15
.
LIECHTENSTEIN adalah kota yang indah.
Dengan udara yang sejuk di malam hari dan pegunungan yang menambahkan kesan damai. Tidak diragukan kenapa Voldemort menyebarkan wilayahnya ke tempat seperti ini—yang tak banyak dijamah oleh tangan-tangan kotor Muggle—ia bilang. Daerah yang membuatnya berpikir, apakah Dunia Muggle benar-benar ada di sini?
Pembantaian besar-besaran tak terelakan ketika Pasukan Pelahap Maut hendak menduduki suatu wilayah. London adalah kota yang besar, dengan berbagai macam kemajuannya. Hanya butuh beberapa bulan untuk menduduki Kemeterian Sihir Inggris dan kenapa kota seperti ini juga tak bisa di taklukan?
Voldemort hanya membutuhkan ruang yang lebih besar. Tempat yang lebih luas untuk pengikut-pengikutnya berserikat dan tentu saja—memperluas daerah teritori adalah tujuan utama.
Draco sendiri mempunyai tanggung jawab besar dalam setiap misi. Dia pernah memimpin penyerangan di Prancis. Tidak benar-benar menaklukannya, namun menimbulkan teror yang luar biasa. Adik dari Perdana Menteri Sihir Jacques Duverger, Simon Duverger, harus gugur dalam pertempuran itu. Membuat sang Perdana Menteri menyerah tanpa perlawanan lebih. Kejadian itu yang membuat Draco diangkat menjadi salah satu jajaran Jenderal Tinggi dalam barisan barikade penyerangan.
Dan Hermione bisa melihat dengan jelas bagaimana orang-orang itu segan dengannya, menyanjungnya dengan kepalsuan yang memuakan—dan sebagian besar diyakini karena rasa ketakutan.
Hermione tak bisa menyalahkan mereka—karena itu adalah kebenaran.
Dia tidak pernah menyetujui perasaan yang dimilikinya pada Draco adalah rasa takut. Tapi dia tak menyangkal jika dia harus berada dengan jarak yang dekat dengannya—merasakan sentuhan itu di atas kulitnya—saraf-saraf di tubuhnya akan bekerja lebih cepat. Dia merasa lebih waspada.
Dan hal itulah yang membuatnya kini berada pada cengkramannya—selalu dalam kuasanya. Hampir seluruh tubuh dan tindakannya berada di bawah komando. Dengan napas memburu Hermione dapat melihat dengan samar bahwa orang-orang di sekelilingnya juga mengalami serangan yang sama—waspada.
Tongkat sihir hawthorn Draco Malfoy teracung, mengancam siapa saja yang lemah untuk bisa diintimidasi. Dia merasakan dada Draco yang memancarkan panas di punggungnya. Ketika tangannya dengan kuat menekan pundaknya—hampir menekan lehernya—pandangan Hermione buram, dengan samar dia melihat Ginny Weasley yang ditarik dengan paksa pada sikunya menuruni meja. Bahkan si sinting siapa pun itu tak memberinya kesempatan untuk menutupi diri.
Hermione memejamkan matanya, mencengkram lengan Draco di atas dadanya. Keheningan melingkupi namun jantungnya bergemuruh dengan hebatnya. Dia bisa melihat Amycus Carrow dengan hati-hati menurunkan tongkat, wajahnya tegang dan matanya tak lepas pada Draco di seberangnya.
"Letakan tongkatmu, Draco!" seseorang bicara—Hermione mengerling—Yaxley di tengah-tengah kerumunan. Dia tidak mengangkat tongkat, namun tangan kanannya menegang di sisinya, tampak siaga.
Draco mendengus, Hermione hampir bisa merasakan bahwa napasnya memburu. Mungkin saat ini sedang menyeringai pada siapa saja yang menatapnya. "Para Carrow akan bertanggung jawab dengan ini semua."
Alecto Carrow—si saudara perempuan—bergerak tak nyaman di sudut yang lain. Pertahanannya telah goyah. Dengan sangat perlahan dia menurunkan tongkatnya.
"Bagus—langkah yang bagus, Carrow." desis Draco penuh kemenangan.
"Bawa pelacurmu pergi dari sini, Malfoy." Ujar Amycus—anehnya dia masih berani untuk tak menurunkan tongkatnya.
Draco tak bereaksi beberapa saat, namun ia menurunkan tongkatnya. Cengkraman pada tubuh Hermione mengendur, dia bisa merasakan beberapa helaan napas di orang sekitarnya. Hermione membebaskan diri, namun tangan Draco masih pada lengannya.
Draco membawanya pergi, membelah kerumunan dengan semua mata yang tertuju pada mereka. Ketika sampai pada sebuah lorong yang gelap dan sepi, Draco melepaskannya dengan hempasan yang kuat. Membuat punggung Hermione dengan mulus menghantam tembok di belakangnya.
"Sudah kukatakan—" Draco maju, menutup ruang diantara mereka. Hermione meringis ketika dia merasakan tubuh Draco menahan tubuhnya ke tembok. Napas lelaki itu panas di bawahnya. "—untuk jangan bertingkah, Granger."
