16
.
"BLAISE?"
Hermione melihat lelaki itu berputar pada tumitnya untuk menghadapnya. Hermione tidak bisa menahan diri untuk tersenyum.
"Granger," ujar Blaise. Hermione mengerling pada segelas champagne di tangan kanannya dan sebatang rokok di tangan kirinya.
Dia sudah lama tak melihatnya. Hermione mencoba menghapus bayang-bayang kenangan akan hal terakhir yang terjadi pada pertemuan mereka. Namun seperti dirinya, Blaise tampak tak terganggu dengan hal itu.
Draco memberi tahunya bahwa akan ada perjamuan di Manor. Berulang kali ia mengingatkan untuk tidak meninggalkan sayap barat karena Anggota Inti dari Pelahap Maut akan mengadakan pertemuan. Ini adalah kali pertama para Pelahap Maut datang ke Manor di Albania—dan Hermione tak pernah bisa melewatkan hari-hari yang tidak tenang dibuatnya.
Draco sudah memasang beberapa mantra pelindung di sayap barat, namun Hermione harus menerima kenyataan pahit ketika suara kekehan melengking Bellatrix Lestrange menggema di koridor. Dengan tongkat terancung berseru bahwa dia akan mengulitinya hidup-hidup kalau Hermione tidak memunculkan bokong kotornya dan memberikan penghormatan pada Pangeran Kegelapan.
"Darah Lumpur kotor!" lengkingnya—membuat rambut di tengkuknya berdiri.
Tentu saja kegaduhan itu membuat Draco harus mengambil sikap. Draco memanggil Pansy untuk memberikan sentuhan pada penampilan Hermione dan menarik Blaise untuk berjaga di sayap barat. Sedangkan Draco harus tetap pada tempatnya—terpatri di meja pertemuan.
Dan disinilah ia sekarang.
Bersatu dengan orang-orang yang hampir sama dengan orang-orang yang ia temui di Liechtenstein. Anggota Inti bertambah—banyak orang-orang baru—Hermione tahu mereka semua, Hermione sering berpapasan pada mereka di pesta-pesta. Namun cukup terpana melihat perubahan signifikan itu. Dia ingat ketika Lucius masih harus duduk di sana.
Sebelum anaknya membunuhnya.
Hermione bergidik. Ia harus menahan getir ketika ia duduk terpekur sendirian—tepat di belakang Draco. Dia berharap ditelan oleh kegelapan.
Cahaya remang membuat udara di Manor lembab dan dingin. Hermione bisa merasakan angin di bulan Juli. Bahu telajangnya bergidik—dia menatap lantai ketika sesekali matanya berpapasan dengan mata Rabastan Lestrange. Seperti ular yang lapar, sesekali ia menjilat bibirnya ketika Hermione menatapnya.
Draco tidak tahu betapa ia takut. Hermione berusaha menyembunyikan diri di balik tubuhnya. Sesekali tatapannya menerawang, memandang kosong tengkuk lelaki pirang itu. Dia berharap Draco bisa melihatnya—membawanya pergi dan memberikan perlindungan di sayap barat.
"Antonin!" Hermione berjenggit ketika mendengar lengkingan Bellatrix. Dia tak mempunyai nyali untuk menatapnya. "mungkin kau siap misi selanjutnya? Penggerebekan tikus-tikus bawah tanah?"
"Aku mempunyai tugas baru, Bella."
Hermione hampir melompat ketika Bellatrix mendadak memukul meja di hadapannya. Matanya mendelik gila pada Antonin. "Apa yang membuatmu berpikir—pekerjaan macam apa—"
"Garis depan sudah cukup, Bella—masih banyak pasukan di barisanmu—kau tidak kekurangan kroni!"
"Beraninya kau—beraninya kau menyangkal tugas khusus Pangeran Kegelapan—"
"Bella," suara tuannya yang dingin dan hampa menghentikan kata-katanya. Bellatrix mencicit dan kembali terpekur di tempatnya. Voldemort mengedarkan pandangannya pada satu persatu pengikutnya. Dia memejamkan mata—sebelum membukanya dan menatap Antonin.
"Tuanku," Antonin menundukan wajahnya.
"Apakah pengampunanku masih belum mencukupi keserakahan kalian?"
Bellatrix menggeleng ngeri—dia menggumamkan tentang sesuatu yang berhubungan dengan kesetiaan dan pengabdian. Seluruh anggota membeku.
"Kau tidak menghormatiku, Bella." Ujar Voldemort dengan suara yang serak.
"Tuanku!" pekik Bellatrix, wajahnya hampir tertanam pada permukaan meja.
"Antonin tidak akan bergabung denganmu. Bisa dibilang—dia mempunyai pekerjaan yang tidak mengurangi kapasitasnya, dan kau tetap pada tugasmu, Bella."
Bellatrix mencicit di tempatnya. Hermione bisa merasakan kemenangan terpancar di wajah Antonin. Ketika suasana kembali hening—Hermione menahan napas—bahkan kegaduhan lebih baik daripada harus dihadapkan gegap gempita yang menegangkan.
"Draco,"
Draco tak bergerak di tempatnya. Melainkan menjawab dengan suara yang dalam. "Tuanku,"
"Anakku," ujar Voldemort tanpa sedikitpun rasa kasih di dalamnya. Hermione gemetar ketika Voldemort bangkit, Nagini mendesis di sisinya. "Jelaskan pencapaianmu, Draco." Lengannya terbuka. "Tentu saja kita harus mendengar pengabdian apa yang telah kaulakukan belakangan."
