Chapter 2. Kenangan Buruk


2004 - 2005

.

Mereka hanyalah sepasang remaja bodoh.

Atau mungkin ialah yang bodoh. Bahkan setelah semua upaya saling mengejar dan rivalitas yang sangat intens, baru di kemudian hari ia menyadari dalam konteks apa sebenarnya perasaannya pada seorang gadis tomboy jenius bernama Shindou Hikaru mengarah. Dan saat itu, semua sudah sangat sangat terlambat. Rivalnya itu sudah keburu digaet orang lain. Tak lain tak bukan, Ko Yeong-ha, musuh bebuyutannya yang pernah Hikaru sumpahi akan gosong tersambar petir di depan makam Shuusaku.

Bagaimana dua musuh bebuyutan yang tak bisa ada di ruangan yang sama tanpa saling adu urat pada Hokuto Cup pertama, menjadi sepasang kekasih pada Hokuto Cup kedua, tak ada yang tahu. Atau mungkin perhatian Akira terlalu terlarut dalam kegalauan pada perasaannya sendiri, sehingga luput melihat tanda-tanda itu. Yang jelas pada pesta penutupan, ia tidak melihat Shindou di manapun, dan pada perjalanan pulang dari Seoul, Shindou begitu larut dengan ponselnya hingga mengabaikan ajakan Akira untuk bermain go dengan set portabel magnetik yang selalu ia bawa ke mana-mana. Dalam beberapa hari kemudian, tumben-tumbennya bocah yang ke mana-mana selalu pakai T-shirt longgar itu mengenakan kaos turtle neck, padahal hari sedang panas-panasnya. Dan ketika satu waktu cewek itu mengipasi dirinya di salon yang AC-ya sedang rusak sambil menarik-narik kerahnya, tanpa sengaja (Akira menolak mengakui bahwa ia hampir selalu mencuri-curi lihat ke arah Shindou) Akira melihat noda biru dan merah yang hampir pudar menghiasi leher dan dadanya.

Tidak perlu dikatakan, Akira nyaris gila dibuatnya. Terlebih ketika ia mendengar sendiri cewek-cewek Ki-In yang usil itu mencecar, dan dengan malu-malu Shindou mengakui bahwa ya, ia dan pemain pro brengsek dari Korea itu memang sudah jadian. Lebih sinting lagi karena bukannya menentang, seisi Ki-In sepertinya mendukung hubungan itu, bahkan menganggapnya sensasi yang sangat menarik. Alih-alih memperingatkan Shindou akan bahayanya bermain api, sahabat-sahabat Shindou yang tak tahu urusan itu—Waya, Isumi, dan Nase—habis-habisan menggoda Shindou, seolah tak apa jika sahabat mereka jatuh menjadi mangsa serigala. Pihak manajemen Ki-In malah bertindak lebih jauh dengan mengirim Shindou ke Korea untuk kegiatan pertukaran budaya selama dua bulan, mengabaikan protes keras Akira yang mengatakan bahwa saat itu sama sekali tidak tepat, Shindou toh harus berlaga di beberapa penyisihan dan sama sekali tidak baik jika rankingnya terus stagnan. Mereka berdalih bahwa kegiatan itu sangat baik untuk perkembangan kemampuan Shindou, yang menjadi andalan Ki-In untuk berlaga di kejuaraan wanita internasional. Mereka seakan lupa bahwa Korea adalah lawan Jepang—yang berarti musuh—dalam memperebutkan supremasi di dunia go, dan mengirim Shindou ke kamp musuh sama saja dengan menceburkan salah satu bakat terbaik mereka ke kolam penuh piranha. Lebih menyebalkan lagi, ketika salah satu manajemen atas Ki-In memandangnya dengan tatapan prihatin ketika ia menyuarakan protesnya, dan sembari meletakkan tangan di bahunya, berkata, "Masih banyak gadis di luar sana, Touya-kun..."