"Kau melihatnya, Malfoy, Ginny—"
"Kau tahu apa yang akan terjadi akibat tingkahmu?" desis Draco. "mungkin sekarang mereka sedang mengurungnya di bawah tanah, memakaikan rantai pada kakinya."
Hermione banjir air mata. Dia tak berkutik ketika Draco kembali menariknya pergi, sampai pada sebuah titik poin Apparate, mereka berputar dan kembali ke Manor yang lain.
.
Draco tidak perlu menariknya ketika mereka sampai di pekarangan Manor. Hermione dengan lemah mengikutinya. Pandangangannya kosong menatap jubah Draco yang berkelebat di belakangnya—menampilkan kesan kesombongan dan acuh secara bersamaan. Perawakan Severus Snape muncul dalam benak suramnya secara tiba-tiba.
Kenapa mereka selalu mempunyai ciri yang sama? Para penyihir gelap ini—dan Hermione tidak menyukainya.
"Kembali ke ruanganmu, Granger." Perintahnya ketika mereka sampai pada tangga. Hermione kehilangan kata-kata. Dengan sisa-sisa sunggukan, ia mulai melangkahkan kakinya. Dia tidak ingin melihat siapa pun lagi malam ini. Karena pada siapa pun dia bicara, bayangan Ginny yang terlukis di sana.
Hermione menghapus sisa-sisa air matanya. Seperti teringat sesuatu, ia berbalik. Draco tentu saja masih menatapi punggungnya dengan saksama. Mata buas itu membombardir, tapi dia memutuskan untuk tak goyah.
Hermione menahan sekuat tenaga tangis yang siap meledak di kerongkongannya dan bertanya dengan suara yang parau. Dia menimbang apakah benar-benar ingin mendengar sebuah jawaban dari bibir Draco—namun tak ada pilihan lain. "Apa yang terjadi pada Order?"
Draco tak langsung menjawab. "Kau membutuhkan istirahat, Granger." Suaranya berat. "kita akan membahasnya ketika kau cukup jernih untuk berpikir."
"Aku mampu mendengar semuanya sekarang." Katanya membandel.
Draco menatapnya, tampak menimbang dengan seksama. "Dua minggu lalu Pasukan Pelahap Maut menyerang The Heatcliff, dan tentu saja Order melawan tanpa persiapan." Hermione ternganga, jantungnya seolah merosot dan pindah ke perut—"beberapa anggota berhasil untuk menahan, memberikan ruang pada yang lain untuk melarikan diri. Tapi penyerangan terjadi secara terstruktur dan masif."
Hermione merasa atap di atasnya runtuh menghujam puncak kepalanya, dia sekarang berharap Draco tak melanjutkan. Tapi dia harus mendengar.
"Perintah sebenarnya untuk menangkap beberapa hidup-hidup. Namun tentu saja Order selalu mempunyai cara, kan? Mereka lebih baik mati daripada harus diseret pergi. Dan untuk sisanya—kau melihat apa yang terjadi di Liechtenstein."
Sisanya? Hermione tergeragap. Tidak mungkin Harry membiarkan para perempuan—Ginny—ditangkap. "Harry—"
"Dia salah satu yang lolos." Ujar Draco tenang, tapi Hermione mampu mendengar sekilas nada cemooh di sana. Hermione tak menyalahkannya—karena hal itu tampak mustahil untuk dilakukan seorang Harry Potter.
Hermione menutup mulutnya, air mata kembali jatuh tanpa suara di pipinya. Dia tak tahu mana yang lebih menyakitkan, mendengar kabar buruk bahwa Order di serang atau kenyataan pahit bahwa Harry pergi meninggalkan anggotanya tanpa balasan perlawanan yang berarti.
"Aku tak terlibat di dalamnya, Granger, kau tahu itu." Kata Draco, sebelum pikirannya bekerja pada hipotesis-hipotesis di luar akal sehatnya. Hermione tidak menatapnya—semua kenyataan ini menyakitkan. "Sudah lama mereka terjebak dalam jalan buntu."
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?"
"Aku tak memintamu percaya padaku." Ujar Draco dalam keheningan yang tenang. "dan aku tak perlu membuktikan apa pun."
Mereka terdiam pada keheningan yang janggal. Ada ratusan pertanyaan yang ingin Hermione kemukakan pada lelaki penuh misteri di hadapannya—namun tahu bahwa jawaban tak mungkin dengan mudah ia dapatkan. Dan yang terburuk—dia terlalu takut dengan kenyataan.
"Kenapa kau datang pada mereka, Malfoy?" tanya Hermione akhirnya dengan suara yang serak, kali ini ia menatap Draco.
Draco sesaat tampak tak ingin merespon kata-katanya. Namun ia menjawab dengan suara yang kosong. "Tak ada alasan yang pasti mengenai hal itu."
Hermione mendengus. Bajingan. Pengecut.
Dia berbalik, merasakan beban di pundaknya terlalu berat untuk ia tanggung. Melanjutkan langkahnya menaiki tangga, dia merasakan tatapan Draco yang masih mengekorinya sampai ia menghilang di ujung tangga.
