17

.

MALAM selanjutnya adalah malam-malam yang sepi dan suram. Ketika fajar menjemput dan sinar matahari menerobos masuk melalui balkon, Hermione sadar bahwa ia tetap terjaga.

Hermione menatap Wigby dihadapannya. Peri rumah itu menggerutu disetiap pagi, tak pernah mengurangi kesan bahwa ia tidak menyukainya—tak peduli sudah berapa lama ia melayaninya. Namun ia lupa kapan terakhir kali ia mengingatnya. Kapan ia menyentuh makanannya dengan selera, dan kapan ia keluar dari ruangannya.

Wigby membawakan beberapa buku baru. Hermione memejamkan matanya ketika angin berhebus memasuki ruangannya. Sudah memasuki waktu tengah hari dan dia masih mengenakan gaun tidur, hal itu menjadi kebiasaan baru untuknya. Hermione terpekur di kursi malam balkon.

"Nona?"

Hermione tidak merespon.

"Tuan Zabini meminta untuk bertemu."

"Biarkan dia masuk."

Beberapa menit setelah suara krak, pintu terbuka. Menandakan bahwa Blaise telah berada di Sayap Barat, yakin bahwa Hermione tak mungkin menolak kedatangannya.

"Granger?"

Hermione merasakan kehadirannya di belakangnya. "Blaise."

"Satu bulan." Ujar Blaise. "Satu bulan sudah seolah kau menghilang dari peradaban."

Hermione termenung.

"Well, aku tak melihatmu di pesta-pesta."

Hermione tersenyum, menyadari bahwa Blaise tidak merasakan senyum yang semestinya. "Aku memberi ruang agar semua orang membiasakan diri."

Blaise mendengus. "Oh, betapa baiknya engkau."

Hermione mengabaikan cibiran itu. Dia bangkit dan melihat Blaise dengan setelannya. Jubah hitam yang mengagumkan, membungkus setiap otot-otot di tubuhnya dengan sempurna. Hermione mengabaikan niatnya untuk memperhatikan lebih jauh bunga mawar merah di kantung jubahnya. "Apa yang kauinginkan, Blaise?"

"Hanya mengunjungi teman."

"Hati-hati, Blaise, mengunjungi simpanan temanmu akan membawamu pada nasib buruk."

Hermione mencoba sebisa mungkin untuk menjaga agar dagunya tetap tinggi dan nadanya tetap lugas, namun tatapan Blaise padanya meluluh lantahkan mentalnya. Kenapa dia selalu datang pada saat-saat terburuk?

Hermione tak bisa membendung air matanya yang menetes membasahi pipinya. Blaise datang padanya, merengkuhnya. Sulit untuk bernapas ketika udara tersumbat untuk masuk ke dalam rongga paru-parunya. Namun pelukan Blaise tak membuatnya lebih buruk. Hermione menyembunyikan wajahnya pada lelukan leher lelaki itu.

"Mereka merenggut semuanya, Blaise." isak Hermione.

"Draco akan mengatasinya."

"Tidak, dia dalam jalan buntu." Rintih Hermione pedih.

"Kau masih memilikiku."

Tapi dengan ketamakannya, itu tidak cukup, pikir Hermione. Dia bisa membohongi orang lain bahwa dia benar-benar ditinggalkan dan sendirian. Dia selalu membayangkan semua kemungkinan terburuk yang akan menimpanya di masa mendatang, mendengar Pansy bicara dengan gamblang bahwa nasib tak akan membawanya kemana pun. Dia tidak tersinggung, namun ia tetap merana ketika mengetahui bahwa Voldemort telah memberikan restunya agar Draco dan Astoria untuk melangsungkan pernikahan.

Blaise selalu menjadi bayangan yang sempurna, berada dimana pun ketika waktu yang tepat. Lelaki itu tahu bahwa titik ini telah membawa Hermione pada sebuah lubang keterpurukan. Hermione tidak merana karena harus membagi kasih dengan perempuan lain—tidak. Bahkan dia telah mempertanyakan apakah masih ada perasaan yang tersisa untuk Draco darinya. Hermione tak menemukan jawaban, dia buntu.

Draco tak datang padanya tadi malam, mungkin malam-malam selanjutnya. Kemungkinan Barnaby menjadi dalang dari semua itu dan Hermione bisa membayangkan ekspresi kemenangannya saat melihat Draco berada di ruangan yang sama, membicarakan rencana pernikahannya dengan putri terkasihnya.

Namun Barnaby tidaklah lebih dari seorang barbar yang tamak akan kekuasaan, bersedia menjual putrinya untuk mencapai tujuannya. Ketika Hermione menatap mata Astoria Greengrass di pesta malam itu, dia tidak membencinya. Dia simpati padanya—menyesalkan wajah sayu yang jemu itu—harus terlibat dengan skema busuk dari orang-orang di sekelilingnya.

"Granger, kau tahu Draco tak pernah tinggal diam."

"Aku tahu."

Hermione tidak menatapnya. Dia tidak menghawatirkan posisinya lagi, keraguannya runtuh ketika ia melihat Draco pada malam itu. Bukan posisinya lagi yang ia risaukan, dan Blaise datang padanya untuk membuat semuanya lebih jelas. Hermione meraskan gaun tidurnya tersapu angin lembut, kastil ini begitu tenang dan damai. Ada penyesalan bahwa ia sempat bermuram durja ketika Draco membawanya, memperkenalkan Wigby, dan mengatakan tempat ini akan menjadi tempat tinggal sementara.

Namun tidak lagi. Bukan takdirnya untuk menetap pada sebuah tempat. Blaise melepaskan pelukannya, mencari tatapannya. Ketika menatap mata hitam lelaki itu, melihat bahwa Wigby sudah siap dengan sepasang gaun serta mantel berpergian di tangan keriputnya, Hermione tahu.

"Bersiaplah."


Tangan keriput Wigby membawanya ke dalam pusaran, Hermione merasakan gairah tak tertahankan meluluh lantahkan isi tubuhnya. Dia hampir tersungkur ketika melihat pemandangan yang ada di depannya. Darah mengalir melintasi lantai, potongan-potongan tubuh yang berceceran tak bertuan, dan sisa-sisa pertarungan masih berlangsung di lorong-lorong.

Dia telah kembali ke Malfoy Manor.