Mungkin memang sikap Ki-In beralasan. Nyata, bahwa hubungan cinta lintasnegara antara dua pemain go muda itu berdampak positif bagi banyak pihak, baik bagi perkembangan kemampuan Shindou maupun citra Ki-In secara keseluruhan. Pulang dari Korea, Shindou dengan kemampuan barunya yang lebih terasah berhasil meraih dua gelar wanita, bahkan memasuki tiga liga prestisius yang biasanya menjadi monopoli kaum lelaki. Kisah cintanya dengan cowok yang masuk kategori tampan, keren, dan popular (Akira sungguh tidak mengerti apa yang menjadi standar nilai 'tampan dan keren' di sini) seakan memangkas anggapan umum bahwa menjadi pemain go yang hebat tidak harus berarti menjadi seorang nerd jomblo yang kuper, reklusif, dan menyedihkan (seperti Akira).

Jelas, menjadi satu-satunya penentang tatkala seluruh dunia mendukung adalah strategi yang buruk sekali di pihak Akira. Ia harus menerima ketika Shindou marah padanya, berteriak, "Kenapa kau tidak mendukungku? Kukira kita sahabat!" seraya menggebrak meja hingga biji-biji go di hadapannya berhamburan. Ia hanya dapat terhenyak dan terpuruk di kursinya, sementara Shindou berlari meninggalkan salon dan tak kembali lagi. Di belakangnya, ia bisa mendengar jelas kasak-kusuk pelanggan salon lain, berkata dengan nada prihatin, "Kasihan sekali Touya-sensei...", "Namanya juga cinta pertama...", "Kudengar Shindou-chan berpacaran dengan pemain muda Korea...", "Touya-bocchan pasti bisa mendapatkan gadis lain, dia kan lumayan tampan...", "Ah, tapi tidak ada yang akan bisa seperti Shindou-chan kan?" dan seterusnya, hingga Akira tidak tahan dan berlari keluar.

Situasi tambah parah ketika insiden tersebut sampai pada orangtua Akira. Mereka jelas khawatir, jika mereka sampai susah payah pulang dari China hanya untuk menjenguk anak semata wayang mereka. Akira tidak pernah bicara masalah pribadi dengan orangtuanya, ataupun menunjukkan afeksi secara terbuka, karenanya sungguh canggung ketika sang ibu memeluknya dan mengatakan hal sama seperti yang diutarakan pihak manajemen Ki-In yang tidak tahu urusan itu. Atau alih-alih membahas strategi pada sesi permainan go mereka, ayahnya malah bercerita mengenai bagaimana ia mengatasi masalah cinta pertamanya yang tidak kesampaian semasa muda dulu. Ia juga menambahkan bahwa satu hari, Akira pasti akan menemukan cinta lain, yang mungkin akan lebih indah, jadi ia tak boleh hanya berkubang pada sesuatu yang ia tak bisa dapatkan dan harus memandang ke depan.

Mungkin mereka benar, begitu pikir Akira. Toh memang tak ada yang bisa ia lakukan, jika memang itu keinginan Shindou. Dan lagi, bukankah ia memiliki sesuatu yang lain yang tidak dimiliki Ko Yeong-ha? Ia bukan cuma rival, Shindou juga menganggapnya sahabat, bukan? Tidak seperti ia menganggap Waya, Nase, dan Isumi sebagai sahabat, memang, tapi itu berarti ia masih dapat ada di sisi Hikaru, bukan? Mungkin jika ia bisa menekan perasaannya, dan mengembalikan hubungan mereka kembali pada jalurnya, semua masalah ini bisa teratasi. Ia memang harus berdamai dengan dirinya sendiri dan belajar menerima Ko, tapi setidaknya Shindou akan tetap ada di sisinya.