Dia yakin dengan kejadian serupa di masa mendatang, jika Draco mempunyai rencana membunuhnya secara perlahan dengan siksaan itu, maka Hermione pastikan dia akan berhasil sepenuhnya.
Pikirannya melayang jauh, bayang-bayang Harry dan Ron muncul di gelapnya lorong. Dia masih bertanya-tanya kenapa masih belum cukup rasanya mengetahui bahwa kedua sahabatnya hidup dan selamat?
Dia serakah, dan dia dengan gamblang mengakuinya.
Hermione tak perlu menunggu untuk sampai ke ruangannya. Dia menggerayangi tembok yang dingin dan padat—perih yang menyakitkan masih belum meninggalkan dadanya. Dia merasa terasingkan, ditinggalkan.
Dikhianati.
.
"Kau lihat rantai di leher mereka?"
Hermione terlibat perbincangan aneh dengan Pansy Parkinson pagi itu. Fakta bahwa dia memutuskan untuk memberikan bayinya pada salah satu kerabatnya di Brazil merubah banyak hal. Maka tak heran, ketika melihat perubahan yang signifikan dari tubuhnya—tanpa penjelasan lebih jauh—Pansy melambaikan tangannya. Menandakan bahwa topik itu menghilangkan seleranya.
Dia berbeda sekarang, Hermione bisa menilai. Dari cara ia bicara dan melemparkan komentar. Dia tentu saja masih dengan sebatang rokok di jemari kirinya, meniupnya dengan tenang dan Daily Prophet di tangan kanannya. Dia tampak lebih hidup—tampak lebih sehat—dari terakhir kali Hermione melihatnya.
"Mereka melancarkan Kutukan Imperius beberapa hari pada tawanan. Sebagian besar perempuan—maksutku, apakah Order benar-benar tolol?" Hermione tidak bisa protes dengan komentar itu, dia juga kehilangan selera untuk berdebat dengan siapa pun.
Pansy membalik koran, masih dengan dahi berkerut.
"Aku bahkan tak tahu jika mereka masih ada, hidup—dan berkumpul!"
Hermione merasakan hubungan yang aneh dengan Pansy. Dia mengakui tak pernah benar-benar membenci perempuan itu, bahkan ketika di Hogwarts. Namun Hermione tak bisa menyetujui sepenuhnya jika dia nyaman dengan setiap perbincangan terjadi diantara mereka. Pansy selalu mengeluarkan komentar akan hal-hal yang tak sesuai dengan hatinya.
Tapi kini dia sudah terbiasa dengan hal-hal yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Hermione sudah dalam tahap penerimaan.
Seperti halnya ketika ia menerima Draco kembali di tempat tidurnya—diam-diam menyelinap ketika ia tertidur—dan telah pergi saat ia terbangun.
Hermione tak pernah belajar arti menerima sebelumnya. Selalu ada semangat untuk melawan, menyuarakan hal-hal yang tak seharusnya dan semua orang mengenalnya dengan sifat itu.
Namun semenjak dia bertemu dengan Blaise dan melihat Ginny malam itu—harapan yang berkobar di dadanya meredup. Dia kehilangan arah dan tak pernah lagi bertanya pada diri sendiri di pagi hari ketika ia terbangun—apa yang kuinginkan?
Hatinya sakit mengingat teman-temannya. Dia tak bisa membayangkan apakah Arthur, Molly dan Weasley yang lain masih hidup. Draco tak pernah menjelaskan padanya, dan dia harap dia akan terus tak tahu jawabannya.
"Granger?"
Hermione mendongak, dia sudah melupakan keberadaan Pansy. "Apa?"
"Bagaimana pendapatmu? Jika mereka pasangkan rantai di lehermu? Seperti yang mereka lakukan pada perempuan-perempuan di Liechtenstein."
Dia tak takut lagi dengan apa pun sekarang. "Apakah mereka akan melakukan hal itu pada semua perempuan?"
"Well, kau tahu, hanya perempuan penghianat dan keturunan Muggle saja yang menjadi budak." Pansy tak langsung menjelaskan pada intinya untuk memberikan ia konfirmasi. Hermione heran kenapa dia tak secara gamblang untuk melakukan konfrontasi padanya. Termasuk kau. Mungkin itu yang seharusnya ia katakan.
"Apakah aku kelihatan seperti punya pilihan?"
"Tidak," jawab Pansy cepat, ekspresi wajahnya tak terbaca. Dia memiringkan kepalanya dan memperhatikan Hermione dengan seksama. "tapi Draco selalu punya, kan?"
Pansy tak tampak membutuhkan persetujuan akan pertanyaan itu. Jadi dengan keheningan yang kembali melanda, dan pikiran yang bertarung tanpa jeda di kepalanya, Hermione menghela napas. Menyipitkan mata ketika dia melihat Barnaby Greengrass kembali muncul di sampul Daily Prophet.
"Kita harus terbiasa dengan wajah orang-nomor-satu kita." Kata Hermione.
