Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 3 – THE FIRE

Author's POV

BRAKK–

"ZEN!" Kiki menggebrak memasuki ruang tidur Zen dengan wajah kaku, ia melihat sekeliling dan melihat Shirayuki serta Obi ada di sana juga. Seketika ia merasa lega tidak perlu berkeliling mencari Shirayuki.

"Mitsuhide sudah kembali, ia sudah menyelesaikan tugasnya." Kiki berdehem singkat sebelum melanjutkan laporannya, "Namun, ada sedikit kecelakaan yang menimpanya." Zen yang dari awal sudah berdiri langsung menegang, begitu pula Obi.

"Shirayuki, kau ditunggu di ruang pharmacist. Ada lima orang yang terluka, termasuk Mitsuhide."

Shirayuki langsung berdiri dari kursinya dengan wajah khawatir, kenapa mendadak ada seseorang yang terluka dikirim ke kastil? Apalagi pada masa-masa dimana para pharmacist sedang sibuk mengurusi semua warga yang menderita flu pergantian musim.

"Satu lagi, Zen. Ada lagi…mereka membakarnya, lagi."

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Segera setelah membagi peran masing-masing, Zen pergi menemani Shirayuki dan menemui Mitsuhide di klinik kastil. Kiki pergi menuju tempat para prajurit untuk mengkoordinasikan pengiriman bantuan menuju hutan. Sedangkan Obi, Zen menugaskannya untuk pergi ke hutan terlebih dahulu dan memeriksa siapapun yang ada di sana. Karena Zen sadar, siapapun yang mampu membakar hutan itu pastilah cukup pintar untuk tidak meninggalkan bukti yang berarti bagi penjaga istana.

Sebisa mungkin Obi mencoba untuk tidak memikirkan mereka yang terluka di kastil–termasuk Mitsuhide dan fokus pada tugasnya. Walaupun sejenak sebuah pemikiran terlintas dalam benaknya, jika saja ia memutuskan untuk tidak kembali ke kastil dan menemani Mitsuhide menjemput tamunya, apa yang akan terjadi? Mungkin saja mereka tidak terluka seperti ini, bukan? Walaupun tidak ada jaminan mereka akan kembali ke kastil tanpa luka, setidaknya jika Obi ada di sana, ia pasti bisa memberikan bantuan.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya dengan kasar untuk mengusir semua pemikiran yang berkecimpung dalam otaknya. Ia harus fokus pada apa yang ada di hadapannya sekarang, ia harus fokus. Udara dingin tidak menghambat langkah pengantar pesan Clarines itu, bahkan Obi bersyukur sekarang masih merupakan musim dingin–walaupun sudah hampir memasuki musim semi–setidaknya api yang berkobar tidak akan merambat ke sisi hutan lainnya. Kedua kakinya berlari kencang menapaki tanah lembab, ia harus segera sampai di sana, di sisi hutan utara yang kini tengah terbakar.

Obi mulai bisa mencium asap yang ditimbulkan, nyala apinya luar biasa besar dan merah. Pantas saja penduduk istana mampu melihatnya dengan begitu jelas. Pemuda itu menggigit ujung bibirnya seraya benak mulai memindset agar ia berlari lebih cepat dan lebih cepat lagi, tidak boleh ada waktu yang terbuang sia-sia.

Obi melihatnya. Ia melihatnya dengan jelas. Kobaran api itu kini berada di hadapannya, menggeliat karena udara musim dingin yang sangat tidak kontras dengan nyala api yang begitu panas.

Dan di sudut sana, seorang pria dengan pakaian serba hitam. Berdiri menatap kobaran api itu tanpa memperlihatkan ekspresi wajah yang berarti, lebih tepatnya Obi tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup topeng hitam.

Pria itu…

Lelaki yang ditemui anak muda itu juga mencurigakan, ia mengenakan pakaian serba hitam dan aneh.

Segera ia mengingat perkataan pria tua di barak makan tadi, seorang pria berpakaian serba hitam yang bertemu dengan anak bangsawan. Seseorang yang mungkin ada hubungannya dengan semua kejadian ini.

BUGH–

Obi berlari dan melancarkan sebuah tendangan tepat pada si jubah hitam yang berhasil menangkisnya menggunakan tangan kanan. Obi meringis, boleh juga reflektivitas orang ini. Sekali lagi Obi mulai menghujani pria itu dengan serangan demi serangan yang entah bagaimana selalu berhasil ia hindari dan ia tangkis. Seringai masih terlihat di wajah tampan Obi ketika ia melancarkan satu persatu tendangan dan pukulan. Anehnya, pria di hadapannya ini hanya menghindar dan menangkis serangannya, tidak sekalipun mencoba menyerang Obi. Hal itu membuat sang pemuda mata kucing merasa kesal.