Wigby masih mencengkram tangannya, memberi isyarat untuk mengikutinya. Hermione masih terlalu terguncang untuk mempertanyakan arah kemana mereka pergi. Ketika sampai pada sebuah lorong—ia tahu bahwa lorong ini menuju ke Aula—Hermione terperanjat ketika ia semakin menemukan kerumunan di sana.

Aula dibanjiri dengan pakaian yang bermacam-macam. Tempat ini tidak tampak seperti tempat yang cocok untuk sebuah pembantaian. Hermione merasakan tubuhnya bergetar hebat, dengan ketakutan yang meradang di kerongkongannya—tidak, tentu saja ini tidak mungkin—

Hermione berlari hingga ke ujung lorong, merasakan darahnya dingin mengalir di peredaran saraf-sarafnya. Ujung gaunnya menyapu noda darah yang masih mengalir di lantai. Dan hatinya anjlok ketika melihat kerumunan, dimana terdapat sebuah altar, dekorasi yang megah dan cemerlang.

Barnaby Greengrass berdiri di seberang Draco. Altar itu seharusnya menjadi saksi bisu dimana ia melepas putri bungsunya pada lelaki berdarah dingin di hadapannya. Namun harapannya untuk segala kekuasaan, mitra, dan keluarga telah pupus. Ia dan kroninya dibantai di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan putrinya.

Tubuh pria itu lesu. Luka goresan mengerikan—yang rasanya tak akan mungkin lagi bisa kembali seperti semua—bersarang di lengannya. Hermione melangkah maju, membelah kerumunan dengan mata yang tak meninggalkan kedua sosok yang kini menjadi perhatian seisi Aula. Para pembelot sudah binasa. Ombak pengikut aliran baru memenuhi udara bercampur dengan suasana genting dan bau amis yang memuakan.

Draco maju, matanya tak meninggalkan sosok Barnaby. Ekspresinya dingin tak berbelas kasih. Setiap langkah yang ia timbulkan, membuat Barnaby dilucuti. Kakinya berlutut paksa secara sihir, tangannya bertumpu menahan berat tubuhnya. Dia seperti babi yang siap untuk dibantai.

Ketika Draco telah berada tepat dihadapannya, Barnaby menggunakan seluruh sisa kekuatannya untuk mendongak.

"Kata terakhir?"

"Membusuklah di neraka, Malfoy."

"Akan kupastikan putri-putrimu juga akan begitu, Barnaby."

Hermione menutup mulutnya ketika sayatan maya di leher Barnaby muncul perlahan. Seolah sengaja menimbulkan efek kesakitan, kekejaman, dan sadis secara bersamaan. Draco tidak melepaskan matanya dari sosok yang digorok dihadapannya, sudah dipastikan ia yang melancarkan sihir non verbal akan peristiwa itu.

Seperti sisa-sisa dirinya telah habis, Barnaby jatuh tersungkur dengan pandangan kosong tak bernyawa. Darah mengalir di dekeliling tubuhnya. Draco masih menatapnya beberapa saat, seolah mengagumi karya seni yang tak pernah ia temukan sebelumnya. Hermione terperanjat ketika mendengar sorak-sorai menggema di Aula. Kerumunan begitu menyiksanya, dengan suasana yang memuakan, dan bau darah dimana-mana. Alih-alih menggunakan Kutukan Tak Termaafkan, mereka lebih memilih membantai seperti orang-orang psikopat sadis.

Hermione merasakan cengkraman pada tangannya, bergidik ketika Blaise sudah ada di sampingnya.

"Selamat datang ke rumah, Granger."

Kerongkongannya tersekat oleh kenyataan. Dia tidak mungkin—tidak akan sudi—untuk kembali tinggal di tempat pembegalan ini lagi. Entah apa pun rencana Draco untuknya, dia akan melawan yang satu itu.

Wigby telah membawanya kembali pada ruangannya dulu. Si peri rumah menuntunnya ke ujung tempat tidur, Hermione tergeragap, masih belum bisa menemukan keseimbangan karena suasana yang membludak. Tubuhnya menggigil hebat—sekejap ia merasakan punggungnya diselimuti—Hermione duduk di sisi tempat tidur. Wigby mencoba bicara dengannya, memberikannya segelas air, namun pandangannya tetap kosong.

Dia mendengar pintu dibuka, tidak butuh waktu lama untuk menyadari kehadirannya. Hermione tak kuasa untuk mendongak. Hal itu tak ada hubungannya dengan tubuhnya, ia hanya tak ingin menatap siapa pun.

"Granger?"

Hermione tidak menjawab. Ia menatap balkon, berandai-andai bagaimana rasanya terjun dari sana. Ia pernah mencobanya—namun Tiny si peri rumah selalu menghalanginya disetiap kesempatan.

"Granger!" Draco mengguncang pundaknya. Hermione merasakan napas meninggalkan paru-parunya, suasana yang berlebihan muncul lagi. Kini ia harus bertarung melawan rasa mual diperutnya. Draco penepuk pipinya, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi dahinya. Dia menangkup wajahnya, mencoba mencari tatapannya, berharap ia menemukan dirinya di balik mata cokelat yang mati itu.

Sesaat ia termangu. Air mata bergerumul di pelupuk matanya, suaranya serak ketika berbicara. "Apa yang telah kau lakukan, Draco?"

Draco menghela napas, lega seolah kehidupan telah kembali padanya. "Aku sudah mengatakannya padamu, Granger, aku akan melakukan segalanya agar kau aman."

"Tidak! Aku tidak pernah mengharapkan hal ini!"

"Ini salah satu cara, Hermione. Cepat atau lambat mereka akan membawamu dariku, seperti mereka merampas anak kita!"

"Aku bilang untuk bekerja sama dengan Order, bukan pembantaian massal yang menyebabkan keberadaan kita semakin terjebak. Apakah kau kehilangan akal sehatmu? Bagaimana dengan Pangeran Kegelapan yang menyadari salah satu tangannya—pengikut setianya—dibantai?"

"Apakah maksudmu aku mencoba mengambil langkah gila untuk semakin membahayakan nyawamu?" tanya Draco marah.

"Aku tidak bisa melihat maksud lain dari tindakan biadab ini, Draco!"

"Granger, Granger, kau tidak benar-benar mengenalku. Apakah aku membiarkan waktuku yang berharga selama setahun belakangan untuk bekerja dengan para bajingan itu? Aku selalu mencari cara, tak pernah membiarkan diriku beristirahat dengan tenang karena selalu menyusun skema. Dan Barnaby tak lebih dari seekor babi yang tamak akan kekuasaan. Dia tak pernah menyadari dengan siapa dirinya berhadapan,"

Hermione merasakan lidahnya kelu, namun dengan kelembutan yang mendebarkan ibu jari Draco menyapu bibirnya. Ia bergidik akibat sentuhan itu.

