Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 4 – LEAD US, MISS!
Author's POV
Gadis itu memandang semu melalui jendela besar kamarnya, nafasnya terasa tidak teratur dan rasa sakit masih terus menerus bersarang di sekujur tubuhnya. Walaupun ia sudah berganti baju dengan gaun tidur yang tipis, entah kenapa ia masih bisa merasakan panasnya api hutan beberapa waktu yang lalu. Bayangan dimana ia berdiri di tengah pepohonan tinggi yang terbakar masih saja terlintas di benaknya, bagaimana semua pengawalnya lari kalang kabut mencoba melindunginya dari lahapan api dan jatuhan ranting panas. Mereka semua sakit, terkena panasnya api secara langsung dalam usaha melindunginya dan menyebabkan kulit mereka melepuh. Bahkan mereka semua menghirup asap racun yang sama dengan yang ia hirup, yang sampai kini masih menyebabkan tenggorokannya terasa sangat kering dan tercekat.
Sam.
Ia tidak bisa membayangkan, Leva tidak bisa membayangkan, jika ia tidak bisa menemukan Sam, jika Sam benar-benar menghilang dari hidupnya.
Jari-jemarinya yang panjang dan lentik mencoba meraih bagian belakang lehernya, ia singkirkan helaian rambut merah muda pucatnya yang begitu mengganggu dan menyentuh kulit bagian belakang lehernya yang dingin, mencari-cari benda yang seharusnya ada di sana namun kini telah naas tanpa bekas. Gadis itu hampir saja tidak menyadari seketika buliran bening mulai menetes jatuh dari kedua netranya yang menatap lurus pada bulan purnama di luar jendela.
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Tap… Tap… Tap…
Suara langkah kaki cepat menyusuri lorong terdengar sangat nyaring. Kedua tangannya yang bebas, mengangkat gaun panjang itu hingga mata kaki. Pagi ini, Levanthine Wisteria, baru saja menyelesaikan sarapan paginya yang begitu menyenangkan dan harus segera memenuhi panggilan penguasa kastil dengan terburu-buru. Gadis berusia akhir 18 itu mengerucutkan bibirnya kesal, kenapa ia harus mengenakan rok panjang mengesalkan ini? Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya, Leva menyenangi sesuatu bernama rok, apalagi yang panjang dan berenda.
BRAKK–
"Izana-sama, saya hadir menghadap." Setelah kedua pintu dibukakan lebar-lebar oleh penjaga setempat, Leva memasuki ruang kerja Pangeran Izana–tempat yang selalu mampu menjatuhkan mood seorang Zen Wisteria–dan membungkuk dengan anggun di hadapan sang pangeran.
"Ah, Leva! Aku bersyukur kau sampai di kastil dengan selamat, walaupun aku harus meminta maaf karena tidak mampu bertemu denganmu secepatnya seketika kau datang."
"Tidak apa-apa, Izana-sama. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya."
"Kau sudah bertemu Zen…dan gadisnya?" Leva tertahan sejenak, gadisnya? Sejak kapan Zen memiliki pacar? Benaknya mengingat-ingat apa yang ia lihat kemarin, sejak kemarin hanya ada Kiki dan dirinya di diskusi malam. Dan yang sebelumnya, ada seorang anak lelaki kecil yang mengobatinya dan asistennya yang bersurai merah. Apakah gadis itu? Siapa namanya? Shiraishi?
"S-Sepertinya sudah, Izana-sama." Izana tertawa, namun tidak memberikan balasan untuk kalimat Leva, dan Leva sendiri tidak berniat untuk memperpanjang obrolan aneh ini.
Sejenak keduanya hanya diam, merenungi apa yang ada di benaknya masing-masing. Izana menatap jauh menuju ke luar jendela besar kastil, seperti yang selalu ia lakukan di waktu-waktu seperti ini. Kedua netranya menangkap burung-burung berwarna biru yang dengan indahnya terbang di langit musim semi. Ya, benar sekali. Hari ini, resmi sudah berakhir musim dingin, dan merupakan hari pertama musim semi.
Leva hampir saja undur diri ketika mendadak Izana berdehem, membuat gadis itu sedikit terkejut. "Leva," Izana memutar tubuhnya, kini irisnya menatap lurus pada sosok sang gadis, "Maaf, karena kau harus mengalami semua itu."