"Oy oy, bisakah kau sedikit serius?" Obi mencoba memancing pria hitam itu dengan sebuah seringai konyol. Namun, sepertinya lelaki itu tidak terpengaruh sama sekali. Ahh, membuat Obi semakin kesal saja.

DRAPP–DRAPP–DRAPP–

Mendengar suara langkah kaki berkuda yang terdengar dari arah selatan hutan menyebabkan sang pria hitam tidak fokus menghadapi Obi. Melihat kesempatan itu Obi langsung melayangkan sebuah pukulan tepat pada pipi kanan sang pembakar hutan. Pria itu terhuyung sejenak kebelakang dan menabrak sebuah pohon yang sudah agak menghitam, Obi sepertinya sudah tidak tahan lagi dengan asapnya dan ia hanya bisa berharap semoga bantuan segera datang. Pria berjubah hitam itu segera mengembalikan kesadarannya, topengnya yang sama hitamnya terlihat pecah dan terlihat darah yang keluar dari sana. Obi menyeringai senang karena usahanya melukai pria ini akhirnya berhasil. Namun, belum sempat ia melayangkan pukulan kedua pria itu sudah berlari jauh menembus asap tebal kebakaran hutan, dimana Obi tidak mungkin menjangkaunya. Setidaknya tidak untuk saat ini.

DRAP–DRAPP–

"Obi!" Ya, Obi bisa mendengarnya. Suara Miss Kiki dari kejauhan, ia bisa mendengarnya dengan jelas.

'Are? Kenapa?' Namun terlambat, Obi sudah menghirup terlalu banyak gas beracun ini.

BRUKK–

"OBI!"

.

.

.

"…bi? Obi?"

Aku mendengarmu, Aruji. Sebentar lagi, sebentar saja.

"Obi? Obi?"

Ah, Ojou-san juga…Kenapa kalian memanggilku?

"Obi? OBI!" Pemuda bermata kucing itu terlonjak dari tidurnya dengan begitu cepat dan terburu-buru. Menyebabkan sebuah rasa nyeri pada kepalanya dan tenggorokannya yang tercekat. Ia melirik ke sisi kanan dan kirinya, ada Zen dan Shirayuki, bahkan di sudut sebelah sana ada Kiki dan Ryuu-bou. Nafasnya terasa begitu pendek dan entah kenapa ia merasa seluruh tubuhnya nyeri tidak karuan. Memangnya apa yang terjadi padanya? Bukankah ia pergi ke hutan untuk mengecek kebakaran, lalu ia bertemu pria hitam itu dan melawannya…Pria hitam itu!

"Dia…Lelaki itu…Bagaimana dengan pria berjubah hitam itu?" Obi to the point, Zen langsung berdehem sebelum mendorong Obi agak kasar agar ia berbaring lagi, lalu menjawab pertanyaannya, "Dia kabur, seperti yang sudah kita kira ada seseorang di balik semua ini. Dan pria itu punya hubungan dengan siapapun yang menyebabkan kebakaran ini."

Obi mengepalkan tangannya untuk menahan amarah, ia membiarkan seorang kriminal lolos dari genggamannya–walaupun ia sendiri juga tergolong seorang kriminal, setidaknya dulu ia adalah orang dunia bawah. Dan hal itu adalah salah satu dari sekian hal yang paling dibenci Obi. Kenapa juga ia harus pingsan di saat yang tidak tepat?

"Obi, kau harus beristirahat dulu. Kau menghirup terlalu banyak asap kebakaran yang menyebabkan efek racun dalam tubuhmu. Ryuu sudah menetralkan racunnya, tapi tetap saja kau masih butuh banyak istirahat." Shirayuki yang duduk di sebelah Zen berujar dengan senyum manis di bibir. Obi tidak habis pikir, padahal sekarang sedang masa-masa sibuk, lalu kenapa semuanya berkumpul di sini hanya untuk menunggu dia siuman dari pingsannya?

Benak sang pemuda berkeliaran tidak jelas, ia memikirkan siapa orang berpakaian serba hitam yang kemarin malam ia temui. Jarang sekali Obi menemukan seseorang yang bisa bertarung dengan tangan kosong setara dengan Obi dan hal itu membuatnya penasaran setengah mati. Belum lagi motif pria itu membakar hutan yang sungguh masih terasa abstrak di benaknya.

