Chapter 3. Kopi dan Croissant.


Januari 2019

.

"Ah, Touya-sensei, selamat pagi," suara pemuda itu bergemerincing bak bunyi lonceng. "Ada apa ya?"

Akira berusaha menampakkan senyumnya dan mempersilakan pemuda itu duduk di kursi kosong di hadapannya. "Maaf mengajakmu bertemu Minggu pagi begini. Apa kau sulit menemukan tempat ini?"

"Tidak juga, saya pakai Google Maps," si pemuda menampakkan cengirannya. Kalau sudah begitu, ia memang mirip Hikaru, pikir Akira. "Saya memang masih agak kesulitan dengan kanji, jadi agak kerepotan di stasiun. Tapi sekarang sudah banyak aplikasi, jadi tidak masalah...," katanya enteng.

"Begitu?" Akira tersenyum. Anak ini memang banyak bicara rupanya, walau tidak seheboh Hikaru. "Omong-omong, kau sudah sarapan?"

Bagai dikomandoi, saat itu pula terdengar suara perut pemuda itu. Ia langsung menunduk dengan wajah merah, sehingga Akira tertawa kecil.

"Di kafe bawah ada croissant yang enak. Mau coba?"

Mungkin kasihan, anak ini baru naik tangga dua lantai tapi harus turun lagi, tapi apa boleh buat. Di salon go-nya memang tersedia minuman, tetapi tidak menyediakan makanan. Harumi-san bisa mengamuk jika ia menggunakan meja go untuk makan.

Cye mengikuti Akira turun, lantas memasuki kafe kecil di bawah. Seorang pelayan muda yang mengenal Akira langsung menyapanya begitu ia membuka pintu.

"Ah, Touya-sensei, selamat pagi," ujarnya seraya mendatangi meja mereka. "Ah, Anda membawa murid?"

"Ini pro baru dari Ki-In, Cye Rayleigh-kun," Akira memperkenalkan.

"Rei ... lek-kun?" gadis itu mengulang namanya dengan terbata.

"Panggil saja Cye," pemuda itu memperkenalkan diri dengan ramah, mengulurkan tangan untuk menjabat si gadis pelayan, yang kini wajahnya bersemu merah.

"Um, Sai-kun...," ia membalas dengan nada agak mengawang. Akira memperhatikan pertukaran salam itu dalam diam. Anak ini kelihatannya punya pesona alami. Mungkin ia harus mengawasinya dengan lebih hati-hati.

"Ah," gadis itu kelihatannya sadar terlalu lama diam. "Anda berdua mau pesan apa?"

"Croissant dan kopi untukku," ujar Akira. "Kau mau apa, Cye-kun?"

"Eh, hmm..." pemuda itu menekuri daftar menu, tapi kelihatannya tidak kembali dengan sesuatu yang orisinal. "Croissant juga ... dan teh, mungkin. Tanpa gula, tapi tolong beri susu ya..."

Begitu sang pelayan pergi, Akira memperhatikan pemuda di hadapannya. Berdasarkan berkas yang diberikan Ogata, ia lahir pada 28 Juli 2005. Tahun ini ia baru akan berusia 14 tahun, tidak jauh berbeda dengan Akira sewaktu ia lulus ujian pro dulu. Semalaman Akira menghabiskan waktu untuk berpikir, merenung, menghitung... Tidak bisa tidak, ia sampai pada satu kesimpulan.

"Kuharap aku tidak membuatmu jalan terlalu jauh ke sini pagi-pagi begini," Akira membuka pembicaraan.

"Ah, tidak, Touya-sensei. Saya juga belum begitu paham daerah sini, ini kesempatan bagus untuk melihat-lihat."

"Omong-omong, kau tinggal di mana?" Akira berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Setahunya rumah keluarga Shindou sudah dijual empatbelas tahun lalu. Hikaru pernah mengajaknya ke rumah kakeknya, tapi kalau tak salah kakek dan neneknya juga sudah meninggal, tanah yang dahulu menjadi rumah keluarganya kini sudah berpindah tangan dan menjadi kompleks apartemen.

"Um, ada kafe kecil tak jauh dari Ki-In. Saya bekerja di sana, dan pemiliknya berbaik hati menyewakan kamar kosong di belakang dengan harga murah."

Di situ Akira mengerung. "Kafe?"

