Chapter 6. Tuntutan dan Kebencian
Morishita Yoshitaka dan Isumi Shinichirou langsung melotot dan menariknya ke tangga darurat, ketika mereka melihatnya memasuki bangunan Ki-In keesokan harinya.
"Kau sedang apa di sini? Bukannya tidak ada pertandingan?" tanya Morishita tanpa basa-basi.
"Ummm, ada sedikit urusan."
Hari Sabtu tidak secara resmi menjadi hari libur Ki-In, berhubung terkadang beberapa pertandingan justru dilaksanakan pada hari itu. Tapi pertandingan yang dilaksanakan pada hari Sabtu biasanya adalah pertandingan khusus, karena ruangan yang biasa dipakai untuk pertandingan profesional dipakai sebagai ruang kelas insei. Karena itu, biasaanya jarang kedapatan pemain profesional yang berseliweran di Ki-In pada hari Sabtu. Isumi Ouza belakangan menjadi guru kelas insei semenjak Shinoda-sensei terkena stroke, jadi wajar saja jika ia ada di sini. Sedangkan sebagai pewaris nama Morishita, Morishita Yoshitaka Dan-8 belakangan dipercaya oleh ayah mertuanya yang sudah pensiun untuk mengelola study group-nya, yang kalau tak salah juga dilangsungkan di salah satu ruangan Ki-In setiap Sabtu.
Berbeda dari mereka berdua, Akira nyaris tidak pernah muncul di Ki-In pada hari Sabtu. Akhir pekan biasanya adalah waktu ia menghabiskan waktu dengan keluarga atau menjadi volunteer terapi go, sesuatu yang sangat esensial baginya dalam upaya untuk menyeimbangkan kehidupan profesional dan kondisi mentalnya. Setelah semua yang pernah terjadi, Ki-In paham untuk tidak menuntut terlalu berlebihan dari Akira, sehingga kalau tidak penting-penting amat, mereka jarang menjadwalkan pertandingan Akira pada hari tersebut.
"Tapi ini bukan waktu yang tepat!" tekan Morishita. "Ya Tuhan! Kenapa kau tidak pulang saja? Ya, ya, cepat pulang sana!"
Justru saat itu pintu elevator terbuka, dan sosok seorang wanita keluar dari balik pintu, menyeret seorang anak laki-laki yang jelas berusaha menahan dirinya agar tidak terseret. Mereka tampak berdebat dengan nada tinggi, yang lebih terdengar seperti pertengkaran diiringi tangisan.
Morishita langsung menepuk jidat dan mengerang, sementara Isumi membenamkan wajah ke telapak tangannya. Apapun yang mereka lakukan, atau apapun yang mereka kira berusaha mereka sembunyikan, bagaimanapun tak berarti. Akira sudah tahu.
"Cye-kun! Hikaru!" seru Akira, yang kontan membuat Morishita dan Isumi melotot.
"Shishou!" seru Cye, kelihatan sangat lega melihat Akira di sana. Akira bisa menangkap bibir Morishita bergerak mempertanyakan kata 'Shishou' itu, tapi ia tak peduli. "Shishou, tolong!"
Tentu saja, teriakan Cye yang hiperbolis membuat Hikaru mengerang dan malah menarik tangan pemuda itu. "Diam! Jangan bersikap seolah aku menyakitimu!"
"Mom, please!" erang Cye.
Akira memutuskan untuk turun tangan. Melepaskan diri dari Morishita dan Isumi, ia melangkah mendekati dua orang itu.
"Ada apa ini?" tanyanya, yang tentu saja dibalas Hikaru dengan ketus.
"Sama sekali bukan urusanmu, Touya!"
"Tentu saja ini urusanku. Cye meminta bantuanku." Di bawah decakan Hikaru, ia berpaling pada Cye, menuntut penjelasan. Merasa mendapat dukungan, pemuda itu melepaskan tangannya dari sang ibu dan mendekati Akira.
"Mom menuntut Ki-In untuk memecat saya!" lapornya. "Tolong saya, Shishou!"
Ucapan anak itu menyentak Akira. "Benarkah itu, Hikaru?"
"Dia masuk secara ilegal."