Draco menciptakan jeda sesaat. Seolah-olah menunggu semua mata tertuju padanya, memberi kesempatan mereka untuk menilainya. Ketika seorang pengikut merasa ketakutan menjadi pusat perhatian sang tuan, maka Draco adalah sebuah kebalikan. "Luxemburg yang terakhir, Tuanku. Eropa Barat hampir dikuasai oleh pasukan."
"Pembelot?"
"Diatasi, Tuanku."
"Luar biasa, pengabdian yang belum pernah tertandingi."
"Kesetiaan hanya padamu, Tuanku."
Voldemort menyipitkan mata, ekspresinya tak diragukan lagi mencerminkan kepuasan. Hermione tak bisa menahan diri untuk tak melirik Barnaby Greengrass yang bergerak tak nyaman di kursinya. Kapasitasnya dipertaruhkan.
"Tuanku," Barnaby bicara segera, tak akan melewatkan momen itu. "tapi yang kudengar berbeda. Ada desas-desus bahwa saat ini pasukan Order—" Voldermort menoleh padanya dengan gerakan yang lambat dan mengerikan—"informan khusus, lebih tepatnya. Mereka bergerak di sudut-sudur Eropa Barat—"
"Dimana sudah diatasi, Barnaby." Potong Draco tak sabar.
"Dan membentuk taktik geriliya baru. Hal sialan—"
"Bahasamu, Barnaby." Ujar Voldemort mendayu-dayu, tak lagi menatapnya.
"Dan penyerangan lain tentang kesalahan teknis? Kesalahan teknis?! Tidak ada yang terlalu bodoh untuk tak tahu bahwa itu salah satu bentuk tindakan Order. Menyerang salah satu benteng dengan pergerakan masif! Di Jerman!"
"Tentu saja aku tahu, Barnaby. Semua hal sialan itu—" balas Draco seraya berkedip pada Barnaby di seberangnya karena dia yakin Voldemort tak akan menginterupsi bahasanya. "sudah dalam kontrol yang tepat."
Semua orang bergantian menatap Draco dan Barnaby. Namun hanya seorang Draco Malfoy lah yang mempunyai keberanian melebihi semua orang di hadapan tuannya.
"Tuanku, mungkin sudah saatnya kita menunda penyebaran wilayah."
Kalimat itu tak hanya mengundang protes dari Barnaby, namun hampir seluruh penghuni kursi di ruangan itu. Tapi Voldemort selalu punya hak prerogatif untuk pengikut istimewanya. Ia mengangkat tangan, ruangan kembali gegap gempita. "Lanjutkan, Draco."
"Akan lebih baik jika kita mematenkan kekuasaan pada daerah-daerah yang sudah diduduki. Mengendalikan pemerintahannya lebih intens—mencari ke gorong-gorong para penghianat."
Draco tampak puas ketika tak ada seorang pun yang berani bersuara. Dia selalu menyukai perhatian—dan tak pernah gagal untuk membuat ruangan terperangah akan apa pun yang ia lakukan.
"Draco, aku tak ingin mendengar lebih jauh tentang hal-hal yang kau lakukan—kau tahu aku percaya padamu." Ujar Voldemort. "Bisa dibilang bahwa pembantaian dan pemutihan mulai membuatku bosan belakangan."
"Tuanku," kata Antonin, bergerak di kursinya. "Terkait budak-budak yang mulai bertambah, dan banyak pula dari mereka yang menghasilkan keturunan-keturunan kotor—"
"Jadi kau belum membantai mereka, Antonin?" Bellatrix tak bisa lagi menahan gairahnya untuk mengeluarkan pendapat. Matanya mendelik liar. "Setelah aku dan pasukan garis depan memperjuangkan kekuasaan, meratakan daerah-daerah murni dari kotoran-kotoran, dengan bodohnya kau biarkan mereka beranak pinak di depan hidungmu?"
"Beberapa tindakan sudah dilakukan, Bella. Kau tahu itu—"
"Tentu saja aku tahu betapa dungunya engkau, Antonin. Aku bahkan harus repot-repot ikut campur!"
Wajah Antonin Dolohov memerah menahan amarah. Penghinaan yang dilakukan Bellatrix meluluh lantahkan harga dirinya bertubi-tubi. Tangan yang terkepal di atas meja mampu mencerminkan seberapa kuat ia menahan diri untuk tak mengutuk penyihir itu.
"Draco, sayang, ceritakan apa yang sudah kulakukan untuk membersihkan nama baikmu." Ujar Bellatrix dengan perubahan suara manis yang menyeramkan.
Draco bergeming.
"Aku harus melempar kutukan pada Darah Lumpurnya!" pekik Bellatrix.
Hermione menegang, merasa suara Bellatrix tak pernah meninggalkan pendengarannya. Dia merasakan dadanya bergemuruh hebat—tanpa disadari kukunya sudah tertanam pada kedua pahanya—kerongkongannya tersekat ketika ia bernapas.
Apakah dengan tangan maya Bellatrix baru saja mencekiknya?
Hermione tidak bersembunyi lagi di balik Draco. Dia mengangkat wajahnya untuk bisa melihat wanita sinting di seberangnya. Dia berharap kekuatan sihirnya masih tersisa di tubuhnya—sehingga dia bisa—andai saja dia bisa melucuti penyihir itu—
Namun dia merasakan Draco menggapai tangannya. Lelaki itu tidak menoleh, bahkan tidak bergeming.
Bagaimana bisa—?
Hermione merasakan air mata memenuhi pandangannya. Dia membutuhkan seluruh kekuatan untuk tidak mengeluarkan isak tangis yang terbendung di kerongkongannya. Draco meremas genggamannya, seolah mengendalikannya. Seperti yang biasa ia lakukan. Hermione selalu bisa dikendalikan.
Draco tahu, dan dia membohonginya.