Tok Tok–

"Apa sih yang kau lakukan di sini? Sudah kubilang biarkan aku masuk."

"T-Tunggu dulu. T-Tapi, di dalam masih agak err rumit…sebaiknya anda menunggu dulu."

Semua manusia dalam ruangan menoleh secara bersamaan pada pintu kayu yang kini berbunyi nyaring secara dua kali tersebut. Disusul suara dua orang manusia yang sepertinya tengah berselisih paham layaknya pasutri yang baru pertama kali berbeda pendapat.

"Biar aku yang membukakan." Ryuu yang merasa tidak melakukan apa-apa, memutuskan untuk menjadi sedikit berguna dengan membukakan pintu tersebut–yang jaraknya cukup jauh dengan tempat mereka berkumpul sekarang. Kedua kaki kecilnya melangkah perlahan menuju pintu dengan masih menatap pada Obi, sosok yang biasanya dengan ceria menggendongnya kesana-kemari kini malah terbaring di ranjang klinik–walaupun masih dengan senyum di bibir.

Semua kembali sibuk berbincang dengan Obi ketika suara pintu terbuka secara perlahan. Ryuu harus terkejut melihat siapa yang kini berada di depan pintu, sosok seseorang yang belum seharusnya bergerak bebas. "Mitsuhide-san?"

Ryuu membuka pintu lebar-lebar, dan membiarkan Mitsuhide masuk. Lelaki itu memasuki ruangan dengan cengiran khasnya di bibir. Ia sudah mendengar berita mengenai Obi yang pingsan, dan ia ingin segera menjenguknya, bagaimanapun juga Obi adalah salah satu rekannya yang begitu berharga. Toh seperti yang ia kira, semua sedang berkumpul di sini. Seorang manusia lain melongok dari balik bahu lebar Mitsuhide, kedua netranya berkeliling memindai ruangan untuk mencari sosok yang sedari tadi ingin ia temui.

"Ketemu! ZEN!" Ia berlari tepat sebelum Mitsuhide berhasil mencekalnya, padahal ini saat-saat yang begitu krusial dan orang yang istirahat di dalam sana baru saja siuman. Dan tamu ini sudah berani mengganggu dengan berteriak keras-keras di dalam ruangan.

"Zen, kau harus ikut aku sekarang. SE-KA-RANG!"

"Oy oy, kau belum seharusnya beranjak dari ranja–"

"AH!" Obi menutup mulutnya, merasa tidak enak hati sudah memotong tuannya yang tengah berbicara. Sang tamu menoleh singkat pada sosok yang kini terbaring lemah terbalut selimut. Kedua iris matanya terbelalak aneh sekaligus kesal karena mendapati sosok yang sebenarnya tidak begitu ingin ia temui untuk kedua kalinya. Sejenak, Obi merasa agak direndahkan dengan ekspresi wajah gadis di hadapannya ini.

"KAU?!" Mereka berkata dalam satu waktu yang sama, seraya jari telunjuk saling menodong satu sama lain. Dan bisa dilihat, kelima orang lainnya dalam ruangan hanya menaikkan alis, tanda kebingungan akan apa yang terjadi saat ini.

.

.

.

"J-Jadi…kau bertemu dengannya…ketika menjalankan tugas ke kastil Wistant?" Zen mengerutkan dahinya–kini sudah duduk di kursi yang disiapkan Mitsuhide–dengan jari telunjuk yang baru saja menunjuk dua individu khusus dalam ruangan ini. Tidak sekalipun Zen berpikir bahwa Obi akan menemuinya di sana, lagipula tamunya ini bukanlah orang yang suka menunjukkan diri dan beramah tamah pada orang lain. Apalagi pada pemuda yang tidak terlalu kelihatan jujur seperti Obi.

"Ya, Aruji. Aku bertemu dengannya di kota. Dia membuat keributan, kau tahu. Aku sampai harus membereskan beberapa bajingan di sana." Obi bicara dengan nada bahagia, entah kenapa moodnya mendadak membaik. Padahal beberapa waktu yang lalu moodnya begitu buruk, ketika ia mendengar kabar si pria hitam yang berhasil kabur. Sedangkan sang gadis, kini mulutnya terbuka lebar dengan ekspresi ketakutan terlukis indah di wajahnya.

"A-AAA! A-Apa ya-yang kau k-katakan?" Gadis itu, Leva segera berlari ke sisi ranjang dan membekap mulut manusia bermata kucing di sana. Oh sungguh, mau sampai kapan pemuda ini menghancurkan ketentraman hidupnya?

