Chapter 10. Ancaman


Ketika ia sampai di rumah sakit, ia langsung disambut oleh pemandangan Hikaru yang tengah membenamkan dirinya dalam pelukan Morishita. Sekali lagi, rasa cemburu menggeliat bak ular besar dalam dadanya. Namun, ia lekas menepisnya. Tidak ada gunanya sekarang.

"Touya, Isumi!" seru Morishita begitu melihat mereka. Mendengarnya, Hikaru lekas melepaskan diri dari Morishita dan menghapus air matanya, lantas memasang wajah tegar seolah-olah mereka tak menangkap basah ia sedang menangis terseguk-seguk tidak sampai semenit yang lalu.

"Maaf, di jalan macet sekali. Kami berusaha secepatnya ke sini," ujar Isumi sebagai pengganti salam.

Tidak ingin berbasa-basi, Akira bertanya langsung pada intinya, "Apa yang terjadi?"

"Hmmm... Aku ... tidak begitu jelas juga," jawab Morishita, melirik dengan tatapan rawan pada Hikaru yang membuang muka. "Um … ada sedikit kesalahpahaman, Cye marah dan berlari pergi. Kami berusaha mengejar tapi... Uh, Cye ... tidak menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala, dan mobil ini..."

Tak perlu dikatakan apa yang terjadi. Akira bisa melihat bayangan kejadian itu begitu jelas di ruangan matanya. Semesta yang berputar pada ruang dan waktu yang salah. Cye yang berlari melintasi jalanan ramai, Hikaru yang berlari mengejarnya. Mobil yang berlari terlalu cepat...

"Kenapa kau tidak menghubungiku?" tuntutnya.

Morishita kelihatannya tidak mempermasalahkan mengapa Akira merasa berhak dihubungi duluan. "Sudah, tapi ponselmu tidak aktif," sanggahnya, yang membuat dahi Akira berkerut. Mengapa tidak aktif? Apa ia lupa mengecas ponselnya? Lantas ia ingat bahwa biasanya ia mengecas ponselnya malam sebelum tidur, atau setidaknya pagi selagi ia bersiap-siap, sebelum berangkat ke Ki-In atau Murasakizui. Tapi setelah mendapat pesan Cye semalam, otaknya sudah terlalu buntu untuk bisa mengingat detail semacam itu.

"Intinya," lanjut Morishita. "Pengemudinya tidak lari dan mau bertanggung jawab. Ia juga yang memanggil polisi dan ambulans. Saat ini ia sedang menjalani penyelidikan."

Tapi Akira tidak mau tahu-menahu soal itu. "Lantas, bagaimana keadaan Cye?" cecarnya.

"Mereka membawanya masuk ruang operasi sekitar satu jam lalu, hingga sekarang belum ada kabar lagi. Kita hanya bisa menunggu..."

Akira mengalihkan pandangannya pada Hikaru. Entah bagaimana perasaan Hikaru kini. Mendengar cerita Morishita, besar kemungkinan pertengkaran mereka terjadi karena kekeraskepalaan keduanya. Bisa jadi, saat ini Hikaru merasa bahwa dirinyalah yang membuat Cye seperti ini...

"Hikaru," panggilnya, melangkah dan mengulurkan tangan untuk meraih wanita itu. Tapi orang yang bersangkutan malah terang-terangan menampik dan pergi untuk duduk di bangku lain beberapa meter jauhnya.

"Hikaru...," ia berbisik, perih. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Isumi sudah menepuk bahunya.

"Touya," ujarnya. "Aku yakin semua orang di sini belum sempat makan. Sebentar lagi jam makan siang. Mungkin kita perlu membelikan makanan?"

Itu alasan yang bodoh, memang, tetapi Akira tahu Isumi berusaha agar ia tidak mempermalukan dirinya sendiri. Akhirnya, dengan berat hati ia pun mengangguk. Ia sempat melihat Isumi dan Morishita bertukar pandang sejenak, sebelum Isumi memandunya keluar ruang tunggu dan menuju kantin rumah sakit.

.

Isumi tidak bicara banyak—tidak soal Cye, tidak soal Hikaru, dan tidak juga soal apa yang hendak ia sampaikan sebelum mereka ke sini. Entah Isumi memilih diam demi menjaga perasaannya, ataukah ia sudah sampai pada sebuah kesimpulan, ia tidak tahu. Yang jelas Akira merasa lega karenanya.