Leva tidak suka ini. Leva tidak pernah suka ketika Izana mengungkit-ungkit semua ini. "Semua itu…sudah tidak ada pengaruhnya padaku, Izana onii-sama."
Tanpa mengatakan salam apapun, Leva membungkuk formal dan segera mengangkat gaunnya–pergi dari ruangan ini sebelum Izana mengungkap kejadian itu lebih dalam lagi.
'Kemanapun…'
Entah, bahkan Leva sendiri tidak tahu kemana kini kedua kaki kecilnya itu tengah membawa dirinya pergi. Toh ia sendiri tidak peduli kemanapun kini ia pergi, yang penting jauh dari jangkauan orang lain, dan kalaupun ia tersesat ia yakin bisa kembali. Leva cukup percaya diri dengan kemampuan mengingatnya, ia hafal kastil ini luar dalam–seharusnya jika ia menghafal dengan baik saat pelajaran kenegaraan dulu.
Tanpa sadar, kini gadis itu sudah berada di salah satu hutan dalam kastil–yang biasanya digunakan untuk tempat pelatihan kuda para prajurit. Ia menarik gaunnya dengan kasar dan duduk di bawah sebuah pohon, ia masih bisa merasakan dinginnya rerumputan yang kini tengah menjadi pijakannya. Pohon yang ia sandari juga terlihat masih sedikit tertutupi salju di sana-sini, membuatnya sedikit tidak nyaman. Namun, ia mengesampingkan semua itu dan menarik kedua kakinya hingga ke depan dada. Leva menumpu kepalanya dengan kedua lutut, netranya menatap jauh ke sisi lain hutan yang memperlihatkan bangunan kastil yang begitu tinggi dan megah.
Ini tidak seperti ia bersikap pengecut, hanya saja terlalu banyak hal yang berkecamuk di benaknya sehingga ia merasa agak kurang enak badan. Dan berada di dekat orang lain hanya akan membuat dirinya merasa lebih buruk. Bagaimanapun juga, sejak dulu Leva selalu menyukai kesendirian yang tenang dan aman. Tidak akan ada yang bisa menyakitinya jika ia sendirian. Leva adalah gadis bodoh, temperamental, dengan bibir yang luar biasa kurang ajar untuk ukuran seorang tuan putri. Meski bukan tuan putri asli, setidaknya ia masih memiliki darah kerajaan sehingga tetap saja ia dianggap seorang tuan putri. Hidup di kastil mungkin bukanlah kehidupan yang ia inginkan, terutama menjadi salah satu formalitas kerajaan di kastil Wistant tanpa alasan yang jelas, sungguh membuatnya muak. Bukan berarti Leva membenci keluarga kerajaan, toh ia sendiri termasuk salah satu anggota keluarga kerajaan, yang tidak ia suka adalah adat yang mengikat para bangsawan istana.
Leva membenamkan kepalanya pada celah di antara kedua lutut dan dadanya, merasakan kegelapan yang menyergap setelah ia menutup matanya dan diam, membiarkan isi pikirannya mengambil alih kontrol tubuh untuk sementara waktu. Tanpa ia sadari, bahwa sebenarnya sudah ada makhluk lain yang menempati tempat itu tepat sebelum dirinya datang. Naasnya, sang makhluk yang lebih dulu sampai telah kehilangan waktu yang tepat untuk menampakkan diri dari dalam kegelapan seketika sang gadis mulai terisak dengan sendirinya. Senyum miris tersungging di bibir seketika ia–manusia yang kini tengah bersembunyi itu–kembali memposisikan diri agar Leva tidak menyadari eksistensinya di tempat yang sama.
Obi namanya. Pemuda yang kini tengah bersembunyi di tengah kegelapan, di balik lebatnya dedaunan awal musim semi. Kini dirinya tengah duduk bergelantung di pohon besar dimana Leva tengah berdiam diri, duduk sambil merenungi nasibnya. Sinar matahari pagi masih bersinar samar-samar, cahayanya tidak cukup terang untuk membuat Leva menyadari ada orang lain yang kini berada di atasnya. Obi tidak tahu apa yang terjadi pada gadis angkuh, bodoh, dan menyebalkan itu hingga ia bisa memperlihat emosi seekstrim itu seketika tidak ada orang lain di sekitarnya. Akan menjadi sebuah kebohongan jika Obi mengatakan ia tidak ingin tahu, namun Obi sadar jika mencari tahu hal yang bukan wewenangnya adalah sebuah kekurang ajaran yang luar biasa. Dan Obi tidak terlalu suka ikut campur urusan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan dirinya–sama halnya dengan ia tidak suka ada orang lain yang ikut campur urusannya.
