Chapter 8. Agresi


Di tengah hiruk pikuk bandara, Akira berusaha menajamkan mata dan telinga guna menyisir daerah sekitarnya. Sulit untuk menemukan Hikaru di titik ini, terlebih karena alam bawah sadarnya selalu menghubungkan nama Hikaru dengan sosok gadis tomboy berkemeja kotak-kotak atau berkaos gombrong—sosoknya 14 tahun lalu—bukan wanita dengan penampilan penuh wibawa yang muncul di hadapannya kemarin. Tiga kali, hanya total tiga kali Akira bertemu dengan sosok baru Hikaru. Bagaimana mungkin ia berharap akan dapat begitu saja mencitrakan bayangnya dalam ingatan?

Suara pertengkaran seorang anak laki-laki dan seorang wanita dalam bahasa Inggris terdengar di antara dengung manusia. Merasa mengenalnya, Akira pun segera menuju asal suara. Benar saja, di antara keramaian, dilihatnya sepasang ibu-anak itu lagi-lagi tengah terlibat adu mulut, seolah tak peduli dengan sekelilingnya.

"Hikaru!" panggil Akira.

Sosok itu tampak menoleh dan mencari-cari siapa gerangan yang memanggilnya di antara keriuhan bandara, tapi tak kelihatan menemukannya. Akira tidak membuang waktu. Lekas ia berlari ke arah kedua sosok itu.

"Hikaru…," patut diakui Morishita benar ketika mengatakan bahwa ia kurang olahraga. Bahkan lari sedikit saja membuat napasnya tersegal-segal. "Hi-Hikaru… Tu-tunggu!"

Kedua ibu dan anak itu berbalik. Cye tampak terkejut, tetapi juga girang kala melihatnya. Sedangkan Hikaru? Tak perlu dikatakan, ia langsung berkacak pinggang dan menyemprotnya.

"Apa lagi urusanmu di sini?"

"Hiiikkk… Hiiiikkk… Ka-ka … kala…"

"Apaan, sih?" Hikaru tampak tidak sabar melihatnya berusaha mengatur napas. Lebih lagi ketika Akira merogoh sakunya dan mengeluarkan inhaler untuk membantu mengatasi asmanya yang mendadak kambuh. Akira bisa melihat bola mata Hikaru bergulir di soketnya, tapi untungnya dia cukup baik untuk tidak berkomentar apa-apa.

Jeda beberapa detik (mungkin menit) sebelum Akira bisa mengatasi sesak napasnya dan menegakkan diri.

"Kalau kau ingin membawa Cye, kalahkan dulu aku."

"Hah?"

"Kau dengar aku. Kita main satu ronde."

"Sekarang?"

"Ya."

"Di sini?"

Akira menunjuk kafe terdekat. "Kau menang, kau bisa pergi bersama Cye. Kau kalah, Cye tinggal di Jepang," deklamasinya.

"Astaga," Hikaru menenggelamkan wajahnya ke telapak tangan. "Kau sadar kalau kau tak punya hak untuk menahan Cye kan? Bahkan kalaupun aku kalah, aku bisa membawa Cye dan kau tak bisa menuntut apapun."

Akira tak tahu bagaimana harus berargumen. "Jika kau tahu tak ada ruginya bagimu, kenapa kau tidak menerima saja tantanganku?"

"Oh Tuhan," Hikaru menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu, Touya. Astaga. Ini konyol sekali."

"Satu pertandingan," ujar Akira keras kepala. "Itu saja yang kuminta."

Hikaru mendesah, mungkin mengingat dulu, dulu sekali, ketika Akira bersikeras menantangnya tanpa mau mendengar penolakannya. "Taruhlah aku bersedia bermain denganmu. Apa ini tidak berarti kau sedang merundungku? Seorang Meijin-Honinbou-Tengen menantang seorang amatir? Huh, apa kata dunia?"

Akira tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Haruskah ia senang karena Hikaru tahu semua gelar yang ia punya sekarang? Atau marah karena dia bisa-bisanya menyebut gelarnya seperti itu seolah mengejek?

"Kau masih bisa mengalahkanku atau tidak, kita tidak tahu sebelum bertanding."

"Aku tidak tahu mengapa aku harus melayanimu, ketika sudah jelas-jelas..."

"Hikaru," Akira menguatkan tekadnya dan menatap lurus mata Hikaru, "kumohon."

