Chapter 9. Kecurigaan
"Waya? Isumi?"
Pandangan keduanya yang jelas-jelas terarah pada tangan Akira—yang masih mencengkerem pergelangan tangan Hikaru—membuat tangannya terasa panas bak terbakar. Sadar diri, ia lekas melepaskan tangannya, yang jelas saja membuat situasi semakin runyam.
"Ah, kurasa kami datang di waktu yang tidak tepat?" Isumi kelihatan benar memaksakan diri untuk tersenyum. "Um, kalau begitu kami duluan," ia menggamit tangan Morishita, yang kelihatan masih kesulitan untuk bangkit dari keterpanaannya.
"Tidak usah," tangkis Hikaru cepat. "Aku sudah mau pergi."
"Aaaah, kenapa buru-buru?" tersadar dari kebekuannya, Morishita lekas menghalangi Hikaru sebelum wanita itu melewatinya untuk menggapai pintu. "Memangnya kau sudah mau pulang?" ia melirik pada bawaan Hikaru.
Akira jelas sekali bisa mendengar Hikaru berseru dalam pikirannya, 'Pulang apanya? Gara-gara satu makhluk brengsek, aku jadi tertahan di sini!'. Namun, yang keluar dari lisannya hanyalah, "Cari hotel."
Untungnya, Morishita tak bertanya kenapa dia keluar dari hotelnya yang lama, hanya untuk berpindah ke hotel lain. "Eeeh? Kenapa tidak nanti saja cari hotelnya? Kita sarapan, ngobrol-ngobrol dulu, bagaimana?"
"Benar," akur Isumi. "Lagipula sekarang masih pagi, check-in belum bisa hingga jam 2 siang nanti."
"Ya, ya. Kita kan sudah lama tidak ketemu. Kemarin juga belum sempat ngobrol-ngobrol." Bahkan sebelum Hikaru mengumandangkan protesnya, Morishita sudah mengambil alih tas ransel dan koper Hikaru, lantas menggereknya ke salah satu meja. "Nah, ayo, sini, sini. Kau sudah coba menu sarapan di sini, belum? Croissant -nya enak."
Hikaru kelihatan benar sangat frustrasi hingga memutar bola matanya, tapi toh ia tak bisa apa-apa ketika Isumi dengan setengah memaksa mendorong dan mendudukkannya di bangku seberang Morishita. Kalau mengikuti rasa cemburu, Akira bisa saja marah melihat betapa kasualnya Isumi menyentuh bahu Hikaru, lebih lagi duduk di sisinya. Tapi ia sama sekali tak punya hak. Jadi dengan berusaha menjaga wajahnya tetap netral, ia mengambil satu-satunya tempat kosong: di samping Morishita.
Nyaris terlalu tepat untuk dikatakan sebagai kebetulan, bahwa ia dan Hikaru tidak duduk berhadapan ataupun bersisian. Agak aneh, sebenarnya, mengingat Isumi dan Morishita bak kembar dempet. Dengan adanya tadi mereka menyaksikan bagaimana Akira memperlakukan Hikaru, sama sekali bukan paranoid ketika Akira curiga bahwa mereka sengaja menjauhkan Akira dan Hikaru. Mungkin mereka ingin melindungi Hikaru. Mungkin mereka ingin melindungi nama baik Akira. Entahlah.
"Jadi ngapain kalian ke sini?" tembak Hikaru langsung. "Kalau kalian ada urusan dengan Touya, mungkin sebaiknya aku pergi..."
"Tidak ada urusan apa-apa, kok," jawab Morishita. "Aku malah tidak tahu bakal bertemu Touya di sini, secara masih pagi... Ini murni karena Shigeko sedang mengidam croissant di kafe ini, lalu karena malas datang sendirian, aku ajak Isumi. Kebetulan bertemu kalian."
"Shigeko?"
"Oh, aku belum bilang, ya? Beberapa tahun yang lalu aku menikahi putri Morishita-sensei. Malahan aku masuk ke keluarga Morishita, lho, namaku sekarang Morishita Yoshitaka. Anak keduaku akan lahir mungkin … um, sekitar lima-enam bulan lagi?"
Wajah Hikaru sama sekali tidak terlihat antusias ketika mengucapkan, "Selamat." Kelihatannya, seperti juga Akira, ia tidak terlalu percaya dengan alasan Morishita.