Ketika ia kembali dengan menenteng makan siang, hal pertama yang ia dengar adalah suara Hikaru yang melengking tinggi. Hal terburuk sudah melintas di kepalanya, hingga ia hampir saja menjatuhkan bungkusan makanan untuk berlari mendekati Hikaru. Untung saja, Morishita keburu menahannya.

"Cye tidak apa-apa. Operasinya berhasil, kondisinya stabil," ucap Morishita tanpa ditanya, mengambil alih bungkusan dari tangannya dan menyerahkannya pada Isumi.

"Benarkah tidak apa-apa?" tanyanya tak percaya, masih berusaha mencuri-curi pandang ke arah Hikaru. Wanita itu masih terlihat panik, jika melihat gerak-geriknya. "Lalu kenapa...?"

"Tidak apa-apa. Shindou hanya sedikit panik, karena dokter mengatakan bahwa Cye membutuhkan transfusi darah, dan persediaan darah sangat terbatas."

"... Terbatas?"

"Ada kecelakaan beruntun yang ditangani rumah sakit lain, sehingga persediaan di bank darah pusat telah habis. Aku sudah menghubungi Shigeko. Ya, ia punya koneksi yang mungkin bisa membantu. Tapi prosesnya makan waktu."

Akira melirik ke arah Hikaru. Ia tahu, golongan darah Hikaru O, karena bocah itu pernah dengan sombongnya pamer ke semua orang bahwa ia adalah orang yang dermawan, berhubung golongan darahnya adalah pendonor universal. Jika persediaan darah habis dan ia ada di situ, panik—bukannya tengah terbaring di suatu ranjang rumah sakit, memulihkan stamina setelah menyumbangkan darahnya sendiri... Hanya ada satu kemungkinan...

"Golongan darah Cye ... A negatif, benar?"

"Eh, kok kau tahu?"

Tapi Akira tak mengindahkannya. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan bungkusan di tangannya pada Morishita, dan melangkah ke arah Hikaru dan sang dokter.

"Golongan darahku A negatif," ujarnya tanpa basa-basi, bahkan tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang tengah mereka bicarakan. "Izinkan aku menyumbangkan darah untuk Cye."

.

Tentu saja, niatnya mendapat tentangan, bukan cuma dari Hikaru. Jujur saja, ia merasa itu sangat beralasan. Sebagai (mantan) penderita psikosis—yang terus terang saja masih mengonsumsi obat-obatan hingga saat ini, walau dalam jumlah kecil—, latar belakang kesehatannya menjadi penghalang besar. Tapi untungnya, setelah proses screening, diputuskan bahwa kadar obat-obatan dalam darahnya masih di bawah batas normal, sehingga ia dinyatakan layak untuk menjadi pendonor untuk Cye.

Isumi sama sekali tak berkomentar atau bertanya apapun soal mengapa ia langsung bisa menebak golongan darah Cye atau mengapa mereka kebetulan memiliki golongan darah yang sama. Mungkin ia telah sampai pada kesimpulan tertentu—jika memang ia curiga—dan Akira sungguh bersyukur akan sikap diamnya kali ini. Morishita kelihatan benar gatal ingin bertanya, tapi untungnya Akira terlalu lemah setelah darahnya disedot sehingga ia harus berbaring seharian di salah satu ranjang rumah sakit untuk memulihkan diri. Setidaknya dengan itu ia bisa menghindari Morishita—atau Isumi, yang tatapannya kini tampak seakan menembus kepalanya.

Setelah urusan darah selesai, berikutnya tinggal menunggu Cye siuman. Ini lebih menegangkan dari yang ia duga. Dokter mengatakan masa kritisnya sudah lewat, tetapi bahkan setelah 2 hari, Cye tak kunjung siuman. Hikaru kelihatan sudah kehilangan seluruh energiny. Ia tak lagi terang-terangan bersikap antagonis padanya—seperti menghardik atau mengusirnya setiap melihatnya di lorong, hanya mendelik dan mengacuhkannya seolah ia tak ada di situ—tapi itu justru menjadi titik balik yang lebih mengancam daripada apapun.

Akira, sayangnya, tidak bisa terus berjaga—tidak setelah Hanako dan ibunya menelepon dengan panik karena ia tidak pulang-pulang, yang kian bertambah tatkala ia mengatakan bahwa ia ada di rumah sakit. Untungnya, Isumi ada di sisinya ketika ia menerima telepon, dan dengan bijak menyarankan agar ia pulang dulu ke rumah.