Hikaru terdiam. Jelas sekali tampak perang berkecamuk di benaknya, sebelum ia menghela napas dan berkata, lelah, "Oke, oke," ia mengangkat tangan. "Satu pertandingan. Astaga."

Berusaha keras untuk tak lantas meninju udara atau menarikan tarian kemenangan—ia sudah terlalu tua untuk itu, astaga, mengapa bersama Hikaru membuatnya merasa bak anak belasan lagi?—, Akira menggiring mereka ke sebuah kafe kecil di antara deretan kedai makanan dan toko suvenir di bandara. Hikaru mengikuti dengan bersungut-sungut, sementara Cye cukup tahu diri untuk mengikuti seraya menarik kopernya dalam diam. Sampai di kafe, Akira memesan dua cangkir teh untuknya dan Cye, serta secangkir kopi untuk Hikaru, sebelum mengambil tempat duduk di salah satu meja kecil di depan kafe—hanya karena Hikaru bersikukuh, katanya agar ia bisa melihat papan pengumuman jadwal keberangkatan.

Mengeluarkan set go portabel dari saku jaketnya, Akira mulai menata biji-biji go di papan magnetik. Melihat Hikaru mengerung, ia menjelaskan. "Pertandingan Shinshodan Cye. Aku yakin kau sudah tahu ini. Kau akan memainkan Cye, komi standar, mulai langkah ke-55."

Hikaru menatapnya tak percaya. "Komi standar? Kau gila? Kau cuma kalah setengah moku dengan reverse komi, kan? Bagaimana caranya aku harus mengejar ketertinggalan 13 moku? Lagipula aku tidak punya waktu untuk ini! 30 menit lagi lepas landas, tahu! Kaupikir aku tidak punya kerjaan apa, harus berlama-lama di Jepang?"

"Kalau begitu sebaiknya kita cepat mulai. Hayago?"

"Hayago, hayago! Kaupikir hayago tidak pakai mikir, apa?"

Akira tak memedulikannya, dengan santai meletakkan batu hitam dan putih secara bergantian di papan magnetik. Rupanya siasatnya berhasil, karena seakan terhipnotis, Hikaru berhenti mengomel dan mulai memperhatikan permainan. Itu, sebelum ia mendadak berteriak, tepat ketika Akira meletakkan batu ke-47.

"Hah? 15-7? Apa-apaan itu! Itu jelas-jelas membuatnya kehilangan minimal 6 moku! Oh Tuhan, langkah berikutnya malah lebih tolol! Ngapain juga dia pakai memaksamu melakukan pertarungan ko di pojok kanan atas? Dia mau bunuh diri, apa? Kalau bukan karena kau entah bagaimana salah langkah di langkah 58, dan pada langkah 103 mengira Cye akan pakai atari bukannya hane… Apa-apaan pula itu, sok-sokan mengklaim tengen!"

Senyum Akira mengembang. Hikaru tidak mungkin tidak peduli, jika ia sampai membaca kifu pertandingan Shinshodan dan sempat-sempatnya menganalisis sampai mengingat formasinya segala. "Rupanya kau sadar," ujarnya. "Nah, kalau kau tahu kelemahan kami berdua, mungkin kau bisa memberi alternatif yang lebih baik?"

Hikaru kelihatan benar berperang dengan dirinya sendiri. Tapi akhirnya hasratnya untuk membuktikan diri mengemuka, dan ia membanting tubuhnya di kursi dengan kasar. "Oke. Hayago, benar?"

"Tentu," ujar Akira santai, menyerahkan goke plastik pada Hikaru. "Onegaishimasu."

"Tidak perlu pakai Onegaishimasu segala, Tolol!"

Akira sama sekali tidak menanggapi kekasaran Hikaru dan menantinya meletakkan langkahnya. Hayago, katanya. Mau secepat apapun mereka bermain, takkan mungkin mencapai yose dalam 30 menit. Ditambah lagi, butuh waktu untuk check-in dan berjalan ke anjungan. Ia kenal betul seperti apa Hikaru dulu kalau sedang berkonsentrasi menghadap goban. Ia akan terlalu larut dalam alam pikirannya sendiri untuk bisa mendengar pengumuman. Ia tak tahu bagaimana permainan Hikaru kini, tetapi jika berpatokan pada kifu yang diberikan Ogata, rasanya Akira bisa menebak secara garis besar langkah dan reaksi yang akan ia pilih. Jika Akira bisa mengatur kecepatan langkahnya agar tetap masuk hitungan hayago, tetapi tidak terburu-buru … serta tentu saja, bisa membawa permainan hingga yose, mungkin...