"Dia lulus ujian pro lewat pertandingan yang jujur. Aku tidak melihat ada yang ilegal dengan itu."
"Dia memalsukan tanda tanganku di lembar izin orangtua untuk registrasi ujian dan kontrak pemain baru," balas Hikaru, yang membuat Akira berpaling pada si bocah yang tampak gemetar.
"Benarkah itu, Cye-kun?"
"A-aku terpaksa!" belanya. "Aku tidak mungkin meminta Mom, ia pasti tidak akan mengizinkan! Dan batas waktu registrasi sudah hampir habis, jadi aku..."
Tentu saja, Hikaru memanfaatkan momen itu untuk kembali menyerang. "Dan seperti yang sudah kukatakan," tekannya, "surat izin untuk peserta di bawah 18 tahun itu ada dengan suatu alasan. Kalau aku tidak mau menandatanganinya, artinya kau tidak diperbolehkan ikut ujian, apalagi jadi pro!"
"Tapi, Mom!"
"Tidak ada gunanya merajuk! Aku sudah kebal! Ayo pulang!"
Hikaru kembali menarik tangan putranya, di bawah protes keras Hikaru. Namun langkahnya terhenti ketika Akira berjalan mendahuluinya dan menghalangi langkahnya.
"Minggir, Touya! Ini sama sekali bukan urusanmu."
"Tentu saja ini urusanku. Cye-kun tadi meminta tolong padaku."
"Dia anakku!"
"Dan dia muridku."
"Brengsek! Kau tidak punya hak apapun atas Cye! Kenapa kau tidak urus saja keluargamu sendiri?"
Kata-kata terakhir itu, ditambah wajah Hikaru yang jelas-jelas membencinya, terasa bagai tamparan bagi Akira. Ia hanya dapat membeku, sementara wanita itu mendengus dan melangkah pergi dengan menyeret putranya, yang masih berteriak memprotes seraya menatap Akira dengan mata memohon.
Akira ingin berbalik dan mengejar, sungguh. Tapi entah apa memakunya di tempat. Di ujung matanya, ia melihat beberapa orang mulai melongok ke arah mereka dengan tatapan ingin tahu. Beberapa adalah bocah insei, pula. Ini jelas akan berdampak buruk pada citranya dan citra Ki-In secara keseluruhan, tapi Akira sungguh tak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini tanpa menarik perhatian orang.
Pintu kaca yang terbuka dan kembali tertutup di belakangnya menjadi tanda bahwa waktunya telah habis.
"Hey, Touya...," selepas kepergian Hikaru dan Cye, Morishita mendekatinya dan meletakkan tangan di bahunya. Suaranya terdengar khawatir.
Akira berbalik dan mencoba tersenyum. "Aku tidak apa-apa, terima kasih, Morishita-san. Ah, aku ada sedikit urusan dengan pihak manajemen. Maaf, Morishita-san, Isumi-san, aku harus pergi."
.
.
"Ah, Touya-sensei," pria botak bernama Matsuzaka Eiichirou yang menjabat sebagai Presiden Nihon Ki-In itu menyambutnya segera begitu ia memasuki ruang manajemen. "Apa Anda ke sini untuk mengurus pengajuan cuti tahunan?"
"Ah, mengenai itu...," psikiaternya sudah memintanya untuk berlibur barang dua minggu, dan ia setuju melakukannya setelah Turnamen Jyudan berakhir. Kebetulan itu juga adalah masa yang super-sibuk, karena ia harus menghadiri beberapa seminar, sehingga ia harus mengurus berkas cutinya jauh-jauh hari. "Soal itu sebenarnya tidak terlalu penting. Uh, kebetulan baru saja saya..."
"Oh, soal Cye Rayleigh kan? Bagus, kebetulan sekali. Baru saja kami ingin menghubungi Anda soal itu. Silakan duduk, Touya-sensei," ia menunjuk ke sofa di pojok ruangan. "Um ... apa kami perlu memanggil Ogata-sensei, atau Ashiwara-sensei, mungkin?"