"Aku akan mengabarkan jika ada perkembangan," demikian janjinya. Hanya karena itu, ia berani meninggalkan kursi tunggu rumah sakit tempatnya bermukim (karena rupanya walaupun ia sanggup menyediakan kamar VIP untuk Cye, ia tak sanggup menyediakan sofa untuknya sendiri di kamar tersebut—tidak selagi Hikaru di sana, mendelik padanya seakan ingin mengusirnya dari situ).

.


.

Pada hari ketiga, kabar yang dinanti tiba. Akira cepat-cepat menyudahi kelasnya, sama sekali tidak memedulikan kebingungan para muridnya, atau telepon Hanako yang bertanya apakah ia akan kembali malam nanti. Ia hanya memberi jawaban samar sekenanya, sebelum meluncur ke rumah sakit.

Cye tengah bersama sang ibu ketika ia tiba. Ia kelihatan sehat—sesehat orang yang baru saja menjalani operasi pasca-kecelakaan, dengan kepala yang dibalut perban dan sebelah kaki yang digips menggantung ke langit-langit ruangan. Ketika Akira meninggalkannya, ia sempat melihat leher Cye diberi penyangga kerucut, dan salah satu tangannya juga digips. Bahwa kali itu ia tidak melihat dua yang disebut terakhir, ia rasa adalah sebuah kemajuan besar.

Akira mengedarkan pandangannya berkeliling ruangan. Tidak ada Morishita maupun Isumi—mungkin mereka pulang setelah beberapa hari bergantian berjaga. Melihatnya di ambang pintu, Cye langsung berseru menyapanya dengan sumringah. Sementara Hikaru, tentu saja, hanya mendengus dan meliriknya dengan wajah ketus, sebelum mengatakan akan bicara dengan dokter dan meninggalkan mereka berdua.

"Maafkan kekasaran ibuku, Shishou," ucap Cye lirih, setelah ia memanggil-manggil Hikaru dan nyata-nyata dicueki. "Sifat Mom ... memang sedikit keras. Tapi tidak biasanya ia..."

"Tidak apa, aku mengerti," senyum Akira terpaksa.

Cye menatapnya lekat-lekat dengan bayang ketidaksetujuan yang terpampang jelas. Begitu jelas hingga Akira merasa harus turun tangan.

"Dengar," ia menyentuhkan tangannya di ujung jemari Cye, berhati-hati untuk tidak menyentuh infusnya. "Ibumu telah melalui banyak sekali hal ... sendirian," ujarnya. "Kau adalah hal yang paling berharga baginya, jadi tolong untuk tidak menyalahkannya terlalu banyak."

"Aku tahu itu. Tapi, Shishou... Apa salahnya sedikit saja bersikap lebih lunak? Bagaimanapun Anda..." Cye mulai merengek, yang lekas berhenti ketika ia menengadah dan menatap Akira. Apapun yang hendak ia katakan, entah mengapa seakan tercekat di tenggorokannya sendiri. Ia memalingkan muka, dan berkata, lirih, "Bagaimanapun Anda telah menolongku. Dengan … darah dan sebagainya."

Ketika ia mengatakannya, rasanya Akira bisa melihat sesuatu yang memantulkan cahaya di ujung mata pemuda itu. Sebelum ia lekas menyembunyikannya di siku lengannya.

"Cye..."

"Uh, maaf," suaranya parau. "Saya hanya ... um..."

Tak perlu kata-kata lagi. Entah didorong oleh kekuatan apa, Akira lekas merengkuh kepala bocah itu dan menariknya ke dadanya.

Untuk sesaat, ia merasakan sang bocah menegang dalam pelukannya. Sebelum perlahan, sebelah tangan melingkar mengelilingi pinggangnya, ragu namun pasti.

"Maaf," bisiknya ke rambut sang bocah. "Maafkan aku..."

Cye sama sekali tak menjawab, malah mengetatkan pelukannya. Bahkan sepertinya ia bisa merasakan sesuatu merembes membasahi kemejanya. Ia ingin melakukan lebih—mengecup atau menepuk puncak kepalanya, misalnya—apapun untuk menyatakan bahwa ia ada di sini untuk Cye, bahwa ia takkan pernah pergi lagi. Tapi … apakah itu pantas?

Ia tak berpikir lagi. Ia tak merasa perlu berpikir. Semata didorong oleh naluri, ia pun mengelus rambut pemuda itu.

