Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 2 – OBI

Author's POV

Obi tengah berjalan keluar dari kastil Wistant. Akhirnya tugasnya telah selesai, dan ia sungguh bahagia sekarang. Mungkin ia akan meminta beberapa hari cuti dari pekerjaan jauh seperti ini dan menikmati hari-harinya bersama tuannya. Obi tidak bisa menahan diri untuk tidak bersiul ceria, apalagi kini langitnya sedang cerah dan salju tidak lagi turun walaupun timbunan salju di tanah masih luar biasa tinggi.

Satu malam berada di kastil dengan berbagai pelayanan selayaknya tamu kehormatan membuat Obi lupa jika ia harus segera kembali ke kastil Wistal dan melaporkan surat balasan dari penguasa Wistant kepada Pangeran Zen. Hampir saja Obi berpikir untuk tinggal semalam lagi di kota ini, toh kota ini begitu terang dan menyenangkan.

Obi merasakan kakinya menginjak sesuatu yang ganjil, dan ketika ia berjongkok dan mengeceknya ia hanya menemukan sebuah choker.

Choker dengan bandul kupu-kupu berwarna emas.

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Zen Wisteria menggeram kesal. Ia baru saja kembali dari ruangan kakak laki-lakinya–dan seperti biasa–ia langsung dilanda badmood berkepanjangan. Salah satu tangan menopang dagunya pada meja kayu besar tempatnya mengerjakan tugas-tugas kenegaraan, dan kaki sebelah kiri membuat suara berisik yang sungguh mengganggu konsentrasi Kiki yang tengah membalas surat dari ayahnya yang sekali lagi berisi mengenai lamaran.

Sudah hampir 2 minggu berlalu sejak Obi kembali dari tugasnya. Penguasa kastil yang tidak lain dan tidak bukan merupakan ibu kandungnya sendiri memberi balasan berupa dua buah surat. Satu untuknya, dan satu lagi untuk kakaknya. Dan walaupun Zen begitu ingin tahu isi surat milik kakaknya, ia berusaha menjaga sikap untuk tidak berulah dan menjadi adik yang tidak tahu sopan santun. Setelah memendam kekepoan selama beberapa hari penantiannya yang cukup panjang, hari ini akhirnya sang kakak mengatakan isi surat tersebut. Salah satunya adalah mengenai penobatan Izana sebagai raja yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini, dan berita satunya…Zen sungguh tidak ingin mengungkit-ungkit hal itu lagi.

"Zen! Shirayuki datang!" Mitsuhide terdengar berteriak dari balik pintu, Zen langsung dengan tergesa-gesa merapikan rambutnya dan membereskan beberapa kertas yang tidak terlalu penting dari meja kerjanya.

"Ehem…ehem… Masuk." Zen duduk di meja kerjanya sembari menuliskan sesuatu–sok terlihat keren di depan pujaan hati–ketika Shirayuki datang membawa teh herbal yang sudah ia janjikan beberapa waktu lalu. Zen langsung mengalihkan pandangan dari kertas kepada sang gadis yang kini tersenyum pada pangerannya. Zen beranjak dari meja kerjanya menuju sofa kecil yang biasa digunakan Kiki dan Mitsuhide untuk menemani Zen. Shirayuki hanya mengikutinya duduk dan menuangkan teh pada dua cangkir perak yang terlihat sangat mahal.

"Zen…sepertinya aku mengganggu ya? Pekerjaanmu menumpuk." Shirayuki meletakkan cangkir satu tepat di hadapan Zen, lalu beranjak untuk mengisi cangkir kedua. Sejenak, iris cerahnya menatap tumpukan dokumen di meja kerja pangerannya.

"A-Ah, pekerjaanku tidak sebanyak itu. Tenang saja, kau tidak pernah menggangguku, Shirayuki." Oh oh, syukurlah aku menyembunyikan beberapa kertas tidak berguna itu.

Keduanya meminum teh herbal hangat dalam diam, sesekali saling melirik satu sama lain walaupun tidak pernah saling terjalin dalam kontak mata. Masa-masa yang paling Zen nikmati adalah, masa dimana ia bisa menghabiskan waktu dengan Shirayuki seperti ini. Zen berharap suasana ini tidak akan pernah berakhir, bersama Shirayuki selalu memperbaiki moodnya yang buruk.