Perundingan biadab kembali berlangsung dan ia tak mampu lagi berpikir jernih. Hermione tak bisa mendengar lebih jauh, pikirannya tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Dia merasa beberapa mata masih tertuju padanya. Berbicara terang-terangan, menghakimi. Bellatrix masih berkoar di tempatnya, pemutihan dan murni dari mereka yang kotor.
Tak berhak untuk menciptakan kotoran yang lain, Bellatrix selalu bilang. Mereka mulai dibasmi dan mereka dilarang untuk mempunyai keturunan.
Pidato panjang dan mengerikan tentang penyegelan kekuatan sihir dan memberikan mantra steril bagi Darah Lumpur diakhiri oleh Antonin. Hermione merasakan telapak tangannya basah—dia sudah berusaha—namun Draco tak melepaskan cengkraman pada tangannya.
Ketika rapat selesai, Voldemort meninggalkan tempat itu dengan ularnya. Para pengikutnya baru menampakan gigi-gigi mereka ketika tuannya enyah.
"Draco!" desis Bellatrix, masih dengan seringai puas di wajahnya—tentu saja, Antonin akhirnya memberikan apa yang ia mau dengar. "Perintahkan Darah Lumpurmu memberikan hidangan! Kita lihat seberapa pantas dia—menggerayangi meja seperti Muggle kotor—iya kan, Rabastan?"
Kedua lututnya gemetar hebat ketika ia berusaha menegakan tubuhnya—namun Draco tak bisa seterusnya menjadi penyelamat. Hermione tidak bisa mengambil resiko atas murka Bellatrix Lestrange di perjamuan, dihadapan seluruh pengikut Voldemort yang merasa jijik dengannya. Tidak, tak ada lagi kekuatan yang tersisa untuk menanggung semua itu.
Bellatrix mengusir Peri Rumah dan tak diizinkan untuk masuk ke dalam area pertemuan. Hermione dengan beberapa perempuan bawaan para Anggota Inti Pelahap Maut harus mengantar, saling berbagi pertolongan, menyajikan hidangan.
Hermione melihat Hannah Abbott, namun tak bisa berbuat lebih selain pandangan diam penuh keputus asaan yang saling bertukar. Dia mengenyampingkan pemikiran tentang bagaimana bisa gadis itu berada di sana.
Ketika ia harus berada dekat dengan Bellatrix, Hermione merasakan mata hitam itu tak meninggalkannya. Hermione bersumpah mendengarnya mendesis pada setiap jarak yang lebih sempit di antara mereka—tangannya gemetar hebat ketika tiba-tiba Rabastan menyentuhnya lengannya.
Bellatrix terkikik—bukan jenis kikikan menyenangkan. Penyihir sinting itu melempar pandangan puas, seolah memberi dukungan pada adik iparnya untuk berbuat sesuatu yang lebih liar.
Hermione tidak mempunyai nyali untuk mengerling siapa pun. Namun dia bisa merasakan pandangan Draco—seolah seperti pedang yang tak kasat mata—menusuknya.
"Draco, keponakanku, bagaimana jika kita membiarkan Rabastan bermain-main dengannya malam ini?"
Hermione kesulitan bernapas. Berharap pada Merlin agar Draco tak membuat suasana menjadi lebih buruk.
"Tidak cukupkah beberapa pelacur yang kukirimkan padamu di waktu yang lalu, Rab?" tanya Draco pada Rabastan dengan suara yang tenang. Dia sudah lama meninggalkan rasa hormat kepada pamannya.
Rabastan mendongak untuk menatapnya, Hermione bergidik—makhluk buas ini menyeringai. "Aku bertanya-tanya kenapa para Malfoy selalu mempunyai pilihan sendiri."
"Kau tahu bagaimana caraku bermain dengan pelacur-pelacur yang dimiliki Carrow hampir setiap malam, Rab."
"Selalu punya hal yang baik untuk disimpan sendiri—Para Malfoy."
Hermione melepaskan diri dari cengkraman Rabastan di lengannya. Muak mendengarnya terkekeh dengan kawanannya yang lain. Malam ini dia sudah cukup menarik banyak perhatian—jadi dia segera enyah. Draco memberi isyarat dengan melemparkan dagunya pada pintu keluar ruang pertemuan. Hermione tak perlu diperintah dua kali.
Blaise seperti fungsinya selalu—berada di koridor—hanya bisa memandanginya dengan saksama gerak-geriknya. Hermione tak pernah melihatnya menatapnya seperti itu.
Apakah dia mengetahui semuanya?
Apakah dia juga tahu bagaimana Hermione diperlakukan?
Hermione tidak meragukannya. Bahunya bersentuhan dengan bahu Blaise ketika mereka berpapasan. Dia tak ingat kapan lelaki itu mulai bisa berperangai dengan baik dengannya.
Namun Hermione merasa dia tahu ketika ia menyusuri koridor yang gelap dan sunyi bersimbah air mata. Dan tidak ada yang berusaha menghentikannya.
Hermione mendengar pintu terbuka secara sihir dan kembali tertutup dengan suara yang teredam di kesunyian malam.
Ruangannya tak pernah mempunyai cahaya yang cukup, hanya api yang dinyalakan secara sihir di sudut dan dimandikan cahaya bulan dari jendela balkonnya. Hermione tidak tahu sudah berapa lama ia terpekur di atas ubin memeluk lutut dan bersandar pada ranjangnya.
Dia mendengar suara langkah sampai Draco berhenti di hadapannya. Lelaki itu menekuk salah satu kakinya untuk berlutut sejajar dengan Hermione. Ketika Hermione menengadah untuk menatap matanya, dia sulit membedakan siapa yang paling terluka malam itu.