.

Waktu berlalu tanpa kata. Hanya ia, dengan Cye dalam pelukannya. Hangat tubuh Cye dan sensasi yang melanda tatkala jemarinya menyisir rambut Cye terasa begitu alamiah, seolah memang di sanalah tempatnya berada. Sayangnya, kebersamaan itu mendadak terusik ketika pintu terbuka, memperlihatkan seorang perawat yang masuk dengan mendorong sebuah troli penuh dengan peralatan medis yang Akira tidak tahu namanya.

"Maaf, ini waktunya pemeriksaan. Silakan menunggu di luar."

Ada keraguan di mata Cye ketika ia melepaskan pelukan dari pinggangnya. Tetapi dengan janji bahwa ia akan kembali, pemuda itu pun mengangguk. Akira bisa merasakan mata Cye mengekornya, ketika ia melangkah pergi.

Ketika ia keluar kamar, ia mendapati Hikaru tengah berdiri bersandar, seakan menunggunya. Mungkin memang iya, karena ia memberi kode seakan ingin bicara di tempat lain. Agak penasaran, dan mungkin deg-degan juga, Akira pun menutup pintu di belakangnya dan mengikuti wanita itu.

Arena pertarungan yang dipilih Hikaru ternyata adalah sebuah taman terbuka di samping rumah sakit. Agak tersembunyi dari pandangan orang, sepi dan jauh dari lalu-lalang orang. Namun, apapun maksudnya menariknya ke sini, jelas bukan untuk menyambung tali yang sudah lama terputus.

Wanita itu mengeluarkan sebatang rokok dari tasnya, lantas menyalakannya tanpa menawarkan ataupun mengatakan permisi. Kepulan asap dan bau nikotin menyergap hidungnya, membuatnya mual, tetapi toh ia tidak punya hak untuk melarangnya.

"Aku memutuskan untuk membiarkan Cye tinggal di sini," ujar wanita itu tanpa melirik sekilas pun ke arahnya.

Rasanya ia nyaris tak percaya. "Kau … memberi izin Cye … untuk menjadi pro?"

"Jangan salah paham. Aku memberi izin Cye untuk tinggal di Jepang, bukan langsung menjadi pro. Kalian menawarkan untuk menunda status pro-nya kan? Aku masih keberatan dengan itu, tapi melihat perkembangan situasi saat ini, kurasa aku tak punya jalan lain selain menyetujuinya."

Ini bukan yang ideal, memang. Tetapi ini yang terbaik sekarang.

"Terima kasih!" seru Akira. "Kupastikan kau takkan menyesalinya. Aku bersumpah akan menjaga Cye."

"Heh. Jangan kegirangan dulu!" bentak Hikaru. "Aku bilang aku akan membiarkan Cye tinggal di Jepang, siapa yang bilang aku mengizinkannya tinggal denganmu?"

"Lalu? Apa itu berarti kau akan tinggal bersamanya?"

"Siapa yang punya waktu untuk itu! Aku punya pekerjaan!"

"Karena itu, aku menawarkan..."

"Cye akan tinggal di apartemen," potongnya.

"Apartemen? Untuk apa? Ia bisa tinggal di tempatku."

"Tempatmu?"

"Murasakizui, tentu, seperti sebelumnya."

"Kau pikir aku akan membiarkannya tinggal di ruko yang malamnya sepi? Lagipula, darimana juga kau berani berpikir ia masih kuperbolehkan bekerja di Murasakizui? Tidak. Ia akan tinggal di apartemen, dan itu final," putusnya, seolah-olah tanpa menyisakan ruang untuk menyanggah.

Ada sedikit rasa kecewa ketika Hikaru mengatakan bahwa ia tidak memperkenankan putranya bekerja. Tapi ia merasa itu wajar dan masuk akal, untuk saat ini setidaknya, jadi ia membiarkannya.

"Kalau begitu, izinkan aku yang memilihkan apartemen untuknya. Dekat dengan Ki-In, jadi Cye tidak perlu berpikir tentang biaya transportasi ke depannya."

"Daerah situ mahal."

"Aku yang akan membayarnya juga, kalau kau pikir sekiranya itu akan membebani kalian."

"Tidak. Aku tidak mau berhutang padamu. Aku juga tidak mau kau terus-terusan mencampuri hidupnya."

