Chapter 5. Tatkala Masa Lalu Datang Menghampiri
Senyum Hanako terasa hambar dan dipaksakan, ketika mereka meninggalkan salon go dan pergi ke restoran untuk makan malam bersama, sebagaimana ia janjikan pada Hikaru-chan beberapa hari lalu sebelum ia berangkat ke Nagasaki. Gadis berusia 7 tahun itu marah padanya, ketika ia membatalkan rencana menonton pertandingan softball-nya beberapa hari lalu, karena harus mengikuti pertandingan shinshodan. Alhasil, Akira menjanjikan akan menggantinya dengan mengajak mereka sekeluarga makan. Berhubung Sabtu besok—yang biasanya menjadi hari ia bisa bersantai bersama keluarga—ia sudah ada janji untuk bertemu dengan pihak manajemen Ki-In, sedangkan Minggu ia harus mengisi terapi go rutin di rumah sakit, ia hanya punya Jumat ini untuk makan-makan. Acara minggu ini memang benar-benar hectic hingga Akira nyaris tak bisa bernapas, tapi menunda acara makan-makan bersama keluarga mungkin akan menimbulkan masalah baru. Hikaru bisa tambah marah padanya, dan seperti kata Hanako, belakangan ia kurang meluangkan waktu untuk keluarga.
Karena seperti biasa Akira selalu menghabiskan sore hingga malam di salon, Hanako menjanjikan akan menjemput Akira setelah menjemput Hikaru-chan dari les balet. Siapa sangka, justru di sore itu mendadak ada seseorang yang tak ia sangka-sangka akan hadir?
Rasa tak nyaman menghinggapi Akira sepanjang makan malam. Tidak, ini bukan rasa bersalah. Bagaimana ia bisa merasa bersalah jika ia tidak melakukan apapun? Tapi jika mengingat wajah pucat Hikaru tatkala ia memperkenalkan keluarganya, juga wajah terkejut Hanako, entah bagaimana ia ... ah, bagaimana mengungkapkannya?
.
Tentu saja, Hanako tahu mengenai Shindou Hikaru. Jangan kata Hanako, seluruh Ki-In, langganan salon go-nya, bahkan boleh jadi seantero dunia go Jepang tahu apa arti Shindou Hikaru bagi seorang Touya Akira.
'Pemain Go Muda Berbakat Touya Akira Tengen Melakukan Percobaan Bunuh Diri', kurang lebih begitu headline berbagai media di Jepang, tigabelas tahun lalu. Sang Tengen mengiris pergelangan tangannya sendiri dengan pecahan cangkir, sementara di atas goban di sisinya terhampar permainan yang belum selesai. Pada saat kejadian, keluarganya sedang berada di China, dan sang Tengen memang hidup sendiri, sehingga adalah suatu keajaiban bahwa seorang wanita yang merupakan pegawai salon go milik ayahnya kebetulan datang untuk membawakan makanan, dan menemukan pemuda itu tengah tersungkur bersimbah darah di lantai kamarnya. Untunglah (atau kerugian di pihak Akira) ia bertindak cepat, karena kalau telat lima menit saja, sudah pasti ia tak bisa diselamatkan.
Berita itu langsung saja menuai hembusan angin panas di dunia go, terlebih dengan fakta bahwa sudah sekitar setengah tahun Akira vakum dari pertandingan, yang anehnya terjadi setelah ia mendapatkan gelar Tengen. Kecurigaan pertama, tentu saja, adalah per-bully-an. Sebagai pemain muda berbakat yang reklusif, tidak aneh jika ia mendapatkan tekanan dari sana sini. Terlebih, sebagaimana kesaksian salah seorang senpai-nya pada masa SMP, Touya-kun adalah pribadi antisosial dan kerap mengalami per-bully-an. Ki-In membantah keras hal ini, mengatakan bahwa Touya Tengen adalah pemain yang sangat dihormati serta memiliki koneksi yang sangat kuat di dunia go, sehingga tak mungkin ada yang berani melakukan hal seperti itu.