"Oh ya, omong-omong, kau datang ke sini dengan siapa? Suamimu?"
Akira tahu Morishita menanyakan hal itu bukan tanpa alasan.
"Tidak," jawab Hikaru singkat. "Aku ke sini hanya untuk menjemput putraku."
"Ah ya, Cye Rayleigh, benar? Aku benar-benar kaget, lho, tahu dia putramu."
"Hm."
Bukan cuma Akira, bahkan Morishita dan Isumi pun kelihatan salah tingkah dengan reaksi Hikaru yang … yah, bisa dikatakan sama sekali tak ada.
"Ah, omong-omong, kau selama ini ke mana saja?" Morishita kembali memulai. "Masih main go?"
"Aku tinggal di US. Dan tidak, aku sudah lama tidak main."
"Bahkan di turnamen amatir?"
"Tidak. Tidak ada waktu."
"Oh? Masalah pekerjaan?"
"Hm."
"Kau kerja apa, omong-omong?"
"Jurnalis tabloid olahraga."
"Oh, pantas... Pasti kau selalu dikejar deadline dan target, ya? Shigeko juga pernah magang di surat kabar, sebelum dia menikah denganku. Memang sangat merepotkan..."
Seterusnya Morishita bercerita tentang dirinya sendiri, tentang gosip terbaru dunia go Jepang, sesekali bertanya pada Hikaru mengenai apa yang ia kerjakan dalam empatbelas tahun terakhir. Meski informasi yang diberikan Hikaru separuh-separuh, secara garis besar Akira bisa menangkap isinya.
Rupanya empatbelas tahun lalu, ketika ia menghilang mendadak itu, Hikaru pergi ke US bersama keluarganya. Kelihatannya tak lama setelahnya, kedua orangtuanya bercerai dan menikah lagi. Mungkin Hikaru tidak akur dengan orangtua barunya, atau memutuskan ini saatnya untuk mandiri, atau ada suatu masalah yang membuatnya tidak tinggal dengan orangtuanya—karena ia mengatakan bahwa ia tinggal hanya berdua dengan Cye di apartemen. Cye lahir hanya tujuh bulan sesudah Hikaru pergi, jadi Akira bisa membayangkan betapa repotnya ia sebagai ibu tunggal yang harus menghidupi putranya sendirian. Mungkin karena ingin mencari kesempatan yang lebih baik, setelah Cye bisa ditinggal, ia mengikuti ujian persamaan dan kuliah lagi. Ia sempat berganti-ganti pekerjaan beberapa kali sebelum menetap di kantor berita olahraga yang sekarang. Karena pekerjaannya juga, ia hidup semi-nomad, mengikuti ke mana ia ditugaskan. Cye awalnya ikut bersamanya, atau dititipkan di sang nenek jika ia tak bisa membawa anak dalam pekerjaannya, tapi seringkali Cye harus ditinggal sendiri. Ketika Cye mendapatkan kesempatan memasuki Program Khusus MIT, ia sudah senang, karena setidaknya ia bisa benar-benar melepas Cye untuk hidup di asrama tanpa khawatir. Namun malah ada kejadian seperti ini...
Hikaru sama sekali tidak mengatakan hal yang esensial. Seperti siapa ayah Cye. Atau siapa suaminya sekarang. Atau mengapa sang suami yang nama keluarganya ia sandang itu tidak menyertainya saat ini.
"Aku … tak ingin bicara soal itu," begitu jawab Hikaru, ketika Morishita bertanya (untuk kesekian kalinya) tentang suaminya.
Apakah ini berarti mereka tengah ada masalah dan berpisah? Apa mereka sudah bercerai, atau suaminya sudah meninggal? Kalau begitu, mengapa Hikaru masih menyandang nama Rayleigh?
Apakah ini demi Cye?
Jika mereka sudah tidak bersama, apa sekarang Hikaru sudah memiliki kekasih yang baru?
Astaga, apa pentingnya informasi itu baginya?
Morishita kelihatannya menyerah untuk mengorek hal itu, karena ia mengalihkan pembicaraan ke urusan Isumi. "Hei Shindou, kau masih lama kan di sini?"
"Tidak. Sebentar lagi juga aku pulang."
"Haaaah, kok begitu?"
"Ya aku kan punya pekerjaan. Kalau aku tidak ada urusan di sini, kenapa harus lama-lama?"