"Uh, hanya sementara, kok...," Cye menambahkan dengan agak panik. "Saya butuh pekerjaan sementara hingga musim pertandingan dimulai. Maksud saya, sekolah juga belum mulai, dan uang tabungan saya habis untuk tiket ke sini dan mendaftar ujian. Biasanya saya dapat uang tambahan dari Youtube, tapi belakangan channel saya sepi karena saya malas bikin konten, jadi... Um, saya berjanji pekerjaan sambilan saya takkan mengganggu waktu pertandingan dan belajar saya, sumpah!"

"Lho? Memangnya kau tidak ke sini bersama ibumu?"

"Ah, itu..."

Ada sesuatu dalam nada suara anak itu yang membuat luka lama Akira kembali terasa perih. "Jangan katakan ... ibumu..."

Kelihatannya Cye bisa menangkap ketakutan Akira, karena ia mengklarifikasi dengan terburu-buru, "I-ibu saya baik-baik saja, Touya-sensei. Sungguh. Di-dia ada pekerjaan, jadi ..."

Akira melepaskan napas yang sedari tadi tak ia sadari ia tahan. Ketakutan terbesarnya, yang ia rasakan bertahun-tahun, lenyap sudah. Ia tak tahu apa lagi anugerah yang lebih besar dari ini. Tapi di sini, di depan pemuda ini, ia harus menahan diri untuk menangis.

"Oh, di mana?" Akira berusaha mengorek informasi.

"Uhm, entahlah...," Cye terlihat agak gugup. "Uhm, ibu saya reporter olahraga, jadi ia selalu bepergian... Terakhir saya tahu, ia sedang meliput acara entah-apa di Inggris."

Reporter olahraga? Pekerjaan aktif yang sesuai untuk Hikaru, kalau begitu. Tapi bukankah Hikaru paling payah dalam soal jurnalistik?

Di situ, sang gadis pelayan tadi datang dengan membawa pesanan mereka dan meletakkannya di meja. Cye kelihatannya senang bisa mencari sesuatu untuk mengalihkan pertanyaan Akira dari ibunya, jadi ia mengucapkan terima kasih dengan manis, dan setelah sang pelayan itu pergi, lekas menggigit ujung croissantnya.

"Wah, Anda benar, Touya-sensei! Ini sungguh enak!" serunya begitu kerenyahan berpadu kelembutan pastry itu menyentuh lidahnya, dan langsung menyantapnya dengan lahap.

Diberi makanan begitu, baru kelihatan sifat aslinya yang agak berlawanan dengan topeng sopan dan penuh pengendalian diri yang ia perlihatkan kemarin. Atau mungkin suasana kafe yang nyaman dan tidak seformal Ki-In membuatnya melepaskan penjagaan. Yang manapun, gayanya mengingatkan Akira pada satu anak cewek yang selalu harus diperingatkan untuk tidak melahap makanannya seperti tidak bertemu makanan seminggu. Mau tak mau ia mendengus menahan tawa.

"Uh, maaf," pemuda di hadapannya kelihatannya menyadari kesalahannya. "Saya selalu diajari untuk menjaga tata krama, tapi..."

"Tidak apa," ujar Akira, dengan tenang memasukan dua balok gula ke kopinya. "Kalau kau masih lapar, pesan lagi saja."

"Benarkah?!" matanya membulat dengan begitu ekspresif. "Ah, kalau begitu..."

Ia kembali melirik buku menu, lantas memanggil gadis pelayan tadi untuk memesan spaghetti meatballs, french fries, chicken fingers, serta croissant sandwich with tuna salad. Itu belum ditambah chocolate fudge untuk dessert. Rupanya ia agak mengambil kesempatan, tahu Akira pasti mentraktirnya. Mana ada orang yang memesan dessert segala untuk sarapan, coba? Nafsu makannya mengigatkan Akira pada Hikaru, tapi ia merasa itu wajar. Bagaimanapun Cye masih dalam masa pertumbuhan, dan kalau mengingat wawancara kemarin, sepertinya ia memang anak yang cukup aktif.