Akira melakukan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan di saat seperti ini: meminta maaf pada Shindou. Gadis itu memeluknya saat itu, mengatakan terima kasih, ia tahu Akira hanya berusaha menjaganya, tapi ia gadis besar dan ia tahu yang ia lakukan. Mereka kembali menjadi sahabat dan rival, dan bagi Akira, itu cukup.

Hubungan Shindou dan Ko Yeong-ha, sayangnya, tidak bertahan lama. Shindou baru sekitar seminggu kembali dari liburannya ke Pulau Jeju bersama kekasihnya, ketika Nase melambai-lambaikan tabloid gosip terbaru di depan wajahnya, mengatakan bahwa Ko Yeong-ha tengah dekat dengan seorang anggota girl band yang tengah naik daun. Ko kedapatan menghadiri acara ulang tahun cewek itu dan mencium pipinya, begitu kata tabloid itu, dan kelihatannya si cewek juga tidak keberatan. Rupanya ia memang fans berat Ko Yeong-ha; media sosialnya penuh dengan foto-foto mereka dan kalau di-scroll ke bawah, kelihatannya ia mengikuti setiap pertandingan cowok itu. Jika tidak, bagaimana Ko Yeong-ha bisa mendapatkan undangan ulang tahun seorang selebriti? Malah, dalam salah satu wawancara, ia mengakui bahwa ia sedang suka dengan seorang pemain go muda. Ia tidak mengatakan namanya, tapi siapa lagi memang?

Bukan Shindou Hikaru namanya kalau ia tak langsung melabrak cewek itu lewat media sosialnya. Tapi di sinilah justru kesalahannya. Cewek ini, bagaimanapun, punya fanbase yang kuat. Melihat idola mereka dihujat, jelas mereka tak tinggal diam. Malah, mereka berbuat lebih jauh dengan mem-bully Shindou, mengatakan ia harus berkaca. Apalah ia dibandingkan dengan seorang idola dengan rupa yang sangat sempurna? Shindou Hikaru, menurut mereka, hanyalah cewek tomboy dengan rambut dua warna yang aneh dan berwajah pas-pasan yang tak pernah mengenal make up, yang ke mana-mana selain pertandingan resmi selalu berdandan ala Grunge 90-an atau Sk8erboi yang sama sekali tidak feminin. Ko Yeong-ha pasti buta, atau hanya mempermainkannya, kalau bisa-bisanya ia lebih memilih Shindou ketimbang cewek selebriti super-cantik itu. Atau mungkin Shindou saja yang berhalusinasi, padahal sesungguhnya mereka tak pernah punya hubungan apa-apa.

Tentu saja, kapan memang seorang Shindou Hikaru pernah pakai rok? Dulu, jika tidak dalam balutan jersey dan celana olahraga selutut, ia datang dengan paduan T-shirt, kemeja, dan jeans. Pertama kali Akira bertemu dengannya, Akira serius mengiranya sebagai anak cowok. Terlebih ketika mereka bertemu di Turnamen Go Antarsekolah di Kaio, dan Shindou bukan cuma menyamar jadi anak SMP, tetapi juga menyamar menjadi anak laki-laki dengan memakai gakuran yang kebesaran. Akira berani bersumpah bahwa ia baru tahu Shindou perempuan ketika mendatanginya ke SMP Haze. Itu pun, walau mengenakan seragam perempuan untuk bagian atas, ia memadukannya dengan celana panjang—katanya lebih praktis, hangat, dan tidak rawan pelecehan. Gadis itu hanya membawa rok sebagai formalitas di tasnya, yang ia pakai kalau sedang ada inspeksi seragam. Bahkan di kemudian hari, dalam pertandingan resmi, termasuk ke Hokuto Cup, Shindou tak pernah peduli apa kata orang dan bersikukuh mengenakan setelan kemeja dan blazer dengan celana panjang.