"Yaaah...," Morishita berdecak. "Padahal kalau kau bisa tinggal sebentar lagiiii saja, setidaknya hingga bulan depan. Isumi kan mau menikah."
Bukan hanya Hikaru, bahkan Akira pun mengalihkan pandangan ke Isumi. Kenapa ia baru tahu?
"Oh ya?" untuk pertama kalinya, wajah Hikaru tampak agak antusias. "Sama siapa?"
"Coba tebak."
"Hah? Mana aku tahu siapa yang dekat dengan Isumi?"
"Pasti kau tahu, deh. Kau kenal kok dengannya."
"Cewek yang waktu itu bareng Isumi ke China? Siapa namanya? Sa... Sa..."
"Sakurano? Salah gender!"
Mata Hikaru agak membelalak, tapi ia lekas pulih dari keterkejutannya dan bersikap netral. "Hmmm, Matsuda?"
"Kok kau ingatnya sama dia, sih?"
"Ya kan tidak mungkin Ochi! … Eh, apa iya?"
Morishita memutar bola matanya.
"Uh... Ogata?"
"Amit-amit jabang bayiiiiii!"
"Ashiwara?"
"Dia sudah menikah! Dengan Ishikawa! Mereka sudah punya dua anak, malah!"
"Ishikawa-san? Ishikawa-nya Touya?"
Touya menahan diri untuk tak mengerung, sementara Morishita mengakak keras. "Kau bicara seolah dia mantannya Touya! Hahaha!"
"Yah, mana kutahu, kan?" ia mengerling ke arah Akira. "Secara mereka sering berduaan di salon dan sebagainya..."
Sumpah Akira tidak tahu mengapa Hikaru mengungkit masalah seperti ini. Demi Tuhan, Ishikawa sudah ia anggap seperti kakak sendiri! Hikaru yang paling tahu integritasnya! Mana mungkin ia dan Ishikawa...
"Serius, Shindou, kau seperti tidak mengenal Touya saja!" Morishita melirik padanya, jelas-jelas mengatakan "Di hati Touya hanya ada kamu!" , tapi untungnya ia menyadari tatapan peringatan Akira.
"Oh, entahlah...," wanita itu mendengus. "Waktu bisa mengubah seseorang, kan?"
Tak mungkin mengabaikan aura aneh yang mendadak menguar saat itu. Bahkan Morishita pun kelihatannya menangkap, karena ia buru-buru bicara gugup, "Ah... Kenapa jadi Touya? Bukannya tadi kita lagi bicara tentang Isumi?"
"Oh, iya...," Hikaru akhirnya melepaskan matanya dari Akira dan memaksakan diri tersenyum. "Aku menyerah. Siapa memang?"
"Yang Hai! Yang Hai!"
"Yang Hai?"
"Ketua Tim China waktu Hokuto Cup I, masa kau tak ingat?"
"Yang mana, ya?"
"Itu lho, yang dulu hobi pakai baju Hawaii."
"Hmmm..."
Morishita mendesah, yang sudah pasti untuk menutupi batinnya yang berkata lantang, 'Kau sih cuma memperhatikan Ko! Mana ada kau mengingat yang lain?'
"Ah, intinya," mungkin melihat pembicaraan yang malah tidak jelas arahnya, Isumi mengambil alih, "Pernikahanku akan digelar tanggal 24 Februari, hari Minggu, di kampung halaman orangtuaku di Kanagawa. Kalau kau mau datang, nanti kukirimkan undangan."
"Ah, aku minta maaf, Isumi, aku tidak tahu bisa hadir atau tidak. Tapi aku ikut senang untukmu."
Mungkin untuk pertama kalinya, dalam sekian kali ia bertemu Hikaru dalam beberapa hari terakhir, ia bisa melihat senyum tulus dari wajah perempuan itu. Tidak lepas dan menyilaukan hingga membuatnya harus berpaling seperti dulu, tapi tak bisa tidak, senyum itu membangkitkan suatu perasaan yang aneh. Seandainya saja ia yang berada di ujung lain senyum itu...
"Ah, Touya," Morishita yang mendadak menyikutnya membuatnya tergagap. Baru ia sadari bahwa saking terpananya ia melihat senyum Hikaru, ia malah hanyut dalam dunianya sendiri. Melihat ke sekeliling, dilihatnya Morishita yang menatapnya dengan raut agak kesal, Isumi dengan wajah khawatirnya yang biasa, dan Hikaru yang … katakan saja, lagi-lagi ia sukses besar menghapus senyum dari wajah itu.