Akira menghela napas, lelah. "Hikaru, aku tahu kau mencoba membiasakan Cye untuk hidup mandiri, tetapi itu bukan jalan yang terbaik," ia berusaha berargumen. "Cye masih di bawah umur, dia butuh pengawasan dan wali. Ia juga butuh sumber pendapatan. Kau tidak membolehkannya jadi pro, kau tidak memperbolehkannya bekerja untukku, dan kau juga bilang tak mau membiayainya. Lantas bagaimana ia bisa membayar sewa apartemen?"

"Itu bukan urusanmu."

"Hikaru…"

"Dengar, Touya. Aku sudah membolehkan ia tinggal di Jepang. Aku sudah membolehkan ia mengejar cita-citanya sebagai go-pro. Kurasa itu sudah sangat banyak. Kau mau menuntut apa lagi?"

Aku ingin kau mengakui aku sebagai ayah Cye. Aku ingin kau membolehkan aku menjadi sosok ayah yang Cye butuhkan.

Tapi jelas ia tidak bisa mengatakan hal itu.

"Aku ingin kau tetap mengizinkan Cye menjadi muridku."

"Cih. Sudah kuduga," ia menggerutu. "Baiklah. Dengan satu syarat."

"Apa?"

"Kau tidak boleh terlalu dekat dengannya."

"Huh? Mengapa tidak boleh?"

"Aku tahu apa alasan Cye ke sini. Dan aku tahu apa yang ada di pikiranmu. Tapi sekali lagi kutekankan: kau bukan ayah Cye! Jadi jangan berusaha memberi kesan seperti itu padanya."

"Hikaru...," Akira memijit-mijit pangkal hidungnya. "Mau sampai kapan kau bersikap keras kepala dan menyangkal kebenaran? Kau lihat sendiri," ia menunjuk ke arah rumah sakit. "Golongan darahku dan Cye sama!"

"Itu tidak membuktikan apapun," tegas Hikaru bersikukuh.

"Tidak?" ia mengangkat alisnya. "Aku berpikir sebaliknya. Ini justru mengonfirmasi segalanya. Kau tidak bisa selamanya menyangkal kebenaran, Hikaru. Suka atau tidak, ini kenyataannya. Aku memang ayah Cye."

"Huh. Hanya karena golongan darah?"

"Golongan darah langka, harus kutekankan. Hanya satu hingga dua persen penduduk Asia yang memiliki golongan darah ini, jika aku tidak salah. Terlalu langka untuk dikatakan kebetulan."

"Penduduk Asia sekitar empat milyar juta jiwa. Satu persennya adalah empat juta. Kau mau bilang mereka semua mempunyai klaim atas Cye?"

"Tetap saja, karena satu-satunya kandidat ayah Cye selain aku adalah Ko Yeong-ha... Kukira terlalu kecil kemungkinan kau kebetulan mengencani dua orang yang memiliki golongan darah sama, bukan begitu?"

"Asal kau tahu," geram Hikaru. "Yeong-ha memiki darah blasteran, dan persentase golongan darah A negatif lebih banyak di kalangan ras Kaukasia, limabelas persen malah."

"Wah, kau mencari tahu rupanya..."

"Hanya supaya kau tidak membiarkan dirimu hanyut dalam halusinasi yang jelas-jelas tidak nyata!" seru Hikaru. "Semakin cepat kau menerima bahwa kau bukan ayah Cye, semakin baik bagiku dan Cye."

"Astaga. Seharusnya aku yang bilang begitu. Semakin cepat kau menerima bahwa aku adalah ayah Cye, semakin baik bagi kita bertiga!"

"Apanya? Dengar, aku sudah mengatakannya sekali dan aku takkan mengulangnya lagi: aku tidak mau kau memberikan harapan palsu pada Cye."

"Harapan palsu?" entah mengapa, hatinya sakit mendengar kata itu. "Yang kaukatakan sebagai harapan palsu adalah aku berusaha memperbaiki kesalahanku! Bagian mananya yang salah, ketika aku berusaha mendukung dan mewujudkan cita-cita Cye? Bagian mana yang salah, ketika aku berusaha ada untuknya?"

"Yang salah adalah kau melakukan semua atas dasar asumsi bahwa kau adalah ayah Cye!"

"Astaga..."

"Coba pikirkan bagaimana perasaan Cye, jika itu tidak benar. Jika satu saat kau akhirnya sadar dari delusimu dan menerima bahwa kenyataan tidak seindah pikiranmu."