Akira ingin menanyakan lebih lanjut soal Hikaru, di mana ia selama ini dan apa yang ia lakukan. Tapi rasanya itu menunjukkan bahwa ia terlalu ingin tahu, seakan mengonfirmasi fakta bahwa bahwa ia memanggil Cye ke sini pagi-pagi hanyalah untuk menginterogasinya soal Hikaru. Lagipula, bukankah ini kesempatan baik untuk mengetahui lebih dalam tentang anak muda di hadapannya?

"Ah, Cye-kun, omong-omong, bukankah kemarin kau bilang kau mau masuk SMA? Sudah memutuskan mau masuk SMA mana?"

Pemuda itu sedikit menggaruk kepalanya. "Uhm, mungkin Haze?"

"Oh? Bukannya Haze agak jauh dari Ki-In?"

"Uhm, yah..."

"Aku tahu SMP Haze adalah sekolah ibumu dulu, tapi mengapa tidak mencoba Kaio? Memang kau tidak mungkin bisa berpartisipasi di klub go-nya, tapi kalau tidak salah, klub basketnya juga bagus. Kau suka basket, kan?"

"Eh, iya... Tapi saya ingin masuk SMA karena ingin merasakan atmosfer sekolah, bukan untuk fokus di kegiatan klub. Saya memang suka basket, tapi kemampuan saya biasa-biasa saja. Lagipula, dengan jadwal sebagai go pro, rasanya itu tidak mungkin."

"Jangan khawatir, Kaio punya program pembelajaran yang cukup fleksibel, kok."

"Uh, tapi, Kaio kan sekolah swasta yang mahal..."

"Soal itu juga bukan masalah. Ada program beasiswa untuk siswa berprestasi, kan? Tidak pun, jika kau jadi go pro nanti, kurasa gajimu akan mencukupi. Kalau kau mau, aku bisa memberikan rekomendasi."

"Uhm, terima kasih, Touya-sensei. Saya akan pertimbangkan."

Ia mengucapkannya hanya sekadar berbasa-basi, Akira bisa menilai. Tapi ia juga tidak memaksa lebih lanjut.

"Oh ya, tadi kaubilang kau Youtuber? Kau membuat channel apa?"

Akira hampir berharap Cye akan menjawab channel go, karena jelas ia sangat berbakat dalam hal itu. Atau mengingat pencapaiannya di sekolah, setidaknya sesuatu yang ada hubungannya dengan bidang akademik. Karenanya ia menganga ketika anak muda di hadapannya justru menjawab, "Hahaha, soal anime..."

"Anime?"

"Um, sebenarnya saya anime-otaku. Makanya saya bisa lancar bicara bahasa Jepang juga... Ibu saya sebenarnya jarang di rumah, jadi saya jarang berlatih bahasa dengan Ibu, dan lebih sering belajar otodidak dari anime dan manga."

Dalam hati Akira mendesah. Tidak ibu tidak anak. Ia tahu Hikaru sejak dulu hobi mengoleksi Shounen Jump, bahkan sering kedapatan sempat-sempatnya membaca manga di sela-sela pertandingan (yang sering membuat pemain pro yang lebih serius seperti Ochi—atau Akira—kesal). Ternyata anaknya juga sama saja.

Sepintar apapun ia, ia belum lagi 14 tahun, batin Akira. Sangat wajar, sebenarnya. Dan seharusnya ia bisa memperkirakan hal itu, kalau mendengar wawancara kemarin.

"Oh? Apa nama channelmu? Mungkin nanti aku bisa lihat..."

Bukan cuma anak (ya, dia bukan pemuda, dia memang masih anak-anak) di hadapannya yang terkejut dengan pertanyaan itu, sebenarnya, Akira juga.

"Se-sensei … ingin tahu nama channel Youtube saya?"

"Tidak ada salahnya mengecek trend di kalangan anak muda masa kini, kurasa. Belakangan minat anak muda terhadap go kembali turun. Ki-In butuh bakat-bakat baru."

"Benar!" antusiasme anak di hadapannya tampak nyata. "Channel saya Saionji Rei, jika Anda mau mengecek. Ah, sebenarnya hal itu juga sempat terpikir oleh saya. Saya sempat tertarik untuk mengembangkan game go yang seru, mungkin berbasis RPG atau AR? Memang sudah ada game online klasik seperti NetGo dan teman-temannya, sih... Tapi terus terang, interface-nya sangat membosankan... Saya tahu itu ide standar, tapi mungkin nanti bisa lebih dielaborasi. Dengan perkembangan AI sekarang..."