Pansy mengikuti arah pandangnya, alisnya terangkat saat dia menengok sekilas pada sampul Prophet ketika dia tengah membaca di tengah-tengah halaman. Dia mendengus. "Tidak akan bertahan lama."
"Bagaimana—?"
"Dia akan segera tersingkir dengan Draco. Popularitasnya mendunia, Granger. Ingat?"
Hermione tak bisa menyangkal, tentu saja. Draco Sang Kasanova, Penakluk. Lalu ada sekelebat pikiran yang aneh melingkupinya. Dia bertanya-tanya apakah setidaknya Pansy bisa bertingkah dalam batas yang wajar dengan pertanyaannya. Dia mencoba menghapus keraguan di dalam kepalanya. "Tentang pernikahan Darah Murni." Hermione memulai, dia merasakan pandangan Pansy masih bertengger pada bait-bait Prophet di pangkuannya. Dia menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Apakah kau pikir hal itu akan berjalan sebagaimana semestinya pada semua Darah Murni?"
"Pada Draco, maksutmu." Komentarnya terus terang, tanpa ragu-ragu dan singkat. Hermione merasakan panas merambat ke pipinya. "Barnaby Greengrass selalu punya cara kan?"
Jawaban yang sama sekali tak menolongnya. Mungkin dia harus berhenti.
"Tapi kita tahu Draco selalu menjadi sorotannya, Granger. Sayangnya—" kali ini dia mengangkat wajahnya, lurus membalas tatapan Hermione. Dagu itu padat dan matanya selalu berkobar. Pansy Parkinson tak pernah terlihat ragu-ragu di dalam hidupnya. Bahkan dalam keputusan yang terburuk. "—Draco lah yang saat ini menjadi Sang Terpilih, Granger. Bukan lagi Harry Potter."
"Kau tahu, aku tidak benar-benar peduli dengan apa yang terjadi pada kalian. Darah Murni mungkin akan menghabiskan sisa hidup bersama dengan Darah Murni yang lain. Menghasilkan Darah Murni yang baru."
"Oh, diamlah. Kau membuatku muak." Gumamnya, kembali pada bacaannya.
Hermione menelan bulat-bulat segala argumennya. Dia tak ingin lebih jauh menyentuh topik itu, namun sudah dalam waktu yang lama dia mencoba meredam rasa ingin tahu yang ada di hatinya.
Jika sesuatu terjadi—dan dia berharap Demi Kebaikan Merlin untuk tak benar-benar terjadi—pada Order, maka apakah yang akan terjadi dengannya?
Tentu saja dia sudah terbiasa dengan suasana perbudakan dan intimidasi. Namun dia tak bisa berhenti berpikir naif bahwa Draco akan selamanya dengan posisi yang sama.
Berada di kamarnya tanpa ia tahu bagaimana caranya, naik diam-diam di atas tempat tidurnya, merengkuh pinggangnya di setiap acara—sebagai cara bagaimana dia merasa bahwa Draco memilikinya—dan dengan kebrutalan—yang dengan gilanya ia akui—bahwa Draco selalu mencarinya. Kembali padaya tak peduli seberapa jauh ia pergi dan berapa pelacur yang ia temui di jalanan.
Aku diracuni, Draco pernah bilang. Bellatrix Lestrange bilang dia telah diracuni oleh Darah Lumpur yang kotor ini.
Oh, mungkin saja, suatu hari nanti ketika saat itu datang dan Draco tak bisa menyangkalnya demi sebuah harga diri dan kebutuhan, Hermione akan menjadi pelacur yang terbuang. Draco akan memberikannya seperti sebuah pusaka tak berharga pada keluarga bangsawan yang lain yang sudi menerimanya.
Atau.
Ketika tiba saatnya Draco harus mengambil langkah bersama istrinya—seorang Darah Murni sepenuhnya—dia akan mengurung Hermione di atas loteng. Menjadikannya gundik disisa hidupnya dan tak pernah mengijinkannya untuk keluar karena dia dalah sebuah aib dari skandal keluarga Malfoy.
Hermione tak melihat kedua jalan itu lebih baik. Dia menggelengkan kepalanya, mengingatkan bahwa dia masih dengan tujuan yang sama. Order harus tetap pada kekuatannya untuk menjatuhkan era ini.
Dia membenci Draco dalam setiap kesempatan, namun berada dalam keluarga yang lain tak memberikannya keyakinan untuk hidup yang lebih baik.
"Jangan terlena, Granger." Dia mendengar Pansy bergumam di sampingnya, tidak menatapnya. "kadang zona nyaman membuat kita lupa bahwa kita kini berada di tebing—dengan semilir angin yang lembut—" Pansy membalik halaman Prophet. "—dan tak tahu bahwa sebentar lagi tebing itu akan runtuh."
.
Hermione tidak berharap banyak pada buku-buku di perpustakaan Manor.
Ketika melihat sampul kulit yang usang dan sudah lama tak terjamah, Hermione menghela napas berat. Dia sudah cukup puas dengan perpustakaan yang tinggi menjulang dan rak-rak raksasa yang dipenuhi dengan buku tua. Sudah empat bulan keberadaannya di sana, namun hari ini dia baru menemukan selera untuk menjelajahi lebih setiap sudut tempatnya.