"Dia beranggapan menikahi anaknya denganku akan menimbulkan kelunakan dalam hubungan ini, memperluas daerah yang bisa ia duduki? Dia harus melangkahi nyawaku dulu jika sampai aku membiarkannya. Sudah kukatakan aku tak sudi untuk menikahi keturunan Greengrass manapun. Jadi aku menjebaknya, membuat skema dihadapan Pangeran Kegelapan, seolah-olah dia adalah informan yang menjual dirinya pada Order. Agar mencapai—"

"Kekuasaan yang lebih besar." Hermione melanjutkan. Draco menyeringai, tampak puas dengan dogma yang telah ia tanam di kepalanya.

"Dengarkan aku, Hermione. Kau adalah satu-satunya yang tersisa, yang kumiliku setelah semua kehancuran ini. Aku tak akan membiarkan siapa pun merenggutmu dariku. Kita akan menciptakan dunia yang lebih baik—kau dan aku."

Hermione terbelalak ngeri. Tatapan Draco tak pernah meninggalkannya miliknya—mencekiknya—tak memberinya ruang untuk berpikir jernih. Karena, Merlin, sejauh apa pun otaknya bekerja untuk mencari alasan terbaik mengenai hal ini, ia tak menemukannya. Mata biru kelabu itu gila, Hermione sulit untuk mengenalinya.

"Kau tau bahwa aku mencintamu, Hermione. Aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu berada disisiku." Bisik Draco, masih mencengkram sisi wajanya. Ia pasti sangat ketakutan—hingga tatapan Draco berubah menjadi gelap—tanpa sadar ia telah menggelengkan kepalanya.

Hal yang ia pelajari dan harus dipegang teguh adalah fakta bahwa Draco tak pernah menerima penolakan. Melihat reaksinya, Draco menguatkan cengkramannya pada wajahnya. Ia meringis akibat tekanan yang tiba-tiba, dan yakin bahwa telapak tangannya akan meninggalkan bekas memerah dipipinya.

Hermione tak mengantisipasi hal itu, ia tak siap dengan apa yang terjadi. Lalu memori masa lalu dipaksa muncul lagi di dalam otaknya. Memerasnya dengan brutal. Hermione berusaha menjerit—namun ia tak mendengar apa pun. Wajah Harry—Ron, Para Weasley—dan orang tuanya, satu persatu muncul. Kenangan-kenangan itu ia simpan dengan baik di benaknya, hal itulah yang masih menjadi bukti bahwa ia pernah hidup sebelum Era ini. Bahwa Hogwarts adalah sebuah kenyataan baginya. Bahwa orang tuanya pernah menyayanginya, ketika saat ini mereka tak akan pernah lagi mengingatnya.

Hermione merasakan tarikan yang kuat. Wajah Theodore Nott muncul disertai kabut, senyum lelaki itu padanya di rumah bordil. Tangannya yang terulur untuk membelai pipinya. Namun seperti sebuah kenangan yang hina, ia dihentak dan dihempaskan lagi pada memori yang lain. Percobaan bunuh dirinya setelah malam itu. Malam-malam suram di The Heatcliff, Hermione menggelengkan kepalanya histeris. Tidak. Draco tak boleh melihatnya—TIDAK!

Hermione kembali pada dirinya. Lengannya nyeri, ia menyadari bahwa cengkraman Draco di sana yang menimbulkan rasa sakit. Hermione terengah-engah, menggeleng perlahan. Mata Draco tak lagi memancarkan kasih—tak pernah—namun saat ini ia marah. Hermione selalu kesulitan menghadapi murka seorang Draco Malfoy.

"Draco—"

Draco menamparnya, Hermione tersungkur di atas tempat tidur. Rasa sakit tak menggentarkannya, namun jantungnya seperti ditekan kuat-kuat akan kenyataan bahwa Draco telah mengetahui rahasia terbesarnya. Wajahnya memerah, bercampur dengan rasa malu, cengkraman dan tamparan dari laki-laki yang baru beberapa menit lalu mengatakan bahwa ia mencintainya.

"Draco…" Hermione tak akan pernah berhenti. Draco harus mendengarnya—semua ini harus berhenti sampai di sini. Dia tak bisa menanggung beban ini. Draco membuat sahabatnya—orang yang separuh hidup dengannya—hilang dari peradaban, menjauh darinya ketika ia tahu bahwa Hermione mempunyai masa lalu dengannya. Dan ia tahu hal itu tak akan terulang pada Harry.

Draco tak hanya akan mengirimkan pergi, seperti ia menugaskan kroninya dalam sebuah misi. Harry Potter adalah sosok yang berbeda, Draco menyadari hal itu. Murka yang menjalar disetiap aliran darahnya seolah menguap, menimbulkan rasa panas pada siapa saja yang berada di dekatnya.

"Apakah kau meragukan kemampuanku, Granger," hal itu bukan sebuah pertanyaan. Hermione akan lebih bijak jika ia menutup mulut. "merangkak di gorong-gorong, menyembunyikan rahasia kecilmu yang manis, dan berharap aku terlalu bodoh untuk kau kelabuhi?"

"Hal itu sudah berlalu, Draco." Ujar Hermione lemah, setengah memohon. "Kumohon—"

Draco mendengus, menyipitkan matanya. Tangannya mencengkramnya secara menyakitkan. "Instingku tak pernah keliru, Granger. Aku tahu laki-laki yang putus asa padamu dalam tatapan pertama. Theo, dia telah belajar banyak—walaupun aku tak akan pernah lagi memperlakukannya seperti dulu. Tapi Potter tentu saja mempunyai keberanian, kan? Mencoba mencurimu dariku, menyadari bahwa kau pernah membawa anaku. Dia tak akan pernah belajar, Granger."

Hermione mencengkram lengannya. Dia telah melupakan rasa sakit di tubuhnya. "Tidak, tidak, tidak, tolong, Draco. Kumohon, aku sudah mengatasinya—Harry tak pernah mengungkit hal itu lagi. Bisakah kita melupakannya? Aku memohon padamu, Draco."