Kemungkinan kedua adalah stress. Dikatakan bahwa belakangan sang Tengen mengalami penurunan performa yang sangat signifikan. Ia bahkan terdepak begitu saja dari Liga Jyudan, padahal tahun sebelumnya sempat menjadi penantang. Beberapa teoris menyebutkan bahwa ia sudah mengalami stress dan depresi sejak lama, tercermin pada tubuh kurusnya yang menurut mereka adalah sindrom anoreksia. Kata mereka, ia mengalami tekanan mental dengan statusnya sebagai putra orang yang pernah dianggap sebagai puncak dunia go Jepang. Bagaimanapun ia baru berusia 17 pada Desember tahun sebelumnya, dan tanpa teman dekat maupun keluarga yang menemaninya, sangat mungkin baginya merasa begitu terpuruk hingga tak melihat jalan lain selain bunuh diri. Tak jarang orang yang menghujat ayahnya atau Ki-In dalam hal ini, mengatakan bahwa ini adalah cerminan tingginya tekanan sebagai pemain go dan buruknya sistem Ki-In yang tidak menyediakan konseling memadai bagi para pemain mereka.
Tentu, hanya segelintir yang mengaitkan percobaan bunuh diri itu dengan menghilangnya Shindou Hikaru, pemegang gelar Tengen sebelumnya yang juga diketahui sebagai rival sekaligus sahabat Touya Akira. Mungkin hanya keluarganya, yang tahu depresinya belakangan, atau beberapa anggota salon keluarga Touya, yang tahu bahwa pemuda itu menaruh cinta tak berbalas pada sang gadis. Tapi bahkan mereka pun tidak tahu kenyataan sebenarnya, tak pernah tahu sejauh mana kepergian Hikaru berdampak padanya. Karena bukankah tak ada yang tahu bahwa ia dan Hikaru berkencan?
Yang mereka tidak tahu, bukan sekali itu saja ia mencoba menghilangkan nyawanya. Godaan itu begitu besar, sejak pertama kali ia menyadari bahwa mungkin Hikaru memang sudah tiada dan semua orang menutupi hal ini darinya. Ia pernah hampir melemparkan dirinya ke hadapan kereta yang tengah melaju, di stasiun dalam perjalanan pulang dari Ki-In, sayangnya seseorang menangkapnya sebelum ia sempat melangkahkan kaki keluar dari garis kuning. Ia sangat lelah sehingga tidak sengaja terjatuh, demikian katanya saat itu, dan karena orang itu kebetulan tidak mengenalinya, dengan mudah kasus itu dianggap sebagai ketidaksengajaan sehingga tidak pernah masuk media.
Dan puncaknya adalah hari itu, ketika ia melihat bayangan Hikaru di depan goban, memanggilnya dengan suara terlembut yang pernah ia dengar dan menyunggingkan senyum terindah yang pernah ia lihat.
"Kemarilah, Akira...," demikian katanya. "Kita akan bisa bermain go selamanya..."
Tajam ujung potongan cangkir itu terasa dingin kala menyayat nadinya, sedingin rasa yang menjalari seluruh tubuhnya, tapi ia bisa merasakan kehangatan di dadanya dan senyum di bibirnya, kala ia mengulurkan tangan pada Hikaru dan berujar, "Aku akan datang padamu, Hikaru... Kita akan bersama selamanya..."
Kehebohan menyusul kasus bunuh diri Akira, bagaimanapun, tidak separah yang terjadi sebulan kemudian, ketika ia kembali ditemukan tergeletak di kamarnya dengan mulut berbusa. Botol obat kosong ditemukan di kaki tempat tidurnya, lagi-lagi beserta permainan separuh jalan yang terhampar di atas goban.
Media menganggap ini skandal, tentu. Seburuk apa tanggung jawab keluarga Touya terhadap putra mereka sendiri, sehingga mereka tidak menaruh penjagaan yang cukup, bahkan memberi kesempatan bagi pemuda yang baru saja lolos dari maut untuk sekali lagi membunuh dirinya? Separah apa sebenarnya depresi yang diderita sang Tengen? Obat apa yang membuatnya overdosis, bagaimana obat itu bisa sampai padanya, apa tak ada yang mengawasi konsumsi obatnya? Apa diam-diam selama ini Touya Akira melakukan penyalahgunaan obat-obat terlarang? Dan tentu saja, apa sebenarnya arti formasi biji go yang ia tinggalkan? Apa itu semacam pesan?