Mendadak Obi mengingat benda aneh berkilau yang dipungutnya di dekat gerbang kastil Wistant beberapa pekan lalu. Tangan kanannya meraba saku celana untuk mencari sebuah choker dengan bandul kupu-kupu berwarna emas yang sudah beberapa hari terakhir ini bersarang di tempat yang sama. Jemarinya yang terampil menarik benda tersebut keluar dari kegelapan saku celana dan memandanginya dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Obi tidak tahu apa spesialnya benda aneh ini, namun yang pasti sesuatu pada benda ini menarik rasa ingin tahunya begitu dalam. Jika Obi benar, benda ini pasti milik gadis aneh yang kini tengah terduduk merana di bawahnya. Namun, kenapa benda ini berada di kastil Wistant? Kenapa gadis itu menyembunyikan bandulnya yang begitu indah? Kenapa gadis itu mengenakan benda itu dengan cara yang salah? Kenapa…kenapa ekspresi tuannya ketika melihat benda ini begitu…tidak biasa?
Memang benar jika Obi bukanlah orang yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, namun sungguh dia membutuhkan jawaban untuk benda yang satu ini. Dan dia akan mendapatkannya, pasti.
.
.
.
Trangg–
"Sepertinya cukup sampai sini, Kiki." Kiki menyeka keringat yang mulai turun dari pelipisnya, terus menuju bagian samping pipi kirinya yang memerah karena rasa lelah. Mitsuhide memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung pedang sementara nafasnya masih terlihat terengah-engah. Keduanya baru saja menyelesaikan sparring mereka yang kesekian kalinya, sebagai rutinitas harian mereka di kala ada waktu luang. Zen sedang tidak ingin diganggu sehingga mereka berdua terpaksa keluar dari ruang kerja dan pergi berlatih daripada harus berdiri seperti orang kurang kerjaan di depan pintu besar ruang kerja sang pangeran muda.
Kiki berjalan menuju pinggir lantai barak latihan dan mengambil handuk bersih yang sudah ia persiapkan sebelum latihan dan menyeka keringat yang menumpuk di wajah ayunya. Setelah merasa cukup, Kiki melemparkan handuk yang baru saja ia pakai pada Mitsuhide yang dengan gelagapan menerimanya dengan wajah memerah. "Gunakan sisi yang satunya jika kau merasa jijik."
Tidak menghiraukan Mitsuhide yang kini tengah meracau tidak jelas, sang kesatria wanita tengah menenggak air mineral dari botol dengan agak terlalu cepat, bahkan Mitsuhide takut jika gadis itu akan tersedak nantinya. Namun, Mitsuhide terlalu memikirkan ia yang kini menggunakan handuk Kiki untuk sekedar mengingatkan Kiki agar tidak meminum airnya terlalu cepat.
"Hey, menurutmu…bagaimana tentang kebakaran itu?"
"Bagaimana? Bagaimana apanya?"Ah, Kiki lupa jika partnernya ini agak lambat dalam urusan berpikir.
"Ah sudahlah lupakan saja." Kiki berjalan menjauh, meninggalkan Mitsuhide yang masih terdiam dan memutar otaknya untuk mengolah pertanyaan Kiki. Pria itu tidak paham apa maksud Kiki, sebenarnya apa yang ditanyakan Kiki? Pelaku kebakaran? Penyebab kenabakaran? Atau hal lain? Bukankah wajar jika Mitsuhide kebingungan dengan pertanyaan ambigu seperti itu.
Masih dengan wajah tertekuk dan nafas yang terengah-engah, Mitsuhide merasakan bahu kirinya ditepuk halus oleh seseorang–yang ia kira adalah Kiki. Wajah tampannya semakin tertekuk kesal seketika ekspektasi tingginya dijatuhkan secara luar biasa. Bukan Kiki yang kini berdiri di hadapannya, malah bocah bermata kucing dengan senyum miring yang sungguh membuat Misuhide kesal tujuh turunan–kini tengah melambaikan tangan padanya.