"Aku telah memberikanmu kesempatan agar kau kembali pada mereka—memberikan ruang agar kau bisa membenahi diri. Tapi kau mempermainkan kepercayaanku." Ujar Draco, membuatnya terbelalak ngeri. Lalu seperti pada kepribadian yang lain, ia kembali membelai pipi Hermione, menghapus air mata disana.

"Tapi kau tak seharusnya menanggung beban itu, bukan salahmu jika lelaki lain menginginkanmu. Kau akan selalu menjadi perempuan yang menarik, semua perhatian akan berada padamu. Karena kau memiliki segalanya. Kepintaran, kecantikan dan amarah yang berkobar. Dan aku satu-satunya yang akan memilikinya."

Lalu Draco menciumnya, menghapus sisa-sisa air mata dibibirnya. Lidahnya kelu, Hermione tak mampu bereaksi. Draco membawanya untuk lebih dekat. Hermione terlalu takut jika ia merasakan penolakan yang lain.

"Aku akan bertemu dengan Potter," ujar Draco di atas bibirnya. Hermione merasakan punggungnya menegang di bawah sentuhannya. Draco menciumnya lagi, lidahnya menyapu bibirnya. Memberikan kelembutan di sana. "dan ketika saat itu tiba, aku telah menikah dengamu, kau harus mengandung anakku yang lain."

"Draco—"

"Oh ya, tentu saja. Kau tak perlu khawatir akan keselamatan Bocah yang Bertahan Hidup itu, Granger. Ketika aku masih membutuhkannya, dia akan aman. Namun gairahnya padamu tentu saja harus usai."

Udara disekelilingnya menyusut.

"Hermione," Draco meraih jemarinya, tangannya merogoh saku jubahnya. Mengeluarkan kotak hitam, muncul sebuah cincin perak berbatu zamrud dan menyematkan di jari manisnya. "dengan sihir keluarga Malfoy, aku mengikatmu untuk menjadi pendamping hidupku…" tangan Hermione gemetar dibawah sentuhannya—"…membawamu dalam setiap kejayaan, memberikanmu singgasana yang mulia, dan kau, akan memberikanku keturunan yang layak. Menjaga nama agung Malfoy di atas namamu, melampaui maut dan tak terpisahkan."

Draco menyematkan cincin yang lain dijari manisnya sendiri—menemani cincin berlambang Malfoy yang terpancang di jari telunjuknya—lalu ia menjabat tangan Hermione, tangan mereka saling mencengkram pada pergelangan tangan. Rambut di tengkuknya meradang, memberontak menyakitkan ketika Draco menggumamkan mantra Latin, menimbulkan cahaya biru mengelilingi tangan mereka yang saling bertautan.

Hermione merasakan rasa sejuk mengelilingi tubuhnya, memberikan kesan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Jantungnya berdebar kencang—apa yang baru saja terjadi?

Draco melepaskan tangannya. Alih-alih menatapnya, Hermione memperhatikan cincin yang bersemayam di jemarinya. Cincin itu menimbulkan kesan sihir yang kuat dan mengintimidasi, sehingga mengingatkannya pada sihir gelap Horcux. Mungkinkah…

"Apa yang kaulakukan, Draco?" suaranya bergetar.

"Kau sudah menjadi istriku, Hermione. Tidak ada lagi yang bisa memisahkan kita."

"Apa? Tidak! Setelah semua kegilaan ini, ditengah-tengah pembantaian? Lepaskan."

Raut wajah Draco berubah drastis, tatapannya gelap dan dingin. Hermione sudah mengantisipasi satu jawaban: "Tidak."

"Kau sinting—aku tidak bisa—tidak seperti ini—"

"Ya, harus seperti ini. Aku tidak akan melayangkan tanganku lagi padamu, Hermione. Dengan begitu kau harus belajar untuk mengerti setiap arti dari betapa sakral sihir yang diciptakan oleh keluarga Malfoy karena kau sudah menjadi bagian salah satu dari mereka. Biasakanlah."

"Aku tidak ingin menikah dengamu!"

Hermione merasakan kemarahan meledak di setiap pembulu darahnya, karena sekejap Draco telah melanggar kata-katanya. Jemari lelaki itu telah mencengkram lehernya—cukup kuat. Ia kehilangan keseimbangan ketika tubuh Draco berada di atas tubuhnya. Sudah berapa kali ia kesulitan bernapas pada beberapa jam terakhir?

"Kau menyakitiku, Draco—" suaranya tersekat. Ketika ia tahu usahanya sia-sia, dengan putus asa ia berhenti memberontak. Malam-malam mengerikan itu terulang lagi, sekelebat bayangan untuk menenggak ramuan tidur tanpa mimpi sampai mati muncul dipikirannya. Jika ia terbebas dari upaya siksaan ini, maka dia akan mencoba untuk membunuh dirinya sendiri lagi nanti.

Kebenciaan merebak disetiap sel tubuhnya. Draco masih pada usahanya, kini mencoba melepaskan satu persatu pakaian di tubuhnya. Hermione tidak lagi melawan, tapi tangan lelaki itu masih kokoh mencengkramnya, merobek sisa-sisa lembaran kain di tubuhnya.

Ia terisak hebat ketika merasakan Draco mencoba untuk menciumnya lagi—terlalu takut untuk sekedar membuang wajahnya—dan terpatri pada tempatnya.

Hermione tahu bahwa ada yang salah pada mental lelaki ini, namun ia tak pernah menyangka bahwa dia gila. Bayangan orang-orang yang disayanginya muncul kembali—pembantaian yang dilakukan pada Barnaby—Hermione memejamkan matanya, merasakan tetesan air mata mengalir entah sudah berapa banyak di pipinya tanpa suara.

Ketika ia merasakan sakit yang meradang diantara kedua pahanya, Hermione terbujur kaku, tidak merespon setiap kenikmatan yang mencoba untuk meruntuhkan dinding pertahannya. Rasa mual menjalar di kerongkongannya yang tidak ada hubungannya dengan cengkraman tangan Draco pada lehernya.

Ketika Draco sampai pada puncaknya, Hermione meringis, kini lelaki itu mencengkram rambutnya pada jemarinya, dan menariknya paksa. Hermione meremas kain di bawah tubuhnya, menumpahkan segala amarahnya, yang tak akan pernah bisa—tak akan lagi—ia keluarkan.

Draco menciumnya pipinya—dagu, ujung bibirnya—dimana pun. Hermione menahan napas. "Miliku," gumamnya.