"Ehem, ehem. Leva, apa yang kau lakukan di luar kastil hah?" Mendadak Leva bergidik ngeri, dia melirik ke arah Zen yang kini berhiaskan aura gelap, seakan menemukan sesuatu yang sangat luar biasa. Bahkan, Leva bisa melihat efek tulisan 'ha ha ha' yang mengerikan di sekeliling sang pangeran. "Apa yang akan terjadi jika aku mengatakan ini pada Yang Mulia, ya?"

Masih dengan kedua tangan membekap mulut Obi, Leva menggeleng cepat dan membalas perkataan Zen, "Tidak tidak, kau tidak akan berani melakukannya."

"Oh ya? Aku akan mengirim surat sekarang juga."

" . . Mulia."

"Kalau begitu aku akan mengatakannya pada kakak."

"TIDAK! Tidak pada Izana-sama!"

"Anoo…mau sampai kapan kalian seperti ini?"

Zen dan Leva menoleh cepat pada Mitsuhide, keduanya menatap tajam sang kesatria yang tidak tahu letak kesalahannya. Shirayuki hanya tertawa di samping Zen sedangkan Kiki menepuk pundak Mitsuhide dengan penuh rasa kasihani.

"Ehem, ehem. Yah sudahlah, maaf sudah bersikap agak kurang sopan." Leva melepaskan kedua tangannya dari mulut Obi yang kini berusaha sekuat tenaga menyerap oksigen di sekitarnya. Diam-diam Zen ingin mengatakan bahwa ia bukan hanya kurang sopan, namun sangat tidak sopan. Namun ia mengurungkan niatnya sebelum terjadi perang selanjutnya. "Namaku Levanthine Wisteria. Putri kedua dari Oscar Wisteria. Singkatnya, aku sepupu Zen."

"EH? E-EEEEEH?" Obi berteriak histeris, tidak mau setuju dengan fakta bahwa orang yang pernah ia manfaatkan untuk menyelesaikan tugasnya di kota Wistant adalah anggota keluarga kerajaan.

.

.

.

Malam itu, setelah Obi merasa baikan dan Mitsuhide berhasil membujuk Shirayuki agar ia boleh keluar dari klinik, diadakan sebuah rapat kecil di kamar tidur Yang Mulia Kanjeng Gusti Pangeran Zen. Yang berisi Zen Wisteria, Levanthine Wisteria, Kiki Seiran, Mitsuhide Louen, dan Obi. Tentu saja, Zen ingin mengajak Shirayuki kemari, namun apa daya pekerjaannya sedang menumpuk dan Zen tidak ingin membebaninya lebih jauh lagi. Ingin rasanya Zen mengutuk siapapun yang menciptakan virus flu pergantian musim yang membuat klinik istana menjadi sangat sibuk akhir-akhir ini.

"Aku kemari bersama lima orang penjaga, tiga diantaranya kini masih terluka dan berada di klinik, yang satu lagi mungkin menemani mereka. Namun, salah satunya menghilang malam itu." Leva menundukkan wajahnya, tidak mau menerima kontak mata dengan siapapun di ruangan ini, terutama dengan bocah aneh bermata kucing yang ternyata adalah salah satu bawahan Zen. Oh sungguh, takdir sudah benar-benar mempermainkannya.

Ia mengambil nafas sejenak sebelum melanjutkan kisah panjangnya, "Awalnya ketika kami melewati hutan utara, Sam–pengawalku yang hilang–mengatakan ia melihat sesuatu di kejauhan, dan ia meminta dua orang bawahannya untuk mengecek sementara Sam dan dua pengawal lainnya akan menemaniku segera ke kastil. Namun, karena mereka tak kunjung kembali walaupun kami telah lama menunggu mereka di sebuah barak makan kotor akhirnya aku meminta Sam untuk kembali memeriksa mereka."