"MItsuhide-dono~ Kiki-jou~ Selamat sore," Obi berteriak cukup keras agar Kiki mendengarnya, sang gadis melirik singkat pada pemuda itu dan memutuskan untuk berjalan mendekat. Mungkin Obi butuh sesuatu, walau sebenarnya Kiki meragukan hal tersebut, toh Obi hobi bermain-main dan menggoda orang lain, terutama Zen.
"Ada apa, Obi?" Cengiran khas masih terpatri di bibir, tangan kanan meraba saku celana untuk mencari sebuah benda tertentu. Obi tidak suka basa-basi, maka ia akan mengerjakan pekerjaannya secara cepat dan tepat, tanpa diberi imbuhan model apapun. Dan itulah yang kini ia lakukan.
Dengan cepat jemari tangan sebelah kanan mengangkat sebuah choker dengan bandul indah tepat di depan wajah, menyebabkan dua orang partnernya cukup terkejut untuk menyadari benda apa yang dipegang oleh Obi. Terkadang Mitsuhide tidak paham dengan pola pikir Obi, kenapa juga ia harus jauh-jauh kemari hanya untuk menunjukkan mainan barunya pada mereka?
Obi masih mengangkat benda misterius itu tinggi-tinggi tepat di depan mukanya dengan masih tidak melupakan senyum lebar di wajah. Kiki di sisi lain mengamati benda itu baik-baik, ia tahu ia merasa familiar melihatnya, benda itu. Namun, tidak ada satupun yang terbesit di pikirannya mengenai hal itu, tidak satupun. Kiki tahu benda yang dipegang Obi pasti memiliki suatu arti, sayangnya ia tidak mengetahui hal itu. Kiki juga tahu bahwa Obi menunjukkan benda itu bukan untuk main-main, pastilah Obi tahu ada maksud tersembunyi dari keberadaan benda aneh itu.
"Apa-apaan kau ini, Obi? Kenapa kau memamerkan benda itu pada kami?" Mitsuhide tertawa di sela-sela kalimatnya.
"Mitsuhide-dono tahu ini apa?"
"Itu family crest." Mitsuhide menjawab singkat. Ia tidak tahu bagaimana Obi bisa menemukan benda itu, namun yang pasti bandul pada choker tersebut adalah sebuah lambang keluarga walaupun Mitsuhide sendiri tidak ingat itu lambang keluarga mana. Obi tidak pernah tahu mengenai lambang keluarga, toh dia lahir dan hidup di lingkungan non-bangsawan, wajar sekali jika dia tidak tahu-menahu mengenai formalitas seperti ini.
"Family crest?" Seketika Kiki merasakan sengatan aneh pada otaknya, seberkas memori muncul pada benaknya walaupun samar. Kiki tahu pasti ada makna di balik benda itu.
"Vyriae. Itu family crest milik bangsawan Vyriae." Mitsuhide terdiam. Ia ingat, ia mengingat semuanya. Tentang lambang keluarga itu. Tentang kisah yang diceritakan pada malam-malam kelam saat hari-harinya di barak kesatria. Tentang sebuah nama yang kini telah dihapuskan dari sejarah Clarines.
.
.
.
Hari ini udara sungguh dingin menusuk.
Namun, bahkan desiran angin malam tidak mampu memperbaiki suasana hati Levanthine yang kini tengah berdiri menatap hamparan bintang di beranda kamarnya. Ia memang bukanlah gadis yang terlampau ceria–atau terlampau suram–namun menjadi pendiam selama seharian penuh bukanlah hal yang wajar terjadi pada dirinya. Kedua tangan memeluk erat tubuhnya dan menarik lembut syal hangat yang menutupi sebagian besar bahu dan punggungnya. Dengan beberapa kejadian beruntun yang terjadi belakangan ini padanya memupuk sebuah emosi dalam dirinya hingga sebesar yang kini bisa Leva rasakan. Kedua iris sebening kaca miliknya menatap lurus pada hal yang tidak bisa dilihat orang lain selain dirinya, memori dan kenangan. Memori mengenai banyak hal yang kini berkecamuk dalam otaknya.
Benaknya sedang berkelana jauh, begitu jauh dari kenyataan dimana ia berdiri sekarang. Jauh menuju tempat dan waktu yang kini tidak akan pernah bisa ia gapai lagi, sekeras apapun ia berusaha menggapainya. Bahkan hingga di titik ia tidak menyadari suara gedoran pintu dan teriakan pengawal istana dari balik pintu kayu pembatas ruang pribadinya dengan lorong panjang kastil Wistal.