Dinding-dinding yang gelap dan lembab membuatnya berpikir bahwa tempat ini lebih mirip sebagai ruang bawah tanah. Bahkan ketika melihat lukisan-lukisan yang mengekori setiap pergerakannya—Hermione sama sekali tak pernah melihat mereka di deretan lukisan Malfoy Manor.
Draco tak pernah memaksanya untuk melayani hasratnya lagi—tidak seperti malam-malam menegangkan di Malfoy Manor. Walaupun dia harus menahan diri dan berpura-pura terlelap ketika malam dimana Draco datang ke kamarnya, diam-diam menyelinap di sisinya. Hermione tak terkejut ketika paginya, punggungnya harus bergesekan dengan dada Draco, seolah bertengger nyaman dengan kehangatan yang ia pancarkan.
Namun ia akan lebih sering melihat tempat di sisinya kosong.
Draco datang ketika ia terlelap—dan bahkan—pergi sebelum ia bisa menyadari keberadaannya.
Hermione tak pernah bicara dengannya setelah malam di Liechtenstein. Sedangkan Draco tampak lebih sering memandang jauh, penuh pemikiran dan seolah tak bisa diinterupsi.
Namun ketika lewat jam malam dan Hermione masih terpekur pada buku-buku tua di perpustakaan, ia tampak tertarik dengan bait-bait mantra-mantra yang ada di bawahnya. Tulisan berbahasa Latin—dan Hermione pernah mempelajari Bahasa itu di Hogwarts—tampak sangat indah terpancar di bawah temaram—di atas kertas yang usang.
Non nobis solum nati sumus—kita tak lahir sendirian.
Dia menarik secarik kertas yang terselip dari dalam buku. Selembar penuh dengan tulisan tangan yang jenjang dan berakar—Hermione membuka lipatannya perlahan.
'Armand,'
Hermione membaca bait pertama, menyipitkan mata untuk melihat dengan seksama.
'Ketika malam tiba dan aku memandang jauh ke tempat dimana kupikir kau berada, bisa kukatakan dengan sendu, bahwa aku merindukanmu mematung di lorong itu.
Aku berharap bisa melihatmu disetiap saat aku menginginkannya. Tidak hanya ketika kau merasakan bebanmu terlalu berat untuk kau pikul dan kegagalanmu dalam sebuah tanggung jawab. Aku ingin merasakan desir angin malam bersamamu, menyingkirkan semua rasa sakit dan kenyataan.
Aku—'
Hermione mengalihkan perhatiannya, mengenyampingkan niat untuk lanjut membaca. Ia menoleh melewati pundaknya. Merasakan seseorang berada di belakangnya. Suasana yang hening mencekam membuat inderanya jauh lebih tajam dalam bekerja.
Draco berada di sana, bersandar di daun pintu. Hermione berbalik, secarik kertas itu kembali ia masukan ke dalam lembaran buku yang usang dan meletakannya perlahan di meja.
Draco masih dengan jubah Pelahap Mautnya, dengan tangan yang berada pada kantung celananya. Kepalanya bersandar pada daun pintu dan wajah lelah yang familiar terpancar di sana.
"Granger," suaranya serak dan berat.
Hermione tak bereaksi.
"Bersenang-senang?"
Dia menahan diri untuk tak mendengus, menciptakan sebuah cibir yang acuh. "Selamat datang, Malfoy."
Draco menyeringai. Merlin, dia sudah lama tak bicara dengannya.
Hermione kembali mengalihkan pandangan pada buku-buku di sampingnya. Meletakan jemarinya di sana, menyusuri setiap buku dengan perlahan. Tidak benar-benar membaca judulnya, hanya saja dia membutuhkan sesuatu untuk dilakukan agar tak terperangkap oleh tatapannya yang mengintimidasi.
Bahkan dia sudah merasa siaga. Hanya dengan keberadaannya saja. Hermione mengehela napas, ini tak akan pernah berjalan dengan baik.
"Jadi… Belarus?" kata Hermione, tidak menatapnya. Tanpa disadari dia mengulang kutipan Daily Prophet yang disuguhi oleh Wigby tadi pagi. Invasi yang berujung penaklukan. Draco adalah pimpinan dari penyerangan itu dengan taktik yang luar biasa, Rita Skeeter menerangkan. Membuat Hermione diam-diam berpikir, apakah Draco masih mengancam tentang keselamatan anak-anaknya?
"Seperti yang kaubaca." Balas Draco, tak menghilangkan kesan kesombongan di sana. "Tak cukup berarti, bisa dikatakan."
Keheningan sesaat melanda. Ada ratusan pertanyaan yang ingin ia ajukan, dan Hermione yakin Draco lah orang yang paling memungkinkan untuk memuaskan dahaga akan hausnya informasi yang ia butuhkan. "Malfoy?"
Draco tak menjawabnya.