Melihat dandanan dan tindak-tanduknya, wajar jika kadang Akira merasa Shindou adalah laki-laki yang terperangkap dalam tubuh perempuan. Dan bukannya ia tak pernah mendapat perhatian dari kaum hawa karenanya (Akira tahu setidaknya ada beberapa cewek yang terang-terangan berusaha menarik perhatian Shindou—jujur sejak dulu ia curiga pada tindak-tanduk sahabat masa kecil Shindou yang bernama Fuji-sesuatu itu; atau Nase, yang acap mengenakan pakaian mini dan bicara pada Shindou dengan gaya sok-centil, tapi memang kata Shindou dia begitu pada semua orang). Ia juga lumayan popular di kalangan kaum adam, yang menganggapnya menarik dengan segala keunikannya (dan tidak, ia tidak hanya bicara tentang Waya). Sayangnya, di mata Shindou hanya ada Ko Yeong-ha seorang.

Pilihan yang salah.

Diejek habis-habisan di media sosial begitu, jelas saja Shindou mengamuk. Terlebih ketika bukannya membelanya dan mengklarifikasi hubungannya dengan cewek itu, Ko malah menyalahkannya karena dianggap membesar-besarkan masalah di muka publik. Ia bertengkar hebat sekali dengan Ko di telepon, yang berakhir dengan putusnya mereka. Ia menangis di pelukan Akira malam itu. Bagaimana mungkin Ko melakukan ini padanya, padahal ia sudah ... padahal mereka baru saja...

Salahkah Akira, jika ia mengambil kesempatan itu? Shindou bagaimanapun datang padanya, bukan pada Nase atau Waya. Itu berarti ia mempercayai Akira dan menganggap tinggi hubungan mereka, bukan begitu? Jadi ia menggenggam bahu Shindou, menatap ke kedalaman matanya, berusaha keras menunjukkan keseriusan tekadnya kala menyatakan perasaannya. Ia mencintai Shindou sejak sangat, sangat, sangat lama, dan bahwa ia akan berusaha untuk menjadi yang terbaik, melakukan apapun yang terbaik bagi Shindou. Ia begitu mengagumi Shindou, baginya Shindou lebih hebat dan lebih menawan daripada apapun, jadi ia takkan pernah melakukan hal sebodoh Ko dengan menyia-nyiakan Shindou. Jadi tolong, tolong, tolong, bisakah Shindou melupakan Ko dan membuka hati untuknya?

Shindou tidak langsung menjawab saat itu, dan Akira hanya bisa tersenyum seraya mengatakan tidak apa-apa. Ia hanya ingin Shindou tahu bahwa ia ada di sisi Shindou dan mendukungnya, dalam kapasitas apapun. Jadi ia mengantar Shindou ke stasiun malam itu dan melepasnya dengan senyuman tipis. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Shindou, mungkin saja pernyataannya justru menjadi beban. Menahan sesak di dadanya, ia bertekad akan menerima apapun keputusan Shindou, bahkan walau itu berarti kekalahan baginya.

Ia tidak berharap apapun, karenanya sungguh ia ingin melompat ke langit ketujuh, ketika Shindou kembali keesokan harinya dan menerima cintanya. Dengan satu syarat: bahwa mereka akan menyembunyikan hubungan itu. Kelihatannya ia masih trauma dengan kasus Ko Yeong-ha, dan mungkin akan buruk bagi citranya jika ia baru putus lantas langsung menghambur ke pelukan laki-laki lain. Tidak masalah bagi Akira. Apa pentingnya orang tahu? Bukankah sebuah kisah cinta sudah lengkap hanya dengan dua insan yang secara tulus saling menyayangi?

Ciuman pertama mereka dilakukan di ruang belakang salon, ketika para pengunjung termasuk Ichikawa sudah pulang, dan Akira kebagian tugas untuk menutup salon. Agak basah, memang, Shindou menangis di pelukannya untuk alasan yang sudah jelas bukan karena ia terlalu bahagia, tapi Akira tak peduli. Ia sudah mengatakan bahwa ia akan ada bagi Shindou, dan ia bertekad akan mengembalikan tawa di wajah itu.