BRAKK–
Leva terjengkal ke belakang, beberapa centimeter.
Terkejut dengan suara keras yang secara begitu mendadak memasuki gendang telinganya, meninggalkan bunyi degupan jantung yang berlebihan dan rasa kesal yang memuncak di atas kepala. Merasakan ada seseorang yang begitu kurang ajar membanting pintu menuju ruang pribadi seorang tuan putri sepertinya memaksa kedua kaki untuk berjalan menjauh dari dinginnya udara malam, memasuki kehangatan suhu ruangan dalam yang terpengaruh api dari perapian.
Sebenarnya Leva tidak perlu mengecek siapa yang melakukan perbuatan biadab tersebut, toh hanya ada satu orang di kastil ini yang berani berlaku seperti itu padanya–bahkan Izana tidak akan melakukan hal sekurang ajar itu pada Leva, toh Izana selalu tahu tata krama. Maka ia tidak akan terkejut jika melihat siapa yang kini duduk dengan begitu santainya di sofa tamu ruang tidur Lady Levanthine Wisteria dengan beberapa pengawal dan seorang gadis farmasi.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Jujur saja, Leva tidak suka dengan mereka. Zen dan seluruh kawanannya. Mereka semua baik, Leva tahu itu, bahkan Leva juga tahu jika Zen adalah orang baik. Namun, hanya saja dia tidak cocok dengan mereka. Leva menyukai kesendirian, hanya dia, dirinya, dan musik yang mengalun kala jemarinya memetik dawai gitar. Sedangkan mereka adalah contoh faktual dari indahnya kebersamaan, dan hal itu terlalu menyilaukan untuk selera Leva. Maka dari itu, sebisa mungkin Leva berusaha untuk tidak melakukan kontak fisik secara berlebihan dengan satu persatu personil 'Zen and the geng'.
Zen tidak menjawab, begitu juga yang lainnya–toh mereka adalah pencerminan dari Zen. Sehingga mau tidak mau Leva ikut duduk dan menunggu pemuda itu mengeluarkan beberapa patah kata. Namun hal selanjutnya yang dilakukan Zen malah semakin membuat Leva kebingungan, pemuda itu membuka sebuah perkamen tua, sebuah peta. Dalam sekali lihat Leva tahu jika itu adalah peta hutan, pertanyaannya adalah hutan yang mana? Dan jawaban itu datang secepat asal pertanyaan terbesit di otak.
"Hutan utara?" Leva menaikkan salah satu alisnya, nada kata tanya sekaligus sebuah sarkasme keluar dari bibirnya. Sungguh, Leva ingin Zen dan kawan-kawannya segera angkat kaki dari ruang pribadinya.
"Yup. Sasuga Leva dan otak jeniusnya."
"Hah? Kau mengejekku?" Zen hampir saja membalas kalimat Leva sebelum ia menarik dirinya dan menelan kata-kata yang sudah hampir saja lolos dari bibir, sebelum terjadi perdebatan untuk yang kesekian kalinya. Bahkan Zen sendiri tidak pernah bisa paham kenapa ia dan Leva tidak pernah sepaham–yang berujung pada sebuah perdebatan ganas.
Merasa bahwa pembicaraan ini akan menjadi sebuah topik penting dan tentunya panjang, Leva memutuskan untuk mempersilahkan tamu-tamunya duduk dan mengganggu malam tentramnya. Bukan hal yang buruk untuk menghiraukan salah satu masalah kastil yang terjadi saat ini, toh Yang Mulia mengirimnya kemari untuk membantu pekerjaan Izana dan sekaligus mempersiapkan hari penobatan. Tidak ada salahnya Leva mendengar hal ini dari individu yang lebih tahu.
Gadis itu merapatkan syal yang menutupi bagian atas gaun tidurnya, ia merasa tidak adil ketika semua orang masih mengenakan pakaian formal dan hanya dia sendiri yang sudah mengenakan pakaian siap tidur. Seharusnya mereka memberitahunya jika akan berkunjung kemari agar ia tidak buru-buru mengganti bajunya. Oh sungguh, Leva merasa sangat malu saat ini. Gadis itu berdehem singkat sebelum kembali memfokuskan pandangan pada perkamen tua yang kini tergeletak di meja. Ia bisa melihat tanda X besar di sana-sini menggunakan tinta merah, keningnya berkerut dan bibirnya membentuk satu garis lurus tipis–khas Leva ketika ia sedang mengolah otaknya.