Ketika salah satu media menghubungkan formasi biji go itu dengan salah satu kifu pertandingan Akira, barulah kasus tersebut menemukan titik terang. Formasi yang ia tinggalkan di percobaan bunuh dirinya yang pertama kembali diulik, dan kesimpulan itu terpampang dengan kejelasan yang sangat nyata. Keduanya adalah kifu pertandingan Touya Akira melawan Shindou Hikaru. Satu dari pertandingan perebutan challenger Tengen tahun lalu, dan satu lagi dari pertandingan perebutan challenger Jyudan, sebelum gadis itu menghilang.
Segala mengenai Shindou Hikaru adalah misteri. Dia datang bak gelombang pasang dan pergi bak kabut. Tapi satu yang jelas: sepanjang karirnya, tidak, bahkan sebelumnya pun, selalu ada seorang Touya Akira yang mengejarnya, bahkan sebelum semua orang memperhitungkan kemampuannya.
Ini adalah kasus klasik cinta bertepuk sebelah tangan, kata mereka. Kasihan sekali Touya Akira, selama ini hanya mengenal go, dan ketika sekalinya mengenal cinta, terobsesi hanya pada satu gadis yang bahkan tak melirik sedikitpun padanya. Ketika gadis itu meninggalkannya, yang kurang-lebih mempengaruhi go-nya, ia begitu terpuruk dan tak bisa bangkit hingga memutuskan untuk bunuh diri. Ini masalah kematangan mental, kata mereka, sindrom yang biasa terjadi pada para jenius muda yang tak pernah mengenal kekalahan semasa hidupnya. Mereka mengatakan ini adalah masalah kesalahan pola asuh, kurangnya sosialisasi dengan teman sebaya, kurangnya perhatian orangtua pada aspek pribadi sang anak di luar go, yang berujung pada dirinya yang selalu hanya fokus pada go, go, go dan tak pernah didorong untuk berkembang sebagaimana remaja normal pada umumnya.
Keluarga Touya menelan semua tudingan yang dialamatkan pada mereka tanpa sedikitpun membela diri. Akira bisa melihat jelas rasa bersalah yang menghinggapi wajah ayahnya, kesedihan yang merundungi raut ibunya, karenanya ia sama sekali tidak berontak ketika lepas dari ICU, mereka memasukkannya ke unit psikiatri untuk menjalani perawatan intensif. Ia sadar bahwa ia begitu egois dan telah bertindak begitu bodoh. Dunianya mungkin telah begitu gelap tanpa matahari bernama Shindou Hikaru yang meneranginya, tapi ia masih punya tanggung jawab terhadap keluarganya.
Selama masa rehabilitasinya, Akira banyak sekali berkontemplasi. Apa arti hidupnya? Apa arti go-nya? Apa sesungguhnya arti cinta? Dan apa yang harus ia tetapkan untuk masa depannya? Bagaimana ia harus menjalaninya?
Sebagai substitusi dari terapi catur yang secara medis terbukti dapat mengatasi depresi, psikiaternya menyarankan terapi go. Mungkin aneh, mengingat go dianggap sebagai salah satu biang keladi stress yang ia idap. Tapi go bagaimanapun juga adalah jiwanya, jadi ia lebih dari suka cita menjalaninya di antara terapi-terapi lain. Larut dalam go adalah caranya untuk lepas dari kehampaan, dan juga sesuatu yang ia kenal yang membuatnya merasa berarti. Satu tujuan kembali mewujud di hadapannya, dan ia bangkit sebagai pribadi yang baru. Mataharinya mungkin telah pergi, tapi api yang ia tinggalkan dalam dirinya masih tersisa, bukan begitu? Justru dengan terus hidup, ia masih bisa menjaga api itu tetap menyala.