Sudah merupakan sebuah konsensus di Ki-In, bahwa segala pembicaraan yang menyangkut Shindou Hikaru di depan Akira harus dihindari sebisa mungkin. Jika pun harus dilangsungkan, sebaiknya di bawah pengawasan otoritas yang kompeten dalam menangani masalah psikologis, berjaga-jaga seandainya Akira mendadak kambuh. Jika tak ada, setidaknya ia harus didampingi oleh orang yang dapat ia andalkan dan telah menerima pelatihan khusus untuk itu, dalam hal ini Ogata atau Ashiwara.
Akira menggeleng dan mendudukkan dirinya di sofa, sebisa mungkin menunjukkan bahwa ia sehat-sehat saja. Terkadang cara semua orang memperlakukannya, seolah-olah ia masih berstatus pasien psikotik, membuatnya ingin menjedukkan kepalanya ke tembok.
"Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah Anda tahu mengenai hubungan antara … um, Cye Rayleigh dan Shindou Hikaru … um, maksud saya Hikaru Rayleigh, kalau tak salah itu namanya sekarang?" tanyanya hati-hati.
"Tentu. Cye-kun mengatakannya waktu wawancara shinshodan." Mungkin lebih baik ia mengatakan bahwa ia sudah bertemu Hikaru sebelumnya, jadi ia menambahkan, "Rayleigh-san sudah bertemu dengan saya di salon, kebetulan putranya bekerja paruh-waktu di salon saya dan tinggal di sana."
"Ah ya, kalau tak salah Cye-kun memberitahukan perpindahan alamat itu beberapa hari lalu. Maaf sekali, Touya-sensei, seharusnya alamat anggota Ki-In adalah rahasia. Tapi resepsionis yang bertugas kemarin masih baru, jadi jika sekiranya timbul suatu masalah..."
"Tidak apa-apa," Akira berusaha memperlihatkan bahwa hal itu bukan masalah. Tidak seharusnya menjadi masalah. "Terus terang, saya bersyukur tahu hal ini lebih awal. Jika saya baru bertemu Rayleigh-san hari ini di Ki-In, saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat."
"Ah, jika begitu, Anda mungkin tahu mengenai alasan kedatangan Rayleigh-san ke Ki-In?"
"Ya, saya tahu," angguk Akira. "Ia mengajukan keberatan atas legitimasi pendaftaran Cye-kun pada ujian, dan meminta agar ia diberhentikan, bukan begitu?"
"Benar. Nah, saya juga mendengar bahwa Anda mengangkat Cye-kun sebagai murid, jadi saya ingin minta pendapat Anda."
Mengenai betapa cepat berita beredar, sungguh Akira tak habis pikir bagaimana caranya. Cye baru menjadi muridnya selama kurang dari seminggu, tetapi beritanya sudah sampai Ki-In? Mungkin wajar, mengingat Cye pasti harus menjelaskan perubahan alamatnya, serta bagaimana alamat barunya adalah salon Touya. Tapi tak urung Akira menyesali hal ini. Jika saja Cye tidak melapor pada Ki-In, mungkin Hikaru akan mencari Cye ke alamat lamanya, dan masalah ini takkan terjadi.
Tapi juga itu artinya ia takkan bertemu Hikaru...
"Saya yakin Ki-In sudah meninjau dan mempertimbangkan kasus ini masak-masak," ujar Akira hati-hati. "Mungkin saya perlu bertanya, apakah Ki-In telah mengeluarkan suatu putusan?"
"Ah, soal itu...," orang di hadapannya terlihat sedikit menggaruk tengkuknya. "Sejujurnya belum. Kami baru mendapat pengaduan kemarin. Kasus ini … ah, bagaimana menjelaskannya … sejujurnya sangat pelik. Shindou-san, ah maksud saya Rayleigh-san mengancam jika dalam satu minggu belum ada keputusan, ia akan mengungkap hal ini pada media."
"Ia melakukan itu?"
"Benar. Jika itu terjadi, akan sangat buruk bagi citra profesionalitas Ki-In, karena itu berarti kita tidak terlebih dahulu mengecek latar belakang calon secara mendalam ketika menerima berkas pendaftaran. Tapi seperti saya tadi katakan, kasus ini sangat dilematis. Di satu sisi, kesalahan Cye-kun terbilang fatal, dan akan menjadi contoh yang buruk bagi para calon profesional lain jika kasus ini tersebar ke media. Tapi di sisi lain, Cye-kun adalah pemain yang sangat potensial, sayang jika Ki-In melepaskannya..."