"Tanda itu…apa maksudnya?" Zen yang sebelumnya berbincang sesuatu dengan Shirayuki langsung mengalihkan perhatiannya pada Leva. Ia melirik sebentar peta hutan utara sebelum menjawab pertanyaan sang gadis.
"Oh itu, itu spot yang sudah terbakar." Zen kembali menghadap Shirayuki yang kini sudah berpindah dari tempat duduknya, menuangkan cairan berbau harum pada satu persatu cangkir yang disajikan di meja.
"HAH? SEBANYAK ITU?" Leva sontak berdiri dari tempat duduknya, menyebabkan Shirayuki–yang tengah menaruh cangkir di hadapan Leva–terjerembab ke belakang dan hampir saja menjatuhkan sang cangkir. Irisnya membelalak hebat, ia tidak tahu bahwa ternyata kebakaran itu bukan yang pertama kalinya, sudah ada berapa spot yang menjadi target? 1…2…3…5…10?
"Dan akan terus bertambah." Obi bersua. Wajahnya begitu serius, bahkan nyaris kaku akibat keseriusan yang terlihat jelas pada setiap inci raut mukanya. Leva pernah sekali melihat wajah serius pemuda itu–ketika melawan para bandit di Wistant–namun tidak seperti yang saat ini. Jadi…apa maksudnya ini? Leva tidak pernah bisa memahami pemuda itu. Maka Leva memilih untuk bertaruh dan mengetes pemuda itu.
"Apa dasarnya kau mengatakan itu? Kita tidak akan tahu kan…jika saja keisengan ini sudah berakhir."
"Hime-san, anda terlalu naïf. Anda pikir semua ini hanya keisengan belaka?"
"Kenapa kau pikir ini lebih dari itu? Kau punya bukti?" Leva tahu semua ini mengarah pada satu hal, walaupun ia tidak bisa mengerti apa hal itu. Namun, ia ingin tahu mengapa pemuda ini bisa mendapat kepercayaan Zen. Karena sejauh yang Leva tahu, sepupunya itu tidak akan sembarangan memilih bawahannya. Dan sejauh yang ia tahu pula, pemuda ini bukanlah orang yang memiliki quality sebagai seorang kesatria.
Obi terdiam. Ia tidak tahu apakah nona ini yang terlalu bodoh atau dia yang terlalu memaksakan perkataannya. Yang pasti dilihat dari sisi manapun kejadian ini sungguh aneh, sudah pasti ada yang mendalangi dan pasti ada motif tersembunyi. Bagaimana mungkin seorang gadis yang dididik oleh keluarga kerajaan tidak bisa melihat mana yang berbahaya dan mana yang keisengan belaka? Hampir saja Obi kembali melontarkan kalimat balasan jika saja Zen tidak menghentikannya.
"Cukup, Obi. Tidak ada gunanya kau mendebatnya." Zen mengangkat tangannya, menghentikan Obi kemudian menjawab semua pertanyaan yang berputar di benak Leva. "Obi sudah mengumpulkan bukti yang cukup. Ada testimoni yang mengatakan bahwa umm…ada seseorang yang mendalangi semua ini. Bahkan Obi dan Kiki sendiri sudah bertemu orang yang membakar hutan tersebut, tepat pada kebakaran yang terakhir kali. Kau ingat keluarga itu…yang terusir dari kursi kebangsawanan 4 tahun yang lalu."
Leva mengingatnya, seorang anak lelaki seumuran dengannya, diseret paksa keluar dari tanah kastil Wistal. Hari itu ia ingat kastil sangat sibuk, bahkan kelas dansanya dibubarkan dan ia harus belajar mandiri bersama Zen yang berujung pada acara perang injak kaki ketika mereka berdansa.
"Keluarga itu…Winscott?" Zen tidak menjawab. Tidak juga meneruskan penjelasannya. Pencabutan gelar kebangsawanan pada suatu keluarga selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan bagi anggota keluarga kerajaan. Toh ini tidak seperti Zen ingin mencabut nama Winscott dari kebangsawanan, hanya saja peraturan adalah peraturan.