Ia merasakan seluruh cengkraman Draco hilang dari tubuhnya, digantikan dengan belaian lembut. Draco membenahi posisinya tidurnya, mereka berdua kini berbaring berhadapan.

"Lihat aku, Hermione."

Semua kata-katanya kini menjadi sebuah perintah, apakah sihir gelap ini telah memberikan efek padanya untuk terus menaatinya? Hermione membuka matanya, sesaat pandangannya buram akibat air mata. Namun Draco menghapus sisa-sisa kesedihan—yang tak pernah meninggalkannya—di sana.

Draco mengusap rambutnya, sekali lagi mengecup dahinya, dan membawanya pada dekapannya. Hermione merasakan dagu lelaki itu di puncak kepalanya. Beberapa saat dalam posisi yang kaku dan menegangkan, ia mendengar deru napas Draco yang tertatur.

Hermione hanyut dalam pikirannya. Meratapi nasibnya. Tidak akan lagi terpikir ada jalan keluar—yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan—dan kini semuanya terlambat.

Semua ini salahnya. Atau salah Harry dan Ron yang pernah meninggalkannya. Salah Ginny yang menjadi beban dihatinya, membuatnya berpikir ratusan kali untuk mempertimbangkan bahwa cinta Harry Potter jauh lebih baik dari obsesi Draco Malfoy. Apakah jika ia bersikukuh tetap tinggal di The Heatcliff semua kegilaan ini tak pernah terjadi? Apakah Order mempunyai sisa-sisa kekuatan untuk menghadapi murka Draco? Dia tak akan kenal lelah untuk memburunya, membantai satu persatu dari mereka.


Malam- malam di Manor selalu dipenuhi dengan aktivitas. Keluar masuknya pasukan Draco membuat ruang geraknya semakin mengecil. Hermione mengacuhkan keadaan itu, namun pikirannya melayang pada Order. Setelah Draco berhasil menyingkirkan musuhnya di dalam lingkaran inti Voldemort, maka akan dengan sangat mudah ia memanipulasi keadaan agar Order semakin terjepit.

Kabar baik datang ketika Marietta—istri Blaise—melahirkan putri pertama mereka. Hari itu adalah kali pertama ia pergi dari Manor pasca pembantaian dan pernikahan. Mimpi buruk yang lain terjadi. Setelah melihat sosok yang rapuh dan tak berdosa, Hermione menangis di sepanjang malam. Draco harus memberinya ramuan tidur tanpa mimpi agar ia bisa terlelap. Bayangan-bayangan perang dan keadaan yang sedang terjadi membuatnya terpuruk.

Dia teringat putra yang tak pernah direngkuhnya. Muncul pemikiran yang lain, bahwa lebih baik di Era ini tidak ada kehidupan-kehidupan baru. Dia tidak bisa membayangkan anaknya akan hidup dalam bayang-bayang kekejaman, kegilaan dan doktrin yang gelap.

Hermione membuka matanya setelah hari yang panjang dan tak diketahui telah berapa lama berada di Manor. Ia terpancang di atas tempat tidurnya. Hampir setiap malam Draco selalu melecehkannya, menamparnya hingga hitam membiru akibat setiap penolakan dan perlawanannya, membubuhinya dengan ancaman-ancaman pemburuan pada Order. Di setiap pagi ia harus meminum ramuan penenang, membiarkan seorang Penyembuh pribadi yang diperkerjakan Draco untuk mengobati memar-memar di tubuhnya.

"Jangan." Ujar Hermione dingin di hari pertama, menyadari mata penyembuh itu bergerumul air mata, ia menutup mulutnya, terpanah dengan luka-luka yang bersarang padanya.

"Nyonya…?"

"Lakukan tugasmu dan segera pergi."

Hermione tidak membutuhkan balas kasih dari orang lain. Dia akan semakin merasa rendah diri, tak berguna dan semakin buruk setelah melihat mata-mata yang menatapnya. Rusak di tubuhnya tak perlu diperparah dengan kerusakan juga pada mentalnya. Hermione masih mempunyai harapan, mimpi bahwa semua ini akan berakhir.

Selain Draco, Wigby, dan Tiny si peri rumah, Penyembuh itu adalah orang yang bisa ia temui. Draco tak mengizinkannya dikunjungi oleh siapa pun. Bahkan Blaise. Dia harus melakukan pemeriksaan rutin—seminggu sekali—dengan Penyembuh. Jika hari yang sial, maka si Penyembuh akan diperintahkan datang untuk pekerjaan ekstra, mengobati memar-memar di tubuhnya.

Draco lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya jika sedang tak bertugas. Ia hanya datang ketika malam. Terkadang hanya membutuhkan Tiny untuk mengawasinya, memastikan ia selalu meminum ramuannya dan menghabiskan makanannya. Hermione merasakan tubuhnya semakin lemah, namun tak ada hubungannya dengan sakit di tubuhnya.

"Siapa namamu?" tanya Hermione di suatu pagi, berbulan-bulan kemudian, ketika ia datang untuk melakukan pemeriksaan rutin.

"Naomi, Nyonya." Ujarnya, dengan mata yang bulat terkejut mendengar suara Hermione setelah bungkamnya berminggu-minggu.

"Apakah kau mempunyai keluarga, Naomi?"

"Tentu, Nyonya."

"Apa yang terjadi pada mereka pasca perang?"

Naomi tidak menjawabnya, melainkan menatapnya secara perihatin. Dahinya berkerut samar.

"Apapun yang Draco berikan padamu, aku bisa memberikan dua kali lipat jika kau membantuku."

"Nyonya!" ujarnya terkejut, menggeleng ngeri. "kuharap kau tidak mengatakannya, karena Tuan Malfoy selalu melakukan Legilimency padaku setiap sesi pemeriksaan ini."

Hermione tidak merasa menyesal telah mengatakannya. Dia bahkan sudah mengiranya.

Namun Hermione mengasihani Naomi, berpikir hukuman seperti apa yang akan diberikan Draco karena harus mendengar pertanyaannya. Tentu saja penyembuh malang itu tidak salah—namun Draco selalu mempunyai cara tersendiri untuk melampiaskan murkanya. Lelaki itu tidak pernah menyukai posisi dimana orang lain mengetahui betapa Hermione membencinya. Mungkin harga dirinya terluka karena dirinya belum berhasil sepenuhnya menjinakkannya.

Minggu selanjutnya, Naomi tidak datang.