Seterusnya anak itu dengan ceria membicarakan perkembangan AI, online game, alternate reality, game simulasi, dan lain sebagainya, yang sejujurnya kurang bisa Akira pahami. Memalukan, mungkin, tapi terus terang jika dibandingkan dengan generasi seangkatan atau di bawahnya, Akira yang secara usia termasuk generasi milenial sebenarnya lebih layak masuk dalam kategori pemain go konservatif yang seangkatan dengan Kuwabara, minimal Ogata. Ia jelas takkan tahu NetGo jika bukan karena Sai. Huh, bahkan Ogata lebih update dengan perkembangan dunia Go AI ketimbang dirinya.

Tapi memang menyenangkan, bicara seperti ini. Meski membicarakan topik yang sama, ia dan ayahnya jarang bicara dengan nuansa non-formal seperti ini. Pembicaraan mereka bahkan seringkali tanpa kata-kata. Sedangkan pembicaraan go-nya dengan Hikaru, kalau tidak soal strategi, pasti soal Shuusaku. Yang pasti ujung-ujungnya diakhiri dengan pertengkaran.

Pembicaraan mereka, bagaimanapun, harus berakhir ketika tiba-tiba terdengar dering alarm dari ponsel Akira. Dengan hati mencelos, Akira menatap layar ponselnya dan menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang.

"Astaga, maafkan aku, Cye-kun," ujarnya. "Aku terpaksa menyudahi pembicaraan kita hari ini. Aku benar-benar lupa kalau ada shidougo."

"Oh, Anda masih memberikan shidougo?" wajah di hadapannya tampak tertarik, sekaligus juga bingung. Mungkin pikirnya, siapa juga yang sanggup membayar seorang Meijin-Honinbou-Tengen untuk sebuah sesi shidougo?

"Aku menjadi sukarelawan di RS Tokyo Metropolitan Matsuzawa, di Setagaya," ujar Akira. Itu adalah rumah sakit psikiatri tempat dahulu ia sempat menjalani terapi. Entah bagaimana, ia merasakan keterikatan pada beberapa staf di sana, dan tidak bisa menolak ketika mereka memohonnya untuk memberikan terapi go kepada para pasien.

Wajah di hadapannya tampak terpesona. Mungkin ia tidak tahu rumah sakit macam apa itu. Tapi ia tahu juga bukan masalah. Nyaris semua orang di Ki-In (dan mungkin juga seluruh Jepang) tahu latar belakang kondisi psikologisnya tigabelas tahun lalu. Ia disebut-sebut sebagai contoh nyata orang yang berhasil menjalani terapi go untuk penyembuhan depresi dan kelainan neuro-behavioral, serta seringkali menjadi narasumber untuk topik tersebut.

"Aku minta maaf karena kita jadi tidak bermain hari ini," ujar Akira, memanggil pelayan untuk meminta tagihan dan memberikan kartu debitnya. "Aku sangat senang bisa berbincang denganmu. Jadi kalau kau sempat, kapanpun datanglah kemari."

"Sungguh?" rasanya ia tak pernah melihat wajahnya secerah itu. Dan entah mengapa, itu menerbitkan gelombang hangat di dada Akira.

"Tentu. Aku selalu ada di salon setiap hari, biasanya dari pukul 4 sore hingga 10 malam. Ah, kecuali jika aku ada jadwal pertandingan, tentu. Ah, tapi kau bisa datang kapan saja, kok. Bilang saja pada wanita yang jaga di meja resepsionis bahwa aku mengundangmu. Ia akan memberimu tiket masuk gratis."

Cye tampak menganga, tapi ia langsung sadar dan berseru sambil menunduk dalam-dalam, "Terima kasih, Touya-sensei!"

Akira sungguh ingin mengoreksi panggilan itu, tapi ia merasa ini terlalu cepat, jadi ia hanya mengangguk dan pamit meninggalkan meja. Ketika ia melirik ke dalam kafe dari luar, dilihatnya Cye masih di sana, menghabiskan makanannya secara berbincang riang dengan si gadis pelayan. Dirasakannya kehangatan menguar melingkupi dadanya, dan ia pun tersenyum.

.


.

Esoknya ketika Akira mampir ke salon sepulang dari Ki-In, ia langsung disambut oleh seorang wanita di meja resepsionis.