"Sam menyanggupinya, ia mengirim seorang bawahan lain untuk naik kuda menuju ke sini. Dan Zen mengirimkan Mitsuhide-san untuk menjemputku sementara aku, Sam, dan pengawal satunya pergi menjemput mereka. Namun, ketika kami bertemu Mitsuhide, kedua pengawal yang pergi mengecek kembali dengan kudanya, mereka tidak terluka namun terlihat ketakutan. Dan di saat yang sama, Sam menghilang, aku tidak merasakan ia berada di manapun. Dan tanpa sadar, beberapa waktu setelah itu, hutan sudah penuh dengan api dan yang bisa kami lakukan hanyalah berlari. Tanpa mencoba menemukan Sam." Sebuah hembusan nafas lolos dari bibir sang gadis ketika ia menyelesaikan ceritanya. Zen mengangguk mengerti, sedangkan seisi ruangan lainnya tidak terlalu berekspresi dan mengeluarkan komentar apapun tentang cerita ini. Hal seperti kehilangan salah satu bawahan bukanlah hal yang mudah dikomentari, Obi tidak bisa membayangkan bagaimana jika suatu hari nanti Zen kehilangan salah satu dari Kiki atau Mitsuhide. Tentunya hal itu akan sangat menyiksa Zen. Dan pemuda itu tahu jika itulah yang dirasakan gadis muda ini sekarang.

"Ja, kau–anda ingin kami pergi mencarinya?" Obi yang masih bersandar pada pinggiran rak buku tinggi di ruang tidur Zen kini mengeluarkan suara. Bukan dengan nada main-mainnya yang biasa ia keluarkan, ia serius tentu saja, jika gadis itu–sang tuan putri–mengatakan bahwa dirinya ingin mereka pergi mencari Sam, maka Obi akan pergi saat itu juga. Obi cukup percaya diri dengan kemampuan melacak jejaknya.

Leva menautkan alisnya seraya kedua iris kaca menatap lurus pada lawan bicaranya, merasa agak tersinggung dengan cara bicara Obi yang seolah merendahkannya. Ia mengambil nafas sejenak sebelum menjawab, "Tidak. Aku tidak meminta kalian mencari, aku yang akan pergi mencari bawahanku sendiri. Dia bawahanku, dan dia tanggung jawabku." Leva berdiri dari tempatnya kini duduk, merasa tidak lagi dalam mood untuk melanjutkan diskusi ini. Lagipula ia memang masih seharusya berada di klinik istana, luka-lukanya masih terasa nyeri walaupun ia adalah satu-satunya yang lolos tanpa satupun luka bakar ketika kabur dari api hutan tadi.

"Aku bisa pergi ke ruanganku sendiri, aku masih mengingat jalannya." Leva mengeluarkan suara seketika ekor matanya menangkap Mitsuhide yang sudah sigap mengikutinya dari belakang. Diurungkan niat tersebut oleh sang kesatria dan ia kembali berdiri di samping Kiki.

Krieett–

Suara pintu berderit membuat seisi ruangan bungkam seraya menatap kepergian sang tamu istana, Leva membungkuk sejenak sebelum akhirnya menghilang di balik gelapnya lorong kastil tengah malam. Leva tidak perlu seorangpun untuk menemaninya kembali ke ruangan untuk tamu, toh ruangannya selalu sama di kastil ini. Masih sama semenjak tiga tahun yang lalu.

Obi melirik pintu berat yang kini telah tertutup itu dengan masih memasang wajah serius, ia tidak terlalu suka pada gadis itu. Seorang gadis bodoh yang tidak bisa sadar akan batasan dirinya. Orang-orang seperti itu, selalu menjadi orang yang terluka paling awal. Obi tahu itu, karena itulah yang selalu terjadi di lingkungan asalnya.

"Aruji, apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"

"Tidak juga. Lagipula, Leva bukanlah gadis yang akan merengek meminta bantuan. Walaupun kakakku tidak akan pernah membiarkan ia keluar kastil tanpa penjagaan."

Mendadak Obi mengingatnya, benda itu, yang ia pungut beberapa minggu yang lalu. Haruskah ia mengembalikannya?

.

.

.

To be continued

ANNNDDDD MEREKA AKHIRNYA BERTEMU TADAAA~

Pasti tertebak sekali ya haha xD ofc lagipula saya tidak terlalu menitikberatkan plot-twist di chapter ini. Dan memang, chapter ini agak boring, kurang action and plotnya agak berantakan hhhh. Tapi overall, saya janji chapter depan akan ada kemajuan plot, point of view juga akan agak bergeser ke si OC, toh 3 chapter ini pov selalu ada di tangan Obi kan yhaha :3

Oiyaa untuk balasan review Guest-san: Terima Kasiiih sudah menantikan chapter ini, AAA Aya terharu ada yang menotis(?) fanfik ini :'')

Well, afterall, semoga reader sekalian masih menikmati fanfic ini yhaa! Thank you sudah meluangkan waktunya untuk membaca fanfic abal sangadh ini, laff u all 3

Mind to review?

Salam Hangat,

Nakashima Aya