"Apakah tidak ada cangkir ketiga untukku?" Zen menoleh kasar dan menatap tajam pada sosok yang sudah bisa ia kenali dari suaranya. Obi melambaikan tangan jenaka pada Zen dan Shirayuki–yang kini gelagapan mencari cangkir lain–Zen hanya cemberut kesal, Obi selalu datang di saat-saat yang tidak ia inginkan.

"Jadi, ada apa?" Zen memutar tubuhnya menghadap sang pengantar pesan. Di lain pihak, Shirayuki sudah menemukan cangkir ketiga dan mulai menuangkan cairan hangat tersebut. Obi masih setia menunjukkan senyumnya seraya diri masuk melalui jendela besar ruang kerja Zen, ia menarik ujung lengan kemejanya ke atas karena gerah–sehabis berlari dan melompat dari sana ke sini.

"Mengenai kebakaran yang kemarin, sudah kuselidiki. Memang benar, sepertinya ada yang menyebabkannya." Zen langsung berdiri dari tempat duduknya, lalu menuju meja kerja miliknya dan mengambil beberapa perkamen yang ia bereskan dari mejanya tadi.

Ia kembali ke sofa duduk ketika Obi sudah berada di sana, duduk dengan manis seraya meminum teh herbal di hadapan Shirayuki. Zen harus menahan rasa kesalnya sejenak, ada masalah penting di hadapannya yang menuntut untuk segera diselesaikan. Zen membuka lebar perkamen tersebut di meja kopi–yang menarik keingin tahuan dua personil lain dalam ruangan–dan memperhatikannya baik-baik. Pangeran muda itu lalu meraih sebuah pena dan menandai beberapa titik dari perkamen tersebut.

"Peta? Zen, ini peta apa?" Shirayuki bertanya, mencoba mengungkapkan kekepoannya dalam satu kalimat singkat yang sebisa mungkin tidak membuat Zen merasa terganggu.

"Peta hutan di utara kota Wistal. Sudah ada 3 titik yang terbakar, padahal sekarang adalah penghujung musim dingin. Bukan hal yang lazim jika terjadi kebakaran di penghujung musim dingin." Obi memperhatikan titik-titik yang ditandai Zen, ada yang janggal dari titik-titik tersebut, namun Obi tidak tahu apa itu. "Pasti ada pemicunya." Zen berbicara, lebih seperti sebuah bisikan sebenarnya, namun semua orang dalam ruangan ini bisa mendengarnya dengan jelas.

Apapun itu, siapapun penyebabnya, mereka pasti merencanakan sesuatu yang buruk. Dan Obi tahu benar akan hal itu.

.

.

.

Setelah menghabiskan sisa sorenya di dalam ruang kerja Zen dengan penuh tawa, akhirnya Obi memutuskan untuk segera angkat kaki dari ruangan sang tuan dan pergi berkeliling. Ia sedang tidak ingin mengganggu Kiki dan Mitsuhide yang sedang sibuk untuk mengembalikan stok pangan istana yang agak terkuras akibat musim dingin beberapa waktu yang lalu. Kini sudah hampir memasuki musim semi, dan waktunya bagi lumbung makanan untuk dikosongkan.

Obi juga sedang tidak ingin mengganggu Shirayuki dan Ryuu-bou yang pasti juga sama sibuknya dengan Kiki dan Mitsuhide. Pergantian musim selalu menjadi waktu-waktu yang sibuk untuk klinik istana, mereka akan kedatangan banyak pengunjung yang terkena flu pergantian musim. Dan hal itu adalah hal yang cukup wajar terjadi. Maka, pilihan terakhir untuk Obi adalah berjalan-jalan ke kota atau berkeliling tidak jelas di sekitar kastil.

Dan pilihan terbaik jatuh pada jalan-jalan di kota. Setidaknya mungkin dia bisa mendapat sedikit gossip mengenai tugasnya menyelidiki penyebab kebakaran hutan.

Obi duduk di salah satu barak makan kecil yang cukup ramai di pusat kota Wistal. Setelah memesan sebuah beer dan makanan sebagai formalitas, pemuda itu mulai memasang mata dan telinganya untuk memindai keadaan sekeliling. Barak makan ini terbilang cukup ramai, berisi banyak manusia dunia bawah dan pengelana yang membutuhkan kehangatan. Obi memutar-mutar sendok di tangan dengan perlahan seraya berusaha memfokuskan diri mendengarkan berbagai percakapan yang tumpang tindih menjadi satu. Mendadak Obi merasa pusing mencoba mendengarkan suara puluhan orang dalam satu waktu yang sama, ia tidak memiliki skill sehebat itu sepertinya.