"Eh, apa?"
Morishita terang-terangan memberi tatapan mengancam, kendati nada suaranya tidak berubah, "Aku tanya apa kau akan datang ke pernikahan Isumi?"
"Um, mungkin," Akira meraih cangkir teh yang mendadak menjelma di hadapannya. Kapan tepatnya pelayan membawakan mereka minuman?
"Bukannya harus? Jangan lupa, aku sudah bilang padamu jauh-jauh hari, aku ingin meminjam duo Hika-chan untuk..."
"Ah, Waya...," terdengar Isumi buru-buru memotong dengan suara agak panik, dan sesaat Akira mengerung. Apa yang salah? Tapi seharusnya ia bisa meraba maksud Morishita, karena di sisi sana, Hikaru mengerung.
"Duo Hika-chan?"
"Ah, kau pasti belum tahu, Shindou. Biar begini, Touya sudah mendahuluiku, lho! Dia sudah punya dua putri. Manis-manis, lagi! Mereka akan jadi flower girl untuk acara pernikahan Isumi nanti."
"Oh...," sikap datar Hikaru jelas tidak diprediksi Morishita. "Yang satu sekitar umur 7 atau 8 tahun, yang satu masih balita, benar?"
"Lho, kau kok tahu?"
"Aku bertemu mereka di salon, beberapa hari yang lalu. Aku juga bertemu istri Touya."
Mata Morishita membulat. "Kau ... bertemu Konoe-san?"
"Konoe-san?"
"Eh, Konoe Hanako, itu nama gadis istri Touya. Dia kakak kelas Shigeko, aku sudah kenal dengannya sejak sebelum ia dan Touya menikah. Karena aku sering tertukar antara ia dan Touya-san, aku memanggilnya dengan nama gadisnya," ia memberi penjelasan panjang tanpa diminta. "Eh, omong-omong kok kau bisa bertemu mereka?"
"Kan kau yang memberitahuku kalau Cye kerja di salon Touya!"
"Eh?" untuk pertama kalinya, Morishita melirik pada Touya dengan sikap agak bersalah. "Um, aku tidak tahu kalau..."
"Ah, anak itu ke mana ya?" Hikaru lekas mengalihkan pembicaraan, memasang aksi mencari-cari bayangan Cye di luar jendela. "Ah, maaf, Waya, Isumi," ia kelihatan sengaja mengecualikan Akira, "kurasa aku harus mencari Cye."
"Eh? Cye-kun bersamamu?" Morishita ikut-ikutan melongok keluar jendela.
"Ya, tadi dia keluar sebentar," dia tidak menjelaskan alasannya. "Tidak tahu dia bakal kemana kalau dibiarkan sendirian, bisa-bisa dia memborong manga atau DVD anime. Sumpah, kadang-kadang aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya..."
"Ah, kalau begitu aku temani," usul Waya, ketika Hikaru bangkit dan pamit agar Isumi memberi jalan.
"Eh, tidak usah..."
"Ah, tak apa. Kau sudah lama tidak ke daerah sini, kan?"
Sadar bahwa sesungguhnya ialah tuan rumah daerah ini, Akira bangkit untuk menawarkan diri. Tapi sebelum ia sempat mengutarakan satu kata pun, Isumi menggamit tangannya. "Um, Touya-san..."
"Ah, benar. Kau di sini saja, Touya," timpal Morishita.
"Tapi..."
"Lagipula kau pasti tidak tahu toko anime dan manga di sekitar sini, kan?"
Sadar bahwa ia tak bisa bersikukuh tanpa menimbulkan kecurigaan, ia pun menelan argumennya dan duduk kembali di hadapan Isumi. Morishita memberikan senyum tipis yang kelihatan benar terpaksa, tapi Hikaru sama sekali tak melihat lagi ke arahnya. Ketika sosok keduanya menghilang di balik pintu, seperti bisa ia duga, Isumi langsung angkat suara.
"Touya-san..."
"Jika Isumi-san mengira aku punya maksud lain terhadap Shindou..."