Hubungan mereka berekskalasi dengan cepat. Akira belum lagi 17 tahun, dan hubungan mereka baru berumur tiga hari, ketika Akira tak hanya menyerahkan tak hanya kursi penantang Tengen, tetapi juga keperjakaannya pada Hikaru (dia sekarang boleh memanggilnya Hikaru, kan?). Dan ia tidak menyesal sedikitpun. Bulan itu adalah masa penuh eksplorasi, baik dalam go maupun cinta. Kencan-kencan mereka diisi dengan bermain go hingga larut malam, membedah strategi go, serta saling menjelajahi tubuh masing-masing, di antara persiapan Hikaru untuk menghadapi pertandingannya melawan Kurata. Bagi Akira, ini adalah wilayah yang sama sekali belum pernah ia jamah, tapi ia bersedia mengikuti arahan Hikaru, sama seperti ia mengejar punggungnya bertahun-tahun lalu. Karena itulah, dan bukan karena tekad Hikaru untuk mengatakan pada dunia (dan Ko Yeong-ha) bahwa ia baik-baik saja, Hikaru berhasil mengalahkan Kurata dengan skor 3-2. Dengan itu, Hikaru dikukuhkan sebagai tak hanya perempuan pemegang Tengen pertama, tetapi juga pemilik gelar termuda dalam sejarah go Jepang, berhubung Akira kalah dalam pertandingan perebutan gelar Ouza-nya.

Akira sama sekali tidak merasa pahit soal itu, bahkan walau orang-orang mengejek bagaimana mungkin ia, yang sudah dipersiapkan untuk menjadi pemain go sejak kecil, bisa dikalahkan oleh seorang perempuan yang baru bermain go selama 5 tahun dan secara teknis adalah kouhai-nya. Yang ada, Akira merasa sangat bangga. Hikaru lebih dari layak untuk itu, dan bahwa ia bisa turut andil dalam kemenangan Hikaru, sedikitnya itu bisa membesarkan egonya.

Akira memutuskan bahwa ia takkan kalah, tentu. Ia bahkan berani berharap akan masa depan yang indah dengan Hikaru. Ia berlatih lebih keras, karena ia ingin bisa berdiri sejajar dengan Hikaru ketika ia melamar gadis itu kelak. Mungkin akan repot, jika ada dua Touya yang saling memperebutkan gelar di Ki-In, tapi tak masalah, bukan? Ayahnya pasti akan sangat bangga jika bisa menjadikan Hikaru sebagai menantu, bayangkan akan secerdas apa penerus nama Touya kelak. Hikaru memang bukan tipe ibu rumah tangga; ia kelewat berantakan dan sama sekali tidak bisa mengurus rumah, tapi itu tidak masalah karena Akira sudah biasa mandiri sejak usia sangat muda. Justru keceriaan dan keaktifan Hikaru yang ia harapkan bisa membawa nuansa baru bagi rumah tangga mereka. Akira bisa membayangkan rumah keluarga Touya yang biasanya begitu beku dan suram akan hangat dan penuh warna, dengan tiga-empat anak yang berlarian di beranda. Hikaru akan mengajak mereka main bola atau olahraga lain di antara waktu belajar go, sementara Akira akan memanjakan mereka dengan masakan-masakan enak. Mereka akan bermain go hingga tua, saling mendukung dan saling melengkapi. Tidak ada yang lebih sempurna dari ini.