Tangan pucat Draco tampak bersinar di bawah cahaya—kontras dengan kegelapan yang ada—terulur untuk menyentuh pipinya. Air mata itu mengering, namun selalu mempunyai cara untuk membasahi pipinya lagi dan lagi. Gaun malam satin yang ia kenakan tak melindunginya dari dinginnya malam, namun dia tak peduli. Rasa sakit yang lain telah bersarang abadi di hatinya.
Merlin, kenapa rasa sakit ini tak pernah sembuh?
"Mereka akan membayar semunya, Draco." Ujarnya sangau. Gumpalan batu seolah menyekat kerongkongannya.
Draco menatapnya khidmat, sebelum mengangguk perlahan. Isak Hermione pecah merasakan kemarahan yang terbendung. Draco menariknya pada pelukan, menanamkan dagunya di puncak kepalanya
Draco tak pernah benar-benar meninggalkannya. Dia seharusnya marah padanya—dia harus menjadi salah satu yang disalahkan pada apa pun yang terjadi.
Namun tak ada ruang bagi Draco untuk menerima kemurkaannya. Tak pernah ada ruang.
"Katakan kau akan membalas apa yang mereka lakukan." Bisik Hermione disela-sela isak pedihnya.
"Mereka akan menerima balasannya, Granger." Ujar Draco. Hermione memejamkan matanya, dia membenci dirinya sendiri atas ketidak berdayaan ini.
"Apakah—" suaranya tersekat. "apakah kau tahu bahwa Bellatrix dibalik semua itu? Malam ketika mereka menyerangku?"
Draco bergeming. Hermione tak memiliki sisa hati lagi untuk dihancurkan.
"Mereka akan membawamu jika aku melawan, kau tahu itu, Granger." Ujar Draco dengan suara yang teredam. "Mereka tak pernah memberi pilihan."
Tentu saja, tentu saja, Draco. Tidak pernah ada pilihan bagi orang-orang seperti dirinya di dunia ini.
"Namun hal itu tak akan terulang lagi, aku akan pastikan kau akan hidup tenang di sini."
Hermione menarik diri, tergeragap ketika ia melepas sentuhan Draco pada tubuhnya, menatap tak percaya. "Tenang? Di bagian dunia yang mana—yang tersisa untukku—agar aku bisa menjalani hidup seperti itu, Draco?" air mata masih berjatuhan di pipinya. "Berapa harga yang harus kaubayar—kesetiaan macam apalagi—agar kau bisa menciptakan dunia itu untukku?"
"Kau tahu aku selalu—tak pernah berhenti—dalam usahaku, Granger."
"Dan?" Hermione merasakan cengkraman Draco mengendur di pundaknya. Sekilas dia melihat kekosongan pada mata biru kelabu itu. Hermione putus asa. "Aku tak pantas berada disini."
"Jangan mulai lagi, Granger." Kata Draco, suaranya berbahaya. "Berhenti untuk berpikir hal-hal gila."
"Aku tak ingin lagi berpikir, Draco. Aku ingin bertindak." Balas Hermione keras. "Aku tahu kau pernah merubah pikiranmu—aku tahu usaha dengan Harry memiliki arti. Kau hanya menarik diri!"
"Kau tak pernah tahu dimana kesetianku, Granger."
"Tentu saja, bahkan dirimu sendiri pun tak tahu apa yang kauinginkan!"
"Yang kutahu adalah aku ingin kekuasaan. Tak peduli disisi mana itu berasal."
"Dan kau harus mengorbankan banyak hal untuk mendapatkannya. Kau harus melepaskanku dari belenggu ini—karena, aku telah bersumpah, jika aku tahu dalang dibalik kejadian malam itu, aku akan melawan mereka dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki."
Draco mendengus, menyulut keberanian di dadanya untuk bertindak lebih jauh.
"Ingin mendengar yang lebih menyedihkan, Draco?" Hermione memiringkan kepalanya, dia puas ketika mata Draco menyipit waspada. "Kau tahu bahwa Order bergerak di bawah tanah, dimana mereka berada, namun kau masih bergelut dengan pikiranmu sendiri tentang arah yang harus kaupilih."
"Kau naif, Granger."
"Tidak, aku mengenalmu, Draco." Ujar Hermione. "Dan kau lupa bahwa aku adalah Penyihir Paling Bersinar pada masanya. Oh, ya akuilah—" ketika ia Draco menggeleng dan mencibir. "dan aku memutuskan untuk kembali pada masa itu."
Sesaat Hermione melihat badai bergejolak di sorotan mata itu—sulit baginya menilai ekspresi Draco. Lelaki pirang itu tak lagi menyentuh pundaknya. Hermione tahu bahwa semua ini juga menggetarkannya. Ia tentu saja tak akan rela untuk menjadi satu-satunya yang terluka.
"Kau harus membantuku, Draco."
Draco hanya menatapnya.
"Aku tahu kau berusaha melindungiku dengan menjadi yang terbaik—tapi itu tak cukup, dan kau tahu itu."
"Ketamakan itu terlalu banyak, Granger."
"Tidak, kau bertanya apa yang aku inginkan. Saat ini aku telah menemukan jawabannya—aku ingin kembali pada Order—dan—dan—kau membantuku dari dalam—kau Occlumens yang handal—kau tak akan tertangkap—"
"Kembali pada akalmu, Granger. Bahkan Potter tak tahu apa yang harus ia lakukan, dia kehilangan arah ketika aku menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ia rencakan dibalik semua gerakan ini."
"Karena dia tak memiliki sumber-sumber yang tepat untuk berbagi!"