"Saya mengerti," angguk Akira. "Tapi tidak adil jika mendengarr dari satu pihak saja, bukan? Apa Anda telah menanyai Cye-kun?"
"Sebenarnya itu alasan Rayleigh-san datang hari ini," ujar sang direktur. "Cye-kun telah mengakui kesalahannya, dan meminta maaf. Ia berkata bahwa ia bersedia menerima hukuman apapun, asalkan tidak diberhentikan. Tapi memang ... ibunya bersikukuh agar ia dipecat."
"Begitu?"
"Karena itulah saya meminta pendapat Anda, Touya-sensei."
Akira menarik napas panjang. "Sesungguhnya saya telah mendengar kasusnya dari Cye-kun langsung," ujarnya. "Ia mengatakan bahwa memang ada masalah dengan ibunya, yang menyebabkan ia mengambil tindakan tersebut. Ia masih sangat muda, dan mungkin belum cukup dewasa untuk mengambil keputusan yang bijak. Karena itu, sebagai gurunya, saya memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan anak didik saya."
Dengan itu, ia bergerak untuk menundukkan kepalanya dalam-dalam, namun orang di hadapannya lekas mencegahnya.
"Ah, Touya-sensei, Anda tidak perlu begitu. Lagipula kesalahan Cye-kun bukan kesalahan Anda, bukankah ia melakukannya sebelum ia menjadi murid Anda?"
"Benar. Namun sebagai guru, kesalahan saya adalah tidak mengecek hal ini sebelumnya. Ketika saya menerimanya sebagai murid, itu berarti saya bertanggung jawab atas semua yang ia lakukan, termasuk apa yang terjadi di masa lalu. Terlebih jika karena itu, Cye-kun menimbulkan kegaduhan dan masalah lain. Jika Ki-In memutuskan untuk memecat Cye-kun, hal yang sama sekali takkan saya cegah, saya juga bersedia memikul tanggung jawab."
"Ah, apa maksud Anda?"
"Tidak lain, jika Cye-kun diputuskan bersalah, saya juga akan mengundurkan diri."
Mungkin kotor, ia mengancam seperti itu. Tapi saat ini Akira tidak punya jalan lain.
"Ah, Touya-sensei, mohon jangan melakukan itu," sang direktur Ki-In tampak panik. "Jepang akan sangat kehilangan jika Anda mengundurkan diri. Jangan sampai hanya demi seorang shodan..."
"Shodan yang Anda maksud tak lain adalah murid saya," tekan Akira. "Dan seperti Anda katakan, ia juga memiliki potensi. Kehilangan dia juga akan menjadi kerugian bagi dunia go Jepang."
"Ah, kalau begitu, apa mungkin Anda memiliki jalan keluar lain? Saya yakin masalah ini tidak akan menjadi masalah berarti jika … um, bisa diselesaikan secara kekeluargaan?"
"Kekeluargaan?"
"Tak lain, jika Rayleigh-san sendiri mencabut tuntutannya, kami dapat menganggap bahwa masalah ini tidak ada. Tentu, kami tetap harus menindak Cye-kun, agar menjadi pelajaran di kemudian hari. Jika kami sampai harus memecat seorang shodan, pasti akan jadi pertanyaan, dan mengatakan pada media mengenai kesalahan Cye-kun sama saja membongkar kelemahan Ki-In sendiri dalam mengecek legalitas dokumen, yang berarti sistem registrasi dan mungkin seleksi kita akan dipertanyakan. Tapi jika kita hanya memberikan teguran keras, beserta sanksi skorsing, mungkin hal itu masih dapat dilakukan secara tertutup, tanpa perlu diketahui media. Cye-kun masih muda, kita bisa bilang ia menunda aktif dulu untuk urusan sekolah atau semacamnya. Itu akan menyelamatkan citra Ki-In maupun Cye-kun, tapi cukup bisa menunda perkembangan karirnya. Bagaimana menurut Anda?"
Jujur, itu adalah jalan keluar yang cukup logis. Tapi permasalahannya...
"Menurut Anda, Rayleigh-san akan menerima ini?"
