperti ini.
Draco melingkarkan tangan pada pinggangnya, sebagai isyarat baginya untuk mengikuti. Hermione terkejut bukan main ketika dia melihat sepasang mata cokelat dari tengah-tengah kerumunan mengawasinya. Perempuan itu mengenakan gaun merah—bermata yang kosong dan sendu.
"Parv—"
"Tutup mulutmu, Granger." Draco kali ini memeluknya, menghalangi pandangannya pada sosok itu. Hermione mencoba untuk melawan, dan memastikan sekali lagi—bahwa siapa yang dilihatnya adalah Parvati Patil. Kelahiran Muggle di tengah-tengah bangsawan. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, dan dadanya terbakar hebat dipenuhi rasa pemberontakan yang kuat.
"Malfoy—"
"Diam, atau kita akan meninggalkan tempat ini sekarang juga." Hermione menutup mulutnya ketika Draco mencengkram sikunya dan membawanya pergi.
Hermione menatap sekeliling dan terpaku ketika banyak wajah yang ia kenali. Bukan—tidak dengan wajah-wajah Pelahap Maut atau kroni-kroni Draco. Tapi sesuatu yang lebih menggetarkan hatinya.
Draco dihadang oleh seseorang—bertubuh besar dan tinggi menjulang. Igor Karkaroff.
"Malfoy Muda," katanya dengan anggukan singkat. Dia menggunakan jubah berbulu yang mewah. Matanya beralih dari Draco padanya. Hermione membuang pandangannya ketika mata lapar itu menatap seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. "apakah aku pernah melihatnya sebelumnya?"
"Piala Api, Karkaroff " Kata Draco singkat. Sarat akan keenganan untuk terlibat perbincangan lebih lanjut. "membawa pasukanmu untuk bersenang-senang?"
"Well, tentu saja Pangeran Kegelapan tak pernah melupakan pengikutnya yang setia untuk sebuah…" Hermione bergidik ketika Karkaroff menjilat bibirnya dengan mata yang masih tertuju padanya. "…perayaan."
"Bagus. Karena berkat keagungannya pula, dia tak akan membiarkan pengikut-pengikutnya yang gagal akan sebuah perintah."
Karkaroff menatap Draco dengan pandangan yang sulit dibaca—seolah menilai. Namun dengan sangat hati-hati, dia melambaikan tangannya. Matanya masih terpancang pada mata Draco. Hermione enggan menyimpulkan mengapa kedua orang ini terlibat dengan suasana sengit.
Akibat dari isyarat tangannya, seorang pria mendorong perempuan berbaju jingga dengan paksa. Empedunya tercubit ketika dia melihat perempuan yang mencoba melawan itu—Katie Bell?
Reuni tolol macam apa ini?
"Boleh kuperkenalkan seseorang yang mungkin kau kenal." Hermione tahu bahwa Karkaroff bicara dengannya. "tentu saja kalian berada di sekolah yang sama?"
Katie tampak sangat tersiksa, namun Hermione melihatnya menunduk dan mengangguk. Dia memakai sebuah rantai kalung emas—benda itu bersinar ketika Hermione menatapnya lebih seksama.
Godaan untuk mencoba berbicara dengannya muncul—namun pegangan Draco pada pinggulnya menguat. "Sangat berkelas, Karkaroff." Draco baru saja akan menuntunnya pergi, namun suara Igor menghentikan mereka.
"Kau tentu saja akan berbaik hati untuk meluangkan waktu lebih, Malfoy Muda?" Draco berbalik. Jemarinya menyakitkan mencengkram pergelangan tangannya dan menahan pinggangnya.
"Tidak malam ini."
Karkoff maju dengan menarik Katie pada sikutnya. "Apakah rasanya akan lebih berbeda—ketika tanpa rantai di lehernya?"
Draco tak lagi mencengkram pinggangnya, melainkan ia menatap Karkaroff Mereka hampir mempunyai tinggi yang sepadan. Hermione tahu sesuatu yang tak diinginkan akan terjadi dengan sikap Draco di saat ini—wajahnya memerah dan matanya menatap tajam—seolah menembus langsung ke tengkorak siapa pun yang menatapnya. Draco memajukan tubuhnya—masih dengan tangan yang lain mencengkram pergelangan tangan Hermione—lalu sudut bibirnya hampir ditarik.
"Malfoy tidak berbagi, Karkaroff." Ujarnya mantap, dengan suara yang rendah dan mendebarkan. Karkoff menyipitkan mata dan kehilangan kata-kata.
Dan kali ini tidak ada yang menghentikan Draco untuk menuntunnya pergi. Mereka menyusuri keramaian, membelahnya. Hermione tak bisa menahan diri untuk kembali mengedarkan pandangannya.
Mereka terbebas dari Karkaroff, namun berada diantara kerumunan para bangsawan ini membuat Hermione mual.
Pesta ini sebagai ajang dalam memperkuat aliansi para pengikut Voldemort. Setidaknya Hermione menganggapnya begitu. Dia harus menerima kenyataan pahit jika banyak murid-murid Hogwarts yang ia kenal dulu—setidaknya yang ia tahu status darahnya—kini seperti semacam properti yang dengan bebasnya dijadikan objek transaksi.
Hermione melihat Hannah Abott jauh di sudut keramian, dia tampak terbiasa dengan suasana ini. Namun Hermione tak bisa mengenyampingkan sorot kehampaan di matanya. Tentu saja tidak ada yang berani menatap matanya lebih lama dari lima detik ketika menatapnya. Mereka seperti mempunyai semacam peraturan yang tak pernah Hermione dengar sebelumnya.
Dia dan Draco beralih ke tempat yang lain, dimana hanya orang-orang tertentu yang bisa melewatinya. Pindah ke Surga. Hermione membaca tulisan yang ditulis dengan cara yang menimbulkan kesan horor ketika mereka melewati pintunya. Diterangi dengan cahaya temaram—Hermione terbelalak ketika ia melihat sosok yang menari di atas meja.
Tubuhnya bergerak intens, menampilkan kedua payudara yang ranum itu tergantung dengan bebas. Tubuhnya menggeliat pada tiang besi, menimbulkan sensasi yang menggetarkan bagi siapa saja yang berada di bawahnya. Dengan ekspresi yang kosong dan menimbulkan kesan menggoda—sehingga laki-laki yang ternganga sesekali harus berseru kelaparan saat menatapnya. Ia masih menggunakan satu penutup pada selangkahannya—hanya kain itu yang setidaknya menempel di tubuhnya.
Tinjunya mengepal di sisi tubuhnya, dadanya panas terbakar oleh api maya.
Dia tak bisa menahan amarah lebih lama lagi ketika menyadari bahwa sosok itu adalah Ginny Weasley.
.
.
(A/N : Here we are, another chapter. See you very soon, folks.)
.