"Dan apa? Kau akan menyusup keluar dari Manor ini—dengan tololnya—dan apa tepatnya yang akan kukatakan pada Pangeran Kegelapan? Bahwa kau lolos di bawah pengawasanku? Kemana mereka pikir kau akan pergi? Mereka akan mencari setiap gorong-gorong—sampai akhirnya mereka menemukanmu dan Ordermu—membantai mereka semua sebelum serangan balasan dimulai."
Hermione tergagap—ada begitu banyak tangkalan untuk pernyataan itu, namun Draco telah mengambil hak bicaranya secepat mungkin.
"Aku tak akan lagi bisa menolongmu setelah itu, Granger. Mereka akan menyiksaku untuk bicara—sampai aku memohon untuk mati. Karena hal itu yang sering terjadi pada penghianat. Tentu saja itu semua akan jauh dari perhitungan pikiran jeniusmu?"
"Kita bisa merencanakan dengan lebih baik, Draco. Kau penyusun taktik paling handal dalam pertempuran."
"Oh tidak, kau harus memperhitungkan peran kekuasaan dalam setiap tindakan, Granger." Draco mencibir. "Intimidasi adalah hal yang cocok untuk kami."
Hermione mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti—
"Sekarang giliranku bertanya padamu, setelah begitu banyak hal yang kauminta dariku." Punggung Draco menegang.
Hermione masih menatapnya. Semangat telah memanaskan tubuhnya dan mengeringkan sisa-sisa air matanya.
"Apa yang akan terjadi padaku seandainya Order berhasil merebut kekuasaan?"
Angin berhembus—membelai pundak telanjangnya—dan menyapu rambut pirang Draco yang sudah keluar dari tatanan. Mereka telah mengenyampingkan keras hati dalam pembicaraan ini—langkah yang bagus—namun Hermione masih belum memahaminya. Tentu saja mereka akan menerimanya—seperti dia menerima Hermione. Bagaimana bisa Draco menghawatirkan hal itu?
"Aku telah membunuh lusinan anggota mereka, Granger." Ujar Draco tenang.
Hermione menggeleng, Draco tidak mengerti bahwa mereka selalu membuka pintu bagi siapa pun. Mereka tak berada di bawah kuasa penindasan Voldemort lagi—
"Akan selalu ada bayaran untuk perbuatan yang kaulakukan. Tidak peduli seberapa banyak kau mencoba untuk menebusnya."
Draco bangkit, Hermione merasa kekosongan semakin tebal membelenggunya ketika tak ada lagi perdebatan—tak ada sanggahan darinya. Kenapa hal ini bahkan lebih buruk dari sebelumnya? Draco selalu mempunyai kata-kata untuk menutup mulutnya, bahkan dengan berbagai hal.
Dengan getir dia membiarkan punggung Draco mengilang di balik pintu yang tertutup. Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan udara di malam itu menyadarkannya—bahwa apa pun yang ia inginkan tak benar-benar membawanya pada hal yang nyata.
Dia kehilangan arah.
"Hermione Granger, darah lumpur, terdaftar milik Malfoy sejak 1999?"
Hermione menatap pria berambut gelap dan berbadan kekar di hadapannya. Berlembar-lembar perkamen di tangannya. Ia menyipitkan matanya untuk menatap perkamen dan Hermione bergantian. Sesekali dia mengerling pada Draco—tak heran jika lelaki itu melipat tangan di dada, mengetuk kaki kirinya berkali-kali ke lantai—mencerminkan dengan jelas bahwa kesabarannya merupakan hal yang sulit untuk ditanggung.
Warewolf ini adalah anak buah Greyback. Hermione tidak tahu namanya—hanya satu dari sebagian sampah yang di pekerjakan oleh Pelahap Maut—untuk mengintimidasi perempuan bawaan para bangsawan ke pertemuan-pertemuan.
Ketika Draco membawanya ke Luxemburg—tempat terakhir di Eropa Barat yang berhasil ditundukan pemerintahan sihirnya—seperti biasa, mereka harus mengadakan dan menghadiri pesta perayaan. Terkadang dengan pikiran muak, Hermione harus mengakui bahwa acara itu juga tak lebih dari sekedar perkumpulan orang-orang sampah.
Ketika tangan warefolf itu mencoba menyentuh pergelangan tangannya, Draco mencengkram lengannya terlebih dahulu. Hermione tidak terkejut ketika melihat buku-buku jari yang pucat itu memutih. Dengan pegangan itu, Draco tampak mampu mematahkan pergelangan tangan sang warewolf.
"Hanya prosedur, Malfoy."
"Jangan coba-coba." ujar Draco singkat dan dalam. Ekspresi wajahnya dingin.
"Carrow membutuhkan data darah lumpur yang datang apakah mereka dalam keadaan hamil atau subur. Kau tahu prosedurnya, Malfoy."
Draco tak memperdulikan antrian masuk di belakangnya yang semakin memanjang untuk masuk ke dalam kastil. Dia tampaknya bersedia menghabiskan waktu semalaman hanya untuk mengintimidasi makhluk ini. Ketika Draco maju untuk berbisik dengan suara yang berat dan mengancam, warewolf itu mundur selangkah. Hermione tak pernah melihat seekor warewolf ketakutan sebelumnya.
"Kalau begitu kau juga tahu bahwa aku mempunyai kuasa penuh atas seluruh eksekusi yang kuanggap perlu."
Mereka tak perlu menghabiskan waktu lebih lama lagi, karena sang warewolf tak akan bersedia berada di dekatnya dalam keadaan apa pun. Hermione merasakan tangan Draco menyentuh punggung telanjangnya. Dia menahan napas ketika memasuki pintu kastil yang megah dan terang.