"Ah, tidak, tidak," sang Ouza terlalu sopan untuk mampu mengutarakan tuduhan yang sudah jelas menggantung sejak mereka menyaksikan adegan ia dan Hikaru barusan. Karena apa lagi alasan Morishita sengaja menggerek pembicaraan soal keluarga kecilnya, jika bukan urusan ini? "Aku cuma ... um..." bahkan ia kelihatan tak tahu harus bicara apa.
Jika mereka ingin menginterogasi, atau bahkan memperingatkannya untuk menjauhi Hikaru, mungkin sebaiknya mereka mengutus Morishita, dan bukan Isumi.
"Aku tahu benar posisiku, Isumi-san tak perlu khawatir." Apa ia bicara terlalu kasar? "Aku hanya sekadar ... mendapat mandat untuk menjadi medium antara Ki-In dan Shindou. Um ... untuk kasus Cye."
"Oh?" Jelas sekali, ia tak tampak percaya begitu saja, tapi ia memilih tak mengungkit lebih jauh. "Jadi kau sudah bicara dengannya?"
Akira mengangguk.
"Lantas?"
"Masih buntu," jawabnya pelan, tanpa mengelaborasi lebih jauh. Ia tahu Isumi ingin bertanya, tapi mungkin ia merasa tak tahu harus memulai dari mana. Mungkin juga ia merasa bukan tempatnya untuk bertanya, dan menunggu Akira mengutarakannya duluan.
Sayangnya ia tak bisa. Bukan masalah ia tidak percaya pada Isumi... Ia tahu Isumi sangat bisa diandalkan. Ia memiliki pemikiran yang bijak dan pertimbangan yang matang, dan ia tidak hanya bicara mengenai go. Di Ki-In, Isumi telah menjadi semacam tempat untuk curhat dan meminta saran, khususnya bagi generasi seangkatan Touya dan di bawahnya.
Masalahnya, mereka bukan dia.
Dalam sepuluh tahun terakhir, setelah Akira kembali ke dunia pro, ia memang berusaha lebih membuka diri. Sesuai dengan anjuran psikiaternya, ia acap mengikuti acara di luar aktivitas profesional bersama para go pro lain. Ogata beberapa kali mengajaknya ke bar atau kedai teh, yang sebenarnya masih bisa dianggap pekerjaan jika melibatkan para birokrat yang menjadi klien mereka atau para sponsor. Di luar itu, Morishita acap mengajaknya makan siang bersama, bahkan main bowling, bilyard, atau karaoke—hal yang selalu dijauhinya dulu sewaktu masih remaja—dan Isumi merupakan salah satu anggota tetap geng Morishita, sehingga bisa dikatakan ia cukup menjalin hubungan baik dengan pria itu. Tapi mereka hanya rekan kerja, bukan sahabat.
Isumi menunggu dengan sabar, begitu sabar hingga Akira tak tahu bagaimana harus melarikan diri dari situasi ini. Namun, setelah beberapa menit berlalu dan tak kelihatan Akira akan menyampaikan apapun, ia pun membuka pembicaraan dengan hati-hati.
"Kudengar Ki-In akan memberikan sanksi skorsing pada Cye?"
Akira mengernyit. "Isumi-san tahu dari mana?" Matsuzaka baru mengatakannya Sabtu kemarin, dan ini masih Senin pagi, bahkan belum jam 10.
"Matsuzaka meneleponku kemarin," jelas Isumi tenang. "Kau tahu aku adalah anggota Dewan Pengurus, kan?"
Kasus Cye, seperti terimplikasi pada ucapan Matsuzaka kemarin, seharusnya adalah rahasia. Sebagai satu dari lima go pro yang masuk ke dalam jajaran Dewan Pengurus Ki-In, wajar jika Isumi mengetahui hal ini. Terlebih, Hikaru sudah datang ke Ki-In sejak Jumat untuk menyampaikan tuntutannya, yang berarti pula sangat mungkin sebuah rapat telah digelar untuk membahas persoalan ini. Mungkin itu pula alasan Isumi dan Morishita datang ke salonnya pagi begini. Pertemuan ini jelas bukan kebetulan, atau 'karena ingin membeli croissant untuk istrinya yang hamil,' seperti kata Morishita.
"Lalu, kau sudah menyampaikannya pada Shindou?"
Isumi datang tidak sebagai sahabat. Ia datang sebagai perwakilan Dewan Pengurus, untuk mengecek apakah Akira telah melakukan tugasnya dengan baik.