"Sore, Akira-kun," bahkan setelah ia berumur 31 pun, wanita yang sudah bekerja di salon itu selama nyaris 20 tahun itu masih menyapanya dengan akhiran '-kun'. Akira sama sekali tidak keberatan, tentu.

"Sore, Harumi-san," balas Akira, menyerahkan jaket, syal, dan tasnya di konter. Ichikawa Harumi sekarang sudah menikah dan memiliki dua anak, namanya sudah berubah menjadi Ashiwara Harumi, dan ia tak lagi hanya sekadar resepsionis. Tentu saja, ia adalah istri seorang pemain go yang lumayan terkenal, secara teknis bisa dibilang 'kakak seperguruan' Akira pula, amat melecehkan jika ia masih menjadi pegawai biasa. Ia sekarang bisa dikatakan sebagai manager, bahkan memiliki saham di salon yang kini dipegang Akira tersebut. Tapi tetap saja, ia menolak mempekerjakan karyawan baru, dan lebih suka menjaga meja resepsionis sendiri. Kalau ia tidak sibuk dengan anaknya, tentu.

"Ah, tadi ada anak muda mencarimu. Ia mengaku sebagai muridmu."

"Murid?" Akira mengerung, lantas memeriksa buku tamu. "Oh, Cye-kun?" ia tertawa. "Anak lelaki berambut hitam dan bermata hijau, kan?"

"Yep. Ia memakai T-shirt kebesaran dan membawa tas olahraga. Aku sampai kaget. Kupikir dia...," sampai di situ Harumi menutup mulutnya seraya membelalak, mungkin sadar ia mengucapkan hal yang tabu. "Oh, maafkan aku, Akira-kun. Aku tidak bermaksud..."

"Hikaru?" bahkan Akira pun terkejut mendengar betapa ringannya ia menyebut nama itu tanpa membuatnya sesak napas. "Ah, wajar, dia putranya. Oh, di mana dia?"

Wajah Harumi-san tampak melongo ketika ia menunjuk satu titik di ruang go. Akira hanya tertawa pelan, mengucapkan terima kasih dan meninggalkan wanita itu yang masih membeku. Ternyata beginilah rasanya mengagetkan orang. Pantas saja dulu Hikaru hobi sekali mengganggunya.

Anak muda yang dicarinya sedang duduk di meja pojok, dikelilingi beberapa pelanggan. Kelihatannya ia sedang melawan pelanggan senior, Kitajima-san. Dari wajahnya yang berusaha keras menahan senyum, kelihatannya ia sedang bersenang-senang membantai pria tua itu.

"Aaaaa," teriak Kitajima frustrasi, lantas mengacak-acak susunan biji go di atas goban. "Aku menyerah! Dasar anak berandalan, kau tidak menahan diri, ya!"

"Bukan salahku, Kakek!" seru Cye. Rupanya dalam soal ini, ia bisa setengil Hikaru juga. "Kakek yang tadi menolak diberi handicap."

"Jangan panggil aku Kakek, memangnya aku setua itu?! Lagian, kenapa juga aku harus minta handicap pada bocah badung sepertimu!"

Keributan itu, bagaimanapun, berhenti ketika Akira berdehem.

"Ah, Touya-sensei!" Cye langsung bangkit dan menghormat dalam-dalam. "Uhm, maafkan saya membuat keributan. Saya... Anu..."

"Ah, Kitajima-san, hadirin semua," Akira menoleh memandang para pelanggan yang berkumpul di meja kecil itu. "Perkenalkan ini Cye Rayleigh, dia shodan yang baru lulus ujian pro tahun ini."

Jelas, Cye dengan sengaja tidak mengungkap level permainannya sebelum menerima tantangan, karena Kitajima-san berteriak kaget, dan Cye sendiri mengerang.

"Seharusnya kau bilang kalau kau pro!" seru Kitajima-san. "Aku minta permainan ulang! Handicap tiga biji!"

"Yakin cuma tiga?" ada bersit usil di mata Cye, namun ia langsung menunduk begitu Akira memberinya tatapan peringatan.