"Apa yang terjadi dengan Ginny?" Hermione mengangkat wajahnya, menghadapinya dengan kekuatan yang ada. Dia siap dengan segala kemungkinan. Hermione tak goyah ketika melihat perubahan wajah lelaki pirang di hadapannya.
"Sudah kukatakan kemungkinan yang terjadi malam itu, Granger."
"Kau tentu saja tahu kemana mereka membawanya." Kata Hermione, masih dengan suara yang pelan. Namun hanya ada mereka berdua di kastil itu, seberapa kuat ia menyembunyikan rasa ingin tahu, seolah-oleh seluruh tembok menyuarakan apa yang ia inginkan di hatinya dengan lantang. "Rantai itu—"
"Mendisiplinkan mereka, Granger, ya."
"Kenapa?" ketika ia sadar tak cukup jelas maksut pertanyaannya, Hermione menelan ludahnya, dia sudah berhenti untuk berpura-pura menelusuri buku sekarang. "kenapa sekarang mereka melakukan itu?"
Apakah agar mereka sadar dimana mereka berada? Dirinya berada?
Agar para Darah Lumpur dan penghianat tidak bisa dengan bebas menyusuri jalanan Diagon Alley? Apakah itu artinya—mereka tidak bisa lagi meninggalkan rumah yang membelenggu hari-hari mereka dan harus terus pergi dengan tangan si pemilik mencengkramnya?
Draco melihatnya dengan seksama, seolah mempelajari setiap perubahan di raut wajahnya. Hermione berusaha keras untuk tidak menunjukan sesuatu yang berarti. Merlin, dia hanya ingin bicara.
"Mereka terlalu banyak, Granger. Butuh sesuatu untuk mengendalikan mereka dan kuyakin gadis-gadis itu tak akan secara sukarela mengikuti apa yang dikatakan oleh Carrow bersaudara." Kata Draco.
Hermione dengan ragu membalas tatapannya. Mata itu—dia bisa merasakan setiap inci tubuhnya yang tak lekang dari tatapannya. Hermione kesulitan untuk kembali pada akal sehat ketika menyadari bahwa dalam cahaya temaram, pakaian bertugas dan raut lelahnya, Draco masih tampak begitu luar biasa—sepenuhnya—tampan.
Pikiran itu kembali lagi ke dalam kepalanya. Pernikahan tolol.
"Apakah kau akan melakukan hal itu juga padaku?"
Draco mengernyit, dia menegakan lehernya. "Kau bukan milik Carrow bersaudara."
"Dan artinya kau tidak akan memasang rantai pada milikmu?"
"Apakah aku harus mempertimbangkannya?" tanya Draco, dia maju perlahan beberapa langkah. Tampak tertarik untuk masuk ke dalam sebuah permainan. Permainan lama dan menyenangkan.
Hermione terpaku di tempatnya. "Entahlah. Kenapa aku heran kau belum mengambil langkah yang sama. Mengingat kini kau mempunyai pesaing di posisi tangan kanan—"
"Jangan memulai, Granger. Aku sedang dalam suasana hati yang baik malam ini." Kata Draco dengan suara yang datar di telinganya.
"Aku bertanya-tanya, Malfoy—" Hermione memberikan jeda pada kalimatnya. Matanya menatapnya kepolosan yang palsu. "—dengan segala kekurangan yang terjadi, ketidak tahuanmu akan segala hal—apakah Dia masih mempercayaimu?"
Draco mendengus, Hermione terpesona dengan kesabarannya malam ini. Membuatnya berpikir apakah dia masih berhadapan dengan Draco yang sama dengan Draco beberapa bulan yang lalu.
"Aku mulai menyadari, bahwa mungkin nanti—ketika kau membuat satu kesalahan—apakah Pangeran Kegelapan akan memperlakukanmu seperti Dia memperlakukan Lucius?"
Ada perubahan aneh di wajah Draco ketika lelaki berambut pirang itu kembali melanjutkan langkahnya. Hermione tanpa disadari mengambil langkah mundur. Dia masih memiliki sisa-sisa keraguan dalam dirinya—namun berusaha keras agar mata itu tak gentar membalas tatapannya.
Senang kembali pada dirimu yang sebenarnya, Draco.
Hermione sudah gila, dia tahu itu.
Ketika punggungnya menyentuh rak yang keras, Hermione meringis. Draco tak menghentikan langkahnya. Seperti serigala yang mengitari mangsanya, Hermione terpancang dalam belenggu tatapannya. Ketika tubuh mereka hampir bersentuhan—Draco meletakan tangannya di sisi wajah Hermione—meletakan beban tubuhnya di sana.
"Mulai bosan dengan hari-harimu yang damai, Granger?" Draco menyipitkan matanya. Hanya beberapa jarak diantara mereka dan Hermione berharap—jarak ini cukup diantara mereka. Hermione perlahan merasakan pipinya memanas, rasa yang familiar mulai menjalar di kepalanya ketika dia mendengar nada itu dari mulut Draco.
Rahang Hermione mengeras, kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya.