"Sudah," ujarnya.
"Lantas? Bagaimana jawaban Shindou?"
"Ia menolak."
Sangat mudah ditebak, sebenarnya. Ia bahkan tak tahu mengapa Isumi perlu menanyakannya. Sangat jelas terlihat bahwa jawaban itu sama sekali bukan sesuatu yang mengejutkan, karena ia hanya manggut-manggut mendengarnya.
"Apa ia mengatakan alasannya?"
Karena ia tidak ingin anaknya ada hubungan dengan apapun yang berbau go, apalagi menjadi profesional? Di Jepang, terutama. Karena satu alasan yang sudah pasti: karena di Jepang ada Akira, dan Hikaru benci setengah mati padanya.
"Ia ingin Cye lebih mementingkan dunia akademik ketimbang go," jawabnya.
"Oh?" pertanyaan Isumi bisa ia mengerti. Hikaru dulu bahkan tak masuk SMA, dan selalu mengeluh apa pentingnya belajar ini dan itu jika ia hanya akan berhadapan dengan goban. Sekarang ia melarang anaknya menjadi pro dengan alasan pendidikan?
"Masalahnya, Cye bersikukuh untuk menjadi pro, dan ia tak bisa melakukannya jika ia harus bersekolah di US," tandas Akira. "Dia bukan cuma berbakat, dia juga memiliki passion terhadap go. Aku tahu ini akan sangat menyulitkan Ki-In, dengan masalah izin dan visa dan sebagainya, apalagi Cye masih di bawah umur. Tapi jika Shindou tak bisa menjadi penjamin Cye, aku bersedia menjadi walinya. Jika Shindou ingin Cye tetap melanjutkan pendidikan, kurasa Cye lebih dari mampu untuk tetap bersekolah. Aku akan menjadi sponsor untuk sekolahnya, jika ia kesulitan mendapat beasiswa. Dengan itu, ia bisa menggunakan visa belajar, bukan?"
Itu solusi yang sempurna, pikir Akira. Ia jelas tidak mau sampai menempuh jalur hukum yang sulit seperti menuntut hak asuh atas Cye, terlebih jika itu berarti merusak hubungan dengan Shindou. Tapi jika terpaksa...
Tapi anehnya, bukan mengiyakan, Isumi malah memandangnya lekat-lekat seolah berusaha menembus ke kedalaman pikirannya. Orang mengatakan Isumi tak pernah bisa mengintimidasi siapapun, karena seperti Ashiwara, ia terlalu lembut dan baik, tetapi tidak begitu menurut Akira. Dulu orang sering meremehkan Isumi, berhubung ia dikenal sebagai 'insei abadi' yang terlalu lembek hingga berkali-kali dilangkahi kouhai yang bahkan rankingnya di bawahnya semasa insei dulu. Tapi siapapun yang mengenal Isumi sekarang tahu bahwa ia memiliki kemampuan untuk membaca lebih jauh dan lebih dalam dibanding orang-orang lain. Dan itu tak hanya terbatas pada pertandingan go.
Jika Morishita dan Ogata sampai mencurigai motif Akira di balik kebersikukuhannya untuk mempertahankan Cye, tak mungkin Isumi tak sampai berpikiran ke sana juga.
Untungnya, tidak seperti Ogata, Isumi tahu diri untuk tidak membicarakan masalah pribadi di muka umum, terlebih karena mereka tidak sedekat itu. Alih-alih mencecarnya dengan pernyataan yang sudah jelas takkan membuat siapapun nyaman, ia justru dengan tenang mengambil cangkir kopinya (yang entah sejak kapan diantarkan ke meja mereka) dan menyesapnya perlahan.
"Omong-omong, aku perlu menyampaikan sesuatu. Kau tahu, titipan dari Matsuzaka," ucapnya. "Berhubung Shinshodan dan upacara pelantikan sudah berlangsung, yang selanjutnya harus diperhatikan adalan Turnamen Gelar. Jika status Cye belum jelas, akan sangat menyulitkan pada saat penjadwalan."