Namun Draco tidak bergegas meninggalkan kamar pagi itu. Hermione semakin gelisah, sesuatu yang tidak sesuai jadwal selalu membuatnya khawatir. Dia masih berada di atas tempat tidur—berada dalam posisi favoritnya—mendekap Hermione erat, membuatnya merasa mual.

"Kau masih dalam masa percobaan, kau tahu itu."

Benarkah? Setelah waktu-waktu yang mereka lalui bersama berlalu? Hermione tidak menjawab.

"Teman kecilmu Naomi akan mengurangi jadwal kunjungannya, dengan begitu kau akan lebih banyak mendampingiku dalam berbagai kegiatan. Sudah waktunya kau melihat dunia yang baru, Hermione."

"Aku terlalu lelah, Draco." Ujar Hermione.

"Hal itu masih dalam batas yang wajar. Kau akan baik-baik saja." Kata Draco, dia mengecup puncak kepala, menelusuri wajahnya dengan bibirnya. Hermione memejamkan matanya, sekuat tenaga menahan rasa untuk menarik wajahnya. Sudah hampir dua bulan Draco tidak melayangkan tangan padanya. Dia merasa terlalu lemah untuk menghadapi hal itu.

Hermione membelakanginya, merasakan tubuh Draco panas dipunggungnya. Ketika sentuhan-sentuhannya beralih pada gairah yang lebih jauh, Hermione merasakan bahwa Draco menginginkanya saat ini. Biasanya dia memberikan perintah, namun secara singkat dan lembut, Draco mulai membenamkan dirinya diantara kedua pangkal pahanya dari belakang tubuhnya. Hermione melenguh.

Lelaki itu mulai mendorongnya secara perlahan—terlalu lembut—sulit dipercaya bahwa dia adalah Draco yang biasanya selalu menuntut lebih dalam setiap seks. Hermione merasakan otot-ototnya menegang, ketika pada puncak klimaks, Draco membenamkan wajahnya pada lekukan lehernya. Menggigitnya kulitnya, menciptakan bercak merah di sana.

Dengan napas yang berat, Draco menarik diri. Hermione meringis, merasakan cairan benihnya mengalir diantara kedua kakinya seiring dengan tarikan yang Draco lakukan. Hermione masih membelakanginya, tidak berniat untuk menatapnya dalam sisa pagi itu.

Beberapa saat setelahnya, Draco bangkit. Membuat beban di sisi lain tempat tidur berkurang. Hermione memejamkan mata, rasa mual meradang di kerongkongannya.

"Bersiaplah, kau akan ikut denganku."

Sekejap matanya terbelalak. "Kemana?"

"Kementerian."

Pikiran berjalan di Atrium, dengan semua mata tertuju padanya dan kamera-kamera dengan brutal mengabadikan momen dirinya dan Draco bergandengan tangan, melenggang seolah semuanya baik-baik, mengerikan dibenaknya. Namun terlebih lagi reskio akan reaksi dunia akan dirinya, seorang Darah-Lumpur yang diperlakukan secara melawan hukum di Era yang baru.

Orang-orang seperti dirinya dalam balutan baju yang mewah, dekapan tangan dan fasilitas yang megah bak sebuah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdarah murni.

"Kau akan tahu apa yang sedang kuperjuangkan." Ujar Draco, menariknya dalam lamunan. Dia sudah muncul dengan handuk yang melingkari pusar hingga lututnya. Dalam lambaian tangan samar, dirinya sudah dikeringkan secara sihir. Sosok Draco menghilang dibalik lemari raksasa—yang lebih mirip sebuah ruangan kecil—dan dalam hitungan detik telah muncul kembali dengan pakaian lengkap bertugasnya. Serba hitam, menampilkan dadanya yang bidang dan ornamen tengkorak emas tersemat di dadanya, melambangkan posisi tertinggi dalam pasukan. Jenderal Draco Malfoy.

Hermione harus menggigit bibirnya dengan hal-hal kecil seperti itu, membuatnya teringat dengan sihir yang pernah dimilikinya. Draco tidak menghilangkan kemampuan sihirnya, namun dia telah menahan tongkatnya dan melarang siapa pun untuk memberikan aksesnya dengan sihir.

"Hermione,"

Hermione familiar dengan nada itu, maka ia bangkit. Tidak berniat lagi untuk bertanya lebih jauh. Dia merasa tak bertenaga, bahkan untuk sekedar membawa dirinya untuk bersiap. Melihat kesulitan yang dirasakannya, Draco memanggil Tiny. Dan hanya dalam hitungan menit—penuh dengan pengabdian dan perasaan—peri rumah itu menyiapkan air, mengeringkannya dan membantunya dalam berpakaian.

Dia mengenakan gaun hijau tosca yang telah Draco pilihkan. Dengan kerah yang tinggi hampir ke dagu dan berlengan panjang yang menggembung, namun gaun itu sama sekali tak menyembunyikan lekukan tubuhnya. Hermione mengerutkan dahi.

"Draco." Dia merasakan jantungnya berdebar kencang. "Apa yang terjadi padaku?"

Draco mengangkat alisnya, menatapnya dari balik Daily Prophet yang ia baca. Dia sudah siap dengan jubahnya dan duduk dengan salah satu kaki di atas lututnya. Berada di tempat tidur berbulan-bulan, selalu mengenakan gaun tidur satin, dan tidak pernah berani menatap diri di cermin. Hermione merasa bodoh.

"Beraninya kau—" Hermione tidak memiliki tenaga, namun ia masih mempunyai sisa-sisa kekuatan untuk bersumpah serapah. "sudah kukatakan aku tidak menginginkan seorang anak!"

"Kita sudah membicarakannya, Hermione,"

"Lebih tepatnya ancaman-ancaman yang kauberikan!"

Perlahan, satu demi satu, seperti teka-teki yang mulai dilengkapi Hermione menyadari bahwa energi yang menggerogoti tubuhnya bukan karena sisa-sisa kekerasan fisik yang Draco timbulkan. Rasa mualnya bukan hanya saja dengan adanya keberadaan Draco. Melihat gundukan samar yang ada di perutnya, Hermione menyadari bahwa dirinya kini tengah mengandung. Dia lebih baik mati.

Draco melipat korannya, masih dengan gerakan yang tenang. Tatapannya langsung mengarah padanya—keras dan paten—seolah menembus seluruh isi kepalanya.

"Kau tahu aku tak akan pernah mengharapkan keturunan dari perempuan manapun. Dan saat ini sudah saatnya aku mempunyai keturunan yang layak."