Mungkin harapan Akira terlalu muluk-muluk, karena ternyata kenyataan tidak seindah itu. Mereka baru jadian sekitar dua bulan, baru melewati masa bulan madu, ketika Akira mendeteksi keanehan dalam sikap gadis itu. Semula Akira mengira itu adalah karena Akira memutus harapan Hikaru untuk mendapatkan kesempatan merebut gelar non-wanita keduanya dengan mengalahkannya di final Liga Jyudan. Tapi seorang Hikaru tidak mungkin berpikir seperti itu, kan? Lagipula bukankah mereka sudah menyatakan dari awal bahwa hubungan mereka yang pertama dan utama adalah sebagai rival, dan tak ada apapun, khususnya urusan romantika, yang akan dapat mengubahnya?

Akira sungguh tak tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah Hikaru menyesali hubungan mereka? Apakah Hikaru masih mencintai Ko Yeong-ha? Apakah mereka bergerak terlalu cepat? Apakah setelah lebih mengenal Akira, Hikaru akhirnya tahu bahwa ia tak layak menjadi kekasihnya? Apakah ia tak bisa memuaskan Hikaru?

Tapi saat itu bukan saat yang tepat untuk meributkannya, begitu pikir Akira. Mungkin Hikaru hanya sedang bad mood, atau sedang PMS, bukan masalah besar. Akan ada banyak waktu untuk menyelesaikannya nanti. Saat itu ia harus fokus dengan upayanya untuk merebut gelar Jyudan, tak lain tak bukan dari tangan Ogata, yang bukan hanya kakak seperguruannya dan murid terbaik ayahnya, tetapi juga pemegang gelar Meijin. Ia mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya layak untuk berada di sisi Hikaru, dan ia tak hendak menyia-nyiakannya.

Pertandingan kedua dan ketiga perebutan Jyudan dilaksanakan di Nagoya, sedangkan Hikaru dijadwalkan untuk mengikuti pertandingan lain pada saat yang bersamaan, sehingga mereka harus berpisah. Ia begitu ingin membuktikan dirinya dan kembali pada Hikaru, sehingga bisa dibayangkan bagaimana perasaannya ketika tidak hanya tak berhasil merebut gelar itu dari tangan Ogata, begitu ia kembali, ia juga tidak bisa menemukan Hikaru di manapun. Pihak manajemen Ki-In mengatakan bahwa Hikaru mengajukan cuti untuk waktu yang belum diketahui dengan alasan kesehatan. Mendengar alasan itu, tentu saja beribu ketakutan berkecamuk di benak Akira, dan dengan panik ia mendatangi rumah Hikaru. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan pintu yang terbanting tepat di depan wajahnya.

Akira berulang kali berusaha menghubungi Hikaru lewat ponsel dan email, namun keduanya tidak pernah aktif. Nyaris setiap hari ia mendatangi rumah Hikaru, tetapi pintu itu tak pernah terbuka untuknya. Lalu pada bulan berikutnya, di depan rumah itu tertulis tanda "DIJUAL", dan tetangganya mengatakan bahwa keluarga Shindou pindah, tapi tak ada yang tahu ke mana mereka pergi.

Hikaru sama sekali tidak mengatakan apapun, tidak selamat tinggal, lebih lagi janji untuk kembali. Alasan kesehatan yang ia pakai membuat Akira nyaris hilang akal. Tapi ketika ia meminta Ogata menelusuri catatan asuransi Hikaru, sama sekali tidak ada pemakaian asuransi dalam bulan-bulan terakhir, yang hanya berarti bahwa ia menggunakan alasan itu hanya sebagai alasan, atau memang apapun masalah kesehatannya tidak terlalu parah, namun membutuhkan waktu cukup lama untuk pulih. Atau … ya, ia tidak ingin catatan kesehatannya bocor ke tangan Ki-In. Jujur saja, untuk kemungkinan alasan yang terakhir, Akira sama sekali tidak mengerti. Dengan bantuan Ogata, ia juga mencari nama Hikaru nyaris di setiap rumah sakit di Jepang, namun hasilnya nihil.