"Sebenarnya di situ kendalanya. Saya tahu sikap keras Rayleigh-san dalam menindak ketidakjujuran anaknya sendiri adalah sesuatu yang baik, tapi sejujurnya, dari sudut pandang orang tua, ini adalah sesuatu yang aneh. Amat tidak wajar jika seorang mantan pemain go profesional seperti Rayleigh-san melakukan semua ini, bukan? Apalagi jika alasannya adalah tidak memberinya izin, padahal ia tahu anaknya sangat berbakat. Seolah ia tidak menginginkan karir yang baik bagi anaknya sendiri … tidak, seolah ia membenci go, mungkin?"
'Membenci go' adalah frasa yang sangat ekstrem. Dan sejujurnya agak kontradiktif, jika menimbang bahwa berdasarkan kifu pertandingan Hikaru vs Cye yang Akira lihat, kemampuannya tidak berkurang. Itu berarti ia masih suka bermain walaupun menurut Cye, ibunya bukan pemain profesional. Ia juga tidak mungkin membenci go, jika ia mengajari anaknya, bukan?
Lantas apa yang menyebabkannya tidak memberi izin, sebenarnya? Apa itu sebenarnya alasan mereka bertengkar, bahwa Cye memohon untuk mengikuti ujian dan Hikaru menolak? Atau justru sebaliknya, mereka bertengkar dan menyebabkan Hikaru menolak memberi izin sebagai bentuk hukuman? Yang berarti semua ini semata berawal dari kekeraskepalaan Hikaru? Kalau begitu, apa sebenarnya alasan pertengkaran mereka?
Benarkah dugaan Akira, bahwa alasannya adalah karena Cye menganggap menjadi profesional adalah cara untuk menemukan ayahnya? Kalau benar begitu, maka semua sikap Hikaru menjadi beralasan...
Yang berarti … Cye … memang benar-benar tahu...
"Saya tidak tahu alasannya, dan saya juga tidak ingin mengorek terlalu dalam," ujar sang presiden. "Saya hanya berharap kita bisa melunakkan hati Rayleigh-san, dan memintanya mencabut tuntutan..."
Akira tahu ke mana ini menuju. "Apa itu artinya Anda meminta saya untuk...," bagaimana cara mengatakan 'merayu Hikaru'? "... menjadi mediator untuk berunding dengan Rayleigh-san?"
"Jika Anda bersedia, tentu, Touya-sensei. Saya tahu ini akan sangat berat bagi Anda."
Akira menutup mata. Jika ini adalah sebuah pertarungan, ia tahu kesempatannya menang sangatlah tipis. Tapi ia memang tidak punya pilihan lain.
"Baik, saya akan mencoba bicara dengannya."
.
.
Ketika turun, untungnya Morishita dan Isumi sudah tak ada lagi di lobi. Entah di mana mereka—boleh jadi study group Morishita dan sesi kedua kelas insei Isumi sudah dimulai, karena lobi sangat lengang. Ini kesempatan baginya untuk lekas kabur sebelum ditangkap mereka dan harus menjelaskan mengenai Hikaru, demikian pikir Akira. Tapi ia masih memiliki satu misi, dan itu membuatnya melangkah menuju resepsionis.
Untungnya, Hikaru meninggalkan nomor kontak yang bisa dihubungi di resepsionis Ki-In, dan setelah sedikit melakukan pelacakan, Akira mendapati bahwa nomor itu adalah nomor sebuah hotel bintang tiga. Entah mengapa Hikaru memberi nomor hotel dan bukannya nomor ponselnya, Akira juga tidak bertanya. Yang jelas, hotel tempat Hikaru dan Cye bertempat tinggal rupanya berada tak jauh dari Ki-In, sehingga Akira tidak berpikir dua kali untuk menuju ke sana.