"Namun sedikit banyaknya kau mulai memahami kenapa aku membawamu kesana malam itu, Granger. Kau tidak bisa mengalihkan pikiranmu dari kejadian-kejadian yang kau lihat—" Draco bicara dengan suara yang rendah dan berbahaya. "kau takut suatu saat aku menyerahkanmu pada Karkaroff ketika aku bosan, Granger?"
Hermione memejamkan matanya. Membayangkan wajah beringas Igor Karkaroff ketika menatapnya malam itu. Dia akan hancur berkeping-keping pada tindakan pertama.
"Atau ketika Rabastan Lestrange mencoba menawar harga yang cocok agar aku bisa menjualmu padanya. Well, bisa dikatakan kau cukup populer di kalangan para bangsawan."
"Dan kenapa kau tidak melakukannya, Malfoy? Tidakkah kau pikir Darah Lumpur ini sudah mulai membuatmu bosan dengan sikap bandelnya?"
Draco menatap mata cokelatnya yang melebar dengan penuh pemberontakan. Dia sudah terbiasa—namun Hermione tidak. Keadaan ini membuat adrenalinnya terpacu lebih cepat—membuatnya untuk mempertaruhkan akal sehatnya. Draco tak pernah berlaku lunak sebelumnya, apalagi dengan pelacur kotor yang menghangatkan tempat tidurnya.
"Masih tanpa takut, Darah Lumpur Granger kita tersayang." Tubuh Draco sepenuhnya menekan tubuhnya, Hermione merasakan napasnya berat. Aroma tubuhnya membuatnya kehabisan udara—aroma yang selalu memenuhi kamarnya. Hermione memajukan wajahnya, sebelum berbisik panas.
"Buat aku takut, Malfoy."
Dan kejadian itu cepat, mengagetkannya dan menyabotase sisa napasnya.
Mata Hermione melebar ketika Malfoy dengan paksa meletakan bibirnya di atas bibirnya. Hermione tersedak dengan napasnya, tercekik dengan suara yang tersangkut di kerongkongannya. Draco memiringkan kepalanya, mencoba mendesak lebih dalam—memaksanya untuk menerima lidahnya—hingga kedua telapak tangannya mencengkram pipi Hermione. Rasanya sangat menyakitkan ketika giginya menggigit bibirnya.
Namun telah membulatkan tekad—dia mencoba melawan dengan segala sisa-sisa kekuatan yang ada. Draco dengan buas mencoba untuk membrikade pertahannya—tangannya yang lain turun menyusuri lehernya. Tersihir dengan pikiran untuk mencengkramnya—seperti yang biasa ia lakukan. Namun dia melewati bagian itu—menekannya sejenak dan kembali berkelana.
Hermione terengah-engah ketika mendadak Draco melepaskan diri. Mata mereka beradu. Hermione kenal betul arti pandangan itu—murka dan gairah. Mata Hermione melebar ketika Draco kembali menyerangnya dengan ciuman yang lebih brutal. Menghukumum dan menuntut.
Tangannya yang lain menjelajahi tubuhnya. Menarik pinggulnya untuk lebih dekat dengannya. Hermione merasakan sesuatu yang keras di perutnya—Draco menggeram di atas bibirnya.
"Jalang Granger," bisiknya di telinganya. Bibirnya menyentuh daun telinganya, menyusurinya dengan napas yang berat. Hermione gemetar ketika bibir Draco menyusuri lehernya, mengigitnya bertubi-tubi di setiap inci kulit yang ia temui.
Tangan Draco menyentuh pahanya, menyusuri dengan sangat perlahan—semakin ke atas—dan ketika sampai pada celana dalam tipis yang Hermione kenakan, jemarinya bermain pada lipatannya. Menyusuri bagian bokongnya—menyentuhnya dengan telapak tangannya—dan mencengkramnya.
Hermione terpekik pelan ketika Draco mengangkatnya, menekan tubuhnya lebih keras dan membuat posisi mereka sejajar. Draco kembali menciumnya. Ia menahan beban tubuh Hermione dengan satu pahanya. Kedua kakinya hampir menggantung, menggeliat ketika tangan Draco mulai melepaskan tali gaun di pundaknya. Meloloskannya—sehingga ketika pundak telanjangnya terekspos—Hermione bergidik. Merasakan bibir Draco menyusuri kulit telanjangnya.
Merlin, dia sudah lupa segala rasa ini. Seolah semua kenangan buruk yang membekas di kepalanya hilang.
Apakah dia sudah mengangkat rasa benci itu pada Draco?
Apakah dia benar-benar membencinya?
Setelah semua yang terjadi—dia tentu saja harus membenci Draco. Lelaki itulah yang mengakibatkan kehilangan paling hebat di hidupnya, menghancurkan sebagian jiwanya dan membuat luka yang tak akan pernah hilang selamanya.
Ketika tangan Draco kembali pada celana dalamnya—mencoba untuk mengoyaknya—Hermione terkesiap. Kukunya mencengkram punggung Draco dengan tampak menyadari perubahan ini—maka dia berhenti sesaat. Namun tidak mengangkat diri dari Hermione. Enggan untuk membebaskannya.