Bulan berganti bulan, dan masih saja Hikaru tak kembali. Ketika waktu untuk mempertahankan gelar-gelarnya datang, dan masih saja tak ada kabar, Ki-In menyatakan gelar-gelar Hikaru sebagai takhta kosong, yang berarti babak final Liga akan dilangsungkan seperti pertandingan perebutan gelar, dan siapapun yang memenangkannya akan langsung disahkan sebagai pemegang gelar baru. Ketika Akira dinyatakan sebagai pemenang Liga Tengen, ia berharap entah bagaimana ada keajaiban yang membuat Hikaru kembali untuk mempertahankan gelarnya dari tangannya, namun bagaimanapun keajaiban itu tak kunjung tiba.

Berbagai kemungkinan berkecamuk di benak Akira. Hikaru sudah bosan dengannya dan meninggalkannya untuk kembali ke pelukan Ko Yeong-ha jelas adalah kemungkinan terakhir, karena itu tak membutuhkan kepergiannya dari Ki-In segala. Malah, rasanya ia lebih bisa menerima seandainya memang begitu kejadiannya. Karena kemungkinan lainnya adalah Hikaru entah bagaimana mengidap suatu penyakit serius, dan saat itu sedang sekarat atau bahkan sudah wafat.

Kemungkinan yang terakhir mencengkeram Akira bak kawat berduri. Semakin ia berusaha mengenyahkan pikiran itu, semakin kuat pula ia menancapkan duri-durinya membelit kepala dan dada Akira. Otaknya bekerja keras memutar memori saat-saat terakhir mereka, menganalisis setiap gerakan, setiap ucapan, mencari tanda-tanda sekecil apapun. Apapun.

Semakin ia berpikir, semakin ia merasa ada banyak hal yang salah. Memorinya mengenai kejadian setahun lalu mungkin sekali sudah tersaput kabut, tapi ia masih bisa mengingatnya. Senyum Hikaru yang manis, tapi juga menyiratkan beban dan kesedihan, ketika mereka berpisah sebelum kepergiannya ke Nagoya. Hikaru yang menatapnya lama sekali, jemarinya yang menelusuri setiap lekuk wajahnya, seakan ingin merekamnya dalam ingatan. Wajah gadis itu yang pucat, ketika satu hari ia bolos pertandingan dan Akira mendatangi rumahnya untuk mencari tahu keberadaannya. Pernah, ia melihat Hikaru mendadak bangkit dari duduknya dalam pertandingan penyisihan dan terburu-buru berlari keluar, hanya untuk kembali dengan wajah pucat. Ia masih bisa menyelesaikan pertandingan dan menang, tapi ia tak banyak bicara ketika mereka pulang bersama. Waktu itu Hikaru bilang ia kurang enak badan karena hari sebelumnya kehujanan, tapi bagaimana jika bukan begitu kenyataannya? Bagaimana jika ia menyembunyikan sesuatu dari Akira? Bagaimana jika Hikaru mengidap suatu penyakit parah yang tak bisa disembuhkan, dan ia tak ingin Akira tahu, karena ia tak ingin mengucapkan perpisahan dengan diiringi tangisan?

Akira merasa ia tak bisa berkonsentrasi dalam pertandingan, go-nya sudah kehilangan makna, sehingga ia melewatkan semua pertandingannya. Yang ia lakukan sepanjang hari hanya duduk di kamarnya, atau di depan meja salon tempat biasanya ia bermain bersama Hikaru, mereproduksi permainan mereka. Jika ada orang memintanya bermain, ia akan menolak, mengatakan ia sedang menunggu Hikaru. Hikaru akan pulih, kan? Seberapapun berat sakitnya, ia akan pulih dan kembali pada Akira. Akira hanya perlu menunggu.

"Shindou-chan takkan datang, Akira-san! Kumohon, jangan siksa dirimu!" begitu kata ibunya, ketika berita mengenainya—kemungkinan besar dari Ichikawa—sampai padanya. Dan seketika, kesadaran akan makna kata itu menghantamnya keras bak kereta api yang melaju dalam kecepatan penuh.