"Solusi atas semua ini sangat mudah. Kita di rumah sakit sekarang. Berikan Cye izin untuk melakukan tes DNA. Selesai."

"Dan apa? Begitu kau menerima bukti bahwa kau bukan ayah Cye, apa yang akan kaulakukan, hah? Apa kau akan melepaskan Cye dari hidupmu? Menarik semua dukunganmu terhadapnya? Meninggalkannya karena ia tak sesuai harapanmu?"

"Astaga. Mana mungkin kulakukan itu!"

"Jangan lupa bahwa kau pernah melakukan itu padaku, Touya..."

"Melakukan apa?" ia tercengang. "Kapan aku pernah... Astaga… Apa maksudmu ketika aku mengatakan aku kecewa padamu karena kau bukan Sai yang kucari-cari? Ya ampun, Hikaru! Itu waktu kita masih SMP!"

"Bukan itu, Brengsek!"

Ia terperangah. "Hikaru, aku tidak mengerti..."

Hikaru tak langsung menjawab. Sekali lagi ia menyesap rokoknya dalam-salam, sebelum menghembuskannya jauh-jauh.

"Dulu, kau sempat memberiku harapan ketika aku jatuh. Ketika aku berpikir aku bisa mendapatkan suatu kesempatan yang baru. Tapi..." ia bisa melihat air mata membayang, yang lekas menguap oleh api kebencian.

"Aku tidak mengerti," geleng Akira. "Kau boleh menyalahkanku untuk yang lain, tapi tidak yang ini. Kau yang meninggalkanku, Hikaru! Kau, bukan aku. Mestinya aku yang berkata begitu!"

"Apa aku punya pilihan lain, hah?"

"Punya!" serunya pasti. "Kau punya, Hikaru! Saat itu kau punya pilihan! Aku ada untukmu, ingat? Jika saja saat itu kau tidak langsung menafikkan kehadiranku dan memilih untuk bicara denganku, alih-alih memutuskan semuanya sendiri dan pergi begitu saja seolah aku sama sekali bukan siapa-siapa bagimu."

Hikaru membuang—membanting—rokoknya yang masih separuh. Batang setengah menyala itu jatuh ke pelataran batu, sebelum hancur terinjak hak sepatunya.

"Sudah kubilang aku tidak punya pilihan lain!" serunya.

"Tidak punya pilihan apanya?" ia menarik tangan Hikaru. "Aku bisa bertanggung jawab."

"Bertanggung jawab, hah? Walaupun anakku adalah anak Ko Yeong-ha?"

"Astaga. Kenapa kau selalu…," Akira lagi-lagi ingin mengurut kepalanya. "Dengar ya. Nomor satu, aku tidak suka kau terus-terusan bilang Cye bukan anakku. Nomor dua, bahkan jika benar ia bukan darah dagingku, aku tak peduli. Aku bisa menikahimu saat itu. Kau tidak harus menghadapi semua sendirian!"

"Huh, menikah?" Hikaru menarik kembali tangannya dengan paksa dan menatapnya dengan sinis. "Kita baru 17 tahun saat itu, ingat? Bagaimana pandangan orang lain? Ki-In? Mereka takkan menyetujuinya. Ayahmu jelas tidak."

"Siapa yang peduli soal itu? Kita bisa kawin lari jika terpaksa."

"Kawin lari apa? Aku cuma lulusan SMP, ingat? Kau juga belum lulus SMA. Kita mau mencari makan bagaimana? Membiayai Cye bagaimana? Kita tidak punya bekal pendidikan yang cukup, tidak punya bakat lain selain bermain go..."

"Pasti ada jalan, Hikaru..."

"Katakanlah kita berhasil mempertahankan pekerjaan kita. Katakanlah dengan suatu keajaiban entah apa, komunitas tradisional Ki-In membiarkan kita tinggal. Kaupikir bagaimana mereka akan memandang kita, hah? Yang mereka tahu aku adalah mantan Yeong-ha, lantas entah bagaimana aku menikah denganmu setelah putus darinya, dan melahirkan beberapa bulan sesudahnya? Mereka mungkin akan menganggapmu penyelamat, Touya. Tapi aku? Mereka akan memandangku pelacur murahan, penipu jahat yang memanfaatkanmu! Tunggu, mereka sudah!"