"D-Draco…"
Draco menatap wajahnya. Mata itu gelap dipenuhi gairah yang tak terbendung. Bibirnya bengkak—sama seperti halnya dengan bibirnya. Tangan Hermione yang lain mencengkram rambutnya pirangnya.
Draco menunggu. Seperti mendambakan agar namanya di sebut untuk kedua kali. Namun seperti sebuah kesalahan, Hermione tak akan membiarkan hal itu terulang kembali.
"Katakan apa yang kauinginkan, Granger." Bisik Draco, tampak putus asa dengan segala rasa yang ia tanggung. Lelaki itu meletakan dahinya pada dahi Hermione. "apapun."
Hermione tak menyebutkan apa yang ia inginkan. Karena semua permintaan membutuhkan jaminan.
"Aku akan melakukannya untukmu," katanya berat. "Sialan, Granger. Kenapa aku tak benar-benar bisa melakukannya padamu?"
Hermione tak mengereti apa yang ia maksut. Namun dia tak akan pernah bertanya. Tubuhnya gemetar hebat ketika bibir Draco berada pada lehernya—menciptakan bekas-bekas merah di sana dengan giginya. Hermione memejamkan mata saat rasa panas menjalar di antara kedua kakinya. Bersyukur Draco mencengkram tubuhnya dengan kuat—karena dia tak kuasa menahan beban tubuhnya sendiri.
Ketika bibir Draco bergerak turun ke dadanya, Hermione tanpa sadar mencengkram rambut lelaki itu. Pertahannya goyah ketika ia merasakan jemarinya menyelinap di ujung pangkal pahanya, membuka lipatan dari sehalai celana satin sebagai pertahannya. Ia yakin dan bersumpah bahwa saat ini Draco menyeringai di atas kulit dadanya—jemarinya menyentuh daerah sensitifnya—dan kemenangan angkuh pasti dirasakan oleh kepala pirang itu.
"Bersemangat, Granger?—hm—" Draco menggigit kulit dadanya, membuatnya mengerang.
Ketika Draco mencoba mengangkat tubuhnya—dengan niat ingin membebaskannya dari celana dalam yang ia kenakan—Hermione membuka mata. Sebelum ia menyerahkan diri pada gairah, seperti sebuah tamparan pada pipi, ia terbelalak. Cengkraman tangannya mengeras pada pundak Draco—sebelum dengan sekuat tenaga ia mendorongnya menjauh. Draco terlalu kuat untuk goyah, namun dia bisa merasakan Draco menegang.
Bibir Draco berhenti menyusuri, ia mengangkat wajahnya. Mereka berdua terengah-engah. Dada telanjang Hermione bergerak naik turun—mata itu berkobar penuh amarah.
Hermione berpikir Draco lengah, maka ia mencoba mendorongnya lagi—namun sia-sia. Dengan putus asa ia berusaha membebaskan diri, mengantamkan tangannya ke bagain tubuh Draco yang bisa ia capai. Sekali lagi—usahanya sia-sia.
Hermione menggigit bibirnya dengan kuat, berharap bahwa dia bisa menahan vulkano yang meredam di dadanya, bersiap meledak kapan saja.
Mata Hermione mengerling pada leher Draco.
Seperti baru saja tersengat, Draco secara refleks menyentuh bagian itu.
Tentu saja, sadarkan kau, brengsek?
Sekarang dia tahu.
Hermione menatap matanya lagi. Mereka sudah memisahkan diri—namun Draco masih mempunyai kuasa atas tubuhnya. Pergelangan tangan Hermione mati rasa dibawah cengkramannya.
"Lepaskan. Aku." Desis Hermione di bawah giginya.
Bukan Draco jika akan mengikuti apa yang ia minta pada permintaan pertama.
"Granger—" Hermione muak mendengarnya bicara, namun Draco berhasil mematrinya. "tenangkan dirimu!"
Dia sinting. Hermione tergerak untuk melayangkan telapak tangannya pada wajahnya. Namun menyadari usahanya percuma, tangannya perlahan-lahan hilang tenaga, dengan lemas ia membiarkan Draco kembali mendominasi.
Hermione menatap lehernya lagi. Lalu menatap matanya.
"Aku benci padamu, Malfoy."
"Sialan—beri tahu sesuatu yang tidak kuketahui, Granger!"
Aku benci dan muak denganmu.
Aku ingin kau pergi dan tak menemuiku pada malam hari.
Aku ingin kau tidak menyentuhku setelah kau menyentuh pelacur-pelacur di luar sana.
"Kukira hal ini tidak pernah mengganggumu?"
Apakah dia mengatakan semua yang dia pikirkan tanpa sadar?
"Kau selalu putus asa untuk mendorongku tetap pada perempuan di jalanan!"
"Kalau begitu jangan pernah menyentuhku lagi!"
Dorongan terakhir dan Draco meloloskannya tanpa perlawanan. Hermione menghambur pergi menuju pintu. Dia menaikan tali gaunnya—menutupi dadanya. Langkahnya memburu. Ia tahu Draco tak mengejarnya—namun dia ingin melarikan diri dari kenyataan.