"Maafkan ketidaksopanan dia, Kitajima-san. Dia mungkin kelihatan tinggi, tapi dia masih anak-anak," ujar Akira. Di sampingnya, Cye membeo seraya membungkuk. Mungkin sopan-santunnya masih bisa terselamatkan, kalau begitu. "Tapi mungkin ada benarnya. Cye lulus dengan skor sempurna tahun ini. Ia juga seri melawan Ogata-san tanpa komi dan menang dalam pertandingan shinshodan melawanku," ia bisa merasakan ada nada kebanggaan ketika ia mengucapkan itu. Ketika ia melirik, ia bisa melihat cengiran anak itu, yang juga segera hilang ketika sadar Akira melihat ke arahnya.

Tak perlu dikatakan, para pelanggan salon melongo dibuatnya.

"Ah, tapi kurasa pertandingan ulangnya tak perlu dilakukan sekarang, bukan begitu, Kitajima-kun?" Akira lekas menyambar sebelum Kitajima atau siapapun pelanggan lain tersadar dari keterpanaannya dan meminta permainan. "Maafkan aku, tapi ada yang ingin kubicarakan dengannya."

Memperlihatkan deretan giginya, Cye mengikutinya membelah kelompok fans barunya dan beranjak ke ruang belakang, tempat tersedianya ruangan yang lebih privat, yang biasa digunakan untuk mengajar atau berdiskusi bersama study group.

"Bagaimana menurutmu dengan salonku?" tanya Akira, ketika mereka sudah nyaman duduk seiza di hadapan goban.

"Um, nyaman... Tidak ada asap rokok, dan bersih...," Cye menjawab hati-hati. Dalam hati Akira tertawa. Ia pasti ingin bilang, 'Standar seperti lazimnya salon go lain,' untung nya setelah kejadian tadi, kelihatannya ia cukup tahu untuk menahan diri.

"Betulkah? Kalau kau suka, bagaimana kalau kau kerja sambilan di sini?" tawar Akira.

"Kerja sambilan … di sini?"

"Yah, memang jarak dari salon ini ke Ki-In mungkin tidak sedekat dari kafemu, tapi salon ini dekat stasiun, kau bisa ke mana-mana dengan mudah. Kasihan, Ashiwara Harumi-san kerepotan menjaga meja resepsionis sendirian, apalagi dia sedang punya bayi. Gaji di sini tidak besar, tapi lumayan. Kau juga bisa tinggal di kamar belakang. Kamar itu dulu sering kutinggali, tapi sekarang tidak pernah lagi."

"Ah, tentu, tentu saya mau, Touya-sensei. Terima kasih atas kesempatannya. Saya berjanji akan bekerja dengan rajin. Uhm, saya sejak kecil belajar mandiri, jadi saya bisa menyapu dan mengepel. Saya juga bisa membuat teh, mencuci gelas, mengelap goban, mencuci biji go, dan..."

"Oh, tidak, tidak, kau salah paham."

"Eh?"

"Kami punya petugas kebersihan untuk itu. Oh, kau bisa mengurus konter minuman kalau kau mau. Di sini tidak memperbolehkan makan di dalam ruangan, tapi kalau sekadar kopi, teh, jus, dan minuman ringan tidak apa-apa. Dulu Harumi-san sempat membuat konter minuman, tapi karena ia kerepotan, kami jadi hanya menjual minuman kaleng. Tapi tugas utamamu adalah melayani pelanggan jika mereka membutuhkan lawan main atau menginginkan shidougo. Tentu saja, kau bebas memasang tarif kalau kau mau."

"Saya bisa memasang tarif untuk shidougo?"

"Tidak lebih dari 1000 yen per permainan. Tapi untuk level shodan, kusarankan sekitar 500 yen. Memang lebih murah ketimbang shidougo privat, tapi karena ini salon merangkap klub go, langganan di sini sudah membayar uang keanggotaan bulanan atau uang masuk, jadi kurasa itu tidak terlalu memberatkan. Jika terlalu mahal, bisa-bisa kita tidak dapat pelanggan," ia menambahkan sedikit senyum. "Kau bebas mengambil semua uang hasil shidougo dan keuntungan penjualan minuman, tentu."

"Di samping gaji bulanan?"

"Ya, begitulah."

"Saya tidak perlu membayar sewa kamar?"