Hampir saja Obi menyerah jika saja ia tidak menangkap sebuah suara yang terlihat ganjil berada diantara kumpulan manusia ganas ini.

"–oh ya? Lalu kaupikir aku akan meninggalkan mereka di sana, tanpa memberi bantuan apa-apa? Mereka terjebak masalah, Sam." Obi menoleh kasar, mendengar suara yang tidak seharusnya berada di tempat seperti ini. Ia mendengar suara seorang gadis, dan bukanlah hal yang lazim jika ada anak perempuan yang bermain-main kemari.

"Ssstt, tolong pelankan suara anda–" Obi tidak bisa mendengar sisa percakapan mereka karena sepertinya, siapapun orang yang menemani gadis itu menyadari bahwa mereka tampil mencolok. Walaupun Obi sudah mengedarkan matanya ke sisi manapun di seluruh penjuru ruang besar ini, namun Obi tidak menemukan sumber suara. Merasa hal itu tidak cukup penting, Obi kembali mengkonsumsi makanannya dan membuka telinga untuk hal lain.

'Apakah tidak ada seseorang yang punya info menarik?' Pemuda itu memutar bola matanya kesal, mendadak ia merasa buang-buang waktu pergi kemari. Ia hampir saja beranjak dari tempatnya tanpa menghabiskan pesanannya, jika saja tidak ada pria tua yang tiba-tiba duduk di hadapannya.

"Meja ini kosong?" Obi mengangguk perlahan, cukup terkejut karena kehadiran seorang pria tua beruban dengan perawakan ganas yang luar biasa. Lelaki tua itu mengenakan baju khas nelayan pelabuhan, dengan kacamata aneh berbentuk kotak. Sebuah sabuk kulit dengan sarung pedang bertengger di pinggangnya, rambutnya yang berwarna jerami dikuncir satu berantakan dengan beberapa kepangan di sana-sini, khas lelaki lautan.

"Oy, anak muda, kau seorang pengelana? Darimana kau datang?" Obi tersentak sejenak, lalu ia menenggak beer miliknya dan menjawab pertanyaan sang pria tua.

"Ya, dari Tanbarun." Padahal jujur saja, Obi baru satu kali pergi ke Tanbarun untuk menemaninya Mistress Shirayuki, yang berujung pada sebuah insiden tidak menyenangkan.

"Tanbarun hmm...Aku salah seorang dari serikat dagang." Mereka saling tidak menyebutkan nama, dan saling mengetahui bahwa satu sama lain pastilah berbohong mengenai asal-usulnya. Sudah hal yang lumrah terjadi di sebuah barak makan dunia bawah jika seorang individu menyembunyikan identitas aslinya.

Sejenak mereka makan dalam diam, tidak saling membuka diri. Sampai pria tua itu mulai mengeluarkan sebuah kalimat–sepertinya kebiasaan di barak makan dunia bawah–yang merupakan satu-satunya hal yang tidak didustakan.

"Kau tahu anak muda, beberapa hari ini di daerah tempat kerjaku sedang terdengar sebuah gossip." Oke, Obi mulai merasa aneh. Kenapa mereka dua orang pejantan tengah bergosip ria? Namun, toh Obi tetap merapatkan tempat duduknya mendekat pada lelaki tua tersebut. "Kau pasti sudah mendengar tentang kebakaran yang terjadi di hutan utara 'kan? Yah, itu sempat cukup menganggu pekerjaanku."

Pria tua itu menenggak sebentar beernya sebelum melanjutkan kisah rumpangnya, "Kudengar mereka–yang membakar hutan itu–akan melakukannya lagi. Walaupun aku tidak tahu siapa dan apa yang menjadi motif mereka melakukannya. Dan seorang temanku mengatakan, ia mencurigai seseorang."

Obi membelalakkan matanya, boleh juga koneksi para nelayan ini. "Kau tahu siapa yang melakukannya?"

"Bukan tahu, hanya sekedar mengira-ngira." Lelaki itu berdehem sejenak, lalu melanjutkan kisahnya, "Kau pernah ingat keluarga bangsawan yang terusir dari kota? Ah, aku melupakan namanya. Anak lelaki keturunan mereka seringkali terlihat di sekitar pelabu–tempat kerjaku, dan entah kenapa ia seperti bertemu seseorang yang mencurigakan."