"Huh, kaupikir kau bisa bermain kotor, begitu?"

Belum sampai 20 menit mereka bermain, mendadak terdengar dengusan dari sosok di hadapannya. Akira mengangkat kepalanya dari goban. Tampak olehnya Hikaru berdiri dari duduknya, meraih tas selempang yang tadi ditaruhnya di kursi kosong di sebelah Cye seraya menatap Akira dengan sinis.

"Mengulur waktu agar aku ketinggalan pesawat, Touya? Tidak kuduga kau sekarang bisa main curang, ya..."

Ia tidak memberikan kesempatan bagi Akira untuk menjelaskan. Dengan kasar, ia menggamit tangan Cye, lantas berbalik badan dan melangkah pergi seraya menarik putranya. Ia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal.

Tak mau kalah, Akira buru-buru bangkit dan mengejarnya.

"Hikaru!"

Dia sama sekali tidak menggubris.

"Hikaru, tunggu!" sadar takkan diindahkan, Akira nekad menyusul dan menghadangnya.

"Apa lagi? Kubilang aku mau pergi! Aku sama sekali tidak peduli kalah atau menang, kau sama sekali tidak punya hak untuk menahanku dan Cye!"

Akira takkan mundur kali ini.

"Oh ya? Kata siapa?" tantangnya. "Apa kau ingin aku menempuh jalur hukum?"

"Jalur hukum apa maksudmu? Jelas-jelas Cye ada di bawah wewenangku!"

"Aku tidak cuma bicara soal usia Cye. Soal tuduhanmu bahwa Cye memalsukan tanda tanganmu di formulir registrasi dan kontrak pemain baru, apa kau benar-benar bisa membuktikannya? Aku sudah melihat contoh tanda tanganmu di buku tamu Ki-In. Tidak ada yang berbeda, menurutku."

"Karena kau bukan ahlinya! Serius, Touya, jika masalah ini sampai ke pengadilan, bukan cuma aku akan memenangkannya. Kalian juga akan malu karena dianggap tidak becus melakukan seleksi!"

"Oh ya? Siapa yang bisa menjamin? Aku bukan ahli hukum, tapi Ki-In memiliki pengacara yang handal, aku yakin mereka bisa mencari pasal untuk mempertahankan Cye. Mungkin malah menuntutmu balik atas tuduhan penelantaran anak."

"Hei!"

"Atau karena kau terus bersikukuh mengenai wewenangmu mengatur hidup Cye, apa kau ingin benar-benar berhadapan denganku di pengadilan? Untuk mengetahui siapa yang lebih berhak atas Cye, misalnya?"

Mata Hikaru langsung membesar. "Touya!" serunya.

"Kita bisa pakai cara mudah, atau cara yang sulit, Hikaru. Ki-In belum memberikan putusan, bukan? Mengapa tidak kautunda dulu kepergian kalian barang beberapa hari? Mungkin kalau kita bisa memikirkan solusinya dengan kepala dingin…"

"Kenapa aku harus mendengarkan katamu! Jangan memuntir fakta! Sudah jelas-jelas..."

"Mom, please!" Cye, yang sedari tadi hanya diam ketakutan dan kebingungan mendengar pertengkaran itu, akhirnya bersuara. "Ini mengenai hidupku, apa aku tak boleh berpendapat?"

"Tidak! Kau masih di bawah umur!" tukas Hikaru.

"Setidaknya, bisakah kita bicara di tempat yang lebih pribadi, tidak di sini?" ia memberi kode menunjuk sekitarnya. Orang yang lalu lalang sudah berkerumun melihat pertengkaran itu, beberapa malah terang-terangan menunjuk dan berbisik-bisik.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" tangkis Hikaru lagi. "Penerbangan kita..."

Justru saat itu, terdengar pemberitahuan dari speaker bahwa pesawat mereka siap lepas landas. Hikaru langsung mengerang, sementara Cye menunjuk dengan tenang, "Kelihatannya soal itu sudah bukan masalah lagi..."

Seperti sudah diduga, Hikaru langsung berpaling pada Akira dengan wajah garang. "Semua gara-gara kamu!" serunya. Dengan kemarahannya itu, Akira sungguh bersyukur Hikaru masih bisa menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang drastis—menendangnya, misalnya.