"Ya, tentu. Ah, kau juga bertugas membuka dan menutup salon. Dan dilarang membawa perempuan … atau laki-laki...," ia menambahkan bagian terakhir dengan agak buru-buru, di bawah wajah merah anak itu. "Ah, pokoknya intinya tidak boleh berbuat mesum. Di ruang salon ada CCTV, jadi kau benar-benar harus menjaga sikap. Mengerti, kan?"

Mungkin agak hipokrit ia mengatakan hal seperti ini, mengingat dahulu kamarnya di belakang salon adalah lokasi paling aman yang biasa ia jadikan tempat bermesraan dengan Hikaru. Di situ juga ia kehilangan keperjakaannya, kalau mau jujur. Tapi Cye jelas tidak perlu tahu ini.

"Siap, Touya-sensei!" seru anak itu, menunduk dalam-dalam. "Saya akan bekerja dengan rajin dan penuh tanggung jawab. Um, saya juga pemegang sabuk merah strip hitam I dalam taekwondo, jadi Anda bisa mempercayakan keamanan salon ini pada saya."

"Um, bagian itu tidak perlu, sih...," ujar Akira, meski tak bisa dipungkiri, ia merasa kagum. Jadi anak ini bisa go, basket, IT, dan ternyata cukup mahir beladiri. Oh, dan ia tahu sopan-santun dan bisa bersih-bersih. Apa lagi yang bisa ia harapkan dari putra seorang Shindou Hikaru? "Ah, satu lagi. Aku mengadakan study group di sini setiap Selasa sore dan di rumahku setiap Jumat sore. Kami juga biasanya berkumpul setiap Kamis sore di Ki-In kalau sedang tidak ada jadwal pertandingan. Kau bebas mengikuti study group manapun, tentu. Tapi kalau kau mau, kau bisa mengikuti kelasku."

"Sungguhkah, Sensei? Saya sangat berterima kasih!" ia menghormat lagi. Kali ini bahkan terlalu keras hingga hampir menubrukkan kepalanya ke goban. Kali itu Akira meringis dibuatnya. Semoga saja anak ini tidak mewarisi sifat ceroboh ibunya. "Sungguh suatu kehormatan! Saya tidak tahu bagaimana membalasnya!"

"Tidak masalah. Kau bisa membalasku dengan merebut gelarku nanti."

Tak bisa tidak, Akira mengulum senyum melihat wajah terbelalak Cye.

"Siap! Saya akan berjuang keras agar dapat sejajar, atau bahkan melebihi Anda, Sensei! Ah, tidak, Shishou! Izinkan saya memanggil Anda Shishou!"

Jelas, anak ini kebanyakan nonton anime. Kosakatanya tidak jauh-jauh dari kosakata standar shounen anime. Bukan berarti Akira mengikuti perkembangan media popular, tentu, tapi setidaknya ia sering (tak sengaja) mendengar percakapan dalam anime kesukaan Hikaru yang tayang setiap Minggu pagi.

"Ada pertanyaan?"

"Ya, Shishou! Kapan saya bisa mulai bekerja?"

Akira mengendikkan bahu. "Terserah. Besok juga bisa."

Bocah itu makin terang bercahaya bak lampu neon. Rasanya Akira bisa melihat getaran di ujung-ujung jemarinya.

"Umm, tapi aku tidak bisa mengadakan study group besok," Akira mengingat-ngingat. "Mulai besok aku harus pergi ke Nagasaki untuk seminar selama 3 hari, mungkin baru bisa pulang Kamis atau Jumat. Tapi kuusahakan study group Jumat masih tetap bisa berjalan."

"Jumat? Di rumah Shishou?"

"Tidak, sekitar sebulan ini seluruh study group dilaksanakan di sini, soalnya ruang go di rumahku sedang direparasi. Tidak apa-apa kan?"

Wajah Cye jelas menampakkan kekecewaan, tapi ia memaksakan diri tersenyum. "Tidak apa-apa, Shishou. Saya bisa tetap mulai bekerja besok kan? Bagaimana dengan tempat tinggal? Apa saya bisa langsung pindahan?"

"Tentu. Nanti aku akan bicara pada Harumi-san. Kau masih harus merapikan ruangan itu, sih..."

"Ya, Shishou, tak apa-apa, nanti saya akan bersihkan. Terima kasih, Shishou!"

"Jadi, nigiri?" tersenyum, ia menarik goke yang tertata rapi di atas goban dan membuka tutupnya.

.


.