Malam perayaan ini tak berbeda dari malam-malam yang lain. Dia melihat banyak perempuan yang mulai berkeliaran. Diantaranya dengan pandangan kosong dan linglung, senyum palsu menghiasi bibir mereka. Hermione masih mencari—dia menemukan beberapa gadis yang ia kenal—namun ia hanya mencari satu orang malam ini. Hal itulah yang menjadi alasannya untuk setuju ikut dengan Draco.
"Aku ingin bertemu dengan Ginny, Malfoy." Kata Hermione, dengan desakan yang khas sebelum ia bilang setuju untuk datang dengannya malam ini. Draco memejamkan matanya dan menghela napas putus asa, tak lagi mempunyai kata-kata untuk menolaknya, karena ia tahu akan sia-sia.
Jadi ketika Draco membawanya pada ruangan khusus, dimana para bangsawan terpilih yang boleh memasukinya, ia melihat Ginny di sudut ruangan dengan tubuh yang lemas dan pandangan yang hampa. Seorang pria yang jauh lebih tua—tak dikenalnya—berada di sampingnya. Tangan melingkari pundak Ginny dan ia tak tampak keberatan dengan hal itu. Hermione menghela napas dengan getir—mengucap syukur ketika ia melihat bahwa kini setidaknya mereka membiarkannya mengenakan gaun.
"Kau berjanji akan mendengarkanku, Granger." Bisik Draco di telinganya, menyamarkan gerak-geriknya seolah-olah ia tengah mencium pipinya. Hermione mengalihkan pandangannya dari Ginny.
"Aku ingin bicara dengannya."
"Tidakkah kau lihat bahwa dia dalam Kutukan Imperius?"
Hermione tidak bodoh, namun ia mempunyai kecenderungan akan tuntutan. "Kau akan melakukannya untukku."
Draco bersumpah di bawah napasnya. Namun ia menuntun Hermione pada sebuah ruangan lagi, menyadari bahwa tempat itu lebih gelap dan senggang, ia tahu bahwa ia punya harapan. Draco meninggalkannya pada sebuah ruangan yang sempit dan menguncinya. Hal itu ia yakin dilakukan bukan karena Hermione akan melarikan diri, melainkan agar tak ada orang lain yang akan menghambur masuk dan menyergapnya.
Ketika beberapa waktu berlalu—yang tampak sangat lambat dan menegangkan bagi Hermione—akhirnya pintu terbuka. Jantung Hermione berpacu ketika ia melihat sosok Ginny tersandung dan—Hermione merasakan kerongkongannya tersekat ketika menyadarinya—bahwa ia dipenuhi dengan luka memar di pundak dan lengannya. Hermione tak membuang waktu lebih banyak lagi. Ia mendekat dan meraih lengan Ginny. Setelah pintu tertutup dan Hermione yakin mendengar bunyi klik, ia mendekat.
"Ginny?"
Namun Ginny hanya menatapnya dengan pandangan yang kosong. Hati Hermione hancur berkeping-keping.
"Maafkan aku, Ginny. Maafkan karena aku—" air mata tak terbendung dan jatuh di kedua belah pipinya. "baru menemuimu."
Ginny tak tampak peduli dengan pandangan apa pun di hadapannya. Rasa panas meluap di hatinya—ketika ia harus mempertaruhkan diri untuk menemuinya—bahkan Ginny tak menyadari bahaya apa yang bisa mengancamnya kapan saja.
Hermione merengkuh Ginny di pelukannya, memejamkan matanya dan berharap bahwa bayang-bayang akan kejadian dimana para Pelahap Maut utusan Bellatrix Lestrange mengepung markas Order tak pernah melintas di kepalanya. Bagaimana mereka mempertahankan diri, membungkam mulut dan disiksa.
Tubuh Hermione bergetar hebat mengingat malam terakhir ketika ia mendengar perdebatan antara Harry dan Ginny di The Heatcliff mengenai dirinya. Jika malam penyergapan Order itu adalah malam terakhir dimana Ginny bisa melihat keluarga dan teman-temannya, maka Harry akan dihantui penyesalan di sisa hidupnya. Ya, bajingan itu harus merasa begitu.
Hermione tahu Ginny tak pernah benar-benar membencinya. Dia hanya bersikap sewajarnya—bagaimana ketika seorang perempuan melihat perempuan lain dicintai oleh lelaki yang ia inginkan di seumur hidupnya.
Kemarahan menguasai dirinya. Ketika kedua lengan Ginny masih bergantung lemas di sisi tubuhnya, Hermione melepaskan pelukannya.
"Ginny, aku tahu kau bisa memahamiku." Kata Hermione, menghapus air matanya. "Aku akan mengeluarkanmu. Bertahanlah—beri aku waktu."
Sekilas, Hermione melihat mata itu memancarkan kilat yang berbeda. Hermione mengangguk ketika ia merasakan Ginny berusaha sekuat tenaga untuk melawan Kutukan Imperius yang menguasainya—namun sia-sia. Dia harus membuatnya tetap sama seperti sebelum Draco membawanya ke sini. Jika tidak, Carrow akan memburunya.
Ketika Hermione mengetuk pintu, seorang perempuan menyembul dari balik pintu. Draco tak ada di mana pun. Bukan menjadi soal, karena ia tahu bahwa lelaki itu akan selalu mempunyai urusannya sendiri. Kelegaan menyelimuti ketika Ginny dituntun keluar, Hermione mengamati punggungnya menjauh. Masih bersembunyi dari balik pintu.
Di waktu yang lama ia termangu, hingga ia lupa dimana ia berada, Hermione disadarkan oleh sebuah tarikan di tangannya. Ia mendongak untuk menatap Draco, namun ia seperti dihantam gondam ketika melihat Rabastan Lestrange tinggi menjulang di hadapannya. Seringai terpampang di wajahnya. Mata gelap itu bersinar mengerikan—Hermione mencoba menarik diri.