Cye tampak menarik napas dalam-dalam. "Sudah terlanjur. Mom, bagaimana kalau kita pindah tempat? Kafe atau semacamnya... Aku lapar..."

"Kalau mau cari tempat yang privat, bagaimana kalau kembali ke hotelmu? Aku yang bayar, kalau kalian sudah check out," saran Akira.

"Hotel gundulmu! Kau mau orang bergosip yang bukan-bukan, hah?! Kenapa tidak ke rumahmu saja, biar kita bicara di depan istrimu sekalian?"

Sungguh Akira tidak tahu mengapa Hikaru harus membawa-bawa Hanako dalam urusan ini. "Di rumah ada ayahku," ia beralasan. "Chichi sudah tua, dan sakit-sakitan..."

Mendengar Akira mengungkit ayahnya, Hikaru langsung melipat tangannya di depan dada dan melengos. Akira bisa mendengar ia bersungut-sungut dalam diam, tapi bahwa ia sudah tak berteriak lagi adalah sebuah kemajuan.

"Ki-In?" usul Akira.

"Jelas tidak! Kau gila, apa?" Bahkan Akira pun tahu bahwa sarannya sudah pasti ditolak mentah-mentah. Ia sendiri tidak yakin itu tempat yang cocok, kalau mau jujur.

"Kita ke salon saja, bagaimana?" saran Cye. "Cukup privat, tapi masih di ruang publik, kan? Di bawahnya juga ada kafe…," kelihatannya ia benar-benar kelaparan.

Mungkin itu saran yang masuk akal. Hikaru benar-benar emosional setiap berhadapan dengannya, rasanya terlalu muluk jika ia berharap pembicaraan mereka takkan berujung pertengkaran. Walaupun bicara di salon jauh dari ideal, setidaknya Murasakizui belum akan buka hingga sore nanti, jadi Akira tak perlu khawatir akan menakuti pelanggan.

Dipikir-pikir, dulu pun selalu begini, bukan? Ia dan Hikaru tak pernah tidak bertengkar. Tapi setidaknya dulu mereka memiliki visi sama, passion yang sama, tujuan yang sama, dan mereka tahu pertengkaran mereka akan mengantar mereka pada tujuan tersebut. Sekarang? Akira tidak tahu lagi.

Tapi terlalu dini untuk mengatakan tak ada masa depan… Tidak, maksudnya, terlalu dini untuk mengatakan semua itu hanya ada di masa lalu, kan?

Hikaru tampak berpikir, memandang bergantian antara Cye dan Akira dengan mata penuh selidik. Tapi akhirnya, mungkin merasa mereka ada benarnya, ia pun menyerah.

"Sebaiknya aku mendapat refund tiket pesawat, Touya," katanya ketus.

Akira ingin mengatakan, "Apa saja. Aku akan menanggung semua biaya akomodasimu selama di sini. Aku bahkan akan membayar uang cutimu, kalau kau kena masalah dari tempat kerjamu gara-gara aku membuatmu memperpanjang liburan," tapi ia toh cukup tahu diri untuk tak menaruh dirinya sendiri di lubang buaya. Bahwa Hikaru tak langsung pergi ke konter tiket dan menuntut penjadwalan ulang adalah sebuah mukjizat, ia tidak akan menuntut lebih.

Seperti dahulu, Hikaru langsung mengambil alih pimpinan dengan berjalan di depan, sementara Cye mengekor di belakang ibunya seraya menarik koper dan menggemblok ransel. Sekilas mata mereka beradu. Meski singkat, ia bisa menangkap senyum di wajah Cye.

.


.

Mungkin karena salon terlalu sepi sebab memang pada dasarnya belum buka, atau bisa jadi karena Cye mengatakan bahwa ia lapar, mereka tidak jadi menyambangi salon dan malah berakhir di kafe di lantai satu.

Ruginya berada di ruang publik seperti ini adalah bahkan walaupun kafe itu sepi, mereka tetap tak bisa bicara dengan leluasa (atau memang seperti itu keinginan Hikaru—jujur Akira tidak mengerti dengan segala kebersikukuhannya untuk menolak berada dalam ruangan yang sama hanya bertiga). Sang pelayan kafe ini sudah sangat mengenal Akira (dan Cye, Akira memperhatikan, bahkan walau anak itu belum lagi seminggu di sini), jadi bagaimanapun Akira tetap harus menjaga jarak. Terlebih, Hikaru tetap dengan sikapnya—dingin, jauh, ketus—segala yang tak pernah Akira bayangkan akan ia terima.