Kembalinya ia ke Ki-In setelah dua tahun vakum diwarnai dengan berbagai reaksi. Yang paling umum adalah tatapan kasihan, yang jujur saja membuat Akira terganggu lebih dari apapun. Bahkan Waya—sahabat Hikaru yang belakangan berganti nama menjadi Morishita Yoshitaka setelah pernikahannya dengan putri Morishita Shigeo (yang saat itu bergelar Meijin)—yang selama ini selalu bersikap antagonis padanya, berusaha mendekati dan bersikap baik. Akira berusaha melakukan performa terbaiknya, menunjukkan bahwa ia tidak apa-apa, hanya untuk menghalau tatapan penuh belas kasihan itu. Psikiaternya memaksanya untuk lebih membuka diri, sehingga ia berusaha untuk lebih banyak tersenyum dan bersosialisasi. Sulit pada awalnya, tapi seiring waktu, ia sedikit terbiasa. Ia masih tidak memiliki sahabat sedekat Hikaru dulu, tetapi setidaknya ia tidak menghabiskan sorenya berkubang di hadapan goban sendirian, merekonstruksi permainannya dengan Hikaru bertahun-tahun lalu.
Seiring dengan membaiknya permainannya, dan terintegrasinya ia kembali pada rutinitas sebagai pemain go profesional, perlahan tapi pasti, ia kembali menunjukkan giginya. Nyaris seluruh Jepang bersorak atas kembalinya sang pangeran emas dunia go, ketika ia kembali memasuki beberapa liga, bahkan berhasil menjadi penantang di Liga Ouza melawan Kurata. Ia memang kalah, tapi itu adalah suatu pencapaian yang sangat berarti baginya.
Permohonan dari orangtuanya agar ia menjalani omiai datang tahun berikutnya. Awalnya ia menolak, bagaimanapun ia masih merasa tak bisa menggantikan kedudukan Hikaru di hatinya. Tapi melihat kesenduan di wajah ibunya, ditambah ayahnya yang sakit-sakitan, ia pun tak bisa menolak. Pada usia 23, Akira menikahi seorang gadis pilihan orangtuanya.
Konoe Hanako lahir dari latar belakang keluarga tradisional seperti dirinya, serta dididik untuk menjadi seorang ibu rumah tangga dan pendamping yang sempurna untuk suaminya. Ia bisa dikatakan sebagai Yamato Nadeshiko, begitu cantik dan anggun lengkap dengan sederet karakteristik feminin yang membuatnya sangat kontras dengan Hikaru. Ditambah, ia mengerti go, meskipun bukan pemain profesional, dan seperti juga Akira, menaruh minat pada literatur dan seni Jepang klasik. Istri yang sangat serasi dan cocok untuk seorang Touya Akira, kata semua orang, tapi tak bisa tidak Akira justru merasa sebaliknya. Yang ada, ia merasa canggung berinteraksi dengan istrinya sendiri.
Usia pernikahan mereka menginjak setahun ketika keluarga kecil itu dianugerahi seorang anak perempuan. Hanako sama sekali tak menyatakan keberatan ketika Akira memberi nama putri pertamanya Hikaru, hanya menyunggingkan seulas senyum seraya mengatakan bahwa itu adalah nama yang sangat cantik. Putri kedua mereka lahir tiga tahun kemudian, yang ia beri nama Hikari.
Boleh jadi semua orang berharap Touya Hikaru dan Touya Hikari akan menjadi calon penerus nama keluarga Touya di dunia go, sehingga mereka agak sedikit terkejut mendapati bahwa Akira tidak memberikan pendidikan go kepada mereka sejak dini. Tapi dengan latar belakang Akira, mungkin mereka bisa memahami mengapa ia melakukan itu, sehingga mereka tak banyak berkomentar. Bahkan Touya Kouyo tidak menuntut hal tersebut dari cucunya, mengatakan bahwa Hikaru dan Hikari akan belajar go dengan kesadaran sendiri pada waktunya kelak, itu jika mereka memang menaruh minat di bidang tersebut.
Akira menguatkan kedua putrinya untuk hidup normal seperti anak-anak seusia mereka. Hikaru cilik tumbuh sebagai anak yang aktif dan ceria, ia punya banyak teman dan tergabung dalam klub softball di sekolahnya. Terkadang ia mengingatkan Akira pada Hikaru, dan membuatnya mempertanyakan pada dirinya sendiri apakah ia membentuk gadis kecil itu dalam citra ideal gadis yang telah hilang dalam hidupnya. Berkebalikan dengannya, putri keduanya jauh lebih pendiam, tapi guru di TK-nya mengatakan bahwa ia bisa memikat orang dengan caranya sendiri dan memiliki beberapa teman. Bagi Akira, itu cukup menjanjikan.