Dia seperti bertemu jalan buntu.
"Kehilangan pemilikmu, Darah Lumpur?" geramnya.
"Kau akan melepaskanku, jika tak ingin terlibat malam yang panjang, Rabastan." Lelaki itu tampak kaget mendengar namanya disebut oleh Hermione—seolah ia telah mengatakan sesuatu yang cabul dan menggugah gairahnya untuk bertindak lebih jauh.
"Aku akan menuntunmu kembali pada tuanmu." Ujar Rabastan dengan kesopanan yang mencurigakan. Hermione tidak akan percaya dengan apa pun yang ditawarkan oleh orang seperti dirinya. Rabastan melepaskan tangannya dan tampak tak berniat untuk menyentuhnya lagi.
"Aku akan menunggunya di sini."
"Dengan pria-pria ini?" tanyanya. Hermione mengedarkan pandangan sekilas, setidaknya lelaki itu benar ketika Hermione melihat ruangan itu dipenuhi dengan para lelaki yang mabuk dan melakukan banyak pelecehan pada perempuan-perempuan yang bisa mereka rengkuh. Hermione menelehan ludah dengan gugup.
Dia tak bisa mempercayai siapa pun.
"Sebagai langkah awal aku akan menuntunmu keluar, kembali ke kerumunan pesta."
Hermione menghela napas. Diam-diam masih menatap keliling, berharap kepala pirang muncul dari mana pun. Ketika mereka berjalan menyusuri ruangan yang remang itu, menuju pintu keluar dan kembali pada pesta, Hermione melirik Rabastan di hadapannya.
Pria ini mempunyai perawakan yang tak jauh berbeda dari kakaknya, Rodolphus. Mempunyai rahang yang kuat dan tirus, membuat kesan yang tegas. Ia mempunyai rambut hitam kecoklatan yang agak panjang—mengingatkannya pada Snape—namun rambut itu tampak halus dan teratur. Sesekali Rabastan menyisir rambutnya dengan jari-jarinya.
Berapa umurnya?—tiga puluh lima? Hampir menyentuh empat puluh? Hermione menebak-nebak mengingat Rodolphus adalah suami Bellatrix Lestrange, dengan begitu ia bisa menarik kesimpulan kira-kira berapa umur sang kakak dan perbedaannya dengan sang adik. Dia tak bisa mempercayai perawakannya. Pandangan pertama pada Rabastan pasti meninggalkan kesan bahwa dia adalah anak lelaki berkisaran dua puluh lima tahun.
Hermione mengikutinya hingga pria itu membuka pintu menuju pesta—dan menahannya untuknya. Langkah yang menakutkan, Hermione khawatir karena rasa kepercayaan mulai muncul padanya.
Dia tidak bertanya kenapa Malfoy meninggalkannya di ruangan khusus itu. Rabastan terus berjalan membelah kerumunan dan Hermione tertegun pada diri sendiri karena ia masih mengikutinya. Lelaki itu mempunyai perangai yang berseberangan dengan kakaknya—ia tampak lebih pendiam—ada kesan kesopanan, tenang dan maskulin di wajahnya. Namun tak meninggalkan kesan kesombongan disetiap ekspresinya.
Hermione tak pernah menyangkal bahwa ia memang tampan, namun ia tak ingin menarik kesimpulan itu dengan mendeskripsikan lebih jauh. Ia menatap otot tangannya ketika lelaki itu mengangkat tangannya untuk menyisir rambutnya lagi—Merlin, dimana sih Draco?
"Kau akan berada di sini karena Bella akan memburumu jika kau berkeliaran sendiri." Ujarnya dengan suara yang tenang. "Ingin minum?"
"Tidak." Jawab Hermione cepat. Apakah Draco bisa menemukannya di sini? Ia menatap sekeliling—memperhatikan apa pun—asal bukan sosok tinggi menjulang di sampingnya.
Hermione tidak bisa menahan diri untuk tidak meliriknya ketika Rabastan menyeruput segelas champagne. Pria itu secara terang-terangan menatapinya—membuatnya berkali-kali menghela napas dan gugup di bawah pengawasannya.
Dia tak seburuk bayangnya—bahkan tak sekejam yang ia lihat di perjamuan. Namun, Merlin, Hermione akan lebih memilih untuk sendirian dari pada bersamanya. Bahkan dalam kerumunan.
"Tenanglah, burung kecil." Ujar Rabastan, menyeringai di balik gelasnya. Hermione mengabaikannya. "Apakah kau tahu apa yang Draco lakukan sekarang?"
Well, kalaupun dia tahu, Hermione enggan untuk berbagi informasi dengannya. "Tidak."
"Bisakah kau mengatakan hal lain? Kau tak tampak membosankan jika dilihat dari kejauhan."
"Ramah tamah bukan caraku." Ujar Hermione dingin. Ia mengumpulkan keberanian, walaupun rambut di tengkuknya berdiri ketika mengatahui fakta bahwa Rabastan sering menatapinya dari kejauhan.
"Kau ramah dengan Zabini."
"Jika terlibat sebuah perbincangan berarti keramahan, maka saat ini aku juga sedang ramah denganmu."
"Menarik." Ujar Rabastan, menyeruput minumannya lai. Mata cokelatnya tak meninggalkan Hermione sedikitpun. "Apakah Draco yang memilih itu?"
Rabastan menunjuk lehernya dengan dagunya, Hermione secara spontan menyentuh kalung yang ia kenakan. Sebuah kalung perak dengan berlian zambrud, ia tak memungkiri keindahannya mengingat hampir seluruh perempuan yang ia temui menatapnya. "Ya."