"Kau mau bicara apa?" setelah rangkaian prosesi standar mengambil tempat duduk dan memesan makanan, Hikaru mengungkit hal yang membawa mereka ke sini.

Akira telah memastikan mereka mengambil tempat yang paling jauh dan agak tersembunyi dari pandangan pelanggan dan para karyawan kafe, tepat di belakang semacam rak tanaman yang juga berfungsi sebagai sekat. Tapi tak urung, ia memandang ke seantero ruangan, sebelum merasa cukup aman untuk bicara.

"Ki-In menawarkan jalan tengah," ia merasa topik ini lebih aman ketimbang topik satunya. "Sebagai ganti pemecatan, mereka akan memberlakukan skorsing selama setahun."

"Skorsing?" wajah Cye tampak pucat. "Artinya saya ... tidak boleh mengikuti pertandingan? Selama setahun?"

"Aku tahu ini tentunya sangat mengecewakan," ujar Akira prihatin. "Tapi ini adalah tawaran yang sangat baik. Ini bisa melindungi nama baik dan masa depanmu. Ki-In tidak bisa menyatakan bahwa kau didiskualifikasi dan membatalkan pengangkatanmu, atau mengganti posisimu dengan ranking keempat, karena kau telah melewati Shinshodan dan berita pengangkatanmu telah masuk media. Jika kau dipecat, tentu akan timbul pertanyaan. Jika kau mundur, sama saja kau mem-blacklist dirimu sendiri. Tidak ada pasal yang menyatakan bahwa orang yang sudah keluar dari Ki-In tidak bisa mengikuti ujian lagi, tapi itu akan membawa dampak buruk bagi namamu."

"Tapi setahun, Shishou?"

"Kau hanya tidak boleh bermain, kau masih tetap bisa datang untuk menonton dan ikut sesi pembahasan pertandingan kalau kau mau. Lagipula, bukankah kau harus adaptasi dengan sekolah baru dan segalanya?"

"Tapi jika saya setahun tak bermain...," Cye melirik ibunya dengan takut-takut, sementara sang ibu tampak membuang muka, "… um, bagaimana saya bisa mendapat uang? Bagaimana … um, dengan biaya hidup dan lain-lain?"

Akira ingin menceramahinya bahwa sama sekali tak pantas menjadikan uang sebagai motivasi bermain go, tapi kemudian ia sadar bahwa Cye besar dengan latar belakang yang sama sekali berbeda, bahkan kini pun ia punya tuntutan hidup berbeda. Sangat mungkin Hikaru mengatakan bahwa jika Cye bersikukuh dengan pilihannya, ia harus memenuhi kebutuhannya sendiri.

"Itu bukan masalah. Jika kau kerja sambilan di sini, kau tak perlu khawatir soal tempat tinggal, dan kurasa pendapatanmu bisa mencukupi kalau kau berhemat. Masalah sekolah, seperti pernah kubilang, aku akan memberimu rekomendasi untuk mendapatkan beasiswa penuh."

"Tidak!" tolak Hikaru sebelum Cye sempat membalas satu kata pun. "Kau tak perlu memikirkan semua itu, karena kau akan kembali ke US."

"Mom, kumohon..." erang Cye. "Aku ingin tinggal di sini. Aku ingin masuk SMA, dan menjadi go pro…"

"Berapa kali sih aku harus bilang kalau aku tidak mengizinkan?"

"Tapi aku punya masa depan di sini!"

"Kau juga punya masa depan di US! Orang-orang saling sikut untuk bisa masuk Program Khusus MIT, tahu!"

"Tapi aku tidak menginginkannya!"

"Kau itu bodoh ya?"

"Aku berpegang pada panggilan hatiku, pada passion-ku! Itu kan yang selalu Mom ajarkan? Asal aku menjalankannya dengan sepenuh hati dan tanggung jawab, tak ada yang salah, kan?"

"Cye, dengar. Aku punya pekerjaan…"

"Maka dari itu, kubilang aku bisa hidup sendiri di sini! Aku takkan menyusahkan Mom, aku takkan minta uang sepeserpun."