Ketika ia mengatakannya, bayangan yang terjadi belasan tahun lalu kembali mewujud di benak Akira. Tentu saja, mana mungkin ia tidak mengingat saat ketika Hikaru terpuruk pasca putusnya ia dengan Ko. Ketika nyaris semua orang memberinya cap buruk karena drama percintaannya. Jika itu alasan kepergian Hikaru…

"Apa-apaan itu?" tak bisa tidak, ia tertawa pahit. "Kau meninggalkanku karena itu? Ketakutanmu yang … tidak beralasan?"

Jelas, Hikaru marah mendengarnya. "Tidak beralasan, hah? Kaupikir itu tidak beralasan? Kau bukan aku, Touya! Kau tidak ada di tempatku, kau sama sekali tidak tahu yang kuhadapi!"

"Tetap saja…"

"Lagipula apa gunanya kau mengejar-ngejar kami sekarang?" lanjutnya tanpa memberi Akira jeda untuk membalas. "Kau telah menikah dan memiliki anak... Taruhlah entah bagaimana, kau bisa membuktikan bahwa Cye adalah putramu. Di mana kau akan menempatkannya? Di mana kau akan menempatkan aku?"

Ia meraungkan kata terakhir dengan emosi kasar yang tak pernah ia perlihatkan pada siapapun, termasuk pada Akira. Untuk sesaat, Akira membeku. Tiada kata yang mampu ia keluarkan untuk membalasnya.

"Kau sendiri tahu hal ini. Sudah tidak ada tempat bagi kami dalam hidupmu. Jadi mengapa kau masih bersikukuh untuk hal yang jelas-jelas tidak nyata?"

"Jadi itu masalahnya kan? Keluargaku?"

"Huh. Sejak awal pun, yang jadi masalah memang keluargamu, Touya..."

"Itu bukan masalah. Aku bisa memperbaiki ini."

"Memperbaiki?" ia mendengus. "Memperbaiki bagaimana? Kau ingin mengakui Cye sebagai anak harammu, heh?" ia terkekeh. "Kau mungkin cukup bodoh melakukannya, tapi Cye tidak layak dibegitukan."

"Hikaru..."

Hikaru benar-benar terihat gusar. Tapi rupanya ia masih cukup bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal yang lebih ekstrem daripada sekadar berteriak. Atau mungkin karena ia melihat beberapa orang sudah mulai melirik pada mereka dari kejauhan sambal berbisik-bisik. Benar, mereka memilih sudut yang sepi. Tapi bukan berarti tempat ini benar-benar jauh dari jangkauan telinga orang lain.

"Hhh, aku lelah, dan sama sekali tidak mau bicara soal masalah ini," ia menggosok wajahnya. "Terserah kau mau bilang apa, aku masih tetap teguh pada pendirianku. Sebaiknya kau menerima itu, kalau kau masih menginginkan Cye di sini."

Licik, jika itu kartu yang ia mainkan. Akira hanya bisa menggemeretakkan gigi, sementara Hikaru mengambil sebatang lagi rokok dari kotak di sakunya dan membakarnya.

"Jika kau begitu membenciku...," ucapnya, "mengapa kau mengizinkan Cye tinggal...?"

Hikaru menyesap rokoknya dalam-dalam, lantas menghembuskannya perlahan. ketika ia berkata, lirih, "Karena aku tidak ingin kehilangan Cye..."

Mungkin efek asap yang menyelimuti wajahnya, kali itu ia terlihat sendu, dan entah bagaimana terlihat sepuluh tahun lebih tua. Saat itu Akira tahu, betapa beban yang ia alami selama ini tentunya belum seberapa dibandingkan dengan yang Hikaru rasakan. Terlebih dalam hari-hari terakhir. Maka, adakah haknya untuk terus menambah beban itu?

"Jangan salah paham," ujarnya kemudian. Matanya yang bak elang menatapnya tajam. "Aku masih beranggapan bahwa Cye kembali ke US adalah yang terbaik. Tapi aku tahu kekeraskepalaan kami berdua takkan membantu apapun. Jika ia bersikukuh untuk tinggal di sini dan aku menolaknya, dia hanya akan makin nekat. Jadi aku bersedia mundur kali ini. Tapi sekali lagi kukatakan padamu. Aku membiarkan Cye tinggal, bukan berarti kau bisa bertindak seenaknya. Jika kau membuat angan Cye melambung, lantas kau menghancurkannya ... kau cari mati denganku. Sumpah, aku akan membuat hidupmu bak di neraka, Touya Akira..."