"Kita pernah mempunyai kesempatan itu, dan kau membiarkan keluarga sintingmu merenggutnya paksa dariku!"

"Akan selalu ada kesempatan yang lain, Hermione."

"Apakah dimatamu aku hanya sebuah wadah untuk menitipka keturunanmu? Kau bisa mencari perempuan darah murni manapun—"

Hermione tidak mampu menyelesaikan kata-katanya ketika dalam kedipan mata, Draco sudah berada pada jarak minimum diantara mereka. Jemarinya dengan tegas mencengkram lehernya. "Aku sudah menahan diriku—sayang sekali, sayang sekali—kau tidak bisa bekerja sama untuk melakukan hal yang sama, Hermione. Kau selalu memberikan ujian yang sulit untuk kupecahkan." Draco mendekatkan wajahnya, Hermione memejamkan mata ketika napas panas membelai permukaan kulitnya. "tapi aku selalu bisa menjinakanmu, pada akhirnya. Aku tergila-gila denganmu karena amarah dan pemberontakan yang kaulakukan. Lakukan. Lakukan hal-hal sinting yang biasa kaulakukan, aku akan dengan senang hati menundukanmu. Memasang rantai di lehermu, menghilangkan sihirmu selamanya."

Napas yang semakin sulit ia dapat membuat wajahnya memerah. Amarah yang berkobar membakar akal sehatnya. Hermione merasakan kekalahan telak ketika ia tahu bahwa tidak ada lagi jalan keluar setelah dirinya memiliki anak dengan Draco. Apakah sudah habis kesabarannya untuk terus mengekangnya? Memukulinya? Dan setelah semua penderitaan yang ia alami, akhirnya dia menang.

"Kau akan pergi denganku. Menatap setiap mata yang menatapmu—menunjukan bahwa kau adalah api yang jinak—mampu membakar mata siapa pun yang berani menghakimimu. Angkat dagumu, Hermione, seperti yang biasa kau lakukan di Hogwarts. Apakah kau tidak merindukan masa-masa itu?"

"Aku merindukan masa-masa di Hogwarts bersama teman-temanku, ya."

"Kau sudah mempunyai keluarga sekarang."

Diluar keinginanku, pikirnya getir. Namun ia tak mampu lagi menghadapi cengkraman yang lebih keras, jadi dia menutup mulutnya.

Apa yang akan dilakukan Draco padanya, ia tak tahu. Namun langkah terbaik saat ini adalah mengikuti setiap perkataannya. Ketika Tiny membantunya mengenakan jubah berpergian dan Draco menyodorkan sikunya, mereka ber-Apparate.

Hermione merasakan dingin yang meradang ketika mereka menginjak ubin Atrium. Air Terjun Bersaudara digantikan dengan patung seorang penyihir berdiri menindas pengikut-pengikutnya dengan motto 'Sihir adalah Kekuatan'. Rambut di tengkuknya berdiri. Beberapa tahun berlalu sejak terakhir kali ia berada di sana, bertarung dengan Pelahap Maut, dan bagaimana bisa semuanya berubah—seolah tidak pernah ada perang sebelumnya? Seolah sebuah penindasan adalah hal yang normal?

Mereka disambut dengan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Donnie Azoff anggota dari Derpartemen Keluarga dan Pernikahan Sihir. Ketika Azoff membawa mereka pada lantai sepuluh, Hermione terpanah dengan sambutan yang diberikan. Seluruh pegawai di lantai itu segera meninggalkan mejanya, berdiri dan menyambut kedatangan mereka. Hermione bergerak tidak nyaman di tempatnya.

"Tuan dan Nyonya Malfoy, silahkan,"

Azoff mengarahkan mereka pada sebuah meja yang tampak rapih tak wajar. Hermione menyipitkan matanya ketika melihat dokumen yang tergeletak di sana.

"Kami akan dengan senang hati datang ke Manor, Jenderal, sehingga kau tidak perlu datang untuk sebuah prosedur."

"Prosedur tetaplah prosedur, Azoff." Ujar Draco dengan mengedipkan matanya, nada bijaksananya asing terdengar asing di bibir Draco. Hermione tak pernah membayangkan bahwa tujuan utama dari lelaki itu adalah ketataan pada sebuah aturan. "dan aku juga bermaksud memperkenalkan istriku di hadapan khalayak, Hermione Malfoy. Beri salam pada orang-orang yang melayani kita, sayang."

Hermione menahan diri dengan seluruh kekuatannya untuk tidak mendengus. Alih-alih dia mengulurkan tangannya, menjabat tangan Azoff dan dua pegawai lain yang ada di sisinya.

"Senang bertemu dengamu, Nyonyaku. Kami selalu siap melayani." Kata Azoff, memajukan lehernya dengan postur yang hampir membungkuk. Mereka terlalu sopan, apakah Draco juga mengancam akan membantai keluarga mereka?

Dia merasakan bibirnya kelu untuk membentuk sebuah senyum.

"Baiklah, bisa kita mulai?"

Azoff mengarahkan mereka untuk menandatangi beberapa dokumen. Pencatatan perkawinan secara sihir. Dengan begitu, Hermione mempunyai hak yang sama untuk mengakses seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Malfoy. Pergantian nama belakang dan lain-lain. Hermione tidak berusaha untuk membacanya, karena semakin ia tahu, hatinya akan semakin pedih.

Draco tak memberinya ruang untuk bergerak. Terkadang jemarinya membelai tengkuknya, mengusap punggungnya dan sisanya selalu melingkarkan lengannya pada pinggulnya. Hermione tidak menatap siapa pun lebih dari beberapa detik. Dia takut ketika mereka semua menatap matanya, maka bisa membaca penderitaan yang ia alami. Hermione tidak membutuhkan personil tambahan pada jajaran orang-orang yang mengasihani dirinya.

Draco menandatangani beberapa dokumen tambahan, membuat Azoff tersenyum sumringah disertai tatapan penuh arti pada dua pegawai di belakangnya. Hermione tidak suka caranya bertingkah.

"Selamat atas kehamilanmu, Nyonya Malfoy."

Hati Hermione tercubit ketika harus disadarkan pada kenyataan. Apakah Azoff dan antek-anteknya menyadari perubahan wajahnya? Hermione menghela napas, menegakan tubuhnya. Draco telah menandatangi surat-surat ahli waris, itulah sebabnya.

Tatap mereka, angkat dagumu.