"Kaukira semudah itu? Kau itu baru 14! Yang ada aku dikejar-kejar Dinas Sosial!"

"Ya aku tinggal mengurus izin ke Ki-In!"

"Hei Nak, aku ini juga pernah jadi pro. Kaupikir Ki-In tidak punya aturan soal pekerja di bawah umur? Pekerja asing, lagi!"

"Aku sudah mempelajarinya. Tidak akan jadi masalah jika aku memiliki wali."

"Wali apa? Siapa memang di sini yang bisa menjadi walimu, hah?"

"Shishou, tentu saja!" Cye beralih menatapnya dengan mata penuh harap. "Aku bekerja di Murasakizui, dan aku muridnya. Itu berarti Shishou bisa menjadi waliku, kan?"

"Cye!"

"Tentu," ujar Akira. "Tentu saja aku bersedia. Hikaru, apa ini masih perlu dipertanyakan? Aku sudah bilang aku akan bertanggung jawab…"

"Itu dia masalahnya!"

"Masalah apa?"

"Cye," nada suara Hikaru mendadak berubah, "bisa kau keluar sebentar? Ada yang ingin kubicarakan dengan...," ia kelihatan berat untuk menyebutkannya, "... um, gurumu."

Cye melirik ke arah Akira, seakan meminta pertimbangannya. Barulah ketika Akira mengangguk sembari memberi senyuman kecil, ia bangkit menuruti perintah ibunya. Wajahnya yang ragu dan khawatir tampak melongok sekali lagi di ambang pintu, sebelum pintu tertutup dengan suara 'tap' pelan.

Hikaru mengawasi sosok Cye yang menjauh dari balik kaca yang memagari seputar kafe. Setelah yakin anak itu tak berusaha menguping, barulah Hikaru angkat suara.

"Tolong hentikan. Kuharap kau tidak memberi Cye harapan palsu."

"Ini jelas bukan harapan palsu!" tegas Akira. "Seperti kubilang, Ki-In bersedia…"

"Aku tahu kenapa kau bersikukuh menahan Cye, dan itu bukan cuma karena bakatnya, ya kan? Aku tidak ingin menjebakmu dalam angan palsu, Touya. Sebelum kesalahpahaman ini berlanjut, kukatakan saja terus terang: kau salah."

"Salah apanya?"

"Apa perlu aku mengatakannya? Cye bukan putramu."

"Apa maksudmu Cye bukan putraku?"

"Cye bukan putramu ya berarti dia bukan darah dagingmu! Jelas, kan? Jadi sebaiknya kau segera tinggalkan kami!"

"Tidak!" tegas Akira. "Mana mungkin Cye bukan putraku? Aku sudah menghitung!"

"Kalau kau bisa menghitung, pastinya kau juga tahu kalau ada kandidat ayah Cye yang lebih mungkin!"

Mata Akira menyipit.

"Apa maksudmu mengatakan ini?"

"Tidak lain, Touya, seperti kataku tadi. Aku tidak ingin menjebakmu dalam delusi. Kukatakan kau bukan ayah Cye karena nyatanya memang tidak. Ayah Cye adalah Ko Yeong-ha."

"Tidak, itu tidak mungkin!" tolak Akira, sementara dadanya berguruh kencang. "Kau sudah putus darinya saat itu!"

"Hanya seminggu ... paling lama sepuluh hari sebelum kau jadian denganku. Apa kau lupa kami berlibur ke Pulau Jeju?"

"Tapi aku sudah mengecek aplikasi penghitung masa kehamilan! Tanggal pembuahan Cye sama persis dengan tanggal ketika kita…"

"Itu hanya kemungkinan! Siapa berani menjamin bahwa itu akurat? Siapapun tahu kelahiran bisa mundur atau maju beberapa minggu…"

"Kalau begitu, kau juga tidak bisa menjamin bahwa Cye adalah anak Ko!"

"Bukan berarti kau bisa sembarangan mengklaim!"

"Kalau begitu tinggal tes DNA. Mudah, kan?"

"Astaga," Hikaru menyusrukkan kepala ke telapak tangannya. "Kau itu keras kepala sekali, sih?"

"Apa ini karena kau tidak mencintaiku, Hikaru? Apa kau menyesal? Atau kau marah? Ya, aku tahu kau marah. Kau pasti marah. Aku melakukan hal itu padamu dan … dan aku tidak ada di sampingmu ketika kau menghadapi semuanya..."