Hikaru sedang tak ada di kamarnya ketika Akira datang, tapi Akira tak ingin usahanya sia-sia. Ke manapun Hikaru pergi, ia pasti akan kembali, demikian pikir Akira. Alhasil ia menunggu di depan kamar, karena bisa jadi Hikaru akan langsung kabur atau mencari jalan lain jika ia melihat Akira menunggunya di lobi. Sesungguhnya ia bisa saja menghubungi Cye, tapi ia takut Cye akan bertindak mencurigakan yang membuat Hikaru tahu Akira menunggunya, jadi ia menunggu diam-diam. Ia merasa seperti penguntit, sungguh, dan berulang kali ia memandang kamera pengintai dengan agak was-was. Tapi saat ini ia tidak punya rencana yang lebih baik.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan Akira serius mempertimbangkan untuk menyerah, ketika bel elevator berbunyi. Ia bisa menangkap sosok Hikaru dan Cye yang keluar dari elevator. Hikaru, untungnya, tengah larut mengomeli Cye dalam bahasa Inggris super-cepat yang tak bisa Akira tangkap sepenuhnya, tapi kurang-lebih ini berkaitan dengan go. Yang bersangkutan berjalan gontai seraya agak menunduk, sehingga keduanya tidak menyadari keberadaan Akira.
Barulah ketika sudah dekat, Cye yang tampaknya menyadari ada orang lain di sana mengangkat kepala. "Shishou?" tanyanya tak percaya. Di sisinya, Hikaru menghentikan omelannya dan menoleh ke arah Akira.
Secepat itu ia menyadari kehadirannya, secepat itu pula rona terganggu tampak di wajah Hikaru. "Ngapain kau di sini?" bentaknya.
Menelan rasa tersayat di dadanya, Akira memaksakan diri tersenyum. "Uhm, Ki-In memintaku datang. Boleh aku masuk?"
"Tentu saja tidak!" tolak Hikaru tegas.
"Oh?" Saat itu juga, percakapan semalam dengan Hanako membayang di ingatan Akira, dan ia tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Um, apa aku mengganggu?"
"Jelas!"
"Uh, apa kau bersama suamimu atau...?"
Seperti ia duga, Hikaru langsung marah oleh pertanyaan itu. "Kenapa juga kau harus menanyakan aku bersama suamiku atau tidak?"
"Eh, anu..."
Tak memberi kesempatan Akira untuk menjelaskan, Hikaru langsung menembak membabi buta, "Lagian, ngapain juga Ki-In pakai mengutusmu segala? Keputusanku sudah tetap! Katakan pada siapapun itu si direktur yang kemarin, aku tidak mau berunding macam-macam!"
Hikaru melewatinya, dengan sengaja memperlakukannya bak sampah yang tidak penting, lantas membuka kunci dan setengah memaksa Cye masuk. Anak malang itu tampak kebingungan dan ketakutan, tapi jelas ia mencium potensi tornado yang ada di depan mata, jadi ia tak banyak berontak ketika ibunya mendorongnya ke kamar. Akira cepat tanggap. Sebelum Hikaru masuk dan membanting pintu di depan wajahnya, ia menarik tangan Hikaru.
"Tunggu sebentar Hikaru, kumohon..."
"Jangan sentuh aku! Apa-apaan lagi kau pakai memanggilku sok akrab begitu!"
"Aku hanya ingin bicara..."
"Dan aku tidak mau bicara denganmu! Mengerti tidak, sih? Sana pulang sebelum istrimu mencarimu!"
Mendengar kata 'istri' itu, Akira langsung merasa tangannya yang memegang pergelangan tangan Hikaru panas bak terbakar, dan seketika itu pula melepaskannya.
"Huh," dengus Hikaru. "Nah, sekarang ketika kau sadar betapa tak pantasnya seorang pria beristri mengganggu seorang wanita di depan kamar hotelnya malam-malam, sebaiknya kau cepat pulang. Aku tidak mau ada rumor yang tidak-tidak soal seorang … apa kau sekarang? Meijin? Kisei? Terserahlah. Yang jelas jangan lagi ganggu aku atau Cye. Mengerti? Pulang sana sebelum aku memanggil sekuriti!"
Ia tak menunggu jawaban Akira untuk masuk dan menutup pintu di depan wajahnya. Refleks, Akira mengangkat tangan, berusaha menggedor pintu atau memencet bel. Tapi kemudian kata-kata Hikaru kembali terngiang di benaknya. Dan sekali lagi ia melirik ke arah kamera CCTV. Mendesah berat, ia memutuskan untuk menyerah dan kembali ke rumah.
Hari ini mungkin ia mundur. Tapi pertempuran belum usai.