"Aku bisa memberikan yang lebih baik, kau tahu."
Hermione mengerutkan dahinya, kehilangan kata-kata. Dia benar-benar menakutkan.
"Kau bisa memilih apa pun. Kau akan punya banyak pilihan. Hidup dimana pun yang kau inginkan. Jauh dari Albania."
Hermione terjebak dalam kebingungan dan terhina dalam saat yang bersamaan. Apakah dia terlihat seperti perempuan yang mudah untuk disuap dengan barang-barang bagus dan menjanjikan dalam pertemuan pertama? Hermione harus menegaskan bahwa ia salah.
"Aku tak tertarik dengan hal-hal seperti itu."
"Apa yang mebuatmu tertarik?" tanya Rabastan. Hermione heran karena suara itu masih terdengar ramah di telinganya—dia tak tampak seperti penjahat yang mudah tersinggung.
"Aku tak akan menjelaskan."
"Aku akan dengan senang hati mencari tahu."
"Untuk apa?" tanya Hermione, merasakan keberanian mulai membakarnya. Dia mengenyampingkan fakta dengan siapa ia berhadapan. "Jika kau tampak putus asa untuk sekedar mencari penghangat tempat tidurmu dan menyukai hal-hal yang kau tawarkan tadi, aku mempunyai beberapa teman."
Rabastan tertawa—dan Hermione mendelik. Dia tidak suka dengan caranya tertawa—terdengar renyah dan bersahabat. Bukankah seharusnya dia kejam dan kasar? Tidak mempunyai simpati dengan martabat perempuan?
"Keberanian yang mengagumkan."
Hermione tidak merespon. Ia melipat tangannya di dada, matanya kembali berkeliling.
"Kau akan membutuhkan pelindung baru." Kata Rabastan. Tangannya bertautan ke belakang, ia juga memperhatikan kerumunan. Hermione mulai terbiasa dengan kata-kata yang menimbulkan kebingungan.
"Aku tak membutuhkan apa pun."
Rabastan mendengus. "Tentu saja kau membutuhkan sesuatu."
"Apa maksutmu?"
"Aku tak akan menjelaskan."
Hermione terperangah, Rabastan memiringkan wajahnya—tertawa kecil. Apakah dia baru saja mencoba menggodanya? Hermione menyipitkan matanya. Apakah ia tak takut jika Bellatrix mendengar caranya bicara dengannya?
Hermione berjenggit ketika merasakan tarikan pada sikunya. Ia hampir menampar tangan si pemilik tangan—yakin bahwa itu adalah Rabastan—namun ketika ia mendongak Draco sudah ada di depannya dengan wajah merah dan rambut yang keluar dari tatanan. Tatapannya tak ramah.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku mencarimu."
Draco melirik Rabastan. "Kita harus kembali."
Ketika Draco menariknya membelah kerumunan, Hermione menengok ke belakang—tak menyadari apa yang ia lakukan—dan menatap Rabastan yang berdiri mematung di tempatnya. Lelaki itu cukup bijak untuk tak ikut campur—bahkan ketika ia menjauh, Rabastan mengangkat gelasnya secara samar—mengisyaratkan selamat tinggal atas kepergiannya.
Hermione kembali pada Draco, mencoba mencari jawaban kenapa mereka harus terburu-buru meninggalkan pesta. Karena dia masih mempunyai beberapa permintaan.
"Draco—"
"Diam."
Kerumunan membuatnya kesulitan bernapas, dia merasakan semua pandangan jatuh pada mereka—pada Draco? Hermione tidak ingin melirik sekitar. Mata-mata itu selalu mempunyai ruang untuk menilai.
Ketika mereka melihat pintu, hampir menggapainya, Draco berhenti. Hermione hampir menabrak punggungnya. Ia terkesima dengan kehadiran Barnaby Greengrass—yang ia yakin—menjadi alasan atas terhambatnya akses menuju pintu. Seorang perempuan dengan rambut gelap dan mata biru cerah di sampingnya. Wajah itu tak asing, karena Hermione pernah melihatnya sekilas di Hogwarts dulu.
"Draco," suara Barnaby berat dan menuntut. Hermione merasakan pegangan Draco pada pergelangan tangannya menguat, ia mengernyit. "pembicaraan belum selesai, aku sudah meminta Bellatrix mempersiapkan ruang pertemuan."
"Aku telah mengatakannya, Barnaby. Dan aku tak ingin membuang napas dengan mengatakannya berkali-kali."
"Kau tidak bisa menyangkal titah Pangeran Kegelapan, Draco."
Mata Draco menyipit, bukan langkah yang baik bagi Barnaby. "Minggir."
"Haruskah aku memperkenalkan putriku pada gundikmu dulu? Aku tak keberatan—" Barnaby tersenyum, mengingatkannya pada perangai Lucius dalam memanipulasi seseorang yang bukan mitranya. Barnaby menatap Hermione. "Astoria, kau akan sering melihatnya nanti."
"Dan tentu saja kau akan menempati Malfoy Manor, namun—"
"Oh, diam, Barnaby. Apakah kau selalu seperti ini? Tak mempunyai harga diri?"
"Aku tahu yang terbaik, Draco."
Hermione merasakan tarikan, Draco telah membawanya pergi lagi. Dia memejamkan matanya ketika mereka mencapai pintu. Hermione tak ingin menatap sosok di hadapannya. Dia mendogak menatap langit hitam yang suram dan merasakan angin malam di bulan Juli menyapu kulitnya.
Draco tak mengeluarkan sepatah kata pun. Menandakan bahwa pikirannya sama bergejolaknya seperti pikirannya saat ini.
.