Ketika ia mengatakan itu, entah bagaimana serasa ada sembilu yang perih mengiris hatinya. Seandainya saja Hikaru mengatakan padanya…. Tidak, Hikaru tidak bisa disalahkan untuk apapun. Ia yang salah. Ia yang tidak cukup keras mencari, ia yang tidak berusaha cukup keras mempertahankan Hikaru. Jika Hikaru meninggalkannya karena tidak mencintainya, berarti ia yang salah karena tidak bisa menjadi sosok yang bisa Hikaru cintai.

"Aku tahu kau mungkin tidak ingin terjebak bersamaku saat itu, karenanya kau pergi," bisiknya. "Aku takkan menyalahkanmu jika kau memang tidak mencintaiku. Tapi Hikaru, kumohon ... jangan berusaha menghapus fakta bahwa Cye adalah putraku."

Kabut merundungi wajah Hikaru, namun itu tak mengurangi keganasannya kala menekankan, "Kau itu delusional, ya? Aku harus berapa kali bilang: Cye bukan dan tidak akan pernah jadi anakmu!"

"Kumohon, Hikaru...," Akira sudah tak menghitung lagi berapa kali ia mengatakan ini, "Aku sudah kehilangan 14 tahun bersamamu, bersama anakku sendiri. Aku ingin menebusnya. Apa salahnya jika aku ingin bertanggung jawab?"

"Memangnya kau mau bertanggung jawab bagaimana? Kau mau menikahiku? Huh, jangan lupa, Touya, kau itu pria beristri! Maaf saja, aku tidak mau dicap pelakor..."

"Jadi begitu? Itu alasanmu tidak ingin mengakuiku? Jika ini soal Hanako..."

Suhu ruangan mendadak turun beberapa derajat.

"Jangan. Berani. Bilang. Kalau kau akan menceraikannya."

Ancaman yang jelas terdengar dalam suara Hikaru membuat Akira merinding.

"Tentu tidak!" serunya. "Maksudku, aku bisa memasukkan Cye ke dalam register keluarga Touya."

"Apa maksudmu?" Hikaru kian memicing. "Apa kau mau merampas Cye dariku?"

"Tidak, bukan begitu. Aku hanya ingin memberi Cye hak yang pantas..."

"Kaupikir menyandang nama Touya itu sesuatu yang wah, begitu? Kau bukan kaisar, Touya! Nama keluargamu sama sekali tidak berarti untuk Cye."

"Bukan begitu..."

"Lantas apa? Apa ini masalah uang? Kau mau merendahkanku, bilang aku tidak sanggup menghidupi Cye?"

"Hikaru!" seru Akira. "Kenapa kau sampai bisa berpikiran begitu? Aku cuma ingin melakukan hal yang benar..."

"Lalu istrimu? Ayahmu? Apa kata mereka nanti? Apa kata orang-orang?"

"Aku tidak peduli. Hikaru, aku telah melakukan kesalahan dengan membiarkan kalian pergi. Aku ingin memperbaikinya."

"Astaga. Sumpah aku lelah bicara berputar-putar begini. Dengar, ya, tidak ada yang perlu diperbaiki karena Cye bukan anakmu! Pokoknya, tinggalkan kami!"

"Hikaru, kumohon..."

"Aku sudah cukup bicara denganmu. Selamat tinggal, Touya."

Dengan itu, ia bangkit seraya menggerek koper dan memikul ransel Cye. Namun Akira tidak mau menyerah begitu saja. Sebelum ia benar-benar pergi, Akira sudah berlari mengejar dan menarik tangannya.

"Lepaskan, Brengsek!"

"Tidak. Kau sudah menghilang dariku selama 14 tahun, kaupikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?"

"Sialan! Lepas! Kau tidak ingat apa, kalau aku bisa beladiri?"

"Kau mau menendang atau membantingku, terserah. Yang jelas, aku tidak akan melepaskanmu!"

"Bodoh! Ini tempat publik!"

"Bukan salahku."

"Lepas, Tolol! Kuhitung sampai 3! Lepaskan atau kuhancurkan pelirmu! 1, 2…"

"Lho, Touya? Shindou?"

Keduanya menoleh secara bersamaan. Seketika itu juga, darah serasa menghilang dari wajahnya.

Karena di ambang pintu kafe, tampak Morishita dan Isumi, memandang keduanya dalam tatapan yang sukar dijabarkan.

.