Usia kedua putrinya 7 dan 4 tahun kini. Akira acap mengajari keduanya dasar-dasar go, hanya sebagai pengisi waktu senggang dan media untuk menjalani golden time bersama keluarga, tetapi kelihatannya mereka belum tertarik untuk mendalaminya. Dan itu tidak masalah bagi Akira. Apapun jalan mereka di masa depan, ia hanya berharap mereka bisa bahagia, dan memberi mereka kesempatan untuk membuat pilihan hidup yang tak pernah ia miliki.
Akira mencintai keluarganya, sangat. Tapi tak urung, ia merasa bersalah, khususnya pada Hanako. Hanako telah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menjadi ibu yang baik, istri yang sempurna, tapi bagaimanapun ia bukan Hikaru. Kendati begitu, Akira dapat menyembunyikan seluruh perasaannya di balik kata tanggung jawab. Sehambar apapun hubungannya dengan Hanako, tak pernah sedetikpun terpikir olehnya untuk berkhianat dengan mencari pelampiasan di luar rumah.
Tapi ya, ia harus akui, bahwa ia bukan suami yang sempurna. Ia telah berbuat tidak adil, ia telah berkhianat sejak awal. Sejak dulu, dulu sekali, bahkan sebelum ia mengenal Hanako. Ia telah menyerahkan seluruh cintanya pada Hikaru, dan ketika Hikaru pergi, hati tempat cinta itu bersemayam telah menjadi cangkang kosong tak berjiwa. Sekuat apapun ia berusaha menumbuhkan kembali cinta di sana, tunas-tunas muda itu hanya akan mengering dan luluh menjadi debu. Hanako hanya ada untuk menyemai apa yang tersisa.
Dan Hanako, ia tahu, pasti menyadarinya sejak awal.
.
.
Setibanya di rumah keluarga Touya, Akira membopong Hikaru yang tertidur di jok belakang mobil ke kamarnya, sementara Hanako menggendong Hikari dan mengunci pintu. Meski kedua gadis itu masih kecil, Akira berusaha menanamkan kemandirian sejak dini, sehingga mereka mendapatkan kamar terpisah.
"Akira-san?" suara ibunya menyapa ketika ia melewati kamar orangtuanya selepas menidurkan Hikaru.
"Ya, Haha-ue?"
Shoji kamar orangtuanya terbuka, memperlihatkan Touya Akiko dalam balutan yukata tidurnya. "Kalian pulang larut sekali?"
"Maaf, Haha-ue, tadi kami pergi makan malam. Ah, bagaimana Chichi-ue?"
Kondisi kesehatan ayah Akira belakangan mengalami penurunan. Wajar sebenarnya, jika mengingat usianya. Ia menolak untuk dirawat di rumah sakit, katanya ingin menghabiskan waktu dekat dengan keluarga. Alhasil, ia kini menjalani perawatan di rumah, di bawah kontrol rutin seorang dokter yang mengecek keadaannya setiap tiga hari sekali.
Sejak kasus Akira tigabelas tahun lalu, mereka menyudahi tur keliling dunia mereka dan kembali menetap di rumah keluarga Touya. Setelah berumah tangga, sebenarnya Akira dan istrinya sempat hidup terpisah dengan orangtuanya dengan menempati apartemen tak jauh dari Ki-In. Tetapi dengan kondisi kesehatan sang Meijin abadi yang terus menurun, ibunya mengajukan permintaan agar Akira dan keluarganya kembali ke rumah. Sang ibu kerepotan jika harus mengurus rumah dan ayahnya sendirian, katanya, akan sangat membantu jika Hanako menemaninya. Lagipula sebagai putra tunggal, rumah itu sudah jelas akan diwariskan pada Akira, sehingga Akira tidak bisa membantah.
"Ayahmu baik-baik saja," jawab ibunya, seraya bergeser memberi jalan bagi Akira untuk melongok ke dalam kamar guna melihat kondisi ayahnya. "Hari ini ia sempat bermain dengan Ogata-san."