Hikaru sudah tiada, kesadaran itu mencengkeram dadanya begitu kuat hingga ia merasa sesak. Mendadak, kemungkinan-kemungkinan lain berkecamuk. Apakah Ki-In tahu? Apakah keluarganya tahu dan menyembunyikannya dari Akira? Apakah Ogata tahu, apakah semua laporan yang ia berikan pada Akira mengenai tiadanya jejak pemakaian asuransi Hikaru bohong belaka? Siapa lagi yang tahu? Waya? Isumi? Nase? Mengapa tidak ada yang memberitahunya? Apakah seluruh dunia berkomplot untuk menipunya?

Jawaban itu kian nyata, dalam setiap kontemplasi yang ia lakukan. Akira merasa ia tak bisa percaya siapapun. Ia menarik diri dari semua orang. Ia tak lagi datang ke salon. Ia tak lagi menyentuh goban. Jika Hikaru tiada, untuk apa lagi ia ada?

Entah sejak kapan, ia mulai mendengar suara-suara dalam kepalanya. Kadang ia mendengar orang bicara mengenainya di belakang punggungnya dari balik shoji kamarnya. Kadang pula ia melihat kelebatan bayang Hikaru ke manapun ia pergi. Hikaru acap menemuinya dalam tidur. Pernah, Hikaru menampakkan diri di depan goban yang berdebu di kamar Akira. "Aku kesepian di sini, Akira," demikian katanya, meletakkan biji hitam di tangannya di permukaan goban. "Maukah kau menemaniku?"

Ia begitu merindukan Hikaru, merindukan tatapannya, sentuhannya, permainan mereka bersama. Ia akan melakukan apapun, apapun, hanya untuk bertemu dengannya lagi. Maka salahkah, ketika Akira mengikuti suara itu?

Setelah percobaan bunuh dirinya yang kedua, orangtuanya menempatkannya di unit psikiatri selama satu tahun. Begitu ia dinyatakan boleh keluar, ia masih harus berada dalam pengawasan ketat. Ia wajib mengikuti terapi seminggu sekali, harus menerima telepon orangtuanya setiap sejam sekali, dan Ogata atau Ashiwara selalu menemani ke manapun ia pergi.

Perlahan, kondisinya membaik. Ia tak lagi mendengar suara-suara atau bayangan. Ia tak lagi ingin mati. Ia sudah bisa kembali bermain go, demikian menurut psikiaternya.

Ia mulai dengan permainan-permainan ringan melawan Ogata, Ashiwara, atau ayahnya, hingga ia menyadari bahwa bermain go dapat mendistraksinya dari semua dukanya. Mengantongi izin dari sang psikiater setelah asesmen ketat, ia diperbolehkan kembali bertanding, meski dalam pengawasan.

Akira mulai menenggelamkan diri dalam pertandingan. Psikiaternya mengatakan bahwa ia harus mencoba keluar dari cangkangnya dan meninggalkan sifat antisosialnya, jadi ia berusaha lebih membuka diri. Ia masih bisa mendengar beberapa anggota Ki-In mengatainya 'sinting' atau 'gila', beberapa lainnya mengasihaninya, tapi Akira tidak peduli. Perlahan, pola permainannya membaik dan kedudukannya pun kembali seperti sedia kala, jika tak bisa dibilang membaik. Dengan fokusnya yang kuat, ia memenangkan berbagai pertandingan, bahkan dianggap sebagai pemain go terkuat Jepang kedua setelah Ogata.

Waktu sudah berlalu 14 tahun sejak kepergian Hikaru. Akira sudah melangkah dengan hidupnya. Ia telah dapat melepas Hikaru. Atau setidaknya ia mengira begitu. Tapi rupanya tidak demikian kenyataannya. Karena di sini, detik ini, di hadapannya hadir seorang pemuda yang mengaku sebagai putra Hikaru.