Tentu saja, solusinya adalah tak perlu memasukkan Cye sama sekali dalam jadwal pertandingan. Mungkin itu akan membawa masalah baru-pertanyaan dari sponsor dan yayasan dan lain sebagainya, terutama karena nilai Cye yang sempurna membuatnya digadang-gadang sebagai pemain berbakat generasi baru. Tapi itu jelas solusi yang logis, ketimbang memaksakannya masuk yang akan memperumit keadaan. Jika Isumi mengatakan bahwa itu tidak semudah kelihatannya, berarti besar kemungkinan Institut memang ingin mempertahankan Cye.
Merayu Shindou untuk mengizinkan Cye tetap menjadi pro, seperti dikatakan Matsuzaka kemarin.
"Aku mengerti," ujar Akira. Mendadak, motif serat kayu pada permukaan meja menjadi sangat menarik. Apa jenis kayu ini, sebenarnya? Jelas bukan kaya... Tapi mungkin jika ia memproyeksikan pola kotak-kotak papan go pada kayu ini...
"Aku tahu ini bukan pekerjaan mudah, dengan sifat Shindou yang seperti itu," lanjut Isumi, membuyarkan upayanya yang berusaha mencari pengalihan dari masalah yang jelas ada di depan mata. "Aku juga tahu mengatakan ini sama saja dengan membebanimu lebih lanjut. Karena itu, kau tahu, jika kau butuh suatu rencana—apapun—untuk meluluhkan Shindou, aku siap berurun rembuk."
Ternyata memang itulah tujuan ia kemari. Seharusnya Akira tahu.
"Shindou adalah orang yang keras, dan sejak dulu selalu menyimpan permasalahannya sendiri, tanpa bicara dengan orang lain...," ujar Isumi. "Karena itu, memang sulit mendekatinya. Tahu Shindou, aku rasa urusan dia ingin Cye lebih fokus pada dunia akademis bukan alasan utama mengapa ia melarang Cye menjadi pro. Andai saja kita bisa mengetahui alasan itu, mungkin semua akan lebih mudah."
Ia tahu alasan itu. Tapi bagaimana mengatakannya pada Isumi?
"Kau tahu, aku tidak suka bergosip. Tapi kurasa ini mungkin ada hubungannya dengan masalah Cye, jadi kurasa tak apa kukatakan padamu. Waya … um, sedikit bertanya-tanya. Dan setahuku, satu-satunya orang selain kami yang dekat dengan Shindou adalah kau..."
Merasa awas, Akira mengangkat kepalanya.
"Empat belas tahun lalu, ketika Shindou menghilang... Apa mungkin Shindou sempat bicara sesuatu padamu?"
"Sesuatu?"
"Yah, kau tahu... Soal kehamilannya, atau siapa ayah sang anak … kau tahu."
Jangan kata mengatakannya, ia bahkan tidak mengatakan salam perpisahan...
Akira menggeleng pelan.
Sepertinya Isumi tak semudah itu termakan kebohongannya. Ia mencondongkan tubuh pada Akira, matanya menyipit memperlihatkan tatapan nan menyelidik kala ia bertanya dengan suara rendah, "Benar, kau sama sekali tidak tahu?"
Akira bisa saja memasang tampang poker di atas goban, tapi tidak di sini, untuk urusan ini. Tanpa disadari ia menelan ludah, sementara batinnya sibuk bertanya apa motif Isumi di balik pertanyaan itu.
"A-aku ... punya dugaan," jawabnya terbata.
"Dan kau percaya dugaanmu benar?"
"Ya," ia mengangguk. "Hikaru tidak ingin mengakuinya, tapi..."
Namun, entah mengapa mendadak lidahnya kelu. Rasa takut perlahan merayap, ketika percakapannya dengan Ogata-san kemarin kembali membayang. Orang di hadapannya bukan hanya sosok teman dan sahabat, tetapi juga sosok kakak bagi Hikaru. Jika ia mengetahui apa yang telah ia lakukan pada Hikaru...
"... Apa ada kemungkinan lain … selain Ko Yeong-ha?"
Mendengar pertanyaan Isumi tersebut, sesaat, ia tak melihat apapun selain putih. Apakah itu efek kepalanya yang tersentak begitu cepat, ataukah karena panik melandanya hingga menahan oksigen masuk ke otaknya? Setelah pandangannya kembali dan ia bisa melihat raut wajah Isumi, tahulah ia bahwa ia telah melakukan kesalahan yang fatal.