"Mencurigakan?"

"Yah begitulah, menukarkan uang dan entah apapun. Lelaki yang ditemui anak muda itu juga mencurigakan, ia mengenakan pakaian serba hitam dan aneh."

Obi terdiam. Ia tidak mengira akan mendapat informasi semudah ini hanya dari seorang pria tua yang sepertinya terlihat cukup jujur untuk perawakannya yang begitu mengerikan. Obi segera berdiri dari tempatnya, ia harus segera bertemu Zen dan melaporkan semua ini. Sepertinya masalah ini tidak akan sesimpel kelihatannya.

"Paman, aku pergi dulu ya. Hari sudah terlalu malam untuk seleraku."

"HAHAHAHA, kau lucu anak muda. Aku menyukaimu." Obi mengucapkan salam undur diri dan beranjak pergi, ia bisa samar-samar mendengar teriakan pria tua itu di antara kerumunan, "Aku selalu ada di sini, anak muda. Bila kau…mungkin membutuhkan sedikit bantuan."

Obi tersenyum, ia lebih dari tahu jika pria tua itu adalah anggota dewan pelabuhan. Dan pria tua itu lebih dari tahu jika Obi adalah orang dalam kastil Wistal. Dan mereka, entah kenapa menjalin sebuah rasa saling percaya yang ganjil di antara keduanya–di kali pertama mereka bertemu.

.

.

.

Obi melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, ia masih tidak bisa mendengar apapun walaupun ia merasa sudah memasuki hutan cukup jauh. Walaupun ia mengatakan harus segera melaporkan semuanya pada Zen, ia tetap saja merasa perlu untuk mengecek tempat yang sepertinya terancam bahaya terbakar. Obi mendadak berhenti ketika ia tidak menemukan lagi pohon yang mampu menjadi pijakan, segera ia memutuskan untuk turun dan berlari di atas tanah lembab. Sialnya, ia salah pijakan ketika ia mendengar suara ringkikan kuda.

BUAGH–

"Oy oy, Obi, daijobu?" Mendengar suara familiar salah satu rekan kerjanya, Obi meringis seraya mengeluarkan sebuah senyuman.

"Whoaa, Mistuhide-dono! Apa yang anda lakukan malam-malam begini dengan seekor kuda?" Obi berusaha berdiri dari pendaratan bebasnya, lututnya terasa agak sakit dan Obi hanya bisa mengumpat dalam hati.

"Zen menyuruhku menjemput seorang tamu bodoh yang terjebak masalah. Dan apa yang kau lakukan bermain-main di sini? Cepat pulang!" Obi cemberut, agak kesal walaupun ia mengerti alasan Mitsuhide menyuruhnya segera kembali ke kastil.

"Hai hai~" Obi segera kembali memanjat pohon dan pergi kembali ke kastil, sedangkan Mitsuhide pergi ke arah berlawanan untuk menyelesaikan tugasnya di tengah malam seperti ini.

Meneruskan perjalanan malamnya yang melelahkan, Obi akhirnya mencapai kastil seketika bulan sudah begitu terangnya. Ia melompati dinding kastil yang begitu tinggi, dikarenakan rasa malasnya yang berlebih jika harus menjawab pertanyaan formalitas yang diajukan penjaga gerbang–yang pastinya kini terlelap dengan cukup pulas. Ia merasakan pergelangan kakinya agak sakit akibat adegan jatuhnya ketika bertemu Mitsuhide tadi, Obi hanya bisa berharap pergelangan kakinya tidak keseleo atau apapun yang akan menghambat pekerjaannya.

Seperti biasa, Obi memilih masuk ke ruang tidur Zen melalui jendela kamar yang entah bagaimana tidak terkunci. Ia bisa melihat Zen dan Shirayuki duduk berdua di sofa yang berjarak beberapa meter dari ranjang tidur Zen. Sungguh, berapa lama sih waktu yang mereka butuhkan untuk puas berduaan? Obi tidak pernah paham dengan pola pikir mereka berdua, setidaknya Obi paham jika mereka benar-benar saling mencintai satu sama lain. Model-model cinta yang "Aku cinta dia karena Tuhan". Pokoknya cinta tulus yang tidak akan terbelokkan.

Obi tahu itu. Ya sangat tahu.