Merasa bahwa keadaan menjadi agak tidak menyenangkan, Leva memilih untuk tidak mengeluarkan suara dan mengalihkan fokus netranya pada perkamen tua dengan berbagai coretan di sana-sini. Leva menyingkirkan poninya yang agak mengganggu hingga ke belakang telinga, sementara kini ia duduk berlutut di hadapan meja, melihat dengan seksama peta hutan utara dan apapun yang bisa ia serap dari sana.
'Bukan tanpa alasan ada pembakaran hutan utara. Dan jika penyebabnya benar berhubungan dengan Winscott, maka…'
"Siapapun, tolong, ambilkan pena di rak. Cepat!" Netranya memutari peta tersebut dan melirik satu persatu tanda silang pada perkamen tua itu, jari telunjuknya mengetuk meja kayu dengan tidak sabar. Segera setelah entah siapapun itu menyerahkan pena padanya, ia menarik garis pada masing-masing tanda silang, dari satu tanda ke tanda lain. Hingga membentuk sebuah garis yang terlihat tidak beraturan, namun Zen dan Leva langsung tahu artinya.
'Sial, mereka selangkah lebih cepat daripada kita.'
"ZEN! Mereka…akan melakukannya…rute yang sama dengan yang mereka lalui 4 tahun yang lalu. Rute melewati tanah yang berbatu." Zen mengangguk, kali ini ia tidak akan mendebat Leva, karena ia tahu gadis itu benar. "Mitsuhide! Kiki! Siapkan prajurit untuk menjaga gerbang istana bagian utara! Aku akan pergi menemui kakakku saat ini juga."
Tanpa menunggu apapun, Zen, Kiki, dan Mitsuhide pergi untuk melaksanakan tugas masing-masing. Leva masih saja memaku tatapannya pada perkamen tersebut, seolah-olah merasa masih ada yang kurang, ada sesuatu yang aneh, yang tidak ia pikirkan, yang lolos dari benaknya. Obi melirik gadis itu, masternya tidak memerintahkan ia untuk melakukan apapun, justru ia malah ditinggalkan dengan dua perempuan di sini. Surai pucatnya masih sama seperti yang dulu, walau kini Obi melihat sesuatu yang hebat dari gadis itu. Bakatnya bukanlah berlari dari bahaya ataupun mengayunkan gitar, dan kini Obi melihat bakat sesungguhnya gadis itu. Obi kalah, ia tahu, gadis itu bukanlah gadis biasa.
"Apa yang harus kita lakukan?" Shirayuki menggigit ujung bibirnya, tidak tahu harus melakukan apa, dan ia sendiri juga tidak tahu maksud perkataan Leva yang sontak menyebabkan Zen begitu risau. Shirayuki merasa ia adalah pihak yang paling tidak tahu apa-apa, dan itu memang hal yang wajar, mengingat Shirayuki baru beberapa saat berada di kerajaan ini.
"Anda yang tahu apa yang harus kita lakukan," Obi berdiri dari kursinya dan berjalan hingga berada tepat di hadapan Leva, pemuda itu menatap Leva tepat di kedua iris bening sang tuan putri sebelum berlutut di hadapannya, "Pimpin kami, Hime-sama."
.
.
.
To be continued
.
.
.
AAA, 3,7k pemirsa sekalian hahaha. Entah kenapa saya semangat sekali mengetik fanfiksi fandom minor ini :''3
AYA BERHASIL UPDATE LANGSUNG DUA INI HABIS KESAMBET APA YAGUSTI HAHAHAHA, AYA AUTHOR TUKANG PHP NGARET UPDATE INI BRB MENDADAK UPDATE LANGSUNG DUA CHAPTER XD KAMISAMA ARIGATOU!
Mulai chapter depan akan semakin memperlihatkan pangkal masalah dari arc ini yah reader-tachi. Untuk yang mempertanyakan akan ada berapa banyak chapter dari fanfiksi ini, Aya sendiri kurang tahu ehehe, namun yang pasti sudah ada beberapa arc yang Aya siapkan dan mungkin akan memakan 20+ chapter (jika tidak ada perubahan). Well, selamat menikmati dan semoga anda sekalian betah menemani saya di fanfiksi ini.
Segala bentuk kritik dan saran masih dinanti.
Salam Hangat,
Nakashima Aya