"Oh, tadi Ogata-san datang?" Sejujurnya, ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan kakak seperguruannya itu. Belakangan ada begitu banyak kejadian, Akira baru sadar bahwa ia belum menghubungi Ogata-san sejak pertandingan shinshodan Cye.
"Ya. Oh ya, Akira-san, besok kau libur, kan? Ayahmu ingin bermain denganmu, katanya."
"Maaf, Haha-ue, besok pagi aku ada janji dengan dr. Matsumoto, setelah itu ke Ki-In, tapi aku usahakan pulang cepat," janjinya yang dibalas dengan seulas senyum.
Dalam diam, Akira memperhatikan ibunya. Touya Akiko masih terbilang muda, usianya baru 53 tahun ini. Sebagaimana juga Hanako, ia menikahi Kouyo, yang saat itu berusia 15 tahun lebih tua, melalui omiai pada usia 20 tahun. Tapi meskipun baru berkepala lima, garis-garis usia sudah terpatri di wajahnya. Ibunya mengalami penuaan yang sangat cepat dalam beberapa belas tahun terakhir, batin Akira, dan tak bisa tidak ia turut merasa bersalah karenanya.
"Haha-ue juga harus menjaga kesehatan," katanya, mengelus pelan pipi sang ibu. "Apa Haha-ue yakin tidak butuh perawat untuk Chichi?"
Wanita itu menggeleng, tak lupa memberikan senyum lembutnya. Bahkan meski tak bisa membohongi usia, senyumnya masih tampak begitu cantik.
"Belakangan ayahmu kelihatan agak segar, jadi aku juga tidak terlalu kerepotan. Istrimu juga sering membantuku. Yang harus menjaga kesehatan adalah kau, Akira-san... Sepertinya belakangan kau sibuk sekali, apa kau ingat makan teratur dan rutin menjalani terapimu?"
"Haha-ue jangan khawatir. Aku baik-baik saja," Akira membalas senyum ibunya. "Ah, sepertinya sudah sangat malam. Kalau begitu aku kembali ke kamar dulu ya... Haha-ue kembalilah beristirahat." Dengan itu, ia undur diri, tak lupa mencium kening ibunya.
Ibu dan ayahnya juga menikah tanpa cinta, pada awalnya. Akira pernah mendengar dari sang ayah, dahulu sewaktu muda, ia pernah mencintai seseorang namun tak berbalas. Ia melarutkan dirinya pada go sejak saat itu, tak pernah memedulikan soal asmara, dan karenanya baru menikah ketika usianya sudah 35. Ia tak tahu apa rasa cinta itu tumbuh di kemudian hari, tapi sejauh yang Akira lihat, kehidupan keluarga mereka begitu tenang tanpa guncangan berarti. Ayahnya tak pernah secara terbuka memperlihatkan kemesraan di depannya, tapi ibunya selalu tersenyum. Itu artinya mereka bahagia, kan?
Itu berarti ia, mereka, juga bisa bahagia, kan?
.
.
Hanako sudah menyiapkan air panas untuknya, sehingga tidak menunggu lebih lama, Akira lekas membenamkan diri di dalam bak kayu di kamar mandi tradisionalnya. Ketika kembali ke kamar, dua lembar futon sudah terhampar dan selembar yukata tidur sudah terlipat rapi di salah satunya. Akira mengenakannya, lantas menuju rak buku di pojok untuk mengambil sebuah buku sebagai bacaan pengantar tidur.
Istrinya kembali sekitar setengah jam kemudian dengan tubuh segar habis mandi. Ia melakukan rutinitas standarnya di depan cermin, lantas menyelinap ke balik selimut di futonnya. Ini juga kode bagi Akira untuk menghentikan membaca dan memadamkan lampu.
"Selamat tidur," ucap Akira seraya merebahkan diri, tapi rasa kantuk tak juga menyergapnya. Begitu juga dengan istrinya, kalau mendengar pola napasnya. Akira mempertimbangkan apakah ini berarti kode baginya untuk mengambil inisiatif melakukan hubungan suami istri. Hanako nyaris tak pernah meminta, dan Akira sendiri bukan orang dengan sex drive yang tinggi, pada dasarnya, tapi toh ia tetap harus melakukannya sebagai bagian dari kewajiban. Dua anak mungkin cukup bahkan berlebih untuk sebagian besar keluarga Jepang modern, tapi belakangan ayahnya membicarakan mengenai kemungkinan ia mendapatkan seorang anak lagi, laki-laki kalau bisa, untuk menjadi calon pewaris keluarga Touya. Namun itu terhenti ketika Hanako mendadak bicara.