"Terima kasih, Azoff. Pelayananmu pada suamiku akan terus diperhitungkan."

Azoff bereaksi seolah Hermione berkata bahwa dia akan dinobatkan sebagai Menteri Sihir. Hermione menahan diri untuk tak memutar bola matanya.

Setelah pencatatan perkawinan selesai—dengan sambutan perpisahan dari pegawai di lantai itu—Azoff kembali menuntun mereka ke lift. Draco dan Hermione diperlakukan seperti orang pikun, selalu diarahkan dan dituntun pada hal-hal kecil. Namun Draco tampak tak mempermasalahkan layanan yang diberikan olehnya.

Ketika mereka kembali pada lantai Atrium dan pintu lift terbuka, Hermione harus membuang wajahnya secara spontan akibat kilasan cahaya yang menghantam wajahnya. Orang-orang telah bergerumul di hadapan mereka, menghalangi jalan dan berebut untuk mengajukan pertanyaan. Draco merangkulnya, membawanya semakin dekat. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain bersembunyi di balik tubuh tegapnya.

"Hermione Granger, tolong sampaikan beberapa kata tentang—"

"Nona Granger, apakah benar Order telah menyerah untuk membangun perlawanan?"

"Apakah kedatanganmu terkait dengan kesetianmu pada Kementerian untuk memberi informasi tentang Order?"

Hermione merasakan rasa mual dan kewalahan. Hermione tertegun ketika mencuri pandang dan melihat lusinan reporter didorong mundur secara sihir oleh pihak keamanan Kementerian. Atrium mendadak gegap gempita. Semua orang yang berlalu lalang tampak menyisihkan perhatian pada mereka. Draco masih memegangnya erat, namun tampak tak berniat enyah. Inilah yang dia inginkan, sebuah drama. Pertunjukan paling spektakuler, jika perlu menjadi jenius untuk mengetahui tujuan seorang Draco Malfoy yang datang ke Kementerian dengan istri Darah-Lumpurnya.

"Jenderal Malfoy, apakah yang ada di sisimu adalah Hermione Granger?" setelah keheningan singkat, seorang reporter muda bertanya. Bukan dari Daily Prophet, namun Hermione menangkap sosok Rita Skeeter di sisi kerumunan dengan tinta-secepat-kilatnya yang terus menggesek perkamen seolah tak ingin melewatkan setiap detil kejadian di sini.

"Bukan," ujar Draco dengan suara yang dalam dan lugas. Tak diragukan lagi kemampuannya, ia dilahirkan untuk menjadi pusat perhatian. Ekspresinya terkontrol, membuktikan seberapa sering ia berhadapan dengan pers. "perempuan di sisiku adalah Hermione Malfoy. Kami telah melangsungkan pernikahan dan mencatatatkan secara resmi di Kementerian Sihir."

Beberapa bisik-bisik bergema, seluruh reporter bertukar padangangan. Hermione menahan napas, meremas sisi gaunnya dalam kepalan tangannya. Rasa panas merambat di wajahnya, perasaan terhina yang familiar muncul.

"Apakah dengan begitu kau secara terbuka melanggar Peraturan Kementerian Nomor Lima Puluh Sembilan, bahwa setiap pernikahan sihir dianggap sah jika dilakukan oleh sesama—"

"Peraturan tersebut sudah tidak berlaku," potong Azoff, yang masih berada di sisi Draco. "pihak Kementerian telah menghapus seluruh peraturan yang memojokan suatu kaum—"

"Dan bagaimana dengan perbudakan?" sambar seorang reporter dengan suara melengking, sosoknya berada di belakang.

"Akan segera dihapuskan. Menunggu proses." Jawab Draco singkat, disertai senyum sopan.

"Apakah dengan begitu keadaan dunia sihir di Inggris akan kembali seperti sebelum Era Baru?"

"Akan selalu ada perbedaan. Namun akan lebih baik dengan kejayaan yang lebih besar." Draco meremas pundaknya, Hermione merasakan lelaki itu menatapnya. Namun ia mengindahkannya.

"Dan bagaimana dengan perluasan kekuasaan pada seluruh Eropa, Jenderal Malfoy?"

"Dihentikan. Seluruh kekuatan pasukan memutuskan untuk mengganti kolonialisme dengan bermitra. Dan berlaku dengan seluruh negara-negara yang telah ditundukan. Sihir Inggris telah memberikan kesempatan kedua pada mereka untuk mengabdikan kesetiaan."

"Dan bolehkah pertanyaan ini dijawab oleh Nonya Malfoy, Jenderal?" Draco menatap seorang reporter dengan tubuh yang tegap, perempuan itu mempunyai keberanian dengan suara yang tegas. Hermione menatapnya. Jantungnya berdebar tak beraturan. Namun Draco mengangguk. "apakah kau percaya Harry Potter tak akan kembali, Nyonya Malfoy?"

Kerongkongannya tersekat, Hermione merasakan udara meninggalkan paru-parunya. Seluruh kerumunan hening, seolah jawabannya adalah penentu hidup dan mati mereka. Satu-satunya hal yang ingin dia lakukan adalah meninggalkan tempat itu. Namun suara Draco terus menerus bersarang di benaknya.

Tatap mereka, angkat dagumu. Hermione menguatkan diri. Ini satu-satunya cara, dia tak lagi mempunyai pilihan.

"Tidak," ujarnya tenang dan dipastikan mampu didengar seluruh reporter yang ada. "Harry Potter telah pergi bertahun-tahun lamanya."

Meninggalkanku di barak perbudakan, rumah bordil, di dalam jeruji besi ini.

"Order tidak bisa—tidak boleh—bangkit kembali. Di dalam pemerintahan dunia sihir Inggris hanya ada satu pasukan."

Selamat tinggal, Harry. Jangan pernah lagi mencari. Tetap dalam persembunyian, hidup bahagia dan tenang.

"Dan seluruh perintah harus berada di bawah satu komando, komando suamiku, JenderalDraco Malfoy."

.

.

A/N : let me know what you think about the plot, please! Maraknya kampanye against violence or sexual harasment mungkin bertabrakan dengan alur dari cerita ini. Tapi aku sudah berkomitmen untuk buat cerita ini seperti itu, karena jujur emosional memang dibutuhkan agar lebih hidup di cerita ini. Semoga warning tidak diindahkan, dan bagi yang terganggu dengan alur cerita tidak melanjutkan membaca. See you, fellas. :)