Dan karena ia tahu itulah, ia berani mengganggu mereka, "Ehem…Ehem…"

Zen menoleh dengan bibir mengerucut, khas dirinya ketika menyadari Obi yang mengganggu waktu berduaannya dengan pujaan hati. Sedangkan Shirayuki sedikit terkejut–yang selalu terjadi setiap kali Obi datang–dengan wajah memerah. "Warui na, Aruji. Sekarang ada hal penting yang anda harus dengar, saat ini juga."

Melihat wajah Obi yang terlampau serius untuk seseorang sejenaka dirinya, Zen tahu bahwa Obi datang tidak dengan tanpa alasan. Pasti ada sesuatu yang serius, dan sepertinya Zen bisa menebak apa itu. Obi menceritakan semua yang ia dengar dari mulut pria tua di barak makan hingga pertemuannya dengan Mitsuhide. Walaupun Obi tidak bertanya mengenai tamu bodoh yang dikatakan Mitsuhide, Zen juga tidak sedikitpun menyebut tamu atau apapun sehingga Obi menyimpulkan bahwa belum waktunya ia tahu mengenai tamu ini. Apakah Raj si pangeran bodoh itu? Ataukah orang lain? Entahlah Obi tidak tahu.

Shirayuki masih duduk di sofanya, tidak tahu harus bereaksi apa. Sejak tadi, Shirayuki sudah mendengar mengenai masalah ini. Ia cukup paham walaupun ia tidak bisa melakukan apapun, yang tidak ia pahami adalah kenapa harus membakar hutan? Hutan adalah sumber dari semua ilmu farmasi, dan Shirayuki secara personal sangat menyukai hutan. Hutan yang telah membantunya pergi dari Tanbarun dan membuatnya bertemu dengan Zen–orang yang paling penting dalam hidupnya. Shiyaruki tidak akan memaafkan siapapun yang sudah melakukan ini.

Zen masih sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga ia tidak memperhatikan sekelilingnya, dan Shirayuki sendiri juga terlihat tegang sehingga Obi tidak tahu harus melakukan apa. Ia memutuskan untuk duduk di pinggiran jendela dan meraih sebuah benda yang sempat membuatnya bertanya-tanya. Sebuah choker dengan bandul kupu-kupu emas yang ia temukan di luar kastil Wistant beberapa hari yang lalu. Ia mengingat ia pernah melihat choker ini, namun ia melupakan kapan dan dimana ia melihatnya. Sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah menyimpannya sampai ia menemukan pemilik asli choker ini. Obi sibuk memutar-mutar benda asing itu di bawah sinar rembulan, tanpa menyadari tatapan Zen yang menyidik melihat bawahannya.

"Obi." Pemuda itu menoleh pada tuannya dengan masih tersenyum, cukup terkejut dengan raut muka Zen yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, "Itu…Benda itu…Kau mendapatkannya dari ma–"

BRAKK–

"ZEN!" Kiki menggebrak memasuki ruang tidur Zen dengan wajah kaku, ia melihat sekeliling dan melihat Shirayuki serta Obi ada di sana juga. Seketika ia merasa lega tidak perlu berkeliling mencari Shirayuki.

"Mitsuhide sudah kembali, ia sudah menyelesaikan tugasnya." Kiki berdehem singkat sebelum melanjutkan laporannya, "Namun, ada sedikit kecelakaan yang menimpanya." Zen yang dari awal sudah berdiri langsung menegang, begitu pula Obi.

"Shirayuki, kau ditunggu di ruang pharmacist. Ada lima orang yang terluka, termasuk Mitsuhide."

.

.

.

To be continued

YEYY, tubikontinyut lagii~

Okee, kita memasuki konflik baru yuhuu~ Walaupun ini fanfic ObiXOC tapi karena Aya begitu mencintai semua karakter di Akagami no Shirayukihime, Aya tidak bisa tidak menuliskan mereka dan rasa sayang mereka satu sama lain (terutama Zen dan Shirayuki). Jadi mohon maaf pada reader sekalian yang *mungkin* merasa cukup terganggu dengan munculnya tokoh selain main point dari fanfic ini.

Well, afterall, Aya berharap kalian menikmati membaca fanfic ini seperti Aya menikmati menulisnya :'''')

Thank you untuk waktunya! Review, fave, dan follow masih dinanti~

Salam Hangat,

Nakashima Aya