"Jadi, Rayleigh-san tadi ... apa dia Shindou Hikaru?"
Akira menoleh ke sisinya. Wajah sang istri tengadah menatap langit-langit. Ia tak bisa membaca air mukanya dalam keremangan kamar, tapi ia bisa mendengar getar dalam suara yang biasanya begitu tenang.
Ia mengembalikan pandangannya ke langit-langit. "Benar," jawabnya.
"Kukira ia sudah meninggal?"
"Tadinya aku juga mengira begitu."
"Nama keluarganya Rayleigh, apa itu nama suaminya?"
"Aku tidak tahu."
"Apa ia masih berstatus menikah, atau sudah bercerai?"
"Aku tidak tahu, Hanako."
Istrinya mendesah pelan, sebelum kembali bicara, kali ini dengan nada lirih.
"Aku tahu aku terdengar seperti wanita pencemburu. Tapi aku ingin tahu, sudah berapa lama kalian berhubungan?"
"Hanako, aku tahu yang kaupikirkan," ujar Akira. "Tapi sungguh, ini tidak seperti itu. Ini adalah hari pertama aku bertemu Hikaru."
"Ada urusan apa ia ke salon, kalau begitu?"
"Ia ingin bertemu putranya. Anak itu kabur dari kampusnya untuk ikut ujian pro, katanya."
"Kabur?"
"Katanya mereka bertengkar, lantas Cye-kun kabur ke Jepang. Aku tidak tahu pasti sebabnya."
Mereka terdiam beberapa lama. Akira menghabiskan waktu dengan menghitung detak jarum jam di dinding. Sembilan puluh satu, sembilan puluh dua...
"Akira-san," istrinya kembali membuka pembicaraan dengan hati-hati, "kita sudah delapan tahun berumah tangga. Aku tahu pernikahan kita tidak berdasar cinta, tapi tidak berlebihan kan, jika aku berharap di antara kita tidak ada rahasia?"
"Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan, Hanako?"
"Anak laki-laki tadi ... Cye-kun, benar? Apa ... hubungan sebenarnya antara dia denganmu?
Akira memejamkan mata. Bak kala menghadapi tsumego, berpuluh pilihan jawaban terpampang di hadapannya, beserta kemungkinan ke arah mana jawaban tersebut mengarah. Tapi akhirnya, jawabannya adalah, "Ia shodan baru. Ia butuh kerja sambilan, jadi ia bekerja di salon."
"Hanya itu?"
"Hanya itu."
"Kau tidak sengaja menawarinya bekerja karena tahu ia adalah putra Shindou Hikaru, kan?"
Betapa tajamnya intuisi sang istri, dan betapa tepatnya pada sasaran, Akira tak pernah mengira. Tapi ia berusaha menahan debar jantungnya, menjaga nada suaranya tetap stabil kala menjawab, "Itu kebetulan, Hanako."
Tak ada jawaban sama sekali dari sang istri. Akira memberanikan diri menengok, dan dilihatnya mata istrinya menatapnya balik. Tatapannya penuh selidik, seakan berusaha menelanjangi Akira.
Memutus tatapannya, Hanako akhirnya berkata, "Aku percaya padamu, Akira-san."
"Hanako..."
"Karena aku percaya padamu, aku harap kau tidak menyia-nyiakan kepercayaanku," bisik Hanako. Keluar dari bibir wanita yang begitu lembut seperti istrinya, entah mengapa kalimat yang terdengar pelan itu terdengar bak ultimatum penuh ancaman, sehingga sedetik itu ia merasa jantungnya berhenti berdegup. Namun ketika ia bersiap mengatakan sesuatu, sang istri malah mengucapkan selamat malam dan berbalik untuk tidur.
Ia tahu Hanako tidak tidur, tapi ia juga tidak tahu apa yang harus ia ucapkan di situasi seperti ini. Jadi, balas mengucapkan selamat malam, Akira pun membalikkan tubuhnya.