Sesungguhnya pertanyaan Isumi tadi adalah pertanyaan yang ambigu. Di satu sisi, itu bisa menjadi sebuah pertanyaan retoris, dengan menafikkan kemungkinan bahwa ada yang lain selain Ko Yeong-ha, yang berarti sama saja mengatakan 'Sudah pasti ayah Cye adalah Ko Yeong-ha'. Namun cara ia mengutarakannya, dengan jeda di tengah kalimat ... seakan mempertanyakan, 'Apakah kau berpikir bahwa ada seseorang yang lain selain Ko Yeong-ha?'
Bisa jadi itu adalah pertanyaan yang sengaja dibuat untuk menjebak, pikir Akira sejurus kemudian. Mungkin Isumi memang mencurigai sesuatu, dan sengaja memancing untuk mendapatkan klarifikasi.
Atau tidak. Besar kemungkinan justru awalnya Isumi sendiri tidak meniatkan pertanyaan itu sebagai jebakan. Isumi—seperti juga seluruh Ki-In—tidak mengetahui hubungannya dengan Hikaru di masa lalu, bahkan dari mulut Hikaru sendiri, sehingga ia—seperti juga seluruh Ki-In—pastilah menganggap Ko Yeong-ha sebagai ayah Cye. Namun dengan reaksi Akira tadi, tidak mungkin tidak ia menaruh curiga.
Atau bisa jadi ia curiga sejak datang ke kafe dan melihatnya bersama Hikaru. Atau mungkin dari jauh-jauh hari ... sejak Hikaru pergi dan ia mendadak depresi.
"Touya...," ujar Isumi kemudian, dengan kehati-hatian yang menyaingi langkahnya kala menaklukkan Ogata di pertandingan Jyudan. "Apa mungkin, kau..."
Akira menelan ludah, mati-matian melawan instingnya untuk segera pergi dari tempat itu.
Akui saja, satu bagian dalam dirinya berusaha meyakinkannya. Mungkin kau bisa mendapatkan titik terang.
Benar, Isumi adalah orang yang adil dan bijak. Dia juga tahu cara untuk mendekati Hikaru. Hikaru mengakui sendiri, bahwa ia menganggap Isumi seperti kakak yang tak pernah ia punya. Dulu sewaktu Hikaru punya masalah hingga sempat mempertimbangkan berhenti dari Ki-In, adalah Isumi yang akhirnya berhasil membujuk Hikaru untuk keluar dari cangkangnya—atau begitu menurut Yoshitaka. Isumi, bukan Akira. Melihat kedekatan mereka, pernah ada masa ketika Akira sempat cemburu pada Isumi, tentu saja sebelum Ogata membawa gosip bahwa Isumi gay dan tengah dekat dengan salah satu pemain pro dari China.
Intinya, melihat karakter dan kedekatan Isumi dengan Hikaru dulu, sangat mungkin Isumi bisa menjadi mediator untuk meyakinkan Hikaru agar membiarkan Cye berada di sini. Bahkan bisa jadi ia bisa membantu mengatasi … apapun masalahnya dengan Hikaru sekarang. Tanpa harus melalui jalur hukum, tentu saja.
Namun mengapa lidahnya begitu kelu?
Sekali lagi ia menelan ludah, mencoba menelan rasa getir di kerongkongannya, sebelum memulai, "A-aku..."
When you wish … upon a star...
Justru di saat yang paling menentukan, terdengar lantunan lagu yang sangat familiar dari arah Isumi. Pria itu pun menghentikannya dan mengodok saku jaketnya untuk mengeluarkan sebuah ponsel.
"Waya," ia tersenyum memohon maaf, seraya menunjukkan layar ponselnya yang dihiasi foto pernikahan sang sahabat. "Permisi."
Isumi bangkit untuk mengangkat telepon, tetapi rupanya penerimaan sinyal di dalam kafe tidak cukup baik, sehingga ia pun beranjak keluar. Sementara di dalam, Akira meminum seteguk teh untuk menetralkan detak jantungnya.
Akan jauh lebih baik, jika ia bisa menata narasinya dalam argumen yang meyakinkan, pikirnya. Mungkin jika ia menjelaskan semua kejadiannya secara kronologis...
Mendadak kaca jendela di sampingnya diketuk. Wajah Isumi yang panik tampak di sana.
"Kita harus ke rumah sakit sekarang juga," katanya, begitu Akira menyusulnya keluar kafe. "Cye mengalami kecelakaan."
.
.
